Senin, 31 Oktober 2011

Kurban, Antara Melestarikan Sunat dan Transformasi Sosial


Setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam memperingati Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Bentuk peringatannya, selain dengan membaca takbir, tahmid dan tahlil, menggelar shalat Id, juga dengan melakukan penyembelihan hewan kurban yang dilanjutkan dengan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin. Untuk yang disebut terakhir ini memiliki akar tradisi (sunat) pada peristiwa yang dialami oleh Ibrahim, tepatnya saat ia diperintahkan Allah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail, sebagai wujud kepatuhannya kepada Allah.
Sangat tidak logis jika Allah yang Pengasih menyuruh nabi-Nya untuk berbuat kejam seperti itu; membunuh anak sendiri dengan cara menyembelih. Tapi begitulah salah satu bentuk ujian yang diberikan Allah kepada orang yang dikasihi-Nya. Jelas ada hikmah syar’iayah bagi keberlangsungan hidup manusia sepanjang masa. Ibrahim yang sangat patuh melaksanakan perintah itu. Allah kemudian mengganti jasad Ismail, yang hamper tergores lehernya oleh pedang Ibrahim, dengan seekor domba. Untuk mengenang peristiwa itu Nabi Muhammad kemudian mensunatkan menyembelih hewan kurban pada tanggal 10 – 13 Dzulhijjah sebagai salah satu simbol pendekatan diri kepada Allah.
Perintah Nabi ini ditujukan kepada setiap individu muslim. Setelah ia melakukan penyembelihan Nabi memerintahkan untuk membagikan dagingnya yang masih mentah kepada kaum fakir miskin. Perintah ini berbeda dengan perintah membagikan daging hewan aqiqah, yaitu dalam kondisi sudah dimasak dengan rasa sedap. Lepas dari soal daging mentah atau sudah dimasak, yang jelas perintah individual itu telah merembet pada ranah sosial.
Dari sini ada dua hal yang patut dicatat, yaitu simbolisme dalam agama dan pelestarian sunat. Setiap agama memiliki simbol yang memiliki nilai sakral. Di satu sisi simbol berfungsi sebagai petanda pesan moral yang harus dijaga dan dilestarikan oleh pemeluk agama, sementara nilai sakral di dalamnya, seperti kata Emile Durkheim, akan mampu membangkitkan perasaan kagum dan sekaligus memiliki kekuatan memaksa dalam mengatur tingkah laku pemeluk agama serta kekuatan untuk mengukuhkan nilai-nilai moral yang harus dipegang teguh.
Dalam pemahaman ini simbol penyembelihan hewan kurban mengandung pesan moral bagi setiap muslim untuk bersedia melakukan kerja-kerja pengorbanan dalam ranah sosial yang hanya bertujuan mencari ridla Allah. Pesan ini yang seharusnya dikukuhkan oleh setiap muslim untuk turut mewujudkan kehidupan yang adil dan berkemanusiaan (humanis).
Dengan demikian, sejatinya ibadah kurban yang bersifat individual itu tidak hanya berhenti sebagai upaya memperkaya horison pengalaman beragama secara individual dalam rangkan self cleaning, tetapi harus berlanjut implementasinya pada dataran empiris-sosial, tepatnya peningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan, sebelum kemudian dilanjutkan dengan kesediaan untuk mengambil peran dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Dalam konteks transformasi sosial pesan moral yang terkandung di dalam simbol kurban itu sangat mungkin akan mengalami reinterpretasi untuk meneguhkan pesan moral itu pada tataran empiri-sosial. Reinterpretasi, yang oleh Roland Barthes disebut deformasi karena cenderung menundukkan agama di bawah kriteria, hukum dan konsensus di antara manusia (manusia cukup memiliki otoritas untuk menentukan yang “benar dan salah” menurut persepsinya) ini sangat sah seiring dengan proses dialektika pesan profetik agama dengan kecerdasan manusia, perubahan ruang, pergeseran waktu, serta kenyataan manusia yang heterogen dari segi geografis maupun etnis.
Sampai di sini acapkali terjadi benturan antara tuntutan untuk memberikan makna rasional dan kontekstual pesan moral agama dengan semangat untuk melestarikan sunat yang telah diletakkan oleh Nabi. Secara rasional realisasi ibadah kurban bisa saja tidak dalam bentuk penyembelihan hewan kurban. Kalau perintah kurban dalam konteks masa Nabi dengan hewan ternak itu cukup wajar mengingat secara umum penumpukan harta pada saat itu adalah dengan dirupakan ternak. Tetapi bagi masyarakat modern yang cenderung melakukan penumpukan harta dengan cara menyimpannya dalam bentuk uang dan deposito tidak bisakah berkurban dalam bentuk uang senilai harga hewan ternak yang sudah memenuhi syarat. Bukankah berkurban dengan cara demikian akan lebih efektif jika dikaitkan dengan program pengentasan kemiskinan dan penanganan korban bencana alam misalnya.
Pemahaman seperti ini sangat mungkin menilik pada esensi ibadah kurban yang bukan sekedar pada penyembelihan hewan dan pembagian dagingnya kepada fakir-miskin, melainkan lebih pada kesediaan berkorban untuk turut meringankan, kalau tidak menghilangkan, beban derita yang dialami oleh kaum khuafa’. Apalagi secara tegas Tuhan telah menyatakan bahwa sampai kepada-Nya bukan daging atau darah hewan kurban melainkan ketaqwaan (QS. al-Hajj:  37).
Tetapi sebenarnya pemahaman seperti ini dalam kontek “formalisme agama” (menjaga tradisi dan identitas formal agama) cukup mengkhawatirkan. Agama apapun membutuhkan identitas formal yang menjadi sumber legitimasi bagi pemeluknya. Dalam hal ini penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu bentuk ekspresi identitas formal tersebut. Jika kemudian realitanya dapat bergeser pada bentuk perayaan atau pesta karena tradisi penyembelihan itu sudah menjadi budaya sehingga kadang makna substansinya terkalahkan oleh semangat untuk membuat perayaannya lebih meriah, maka gejala ini cukup wajar karena ekspresi identitas formal itu bisa dalam bentuk yang istimewa. Memang orang kadang memiliki keinginan yang menggebu-gebu dalam memperingati suatu tradisi keagamaan, bahkan kadang sampai pada batas tidak wajar, apalagi dibarengi dengan satu semangat untuk membedakan tradisi itu dengan bentuk-bentuk tradisi yang tidak memiliki unsur-unsur transcendental dan eskatologis.
Tegasnya, reinterpretasi yang mengarah pada implementasi ibadah kurban tidak harus dengan menggeser sunat yang telah diletakkan oleh Nabi, meski tetap harus dijaga urgensi pesan kurban sebagai legitimasi untuk mewujudkan obsesi-obsesi sosial yang humanis. Dengan begitu eternalisasi kontinuitas tradisi kurban tetap terjaga sampai kapanpun. Adapun adanya kenyataan fenomena bergesernya ritual kurban pada sekedar bentuk budaya diiringi dengan tenggelamnya nila-nilai substansialnya adalah merupakan suatu kewajaran meski kecenderungan ini tetap menjadi agenda terutama bagi pemuka agama untuk selalu memberikan pencerahan. Bukankan setiap pemeluk agama membutuhkan legitimasi keterkaitan organik dengan masa lalunya.
Dengan demikian, reinterpretasi terhadap nilai substasi identitas formal agama seperti peringatan Idul Kurban tidak harus mengarah pada perubahan wujud sekaligus bentuk ekspresinya. Biarlah ekspresi simbol kurban bagi uamt Islam tetap dalam bentuk penyembelihan hewan kurban dan membagikan dagingnya yang masih mentah kepada fakir miskin (dhuafa’), tetapi pesan substansinya diharapkan mampu menjadi perata jalan (paving a way) untuk terwujudnya transformasi sosial ke arah penegakan keadilan sosial. Setiap orang yang telah berkurban tidak hanya berhenti seusai menyerahkan hewan kurban kepada panitia penyalur daging kurban, tetapi ia benar-benar telah berani berkurban dengan mengorbankan ego, kepentingan, harta benda, perhatiannya, dll demi solidaritas sosial.
Pesan Allah dalam surat al-Ma’un telah menegaskan pola pemahaman ini. Dalam surat itu Allah menegaskan tentang model orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang menjalankan shalat tetapi ia menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Penegasan Allah ini tidak bisa hanya dipahami dengan motode mafhum mukhalafah (mengambil makna kebalikan); orang tidak menghardik anak yatim dan berjuang untuk memberi makan orang miskin dan tidak usah shalat. Tetapi harus dimbil secara utuh (kafah); shalat dan memperhatikan anak yatim dan fakir miskin.
Artinya, wujud ekspresi formal keagamaan tetap dijalankan dengan tetap disertai suatu komitmen untuk menegakkan keadilan sosial, karena ini, menurut Nurcholis Madji, merupakan wujud yang paling nyata bentuk keberagamaan, yaitu lewat perilaku sosial dan keluhuran budi. Alih-alih ibadah kurban harus berdampak sosial dan menumbuhkan keberagamaan sejati pada orang yang melaksanakan, karena kurban yang benar memang akan dapat menumbuhkan sikap dan nilai-nilai kemanusiaan.

Parameter Kemabruran Para Penyandang Haji

Tidak semua umat Islam di semua negara menggunakan lebel haji seusai berhaji. Hanya mereka yang berada di negara-negara yang secara geografis jauh dari pusat Islam (Makkah) yang menggunakannya, seperti Indonesia dan Malaysia. Penggunaan lebel haji ini di samping menunjukkan adanya penghargaan yang sangat tinggi terhadap haji, juga mempertimbangkan adanya keterkaitan semangat berhaji orang “Jawa” (Asia Tenggara) dengan budaya tradisionalnya.
Bagi orang Indonesia, berhaji bukan sekedar menunaikan rukun Islam yang kelima, tetapi terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi pendorong kuat, seperti faktor spirituaal, ilmu dan politik. Faktor-faktor ini yang mendongkrak semangat mereka untuk berhaji meski dengan resiko biaya yang sangat besar.
Martin van Bruinessen -seorang konsultan bidang metodologi penelitian sosial di LIPI- mencatat jumlah jamaah haji Indonesia berkisar antara 10% s/d 20% pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40%. Besarnya angka ini tidak lain karena tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji.
Semangat orang Nusantara, terutama Jawa, untuk berhaji memang sangat tinggi. Masih menurut Bruinessen, hal ini tidak terlepas dari kosmologi Jawa dimana pusat kosmis (titik temu antara dunia fana dan alam supranatural) memainkan peranan sentral. Setelah masuknya Islam ke Jawa, Ka’bah dan kota Makkah yang merupakan pusat Islam menjadi pusat kosmis yang harus diziarahi.
Orang yang telah melakukan olah spiritual di pusat kosmis itu dianggap memiliki keistimewaan yang luar biasa. Lebel haji, dengan demikian, memiliki legitimasi sosial dan politik yang sangat besar. Persaingan antara raja Banten dan Mataram pada tahun 1630-an tentang pengiriman utusan ke Makkah untuk, antara lain, mendapatkan gelar 'sultan' dari Syarif Besar (khadim al-haramain) membuktikan hal ini.
Keyakinan tradisional ini juga masih berkembang sampai saat ini. Meski tidak sekuat dulu karena modernisasi transportasi dan komunikasi telah menggeser padangan masyarakat Jawa terhadap Makkah dan Ka’bah. Tetapi hingga saat ini masih banyak orang yang berupaya menambah lebel haji/hajjah (berhaji) pada namanya untuk menguatkan legitimasinya.
Untuk yang disebut terakhir ini jelas merupakan simplifikasi haji. Sebab berhaji bukan sekedar suatu upaya meningkatkan status sosial. Berhaji juga bukan sekedar pelaksanaan ritual lahiriah formal, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Berhaji harus dibarengi dengan upaya penyingkapan terhadap makna substasi yang terkandung di dalam ritual haji.
Aktualisasi makna substasi haji dalam wujud sikap dan tingkah laku sehari-hari pasca haji merupakan isyarat kemabruran haji seseorang. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji harus menjadi manusia yang tampil beda dibanding sebelumnya.
Dalam konteks sosial mereka harus mengambil peran sebagai pioner dalam penegakan nilai moral di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena ritual haji memang tidak hanya membentuk seseorang menjadi saleh dengan pengalaman spiritual yang beraneka ragam, tetapi dapat menumbuhkembangkan komitmen sosial yang tinggi dalam rangka menegakkan nilai moral di tengah-tengah masyarakat.
Setiap orang yang berangkat haji mengharapkan mendapat predikat haji mabrur. Janji balasan surga bagi haji babrur menjadi incaran mereka. Secara literal mabrur berarti menjadi baik. Orang yang telah melaksanakan ibadah haji seharusnya memiliki kepribadian dan moralitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Siapa pun yang mampu menjalaninya akan dapat hidup bahagia bagaikan di surga.
Dari sini jelas bahwa parameter kemabruran tidak dinilai pada saat pelaksaan ibadah haji tetapi saat menapaki jengkal demi jengkal perjalanan panjang kehidupan pasca haji. Kemabruran ditentukan seberapa besar komitmen orang-orang yang telah berhaji (hujjaj) dalam mengimplementasikan makna substansi yang terkandung di dalam ritual haji, seperti berihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, melempar jumrah dan lain-lain.
Pengalaman spiritual para haji tidak berhenti sebagai khazanah individu, tetapi memiliki efek sosiologis dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang surgawi. Dengan demikian, para haji berperan sebagai pioner penegakan nilai-nilai moral yang menjadi prasyarat bagi terciptanya kehidupan sosial yang surgawi tersebut.
Para haji menjadi pioner pola hidup sederhana, tidak serakah, bersikap santun, dan menegakkan hukum secara adil, sebagaimana tercermin dari pakaian ihram yang mereka kenakan saat berhaji. Kain putih yang tak berjahit yang digunakan menutup aurat selama berhaji itu meruapakan pelambang pembebasan diri dari mentalitas keduniawiaan dan pembersihan diri dari nafsu yang mendorongnya untuk bersikap sombong dan berlaku sewenang-wenang.
Tawaf, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ritual ini melambangkan kesediaan para haji untuk keluar dari lingkaran manusia dan masuk ke dalam lingkaran Tuhan. Para haji hendaknya memperkuat watak religius masyarakat dengan menjadikan Tuhan sebagai orientasi segala perbuatannya.
Para haji juga tertuntut untuk mempelopori pentingnya berperilaku positif dan bermafaat baik bagi diri sendiri mapun orang lain. Hal ini merupakan makna ritual sa’i yang merupakan salah satu rukun haji.
Rukun terpenting haji adalah wukuf di padang Arafah. Ritual ini merupakan ekspresi kesadaran tentang kecilnya eksistensi manusia di tengah keluasan dan kebesaran ciptaan Tuhan. Kesadaran ini dapat menekan manusia untuk bersikap angkuh dan merendahkan orang lain. Kesadaran ini harus dikembangkan oleh para hujjaj di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak akan ada praktik hegemoni orang yang berada di level atas terhadap bawahannya.
Para haji juga harus menjadi pelopor suatu upaya maksimal membunuh potensi-potensi buruk yang ada di dalam dirinya, sekaligus membentengi diri dari godaan eksternal. Hal ini sebagaimana yang tercermin dari ritual melontar jumrah yang melambangkan putus hubungan dengan penggoda (setan).
Akhirnya, kita berharap semoga para haji tahun 2011 ini dapat mengambil peran kepeloporan ini. Sebab dengan begitu fungsi sosiologis haji mereka benar-benar dapat dibuktikan, dan kemabruran haji mereka juga tidak diragukan lagi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Jumat, 28 Oktober 2011

salah menilai

kasih,
kusapa engkau dengan tamparan manisku, sore itu
malamnya, kau paksa aku tuk setubuimu
bukan, bukan. bukan itu saja, kasih