Kamis, 29 Desember 2011

Tradisi Tahun Baru

Besok malam, tepatnya Sabtu pukul 00.00, merupakan tanda pergantian tahun dari  menurut kalender Masehi. Pergantian tahun itu biasanya diperingati di hampir seluruh negara dengan tradisi masing-masing yang spesifik. Di Seoul, Korea Selatan, moment peting pergantian tahun bukanlah menghitung detik demi detik di tengah malam, melainkan cara memandangi matahari terbit pertama di tahun yang baru. Festival Matahari Homigot yang diadakan setiap tahun di Pantai Pohang membuktikan betapa pentingnya mement itu.
Di Jepang, setiap tahun baru, orang Jepang akan menikmati makanan yang terdiri dari tiga jenis makanan awetan yaitu telur ikan, sebagai simbol kemakmuran; ikan sardin asap biasa disebut tatsukuri, yang berarti tanah yang subur; dan manisan tumbuhan laut yang merupakan simbol perayaan.
Di Belanda, ada sebuah tradisi unik dalam menyambut tahun baru, yaitu Nieuwjaarsduik atau New Year's Dive. Saat hari pertama tahun baru ribuan warga beramai-ramai menyelam di pantai-pantai, kanal, dan danau di 100 tempat yang berbeda di penjuru negeri. Mereka akan menyelam, berenang, dan berendam di air yang sangat dingin dengan hanya mengenakan pakaian renang. Tradisi ini dilakukan sebagai simbol untuk awal baru yang segar di tahun yang baru. Air yang dingin dianggap dapat menyucikan diri dan memulai tahun yang baru dengan bersih.
Di Brazil, masyarakat Brazil mengenal sosok, Lemanja, dewa laut dalam legenda negara ini. Setiap malam tahun baru, mereka menyelenggarakan ritual untuk menghormati Lemanja, dengan mengenakan baju putih bersih, berbondong-bondong menuju pantai,dan menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai.
Di Jerman, menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka tidak akan mengalami kekurangan pangan selama setahun penuh. Di Berlin, makanan klasik yang biasa disajikan di hari istimewa ini adalah ikan mas. Hal yang unik, duri ikan mas tersebut akan dibagikan pada para tamu untuk dibawa pulang sebagai good luck charm.
Di negeri kita tradisis menyambut tibanya tahun baru biasanya adalah bakar-bakaran dan bunyi-bunyian. Yang pertama bisa dalam bentuk bakar ikan, ayam, jagung atau daging. Aktifitas seperti itu sebetulnya tidak terlalu istimewa karena dapat dilakukan di luar moment menyambut tahun baru. Namun pada moment tahun baru aktifitas tersebut merupakan perlambang bahwa kita harus membakar ahlak/tabi’at yang tidak baik dengan ahlak yang lebih baik.
Kita harus membakar semua sisi gelap di tahun terlewat dan menggantinya dengan sifat baik; membakar sifat sombong, ujub, ria, takabur, serakah/tamak, iri/dengki, dan kikir; membakar kebiasaan gila hormat, rindu sanjungan, kangen pujian; membakar hasrat yang selalu ingin menguasai, ingin selalu terlihat lebih dari orang lain, senang melihat orang susah dan susah/risih bila melihat orang senang; dan membakar sifat mencemooh, ghibah (bergunjing), namimmah (mengadu-domba), fitnah, hipokrit (bermuka dua), mengeruk keuntungan dalam kepahitan orang lain (opportunist)
Sedang bunyi-bunyian yang biasa dilakukan dalam menyambut moment tahun baru adalah meniup terompet, menyulut petasan (fire-crackers) atau juga dengan menyalakan kembang api yang kemudian disusul dengan bunyi (fire-works) bahkan dengan membunyikan sirine. Aktifitas ini sebagai simbol untuk membangunkan atau menggugah kesadaran.
Contoh yang paling mudah menggugah kesadaran dengan bunyi-bunyian adalah memukul bedug di masjid yang menandai waktu salat tiba. Artinya bunyi bedug itu menyampai pesan kepada semua umat Islam untuk segera sadar bahwa sat itu merupakan waktu untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Paling tidak terdapat dua kesadaran baru yang lahir dari peringatan tahun baru. Pertama, begitu masuk tahun baru siapa pun akan menyadari bahwa usianya semakin bertambah. Bersamaan dengan itu kematiannya semakin dekat. Kesadaran ini yang kemudian berlanjut pada kesadaran tentang persiapan-persiapan yang harus dipenuhi untuk menghadapi kematian: sebandingkah investasi untuk akhirat dibanding keterlenaan dengan beragam kenikmatan yang telah diberikan Allah.
Kesadaran ini sangat penting karena dapat memperbesar rasa malu kepada Allah. Malu karena sikapnya yang sering kali lupa untuk mensyukuri segala kenikmatan yang telah diberikan Allah dengan selalu meningkatkan ketaqwaannya. Alih-alih malah tergiur oleh kemegahan dunia.
Dan kedua, peristiwa tahun baru merupakan kejadian alamiah berupa perubahan waktu yang ditandai oleh pergeseran alam, yaitu munculnya bulan sabit tahun baru di ufuk barat. Kenyataan ini melahirkan sebuah kesadaran bahwa hidup manusia itu berjalan seirama dengan perjalanan segala wujud di alam ini. Kesadaran ini merupakan satu langkah untuk selalu memperhatikan kebesaran Allah dengan menyaksikan ketaraturan dan kerapian ciptaan-Nya di alam semesta ini.
Sekedar untuk menambah bahan perenungan ini adalah perintah Allah untuk menjalankan ibadah tertentu dan harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu pula sesuai dengan peredaran atau perputaran tata surya. Dalam menjalani salat misalnya, Allah menegaskan dalam Alquran agar ditegakkan pada waktu-waktu tertentu (Al-Nisa: 103).
Dalam fikih dapat ditemukan penjelasan tentang waktu-waktu salat tersebut, yaitu waktu salat Dzuhur setelah tergelincir matahari, salat Asyar setelah matahari condong ke barat dan bayangan benda yang ditimbulkannya lebih panjang dari benda itu, salat Maghrib setelah terbenam matahari, salat Isya’ setelah hilangnya mega merah di arah barat, dan salat Subuh setelah terbit fajar.
Untuk itu, tepat kiranya di tahun baru ini kita –dengan kesadaran yang dilahirkan oleh tahun baru itu–  membangun tekad baru untuk meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Karena hanya dengan tekad ini segala persoalan yang ada di depan kita akan dapat kita hadapi dengan penuh kebijakan.

Kamis, 22 Desember 2011

Cantik, Tampan dan Kemaluan

     Dikisahkan, di Makkah dulu ada seorang lelaki yang beristri cantik. Pada suatu hari, ia melihat istrinya sedang bersolek di depan cermin. Sang istri pun memintanya untuk mendekat, dan berkata, “Menurutmu, apa ada orang lelaki yang tidak akan tergoda dan tertarik saat melihat wajahku yang cantik ini?” Sang suami menjawab, “Ada.” “Siapa?” tanya sang istri penasaran.  “Ubaid bin Umair.” Jawab suaminya.
     “Kita buktikan. Izinkan aku untuk merayu dan menggodanya,” kata sang istri seolah tak percaya. Sang suami akhirnya mengizinkan istrinya untuk menggoda dan merasu Ubaid bin Umair.
     Sang isteri kemudian pergi menemui Ubaid dengan dalil ingin meminta fatwa tentang suatu masalah. Ubaid memenuhi permintaan perempuan itu dengan mengajaknya ke salah satu sisi Masjidil Haram.
      Tak disangka, tiba-tiba permpuan itu membuka tutup wajahnya hingga terlihatlah paras cantik wajahnya. Ubaid kaget, dan spontan berkata, “Celaka kamu wahai hamba Allah!” Kemudian wanita itu berkata kepada Ubaid, “Sesungguhnya aku telah tergoda dan tertarik kepada kamu. Karena itu, tolong pertimbangkan keinginanku ini.”
      Ubaid bin Umair berkata, “Aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Jika kamu mau menjawabnya dengan jujur, maka aku akan pertimbangakan keinginanmu ini.” Perempuan itu bersedia memenuhi syarat yang diajukan Ubaid.
    “Katakan kepadaku dengan jujur. Jika sekarang malaikat maut datang dan mencabut nyawamu, apakah kamu senang jika sekarang aku memenuhi keinginanmu ini?” perempuan itu spontan menjawab, “Tentu saja tidak.”
    Ubaid berkata, “Bagus, berarti kamu memang jujur. Ingatlah ketika semua makhluk dihidupkan kembali pada hari kiamat untuk menerima buku catatan amal mereka masing-masing. Dan, kamu sendiri tidak tahu apakah kamu akan menerima buku catatan amal kamu dengan tangan kanan atau kiri. Apakah kamu akan merasa senang jika aku memenuhi kenginanmu ini?” Perempuan itu tetap dengan jawaban yang sama, “Tentu saja tidak.”
     “Bagus, kamu menjawab dengan jujur. Ketika datang waktu penimbangan amal, lalu kamu tidak tahu apakah timbangan amal kebaikanmu lebih berat atau lebih ringan. Apakah kamu senang jika aku memenuhi keinginanmu ini?” Ubaid melanjutkan. “Tentu saja tidak.” Jawab perempuan itu.
    Untuk yang terakhir kali Ubaid bertanya, “Ingatlah ketika kamu dihadapkan kapada Allah. Apakah kamu senang jika aku memenuhi keinginanmu ini?” Perempuan itu pun menjawab, “Tentu saja tidak.” Ubaid akhirnya berkata, “Hai hamba Allah, takutlah kamu kepada-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah memberi karunia dan nikmat kepada kamu.”
Perempuan  itu kemudian bergegas pulang. Sesampainya di rumah, suaminya langsung bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan kepadanya?” dan sang isteripun seketika menjawab, “Kamu memang benar-benar orang yang hina, kita berdua memang benar-benar orang yang hina.”
    Sejak peristiwa itu, sang isteri berubah secara total. Hari-harinya diisi deng kesibukan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Perubahan ini juga ternyata membuat suaminya jengkel. “Celaka aku, apa sebenarnya yang telah dilakukan Ubaid bin Umair terhadap istriku, hingga ia berubah seperti sekarang ini. Dulu setiap malam istriku bertingkah seperti pengantin baru, tapi sekarang Ubaid telah mengubahnya menjadi seorang rahib (orang ahli ibadah)!” gumamnya pada dirisendiri
    Karena peristiwa itulah kemudian Allah mengingatkan seluruh manusia melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. An-Nur: 30-31)
     Cantik, tanpan dan kemaluan memang merupakan suatu karunia yang diberikan Allah kepada manusia. Selayaknya manusia memanfaatkan karunia itu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Kalau Allah mencipta manusia hanya untuk menyembah (beribadah) kepadanya, maka perintah ini juga berlaku bagi keseluruhan yang dimiliki manusia,termasuk karunia cantik, tanpan dan kemaluan.
  Lantas bagaimana beribadah dengan kecantikan, ketampanan dan kemaluan? Memperilihatkan kecantikan wajah dan kemolekan tubuh hanya kepada suami hingga sang suami menginginkannya adalah terhitung ibadah. Begitu juga dengan memperlihatnya ketampanan dan keperkasaan hanya kepada istri hingga ia menginginkannya adalah ibadah.  Demikian juga menjaga kemaluan agar tidak terlihat dan terjamah orang lain adalah ibadah.
      Kecantikan, ketampanan dan kemaluan bukan alat untuk mengais rizki Tuhan, apalagi dengan cara-cara yang tergolong maksiat. Pernyataan ini sangat penting mengingat modernisme telah menjadikannya sebagai suatu komoditi yang dapat dijadikan alat untuk menumpuk kekayaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 15 Desember 2011

Islam Humanis Menjadi Satu Kebutuhan

Islam Humanis tidak lain merupakan upaya membumikan nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks riil sosio-politik dan kultural yang sedang berkembang. Suatu upaya terus-menerus untuk mempertajam fungsi interpretatif Islam di tengah pergumulan kemanusian. Dalam konteks ini, segala bentuk pemikiran Islam yang berkembang termasuk di negeri ini dapat dikatakan berakar pada motiv tersebut.
Sampai awal era 1970-an ranah pemikiran Islam masih didominasi oleh dua aliran yang dikotomistik, tradisionalis dan modernis. Keduanya telah menjadi sama-sama koservatif karena cenderung memegang erat patronisme pemikiran yang sudah mentradisi di kalangan masing-masing: tradisionalis mengacu pada pemikiran abad Pertengahan, sedang modernis pada abad pra-modern. Keterkungkungan di balik tembok konservatifisme ini merupakan preseden buruk bagi masa depan umat Islam karena cenderung memarginalkan Islam di tengah-tengah arus berubahan yang terus melaju kencang.
Untuk itu, sebelum usaha membumikan nilai-nilai kemanusiaan Islam dalam konteks bermasyarakan, berbangsa dan bernegara, paradigma konservatifisme tersebut terlebih dulu harus diselesaikan. Upaya membangkitkan idea of progress umat melalui pola berpikir liberal yang digulirkan oleh gerakan pembaru tidak lain merupakan upaya penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk bebas, dan konservatifisme merupakan wujud dari pengingkaran terhadap eksistensi itu. Batasan bagi kebebasan itu hanya pada kenyataan kemanusiaan itu sendiri.
 Sudah kurang lebih tuga puluh tahun pola berpikir liberal itu turut mewarnai proses kemanusiaan umat dan bangsa, hingga tidak relefan lagi untuk dipertentangkan kembali. Sama halnya tidak relefan untuk mengusik pola berpikir yang cenderung bernostalgia pada masa lalu yang dianggapnya sudah mapan. Sebab perbedaan pandangan itu,  dalam konteks pembentukan peradaban, justru membawa satu dinamika yang berfungsi sebagai pemerkaya khazanah budaya umat Islam. Untuk itu, munculnya pemikiran-pemikiran baru sudah selayaknya tidak direspons dalam wujud satu kontroversi yang diwarnai oleh klaim kebenaran terhadap pemahaman sendiri. Dan ini bisa dilakukan dengan melihatnya sebagai satu proses penemuan terus-menerus fungsi interpretatif Islam dalam konteks kemanusiaan, bahkan selalu dibutuhkan pada setiap kurun waktu tertentu.
Pola pandang demikian tidak lain didasarkan pada kenyataan dasar manusia yang memiliki sifat dasar kesucian (hanifiyah), sebagai implikasi dari keadaan suci (fitrah) yang dibawanya sejak lahir. Dan karena itu manusia disebut makhluk hanif dan memiliki kecenderungan nurani untuk selalu berpihak pada kebaikan, kebenaran, dan kesucian (Q.S. 30:30).
Sifat dasar kesucian manusia ini merupakan kelanjutan dari perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan saat ia masih berupa janin, tepatnya ketika Tuhan bertanya kepadanya tentang kesaksiannya bahwa hanya Dialah satu-satunya pelindung dan pemelihara (rabb) (Q.S. 7:172). Perjanjian inilah yang kemudian berimplikasi pada kewajiban baginya untuk hanya tunduk dan menyembah kepadaNya (tawhid) (Q.S. 51:65), yang sekaligus menumbuhkan suatu kesadaran bahwa dari Tuhanlah dia berasal dan kepadaNyalah dia akan kembali. Inilah makna hakiki kehidupan.
Akan tetapi untuk menemukan makna hakiki tersebut manusia berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri, hingga dia tidak dapat menemukannya kecuali dengan bantuan suatu petunjuk. Di sinilah peran penting nabi dan rasul dalam memberikan tuntunan kepada manusia dalam proses pencariannya tesebut (Q.S. 16:89). Tuntunan ini yang kemudian disebut al-din (agama).
Meski demikian, bukan berarti Islam menekankan pada bentuk kehidupan yang individualistik, melainkan juga menekankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, karena dia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, bahkan dia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada dalam suatu komunitas (masyarakat) tertentu dan dengan sistem tertentu pula. Untuk itu, sebagai anggota suatu masyarakat, di samping dia berusaha berbuat baik untuk dirinya sendiri, dia juga diharuskan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Penjelasan ini menunjukkan adanya keterkaitan bahkan tidak bertentangan antara nilai kemanusiaan dan nilai keagamaan, bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi kemanusiaan. Berarti pula bahwa keberlangsungan keberadaan segala hal di muka bumi ini sangat bergantung pada nilai kemanusiaan, sehingga agama, dalam perspektif sosial, mampu memberikan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama sesuai dengan fungsi kekhalifahan manusia. Bukankah memang manusia diadakan di muka bumi ini adalah untuk memakmurkannya? (Q.S. 11:61).
Dalam pandangan ini, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan untuk memilih pernyataan kreatifnya sesuai dengan kecenderungan nuraninya (ikhtiyar), sehingga dia dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan. Berarti setiap individu memiliki kebebasan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hati naraninya. Dan apa pun bentuk pernyataan kreatifnya merupakan wujud dari tidak adanya pengekangan terhadap kemauan baiknya (ikhlas). Karena itu, kemerdekaan merupakan esensi kemanusiaan. Batasan-batasan bagi kemerdekaan tersebut ada hanya karena adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap mengusai alam ini (sunnat Allah). Manusia harus mengakui adanya suatu keharusan universal yang menyertai pernyataan kreatifnya (taqdir). Dan karena keharusan universal itu tidak dapat diketahui sebelum ia menjadi suatu kenyataan maka manusia tetap mempunyai peran aktif dan menentukan bagi kehidupan dirinya sendiri serta kehidupan bersama. Wujud konkrit peran aktif manusia itulah yang disebut ‘amal, yang sekaligus menjadi standar penilaian terhadapnya, dan yang akan dipertanggungjawakan baik secara individual (Q.S. 53:39) maupun secara komunal (Q.S. 8:25).
Dalam konteks kehidupan bersama ekspresi kemerdekaan individual tersebut sangat dimungkinkan akan menimbulkan benturan atau tarik-menarik kepentingan antarindividu. Di sinilah keharusan ditegakkannya keadilan, yang secara operasional diserahkan kepada sekelompok orang yang memiliki kualitas kemanusiaan yang tinggi yang disebut pemimpin. Dalam konteks bernegara pemimpin itu adalah pemerintah. Untuk itu, pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menegakkan keadilan terhadap seluruh warganya di samping melindunginya dari hal-hal yang memasung kemerdekaannya. Dan hal ini hanya bisa dilaksanakan dengan sistem demokrasi.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana implementasi kekhalifahan umat Islam Indonesia di tengah-tengah proses demokratisasi yang telah menjadi semacam “agama atau ideologi baru” yang dapat menumbuhkan harapan baru bagi perubahan dan perbaikan nasib bangsa dalam proses tahap demi tahap menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, wawasan dasar kemanusiaan Islam tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan respons kritis terhadap setiap proses yang berlangsung. Dan dalam konteks pluralitas bangsa ia dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan sekaligus penegakan terhadap nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan pluralisme.
Kenyataan pluralitas masyarakat tidak bisa disikapi secara nihilistik, melainkan sudah merupakan suatu kenyataan yang alamiah, hingga tidak mungkin dijadikan justifikasi sebagai pemicu konflik.  Menjatuhkan pilihan pada yang terakhir ini berarti merupakan pengingkaran terhadap keberadaan kemanusiaan, yang berarti pula pengingkaran terhadap sunnat Allah. Karenanya setiap agama mengajarkan komitmen kebersamaan, mengesampingkan unsur-unsur primordialisme, sebagai pancaran kesadaran transendental untuk mencapai realitas tertinggi (ultimite reality). Dengan demikian, sekat-sekat formalisme dan komunalisme harus ditarik pada nilai-nilai universal doktrin agama (dengan tetap tidak mengarahkan pada relativisasi keabsolutan suatu agama), sehingga setiap agama memiliki keperihatinan yang sama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan, seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan lain-lain.
Kesadaran inklusifistik ini menjadi sia-sia jika tidak didukung oleh suatu iklim yang dialogis antarpemeluk agama dan antargolongan. Untuk itu, mengarahkan pada terbentuknya suatu dialog yang harmonis antarpemeluk agama dan antargolongan dalam rangka menemukan format hidup bersama (kalimat sawa’) menjadi suatu kewajiban bersama. Format hidup bersama itu sebenarnya sudah terumuskan dalam Pancasila, di mana nilai etik dan moralnya (substansinya) bila dilacak ke belakang berakar pada nilai-nilai universal keagamaan. Dan ini menunjukkan bahwa secara normatif posisi agama-agama dan wawasan kebangsaan tidak saling bertabrakan, tetapi justru agama menjadi sumber legitimasi normatif.
Memang cukup disayangkan kenyataan terjadinya penyayatan terhadap kesadaran pluralisme masyarakat tersebut pada masa lalu yang lebih diakibatkan adanya monopoli penafsiran pemerintah terhadap berbagai konflik yang dianggap dipicu oleh SARA atau pihak ketiga yang sering disebut komunis, hingga kesadaran yang berpotensi sebagai penopang pembangunan itu menjadi tercabik-cabik. Untuk itu, revitalisasi semangat humanistik agama sudah menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.

Senin, 12 Desember 2011

Rekonsiliasi Ideologi Ilmiah ala Al-Ghazali

           Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali (1058-1111), yang lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali, sudah sangat populer di kalangan umat Islam dan para ahli Islam. Ia adalah salah sorang pemikir muslim yang kontraversial, terutama terkait dengan kejumudan dan kemunduran umat Islam pada abad pertengahan. Tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa ia merupakan penyebab kemunduran umat Islam tersebut, khususnya di bidang sains dan filsafat. Namun, banyak pula kalangan yang tidak meragukan kontribusinya terhadap khazanah intelektual Islam.
Kalangan orientalis selalu mengatakan bahwa kegiatan intelektual umat Islam telah mati. Kematian itu disebabkan oleh, pertama, issu tentang tertutupnya pintu ijtihad; kedua, serangan al-Ghazali terhadap filsafat; dan ketiga, meninggalnya simbol rasionalisme Islam, Ibn Rushd.[1]
Khusus sebab yang kedua, kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali terhadap beberapa filusuf, yang menurutnya tidak bersumber pada ajaran Islam, dianggap telah mematikan kreatifitas intelektual umat Islam. Apalagi pada sisi yang lain, semangat puritanisme al-Ghazali yang diwujudkan dengan pikiran rekonsiliasi ideologi ilmiahnya,[2] juga dianggap telah memadamkan api dialektika intlektual umat. Kedua hal inilah yang dijadikan sebagai faktor utama tuduhan kaum orientalis terhadap al-Ghazali tekait dengan kemandegan intelektual umat Islam. Namun, benarkah al-Ghazali telah mengisi sisi gelap sejarah umat Islam ini, atau hal ini hanya merupakan “kambing hitam” sejarah saja? 

“Perang” Ideologi Ilmiah dan Upaya Rekonsiliasi al-Ghazali
Umat  Islam, sebagai sebuah komunitas, pasti bersinggungan dengan komunitas lain, baik langsung maupun tidak langsung. Pertemuan antarindividu akan membentuk suatu sistem yang secara konvensional disebut kebudayaan. Dan pertemuan antarsatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain pada wilayah yang lebih luas akan membentuk sebuah peradaban. Peradaban Islam juga terbentuk dari proses yang semacam ini. Ia terbentuk dari interaksi antarbudaya, baik internal maupun eksternal Islam.[3] Watak kosmopolitanisme kebudayaan Islam,[4] memberikan peluang untuk bersikap terbuka terhadap sistem kebudayaan manapun.
Pertama, interaksi internal umat Islam pasca wafatnya Nabi ditandai dengan munculnya konflik politik yang membesar pada masa Uthman b. Affan, yang disusul kemudian oleh lahirnya konflik ideologi ilmiah. Terjadinya al-fitnah al-kubra, terbunuhnya Uthman, melahirkan issu keagamaan tentang nasib atau hukum bagi orang yang telah melakukan dosa besar. Bagi bani ‘Umayah, orang tersebut masih tetap dianggap sebagai seorang muslim yang beriman, meski ia seorang yang fasiq. Berbeda dengan kaum Khawarij, mereka menganggap bahwa orang tersebut telah kafir.
Issu ini kemudian berkembang menjadi issu tentang perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), yang kemudian melahirkan perdebatan antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah. Kelompok Jabariyah memandang bahwa manusia itu tidak berdaya di hadapan “taqdir” Tuhan. Sebaliknya, kelompok Qadariyah memahami bahwa manusia itu “mampu” memilih dan menentukan sendiri perbuatannya.
Kedua, interaksi eksternal umat Islam ditandai dengan masuknya unsur-unsur luar, khususnya kebudayaan Perso-Semitik dan Hellenisme-Romawi dalam dinamika peradaban Islam. Unsur-unsur Perso-Semitik bisa dilihat, misalnya, pada pola pengelolahan sistem kepemerintahan pada khilafah Abbasiyah, dan warna metaforis dan alegoris (al-ta’wil al-majazi) dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama (meski kecenderungan ini juga merupakan pengaruh filsafat Yunani, khususnya unsur-unsur Neo-Platonisme). Sedangkan unsur-unsur Hellenisme-Romawi, jika dikaitkan dengan polemik ideologi ilmiah diatas, telah turut memperbesar kedua aliran tersebut (Qadariyah dan Jabariyah). Bahkan usaha untuk menengahi kedua aliran besar ini, yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-‘Ash’ari dengan konsep al-kasb-nya, dan Abu Mansur al-Maturidi, juga menggunakan argumen-argumen Hellenisme, khususnya Aristoteles,[5] yang kemudian melahirkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pengaruh Hellenisme ini semakin kuat ketika tumbuh gairah di kalangan umat Islam untuk menterjemahkan karya-karya asing. Semangat penterjemahan yang dikobarkan oleh Khalid b. Yazid (salah seorang khalifah ‘Umayah), dan mencapai puncaknya pada masa Harun al-Rashid dan anaknya al-Ma’mun (Abbasiyah) ini telah mampu membuka wawasan intlektualisme umat Islam.
 Namun akhirnya pengaruh Hellenisme ini banyak meresahkan ulama (ahli zahir, eksoterik, fiqh) karena dianggap akan mereduksi otentisitas ajaran Islam, karena interpretasi metaforis, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi dan Ibn Sina, telah berani melakukan ‘i’tibar, meninggalkan makna dhahir dan beralih pada makna batin. Apalagi pemikiran yang demikian telah melahirkan aliran baru, yaitu aliran Batiniyah, yang mencapai puncak perkembangannya pada masa Shi’ah Sab’iyah (Isma’iliyah).
Aliran yang disebut terakhir ini pada masa al-Ghazali menjadi semakin serius dan bertambah besar ketika al-Hasan b. al-Sabah al-Isma’ili telah berhasil mengupayakan legitimasi bagi aliran ini kepada Nizar b. al-Mustansir bi Allah.[6] Sampai al-Ghazali sendiri telah tertarik untuk menulis sebuah buku untuk menolak aliran ini, Fadaih al-Batiniyah,[7] untuk khalifah al-Mustazhir bi Allah, yang, menurut Mustafa Jawad, merupakan salah satu motif kepindahannya dari al-Madrasah al-Nizamiyah, Baghdad, ke Sham, Damaskus,[8] kalau tidak karena “paksaan” Nizam al-Mulk.[9]
Disamping pertentangan ideologis-teologis diatas, kemenangan umat Islam di bidang militer dan politik melahirkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang bersifat empiris dan institusional. Hal ini kemudian memunculkan para pemikir yang lebih mengedepankan dimensi legal formal (eksoterik, fiqh) ajaran Islam, seperti Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali. Munculnya berbagai pemikiran eksoterik ini juga melahirkan sebuah dialektika tersendiri. Apalagi masing-masing aliran (al-madhhab) saling berusaha untuk mencari legalitas dari pemerintah yang berkuasa.
Polemik madzhab ini pada masa al-Ghazali, antara lain, bisa dilihat pada upaya bani Saljuk melalui tangan wazir mereka, ‘Amid al-Mulk Mansur b. Muhammad al-Kandari, dalam memperkuat madzhab Hanafi dan menentang madzhab ‘Ash’ari dan Shafi’i. Mereka bukan hanya menghina madzhab ini, tapi juga melarangnya untuk masuk dalam pendidikan, dan mengucilkannya dari pertemuan umum. Disamping itu mereka juga menyerang orang-orang Mu’tazilah yang menganggap dirinya telah mengikuti madzhab Hanafi. Sampai-sampai Abu al-Faraj al-Juzi mengatakan bahwa ‘Amid al-Mulk itu adalah orang yang sangat fanatisme terhadap madzhab Hanafi.[10] Gerakan ini yang kemudian mendorong Qiwam al-Din Nizam al-Mulk untuk mendirikan al-Madrasah al-Nizamiyah sebagai tempat pengajaran paham ‘Ash’ariyah dan Shafi’iyah, yang sekaligus sebagai penolong kedua paham tersebut.[11]
Namun kecenderungan eksoterik kaum fuqaha’ ini juga telah melahirkan polemik lain. Kaum esoteris, sufi, menganggap bahwa upaya kaum fuqaha’ itu hanya akan menyempitkan orientasi ajaran Islam saja. Mereka kemudian memberikan reaksi dengan lontaran pemikiran-pikiran esoteriknya. Tapi karena esoterismenya, kaum sufi ini, secara politis kurang mendapat legalitas dari pemerintah yang berkuasa, sehingga mereka lebih banyak berperan sebagai oposisi, meski mereka pernah menang gemilang dan mendirikan Dinasti Shafawiyah di Iran.[12]
Perkembangan Islam pada masa al-Ghazali memang telah mengalami percabangan yang masing-masing pihak saling mengklaim sebagai Islam yang autentik, kalau tidak menuduh kepada pihak lainnya sebagai bukan Islam.[13]
Kongklusinya, pada masa al-Ghazali (abad ke-XI) dialektika intlektual umat Islam sudah sedemikian komplek. Dan hal ini oleh Muhammad Sadiq ‘Urjun, justru dinilai telah memberikan corak tersendiri bagi peradaban Islam. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kajian-kajian keislaman pada masa itu tidak lagi hanya mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadith, tetapi juga pada khazanah intelektual seluruh manusia, sehingga peradaban yang ada tidak bisa lagi diklaim sebagai milik orang Timur, Barat, Islam, atau yang lain saja. Akan tetapi lebih merupakan peradaban manusia.[14]
Dinamika peradaban umat Islam yang fragmentaristik seperti yang tergambarkan diatas, di mata al-Ghazali masih terdapat celah untuk dicarikan jalan kompromi, sehingga konflik ideologi ilmiah itu tidak terus berkepanjangan. Jalan rekonsiliasi yang ditempuh oleh al-Ghazali inilah yang oleh Nurcholish Madjid[15] dipahami sebagi sikap solidaritas al-Ghazali terhadap umat Islam. Pemikiran rekonsiliasif al-Ghazali ini dikumpulkan dalam Ihya’ al-‘Ulum al-Din, dimana secara konprehensif ia menyatukan orientasi eksoterik yang diwakili oleh ahli fiqh dan orientasi esoterik yang diwakili oleh kaum sufi.
Pada sisi yang lain, al-Ghazali juga berusaha memurnikan filsafat yang dianggapnya telah menyimpang dari sumber ajaran agama. Sebenarnya sasaran utama al-Ghazali, seperti penegasan Abd al-Mun’im Majid, adalah kaum Shi’ah, dimana mereka dianggap sudah terlalu jauh memasukkan filsafat dalam wilayah agama, sementara ia sendiri meyakini suatu pemahaman agama itu harus berdasarkan pada sunnah.[16] Dalam hal ini al-Ghazali berusaha mempertahankan dasar-dasar normatif dalam memahami agama (kashf), sekaligus ia menawarkan upaya antisipasi agar seseorang dapat terhindar dari kesesatan dan bid’ah.
Al-Ghazali memulai usahanya ini dengan membeberkan pokok-pokok pikiran filsafat dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Ia lebih dulu menjelaskan hal-hal yang menjadi bidikan bantahannya.[17] Dan disusul kemudian dengan Tahafut al-Falasifah, sebagai medium serangan itu sendiri. Melihat pada upaya pemurnian itulah, Sayyid Husain Nasr, mengkategorikan buku ini sebagai sebuah karya dalam ilmu kalam.[18] Dan juga melihat pada motif itulah kemudian al-Ghazali diberi gelar Hujjah al-Islam.[19]

Kontraversi terhadap al-Ghazali
Penyeleseian yang diberikan oleh al-Ghazali ini, meski tidak sempurna tapi komprehensif. Dan juga konsep al-kasb (equisision) ilmu kalam al-‘Ash’ari sebagai penengah paham Jabariyah dan Qodariyah yang didukungnya telah berhasil menimbulkan equilibrium sosial yang tiada taranya, sehingga kegiatan intlektual umat Islam pasca al-Ghazali tidak lagi semarak seperti sebelumnya.[20]
Akan tetapi hal ini bukan satu-satunya sebab kevakuman umat, mengingat kekalahan umat Islam atas bangsa Mongol dan pindahnya sentra-sentra kegiatan ilmiah dari dunia Islam ke Eropa,[21] telah menimbulakan sikap traumatik yang berkepanjangan, yang konon sampai saat ini umat Islam belum mampu sepenuhnya bangkit dari kevakuman tersebut.
Pikiran al-Ghazali tentang rekonsiliasi ideologi ilmiah, dan bantahannya terhadap beberapa pemikiran filsafat yang dianggapnya tidak bersumber pada ajaran Islam, terutama pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, disinyalir telah hampir mematikan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di kalangan umat (rasionalisme Islam), yang disusul kemudian dengan merebaknya kejumudan umat.
Al-Ghazali mendasarkan upaya rekonsiliasi ideologi ilmiahnya pada pembagiannya terhadap ilmu. Ia membagi ilmu menjadi dua: ilmu fard ‘ayn dan fard kifayah. Termasuk ilmu yang masuk dalam kategori fard ‘ayn adalah ilmu keagamaan, seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan lain-lain. Adapun yang masuk dalam kategori fard kifayah adalah ilmu keduniawian, seperti ilmu kedokteran, fisika, astronomi, biologi dan lain-lain.[22] Kedua kategori ini yang selanjutnya dijadikannya sebagai basis etis bagi ilmu.[23]
Pembagian ilmu secara demarkatif ini disinyalir bisa mengalihkan pusat perhatian umat Islam pada ilmu-ilmu agama demi keselamatannya di akhirat, “mengabaikan” ilmu-ilmu keduniawian. Tidak heran kemudian apabila al-Ghazali sering diasosiasikan dengan sikap-sikap pasif. Apalagi jika hal ini ditambah dengan pengkafirannya terhadap para filusuf, pada satu sisi, dan pengajarannya tentang konsep‘uzlah-nya,[24] pada sisi lain, maka sikap pasif umat Islam juga akan semakin akut.
Namun, sebenarnya tuduhan tersebut masih dapat ditinjau ulang, melihat pada satu sisi, motifasi al-Ghazali dalam merumuskan bantahan-bantahannya, sebenarnya tidak bermaksud untuk “membunuh” filsafat, akan tetapi ia hanya tidak ingin kalau seorang filusuf muslim menjadikan filsafat Yunani sebagai sumber bagi pemikiran Islam, sebab secara azasi jelas terdapat perbedaan dengan Islam, seperti tentang alam dan wujud. Filsafat Yunani tidak didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan risalah-risalaNya, hanya didasarkan pada kepercayaan pada semacam penitisan ruh (tanasukh al-arwah) yang bisa ditemui pada agama-agama klasik di Timur. Sementara orang muslim jelas telah beriman kepada Tuhan dan risalah-risalahNya tersebut. Oleh karena itu al-Ghazali ingin meletakkan filsafat secara proporsional, sehingga seseorang dapat terhindar dari tipuan-tipuan filsafat. Al-Ghazali tidak menhendaki filsafat Yunani (apa adanya) itu dijadikan sebagai sumber pemikiran Islam, seperti apa yang  telah dilakukan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Filsafat itu hanya sekedar alat, bukan sumber utama.[25]
Dan pada sisi yang lain, al-Ghazali juga masih memakai pemikiran-pemikiran filsafat, meskipun dari “musuh-musuhnya”. Seperti pemikiran tentang kejiwaan, ia tetap memakai pikiran-pikiran al-Farabi dan Ibn Sina, sebagaimana ia juga tetap memakai logika Aristoteles.[26] Bahkan ia telah menyatakan bahwa karya al-Farabi dan Ibn Sina merupakan karya filosof yang terbaik.[27]
Hal ini relevan dengan pernyataan Abd al-Halim Mahmud bahwa pada hakekatnya polemik yang terjadi saat itu hanya berkisar pada dasar logika (sumber) suatu pemikiran, bukan pemikiran itu sendiri.[28] Seperti tentang tiga masalah yang dipakai dasar al-Ghazali untuk mengkafirkan para filusuf, yaitu qadimnya alam, Allah tidak mengetahui juz’iyah, dan kebangkitan ruhani saja nanti di akhirat.[29] Bagi al-Ghazali, ketiga hal ini merupakan masalah-maslah metafisik, yang tidak akan mampu ditembus dengan akal,[30] sebab akal itu tidak akan bisa sampai pada hakekat. Wujud Allah itu tidak akan mampu ditembus oleh ilmu dan bahkan filsafat metafisika pun.[31]
Adapun tentang konsep ‘uzlah, al-Ghazali hanya menawarkan upaya antisipasi, agar umat Islam tidak terkecoh oleh kehidupan duniawi, sehingga mereka tidak terseret dalam praktek-praktek kezaliman. Relevan dengan sebuah filsafat Jawa “eling lan waspada”.[32]
Bukankah Cyril Glasse dalam The Concise Encyclopedia of Islam telah menggambarkan bahwa al-Ghazali telah mampu membawa suatu zaman yang mengakhiri masa pertikaian dan sekaligus mengawali sebuah zaman baru,[33] sehingga sepeninggalnya doktrindoktrin Islam telah terlepas dari berbagai lilitan pemikiran duniawi, dan mampu mengembangkan ekspresinya secara penuh?[34] Al-Ghazali itu ibarat lensa cembung yang menangkap berbagai sinar cahaya, lalu menyatukannya kembali. Sungguh ia telah mengantarkan umat Islam pada tahapan sejarahnya yang kedua,[35] dimana mereka telah mampu mencapai langkah-langkah kesatuan dan kerukunan. Dan secara kebetulan muncul di kalangan mereka untuk menyusun dan mengendalikan kegiatan intlektual agar menjadikannya sebagai respon terhadap perlunya sebuah peradaban yang agamis.[36]
Dengan demikian, apakah tuduan tersebut bukan hanya merupakan “kambing hitam” sejarah umat Islam ketika terjadi suatu koinsidensi berupa berpindahnya ilmu pengetahuan Islam ke Barat setelah kekalahan umat Islam dari bangsa Mongol, yang kemudian kurang lebih empat abad berikutnya (abad ke-XVI) Barat mengalami kebangkitan kembali (renaissance)?



[1] Suharsono dalam kata pengantarnya terhadap bukunya Seyyed Hossein Nasr, Intlektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis,  terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), vi
[2] Meminjam Istilah Abdul Munir Mulkan dalam Paradigma Intlektualisme Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 16
[3] Hal ini seperti penilaian Ahmad Amin tentang pembentukan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah. Menurutnya kebudayaan Abbasiyah itu terbentuk dari akulturasi tujuh kebudayaan besar, yaitu kebudayaan Persia, India, Yunani, Arab, Nasrani, Yahudi dan Islam. Lihat Ahmad Amin, Duha al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, t.t.), 163
[4] Tentang Kosmopelitanisme Kebudayaan Islam ini bisa dilihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 441-445
[5] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), 3
[6] Mustafa Jawad, “’Asr al-Imam al-Ghazali” dalam ‘Abu Hamid al-Ghazali fi al-dhikri al-Mi’wiyah al-Tasi’ah li Miladih, (Mahrajan al-Ghazali fi Dimisq: al-Majlis al-‘A’la li Ri’ayah al-funun wa al-Adab wa al-‘Ulum al-Ijtima’iyah, 1961), 499
[7] ‘Abd al-Karim ‘Uthman, Ma’alim al-Thaqafah al-Islamiyah (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 377
[8] Jawad, “’Asr al-Imam, 501
[9] Jalal Muhammad ‘Abd al-Hamid Musa, Nash’at al-Ash’ariyah wa Tatawwuriha (Bairut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1975), 417
[10] Jawad, “’Asr al-Imam, 496
[11] Ibid, 497
[12] Madjid, Kaki Langit, 5
[13] Cyril Glasse, “al-Ghazali” dalam The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper, 1989), 138
[14] Muhammad Sadiq ‘Urjun, “Miftah shakhshiyah al-Ghazali: Hal Shukka Hujjah al-Islam” dalam ‘Abu Hamid, 831-832
[15] Madjid, Kaki Langit, 86
[16] ‘Abd al-Mun’im Majid, Tarikh al-Hadarah al-Islamiyah fi al-’Usur al-Wusta (Kairo: Maktabah al-Injilu al-Misriyah, 1978), 220
[17] Muhammad Lutfi Jam’ah, Tarikh Falasifah al-Islam fi al-Mashriq wa al-Maghrib (Bairut: Al-Maktabah al-Ilmiyah, tt), 69
[18] Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), 184
[19] Madjid, Kaki Langit, 86
[20] Ibid, 6
[21] Ibid.
[22] Lihat Al-Ghazali, Ihya’ al-‘Ulum al-Din, vol. 1 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), 13-28
[23] Bakar, Hierarki, 235
[24] Madjid, Kaki Langit, 88-89
[25] ‘Uthman, Ma’alim al-Thaqafah, 379
[26] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 73
[27] Bakar, Hierarki, 284
[28] Abd al-Halim Mahmud, Al-Munqid min al-Dalal li Hujjat al-Islam al-Ghazali (Kairo: Dar al-Nasr li al-Tiba’ah, 1968), 63
[29] Sulaiman Dunya, Mi’yar al-’Ilm li al-Imam al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr, t.t), 11
[30] Mahmud, Al-Munqid, 62
[31] Ibid, 64
[32] Madjid, Kaki Langit, 89
[33] Glasse, “al-Ghazali”, 138
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.