Kamis, 24 November 2011

Mengenal Kalender Hijriyah

Kalender Hijriyah (at-taqwim al-hijri) adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti tanggal 9 Dzulhijjah untuk wukuf di Arafah bagi para jamaah haji, bulan Ramadan untuk berpuasa, dll., atau hari-hari penting lainnya, seperti tanggal 1 Muharram untuk peringatan tahun baru, 10 Muharram untuk hari Asyuro, 12 Rabiul Awal untuk maulid Nabi, 27 Rajab untuk Isra’ Mi’raj, 17 Ramadan untuk Nuzulul Qur'an, dll.
Penamaan kalender ini dengan Kalender Hijriyah adalah dinisbatkan (didasarkan) pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yang terjadi pada tahun 622 M. Penetapan awal diberlakukannya kalender ini adalah pada tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M oleh khalifah Umar bin Khattab.
Sebelum penetapan tersebut, umat Islam masih menggunakan sistem kalender yang telah berlaku sejak masa pra Islam. Di tanah Arab sebelum datangnya Islam memang telah dikenal sistem kalender yang berbasis campuran antara Bulan (qomariyah) dan Matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi).
Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun kelahiran Nabi Muhammad dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu terjadi penyerbuan Ka’bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Gubernur Yaman, Abrahah (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Pada masa Nabi sendiri umat Islam masih menggunakan sistem kalender tersebut. Namun pada tahun ke-9 periode Madinah Nabi melakukan revisi terhadap sistem kalender tersebut. Tepatnya setelah turunnya ayat 36-37 Surat At-Taubah, yang melarang menambahkan hari dan bulan (interkalasi) pada sistem penanggalan.
Setelah Nabi wafat, para sahabat berselisih pendapat terkait dengan kapan dimulainya tanggal dan tahun ke-1 pada Kalender Islam. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi sebagai awal patokan penanggalan. Ada juga yang mengusulkan wafatnya Nabi sebagai awal patokan penanggalan Islam.
Sampai akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), khalifah Umar bin Khatab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagai hari pertama tahun ke-1 Hijriah, meskipun peristiwa hijrah Nabi sendiri terjadi pada bulan Rabiul Awal.
Awal mula yang mengusulkan pembuatan kalender adalah Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Kufah. Pilihan tahun hijrahnya Nabi sebagai tahun pertama adalah usulan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Muharram dipilih sebagai bulan pertama adalah usulan Utsman bin al-Affan.
Penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal pada Kalender Hijriyah berbeda dengan pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut.
Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.
Siklus sinodik bulan pada faktanya bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam Kalender Hijriah bergantung pada posisi bulan, bumi dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi, dan pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion).
Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dengan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). Dari sini terlihat bahwa usia bulan tidak tetap melainkan berubah-ubah (29 - 30 hari) sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut.
Penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan baku bulan-bulan apa saja yang memiliki 29 atau 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.
Aktivitas untuk mengetahui penampakan hilal disebut rukyat, yakni mengamati penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah bulan baru (ijtima). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Apabila hilal terlihat maka pada petang tersebut telah memasuki tanggal 1.
Sedangkan hisab adalah melakukan perhitungan untuk menentukan posisi bulan secara matematis dan astronomis. Hisab merupakan alat bantu untuk mengetahui kapan dan dimana hilal dapat terlihat. Hisab seringkali dilakukan untuk membantu sebelum melakukan rukyat.
Penentuan awal bulan ini menjadi sangat signifikan terutama untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti bulan Ramadan (puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).

Kamis, 17 November 2011

Tafsir Untuk Perempuan


Watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kaum lemah (mustadl’afin), menurut Asghar Ali Enginner, merupakan salah satu problem mendasar keimanan. Problem ini jika diajukan kepada Islam maka akan ditemukan solusinya, yaitu bangunan Islam pembebas seperti terkandung dalam al-Qur’an dan rentang sejarah Nabi.
Kedua sumber utama Islam itu memang telah memberi dasar kuat tentang keberpihakan teologis kepada kaum lemah. Keduanya telah mengajarkan tentang menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, menekankan agar kapital tidak hanya berputar di segelintir orang, dan mengangkat martabat perempuan setara dengan laki-laki.
Dalam bukunya, Islam and Liberation Theology (1990), Asghar kemudian merumuskan teologi pembebasan yang tetap merujuk pada kedua sumber utama Islam tersebut. Konstruksi teologi yang dibangun Asghar berbeda dengan teologi klasik (ilmu kalam) yang sempat berkembang pesat pada abad ke-2 H. Teologi klasik itu masih berkutat pada wacana metafisik-transendental yang abstrak. Sementara teologi yang dikehendaki Asghar adalah bersifat konkret, aplikatif, dan berpijak pada persoalan kemanusiaan kontekstual.
Perbedaan lain dengan teologi klasik adalah kecenderungannya sebagai penopang ideologi kekuasaan, teologi pembebasan Asghar justru meneguhkan keberpihakannya kepada kaum mustadl’afin untuk membebaskannya dari segala bentuk tirani dan penindasan.
Sumber utama teologi pembebasan Asghar adalah al-Qu’ran dan sejarah Nabi. Namun dia tidak mau terjebak pada wacana tekstual semata, dia lebih menekankan pada aspek praksis dengan mengkombinasikan antara refleksi dan aksi, iman dan amal. Meminjam istilah Amin Abdullah, Asghar menjadikan normativitas dan historisitas Islam sebagai pertimbangan utuh dalam membangun konsepsi teologinya.
Hal ini tergambar jelas misalnya pada konsep Asghar tentang takdir. Dia tidak melihat takdir hanya sebagai konsep metafisik, tetapi dia juga memahami bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan takdirnya sendiri. Penelitiannya tentang sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan pemahaman itu, terutama mengenai relasi antara kaum mustakbirin (orang-orang yang kuat dan sombong) dan kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah dan tertindas).
Asghar mendapati dalam hubungan itu kaum mustadh’afin selalu terkalahkan. Dan di dalam spasio temporal yang berbeda-beda selalu ada orang-orang dalam agama-agama tertentu yang menyuarakan pembebasan bagi mereka. Tegasnya, manusia sendirilah yang menentukan penindasan terhadap manusia yang lain. Karenanya manusia juga yang seharusnya membebaskan belenggu penindasan tersebut.
Salah satu komunitas yang masuk dalam kategori tertindas adalah kaum perempuan. Asghar memberikan perhatian khusus pada persoalan ini dengan menulis buku yang diberi judul The Rights of Women in Islam (1992). Dalam buku ini, dia membuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi martabat perempuan. Dia kemudian mengkonstruksi tafsir al-Qur’an khusus mengenai ayat-ayat tentang perempuan.
Asghar menganalisis beberapa ayat yang oleh banyak kalangan dianggap mendiskreditkan perempuan, seperti an-Nisa/4:3 tentang poligami, an-Nisa/4:11 tentang hak waris bagi perempuan, al-Baqarah/2:282 tentang kesaksian perempuan, an-Nisa/4:34 tentang larangan kepemimpinan perempuan dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz.
Ayat-ayat tersebut sering diajukan oleh para orientalis sebagai bukti normatif ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Di sisi lain kaum muslimah sendiri sering menanggapinya secara dilematis antara menerimanya sebagai suatu konsep keadilan Islam bagi perempuan dan meragukannya karena pada kenyataannya secara manusiawi telah mengusik rasa keadilan bagi mereka.
Dileman ini, menurut Asghar, merupakan akibat dari cara baca yang tidak fair terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu cenderung mengambil pesan normatifnya dan mengabaikan spirit yang menjadi latar sosiologis munculnya pesan tersebut. Dia kemudian mengajukan metodologi tafsir untuk mendapatkan pemahaman yang komprehenship, yaitu dengan memilah antara ayat normatif dan ayat kontekstual.
Yang dimaksud ayat normatif adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan normatif atau mengandung nilai universal sehingga merupakan sesuatu yang seharusnya (das solen) dan berlaku sepanjang masa. Sedang ayat kontekstual adalah adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan kontekstual atau sangat berkait dengan konteks masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat kontekstual biasanya menguraikan tentang kenyataan sosial atau apa yang terbaik saat turunnya ayat tersebut (das sein).
Urgensi pemilahan ini adalah untuk memudahkan pembedaan antara apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah dan realitas sosial yang dibangun oleh masyarakat pada saat turunnya ayat. Sebab al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi ada fakta empiris-sosial yang dipertimbangkan. Dengan pertimbangan ini al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana al-Qur’an diturunkan, di samping norma-norma universal yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan referensi untuk diberlakukan pada suatu masa ketika realitas masyarakat lebih kondusif.
Yang dimaksud Asghar dengan ayat-ayat normatif adalah seperti ayat tentang prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan. Ayat-ayat yang memuat norma atau prinsip dasar al-Qur’an kaitannya dengan persoalan kesetaraan gender, seperti an-Nisa/4:1 tentang penciptaan manusia dari esensi yang sama, al-Isra’/17:70 tentang pemuliaan anak-anak Adam, dan al-Ahzab/33:35 tentang pahala yang sama bagi laki-laki atau perempuan yang bertakwa, bagi Asghar, merepresentasikan revolusi besar dalam pemikiran egalitarianisme dan sekaligus simbol deklarasi kesatuan manusia dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan ayat-ayat kontekstual adalah seperti ayat tentang poligami, hak waris perempuan, kesaksian perempuan, larangan kepemimpinan perempuan, dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz seperti yang telah disebut di atas. Pertama, ayat tentang poligami (an-Nisa/4:3). Diperbolehkannya poligami pada masa Nabi karena pada saat itu poligami merupakan jalan terbaik untuk mengangkat martabat perempuan. Ayat itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah perempuan yang diperistri. Anggota suku Quraisy saja pada umumnya mempunyai istri 10 orang. Batasan hanya beristri empat orang seperti yang tercantum di dalam ayat tersebut merupakan langkah yang revolusioner.
Di samping itu, praktik poligami pada masa Nabi juga tidak terlepas dari peperangan yang berkelanjutan, yang berakibat pada banyaknya janda dan anak yatim dalam komunitas muslim. Namun demikian, diperbolehkannya poligami itu dengan catatan dapat berbuat adil terhadap perempuan. Dengan demikian, dibolehkannya poligami harus mempertimbangkan secara ketat situasi dan kondisi yang ada, sehingga meski situasi dan kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk monogami jika tidak mampu berbuat adil.
Menurut Asghar, ajaran normatif ayat tersebut adalah monogami. Sedangankan poligami merupakan ajaran kontekstual. Namun sangat disayangkan yang terjadi malah memahami ajaran kontekstual ini sebagai ajaran normatif yang berlaku sepanjang masa dan dalam situasi apa pun. Padahal saat ini alasan poligami sebagai cara mengangkat martabat perempuan menjadi tanda tanya besar.
Kedua, ayat tentang hak waris perempuan yang mendapat setengah dari bagian lelaki (an-Nisa/4:11). Secara kontekstual ayat ini juga merupakan upaya mengangkat martabat perempuan. Pada masa pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Kebanyakan dari mereka malah diperlakukan sebagai bagian dari harta yang diwariskan. Tegasnya, pemberian hak waris kepada perempuan merupakan suatu gerakan revolusioner. Apalagi di dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu, sehingga perempuan tidak lagi diwariskan tetapi justru berhak menerima warisan dan bahkan bisa mewariskan hartanya.
Ketiga, ayat tentang kesaksian perempuan separuh dari laki-laki (al-Baqarah/2:282). Kesaksian yang maksud dalam ayat ini hanya pada persoalan transaksi keuangan, bukan yang lain. Asghar berpandangan bahwa ayat itu sebenarnya tidak mereduksi kesaksian perempuan menjadi separuh dari laki-laki. Tetapi pada saat seorang perempuan akan memberikan kesaksian dia harus didampingi oleh seorang perempuan lain.
Keharusan ini mempertimbangakan kenyataan bahwa secara umum perempuan pada saat ayat itu diturunkan kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal keuangan. Wajar, karena pada saat itu perempuan memang tidak banyak mengambil bagian dalam bisnis, sehingga mereka tidak mampu memahami perihal transaksi bisnis dan keuangan. Karenanya dua perempuan diharuskan sebagai pengganti satu laki-laki.
Penetapan ini tidak merefleksikan apapun terhadap moral dan intelektual perempuan sehingga menjadi inferior. Dengan demikian, semangat al-Qur’an pada dasarnya adalah penyetaraan, tetapi karena kearifan al-Qur’an, di mana para perempuan pada umumnya saat itu kurang memahami urusan bisnis dan keuangan, sehingga memutuskan agar didampingi oleh perempuan lain. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari akses bisnis dan keuangan saat itu yang masih dikuasai oleh laki-laki.
Keempat, ayat tentang larangan kepemimpinan perempuan dan dibolehkannya suami memukul istri yang sedang nusyuz (an-Nisa’/4:34). Kata kunci yang sering dipahami sebagai larangan adalah kata qawwam, yang biasa diartikan penguasa atau pemimpin. Oleh ulama ortodoks kata itu merupakan legitimasi superioritas laki-laki atas perempuan hingga martabatnya di bawah laki-laki.
Asghar menolak tegas pemahaman tersebut. Menurutnya, superioritas itu hanya sebagai keunggulan dalam memperoleh harta kekayaan dan fungsi membelanjakan harta untuk kebutuhan kaum perempuan. Artinya, superioritas dibentuk oleh fungsi sosial bukan pada jenis kelamin. Di sisi lain, tidak fair jika peran domistik perempuan tidak diperhitungkan sebagai produktivitas ekonomi. Adalah tidak adil kalau nilai moneter tidak diletakkan dalam tugas domestik, sebagaimana kaum laki-laki yang bekerja di luar rumah, maka kaum perempuan pun semestinya mendapat nilai dengan melengkapinya bekerja di dalam rumah.
Adapun tentang memukul istri yang sedang nusyuz, Asghar menyatakan bahwa turunnya ayat ini merupakan respons terhadap kebiasaan orang Arab berupa memukul istrinya yang dianggap membangkang. Ayat ini diturunkan terkait dengan kasus Sa’ad bin Rabi, seorang pemimpin golongan Anshar, yang telah memukul istrinya Habibah bin Zaid yang membangkang terhadap dirinya. Habibah kemudian mengadukan hal itu kepada ayahnya, dan oleh sang ayah, kasus itu diteruskan kepada nabi Muhammad.
Nabi pada saat itu memberi jawaban agar Habibah membalas pukulan suaminya itu. Mendengar keputusan nabi tersebut, kaum lelaki yang berada di Madinah merasa keberatan, dan berusaha menentang saran rasul tersebut. Nabi pada saat itu sadar betul, bahwa penentangan mereka itu didasarkan oleh struktur sosial yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada laki-laki di hadapan kaum hawa.
Dengan demikian, secara kontekstual, sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan ini secara sekaligus. Karenanya ayat ini diturunkan sebagai satu upaya membatasi meluasnya kekerasan, yaitu dengan memberikan peluang kepada laki-laki untuk melakukan pemukulan terhadap perempuan. Asghar menyatakan bahwa ayat ini bukan menganjurkan kaum laki-laki untuk memukul istrinya, tetapi sebaliknya, mencegahnya secara gradual, sebelum kemudian dihapus sama sekali. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sabtu, 12 November 2011

Berpikir Bebas Dalam Beragama

“Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.” (Ahmad Wahib).

Barangkali kalau catatan hariannya tidak dibukukan oleh teman dekatnya, Djohan Effendi, nama Ahmad Wahib benar-benar terkubur bersama jasadnya. Seorang pemuda berdarah Madura yang turut mewarnai pergolakan pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. Sayang, ia mati muda, sebelum sempat melakukan pengkajian lebih dalam terhadap pemikiran liar dan non-mainstreaming yang ia catat dalam diarenya.
Tidak heran kalau nama Ahmad Wahib luput dari perhatian para Indosianis, seperti Prof. B.J. Boland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, saat mereka melakukan pengkajian tentang gerakan pemaruan Islam di Indonesia.
Baru pada tahun 1981, delapan tahun meninggalnya (31 Maret 1973), saat catatan hariannya diterbitakan oleh LP3ES dengan judul yang provokatif, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, nama Wahib kembali diingat dan memperoleh puncak popularitasnya.
Usia Wahib yang pendek dan posisinya sebagai “intelektual di balik layar” memang membuat nama pemuda berperawakan kecil dan kurang meyakinkan ini tidak banyak dikenal. Tetapi di kalangan pemuda dan mahasiswa yang gandrung pada ide-ide pembaruan dan kawan-kawannya, seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, ia dikenal sebagai pemuda yang agresif menyuarakan pentingnya pembaruan di tubuh Islam.
Sikap agresif Wahib mula-mula muncul dalam diri yang ditemuinya selalu gelisah. Kegelisahan ini tampak misalnya dalam catatanya, “Aku ingin al-Qur’an itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimanakah mengintegrasikan al-Qur’an itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu akan kebenaran-Mu.
Adalah kegelisahan yang mendorong Wahib untuk menyerukan berpikir bebas dalam rangka mencari kebenaran. Berpikir bebas bukan saja hak melainkan sebuah kewajiban. Orang yang berpikir, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir.
Berpikir bebas meniscayakan tidak adanya batasan dalam pemikiran keagamaan. Karenanya, Wahib menolak pemikiran keagamaan yang dibatasi dengan tauhid sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Ia tidak menginginkan Islam yang membatasi kebebasan berpikir. Ia lebih memilih menjadi seorang kafir, atau paling tidak, muslim setengah hati, jika memang Islam memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak dipikirkan.
Wahib yakin Tuhan tidak membatasi pikirannya. Dia malah bangga dengan otaknya yang selalu bertanya-tanya tentang-Nya. “Aneh,” tulisnya, “mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri?” Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku, dan Dia tak akan mau dibekukan
Meski demikian, Wahib sebenarnya tidak sampai pada tingkat mendewakan kekuatan berpikir manusia seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia memang ada batasnya, tetapi batasan itu baru akan diketahui setelah manusia berkali-kali mencoba menembusnya dan selalu gagal. Otak manusia tidak akan mampu melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah begitu, tidak ada gunanya mempersoalkan batas, karena yang di luar batas itu sudah di luar kemampuan.
Piranti berpikir bebas ini kemudian digunakan Wahib untuk mengkritisi masalah-masalah sosial, politik, budaya dan, terutama, agama. Pada masalah agama, Wahib tidak segan-segan mengkritik sikap-sikap keberagamaan yang ekslusif dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sudah established.
Alih-alih Wahib menyerukan kepada umat Islam untuk tidak takut menggunakan piranti berpikir bebas tentang agama, termasuk berpikir pada wilayah eksistensi Tuhan. Ia menegaskan, “Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.”
Berpikir bebas ini mutlak diperlukan bagi upaya pembaruan Islam. Sebagaimana mutlaknya keharusan pembaruan Islam itu sendiri, seiring dengan perubahan struktur sosial yang dipicu oleh perubahan sosio-politik, terpuruknya kekuatan politik umat Islam, dan terjadinya ketegangan di internal umat Islam sendiri kaitannya dengan upaya merespon modernisme.
Ketegangan yang terjadi di kalangan modernis Islam telah sampai pada titik ekstrim, yaitu kelompok yang cenderung melibatkan agama secara total dalam setiap segi kehidupan dan kelompok yang mengeksklusi agama untuk berperan dalam perubahan sosial. Padahal, keduanya telah terjerembab dalam lubang kekeliruan yang sama. Faksi pertama abai terhadap elan vital wahyu karena lebih mengedepankan historical setting-nya. Dan faksi kedua cenderung menafikan peran agama sebagai penjelas realitas sosial.
Ketegangan itu kemudian diurai oleh Wahib dengan membedakan Islam das sollen dan Islam das sein. Islam das sollen adalah statis, abadi, universal dan sempurna. Ia menjadi sumber moral yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Islam dalam pengertian ini bukan merupakan Islam barang jadi tinggal pakai, bukan Islam yang secara rinci mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanya merupakan titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Berbeda dengan Islam das sein, Islam dalam pemahaman umat. Islam ini dinamis dan akan terus mengalami perubahan seiring perubahan ruang dan waktu. Tegasnya, terdapat perbedaan antara (agama) Islam dan konseptualisasi terhadapnya. Kesadaran seperti ini yang tampaknya tidak dimiliki oleh mayoritas umat Islam, sehingga mereka cenderung menganggap pemahamannya terhadap Islam merupakan pemahaman menurut Tuhan.
Melalui penegasan ini tampaknya Wahib berusaha mengambil posisi tengah di antara dua faksi kelompok modernis yang masih terbuai oleh pemahaman keagamaan yang dogmatis dan parsial. Mereka tidak mau berpikir terlalu jauh atau berpikir bebas karena takut pada murka Tuhan.
Wahib ragu bahwa manusia akan mampu menemukan Islam sebenar-benar Islam dalam pengertian Islam menurut pembuatnya sendiri, Allah. Sebab manusia merupakan makhluk yang profan, meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya merupakan suatu yang transendental. Yang dapat dilakukan manusia hanya mendekati Tuhan dan mendekati Islam yang sejati (das sollen), bukan meraihnya.
Di sisi lain, (agama) Islam juga memerlukan bentuk. Tetapi bentuk itu sendiri bukan agama.  Dalam hal ini, ajaran-ajaran Islam yang dipercayai secara penuh oleh Wahib hanya Allah dan Muhammad. Selain itu tidak mutlak, kondisional. Agama dalam pengertian peraturan-peraturan yang dibawa oleh Nabi Allah itu tidak mutlak dan tidak boleh dimutlakkan. Yang boleh dimutlakkan hanya Tuhan.
Al-Qur’an dan hadis merupakan bentuk final Islam di era formasi Islam. Tetapi keduanya bukan Islam itu sendiri, karena keduanya secara material merupakan hal yang profan, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat pada jamannya.
Karenanya, umat Islam secara individual perlu memberikan bentuk pada Islamnya yang tidak berbentuk. Dan bentuk tersebut semata-mata urusan individual sesuai dengan keunikan-keunikan dalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupan dan penafsirannya terhadap suatu bentuk sempurna yang telah pernah ada dalam sejarah Islam, yaitu sejaran Muhammad.
Sejarah Muhammad, menurut Wahib, merupakan sumber utama Islam, bukan al-Qur’an dan hadis. Bunyi al-Qur’an dan hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad sendiri. Dikatakan sebagian karena masih tersisa sejarah Muhammad yang lain, seperti struktur masyarakat, kebudayaan, struktur ekonomi, pola pemerintaha, hubungan luar negeri, adat istiadat, iklim, pribadi Muhammad sendiri dan para sahabatnya, dll.
Dengan meletakkan sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber Islam setiap individu muslim akan terlibat dalam tugas historical direction untuk mengisap dari sejarah itu sumber terang bagi masa kini. Dalam tugas ini, aktifitas spiritual dan intelektual akan ikut bicara. Orang yang mampu melaksanakan tugas ini dengan baik dan memahami tugas historical directian sebagai panggilan sekaligus direct communication with God, ia akan bisa memahami wahyu Allah secara komplit, yaitu wahyu Allah yang turun kepadanya selain al-Qur’an yang turun ke Muhammad.
Dengan demikian, apa yang transenden dan yang ideal harus didekati terus-menerus. Dan pada saat yang sama realitas alam semesta secara keseluruhan (kauniyah) juga harus dipersandingkan. Inilah tugas manusia sesuai fitrahnya. Apalagi manusia memang tidak mengetahui batas kemampuan pikirannya.
Proses serupa itu harus dilakukan secara terus-menerus. Untuk itu, Wahib menyatakan pentingnya gerakan pembaruan dan harus terus-menerus dijalankan, mengingat kompleksitas masalah keagamaan di satu sisi, dan perbedaan tantangan dari zaman ke zaman pada sisi lain. Sehingga proses pembaruan menjadi tuntutan yang tak bisa dielakkan.
Pembaruan berarti tidak mengenal kata selesai. Sebab ia senantiasa mencari dan terus mencari kebenaran. “… gerakan pembaruan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, dari yang lebih baik dari yang sudah baik.” tulis Wahib.

Selasa, 08 November 2011

Pentingnya Doa


“Doa adalah inti ibadah,” begitulah salah satu sabda Nabi tentang pentingnya doa. Doa di samping merupakan ibadah tersendiri ia juga menjadi inti ibadah-ibadah yang lain. Salat misalnya, bukan hanya karena arti harfiahnya adalah doa, tetapi merupakan sebuah ritual dengan gerakan tertentu yang disertai dengan serangkaian bacaan doa-doa.
Jika salat dikatakan sebagai sebuah media komunikasi yang sangat efektif antara seorang hamba dengan Tuhannya, maka jalinan komunikasi itu tidak lain terangkai dalam doa-doa yang dipanjatkannya mulai takbiratul ihram hingga salam.
Dengan demikian, doa tidak hanya merupakan ungkapan perasaan dan permohonan seorang hamba kepada Allah sebagai Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta, dan berorientasi pada dikabulkan atau tidak. Tetapi lebih merupakan wujud ketundukan dan kecintaan kepada Allah sekaligus kesadaran seorang hamba akan kelemahan dirinya dan kebesaran serta keagungan Penciptanya.
Orientasi doa hanya pada dikabulkan atau tidak justru hanya mempersempit media doa itu sendiri. Sebab kalau hanya sekedar untuk mendapatkan apa yang diinginkan seseorang bisa mengandalkan usaha dan kerja kerasnya, tanpa doa sama sekali. Bukankah kaum ateis dapat hidup dengan kondisi yang lebih baik dibanding dengan kehidupan orang yang beragama, beriman, dan selalu berdoa kepada Tuhan?
Bagi muslim sejati, doa merupakan pengakuan kelemahan diri dan kekuatan Tuhan. Pengakuan kemiskinan diri dan kekayaan Tuhan. Pengakuan kehinaan diri di depan kemuliaan Tuhan. Pengakuan ini yang pada gilirannya dapat membentuk sebuah pribadi yang kuat.
Ketika seseorang berdoa, “Ya Allah berilah aku rizki.” Kemudian ia berusaha keras dan memperoleh rizki tersebut, maka ia akan meyakini bahwa rizki yang ia peroleh itu merupakan pemberian Allah, dan ia akan bersyukur kepada-Nya.
Sikap seperti ini akan menghindarkannya dari sifat sombong (takabbur). Meminta rizki kepada Allah berarti mengakui dan meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik-Nya. Lalu dengan doa, seseorang meminta ijin dan kerelaann-Nya untuk mengambil dan menikmatinya. Dengan demikian, seseorang yang memperoleh kekayaan dunia tanpa doa, berarti telah mengambil milik Tuhan tanpa ijin dan bisa jadi tanpa keridhaan-Nya.
Di samping itu, doa juga merupakan sumber energi dan harapan menuju kebahagiaan. Doa juga menjadi salah satu jalan keluar bagi segala persoalan, sekaligus pintu kesuksesan. Ini karena sesungguhnya di dalam doa ada kekuatan, keyakinan, dan optimisme dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Allah berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina.” (QS. 40:60)
Nu’man bin Basyir menuturkan bahwa ayat ini dibacakan oleh Nabi setelah beliau bersabda “Doa itu adalah Ibadah.” Dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan sombong dalam ayat tersebut adalah menyombongkan diri dari berdoa.
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. 2:186)
Seorang hamba yang bersimpuh di hadapan Allah, menundukkan hatinya, lalu memohon dengan penuh kekhusuan dan keterpautan hati yang dalam dengan Allah, sesungguhnya ia sedang berjalan dan melangkah untuk mendapatkan kecintaan dan kedekatan dari-Nya.
Ketika ia mengangkat tangannya untuk berdoa, maka pada saat itu terjadilah hubungan langsung antara dirinya dengan Allah. Di saat seperti itu, Allah akan membuka pintu-pintu keutamaan dan kebaikan baginya, mendengarkan dan menyertainya dalam doa-doa yang dipanjatkannya.
Namun sebagai suatu permohonan sudah tentu memiliki implikasi diterima atau tidak. Untuk ini pun Allah telah memberikan kemudahan kepada manusia, yaitu hanya dengan berprasangka baik kepada-Nya, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah:
Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku kan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika ia menyebut-Ku di di tengah-tengah orang banyak, maka aku akan menyebutnya di tengah-tengah orang-orang yang lebih baik dari itu. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku kan datang kepadnya dengan berlari.”
Hadis ini menjadi petunjuk bahwa harapan dikabulkannya doa haruslah disertai dengan prasangka baik terhadap Allah dan keyakinan bahwa segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan sebaliknya segala yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Wallahu a’lam.

Minggu, 06 November 2011

Qurban

Hari raya yang diperingati umat Islam saat ini adalah Idul Adha. Dikatakan Idul Adha karena pelaksanaannya tepat pada waktu dhuha (saat matahari naik). Karenanya hewan yang disembelih dalam istilah fikih disebut udhiyah, yaitu hewan kambing, sapi, dan unta yang disembelih di waktu dhuha pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hari itu juga ada yang menyebut Idul Qurban. Sebutan ini mengacu pada inti ibadah saat itu, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Bahasa Arab upaya mendekatkan ini disebut qurban.
Alih-alih qurban merupakan salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui media menyembelih hewan kurban sebagai persembahan kepada Allah.
Mempersembahkan qurban kepada Tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Qabil dan Habil yang disitir Alquran dituturkan oleh Imam al-Qurtubi  bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik.
Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara laki-laki. Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang cantik.
Lalu mereka sepakat untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil mempersembahkan seikat buah-buahan dan Habil mempersembahkan seekor domba, lalu Allah menerima qurban Habil.
Qurban ini juga dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin Maryam.
Tradisi keagamaan dalam sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut. Kisah itu seperti terekam dalam Alquran surat al-Shaf (37) ayat 102-107.
Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail, maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan qurban, Allah menggantinya dengan seekor kambing. Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya qurban di dalam Islam.
Persembahan suci dengan menyembelih atau mengorbankan manusia juga dikenal peradaban Arab sebelum Islam. Disebutkan bahwa Abdul Mutalib, kakek Rasululluah, pernah bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu sebagai qurban.
Dalam undian keluarlah nama Abdullah, ayah Rasulullah. Tetapi kaum Quraisy yang mendengar rencana Abdul Mutalib itu melarang keras dengan alasan agar tidak diikuti oleh generasi setelah mereka. Abdul Mutalib kemudian sepakat untuk menebus nadharnya dengan 100 ekor unta.
Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah “Hai anak dua orang sembelihan.” Beliau pun hanya tersenyum. Dua orang sembelihan yang dimaksud adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Mutalib.
Persembahan manusia ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno,  India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang berharga lainnya.
Dalam sejarah Yahudi, mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia, yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci. Pada masa jahiliyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan unta ke Ka’bah sebagai qurban untuk Tuhan mereka. 
Ketika Islam turun diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.” (QS 5:2).
Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai, “Untuk apa sembelihan ini?” Belian menjawab, “Ini sunah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim.” Lalu sahabat bertanya, “Apa manfaatnya bagi kami?” Beliau menjawab, “Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan.” Sahabat bertanya, “Apakah kulitnya?” Beliau menjawab, “Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan.” Wallahu A’lam

Jumat, 04 November 2011

Qurban Humanis


Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Arti dekat ini menjadi keyword pengertian ibadah qurban, yaitu menyembelih hewan tertentu sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Ibadah qurban juga disebut udlhiyah, yaitu hewan yang disembelih  sebagai qurban. Perbedaan kedua istilah tersebut adalah, yang pertama lebih menekankan pada manusia yang melakukan ibadah qurban, sedang yang kedua pada menyembelih hewan yang menjadi bentuk ibadah.
Dasar ibadah qurban adalah firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Perintah dalam ayat tersebut tidak mengindikasikan sebagai sebuah kewajiban. Karenanya, mayoritas ulama memberi ketetapan hukum ibadah qurban dengan sunnah muakkadah (sunat yang dikuatkan), bukan wajib.
Imam Syafi'i misalnya, menyatakan hukum qurban adalah sunnah secara personal dan atau sekeluarga. Setiap orang disunnahkan sekali dalam seumur dan  sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, dimana kesunnahan ini terpenuhi bila salah satu anggota keluarga tersebut telah melaksanakannya.
Pendapat ini didasarkan pada riwayat Umi Salamah: Nabi bersabda, “Bila kalian  melihat hilal Dzul Hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah  qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak  disembelih.” (H.R. Muslim). Kata “menginginkan” memberi pengertian tidak adanya kewajiban.
Hanya Imam Hanafi yang memberi ketetapan hukum wajib. Dia mendasarkan pendapatnya pada hadis “Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim). Larangan Nabi untuk mendekati tempat shalat ini, menurutnya, menjadi petunjuk kuatnya perintah berqurban, sehingga hukum yang tepat adalah wajib.
Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, ibadah qurban memiliki hikmah dan manfaat yang sangat besar bagi umat Islam, baik secara sosial maupun individu. Secara sosial ibadah qurban di samping dapat menjadi perekat masyarakat dengan membagikan daging qurban kepada kaum fakir miskin, juga dapat mendatangkan keuntungan ekonomi terutama bagi para peternak.
Secara individu penghayatan terhadap ibadah qurban dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan kepasrahan, kesabaran dan keikhlasan, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail. Qurban dalam Islam memang merupakan wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba kepada Tuhan.
Simbolisasi kepasrahan dengan menyembelih hewan qurban bukan didasarkan pada mitos, melainkan sebagai bentuk pelestarian tradisi yang telah diletakkan oleh Nabi. Hal ini berbeda dengan tradisi pengorbanan yang ada pada agama-agama Kuna yang hanya didasarkan pada mitos, seperti di Yunani, Mesir, India dan “agama Maya” di Meksiko. Bahkan bentuk tradisinya juga sangat naïf, seperti meninggalkan bayi sendirian di atas bukit atau melemparkan seorang gadis suci ke sebuah sungai yang dianggap keramat, dll.
Simbolisasi kepasrahan dengan menyembelih hewan qurban memiliki dua dimensi yang berjalan secara bersamaan, yaitu dimensi ilahiyah (hahbl min Allah) dan dimensi insaniyah (habl min al-nas). Tegasnya, selain kepasrahan, kurban juga harus membawa manfaat bagi manusia (sosial).
Jika ditelurusi lebih jauh, tradisi qurban sebenarnya sudah ada masa Nabi Adam dan Hawa. Adam memerintahkan keduanya puteranya yang tengah berseteru, Qabil dan Habil, untuk berkurban. Bagi yang diterima, dia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Rinngkasnya, qurban Habil diterima dan tidak dengan kurban Qabil. Hal ini karena qurban Qabil tidak didasari ketakwaan pada Tuhan. Berbeda dengan Habil yang berqurban dengan ketakwaan dan kepasrahan total, serta dengan memilih domba yang baik.
Qurban Habil adalah contoh yang paling awal qurban yang berdimensi vertikal han horizontal. Sama halnya dengan qurban Ibharim. Dimensi vertikal kedua qurban tersebut sudah cukup jelas. Adapun manfaat secara horizontal qurban Habil adalah dia mendapatkan Iqlima sebagaimana kehendak ayahnya, Adam. Dan manfaat qurban Ibrahim adalah lestarinya tauhid yang didakwahkan secara turun-temurun oleh anak cucunya.
Memang kasusu qurban Ibrahim agak berbeda karena perintahnya adalah menyembelih Ismail. Namun pada pelaksanaannya Allah menggantinya dengan seekor domba. Perinstiwa tersebut di satu sisi merupakan bentuk unjuk kekuasaan Allah dan di sisi lain merupakan peringatan keras Allah kepada seluruh manusia bahwa segala bentuk qurban dengan mengorbankan nyawa manusia adalah salah besar.
Melalui peristriwa atraktif yang dialami Ibrahim dan Ismail tersebut Allah meletakkan dasar qurban yang humanis, qurban yang tidak hanya berhubungan denganNya tetapi juga yang membawa manfaat bagi manusia. Qurban yang menjadikan nyawa manusia memiliki manfaat bagi yang lain, bukan malah membinasan manusia dengan mencabut nyawanya atas nama Tuhan.
Dengan demikian, semangat berkorban yang dapat diambil dari tradisi qurban adalah semangat berbagi dan saling tolong-menolong dengan didasari nilai-nilai ketuhanan. Bukan mengorbankan nyawa atas nama Tuhan, seperti bom bunuh diri, yang pada kenyataanya malah meresahkan masyarakat. Wallahu a'lam bi al-shawab

Kamis, 03 November 2011

MEMBACA KARYA SASTRA {Elaborasi Hermeneutika Emilio Betti}

Dalam pemikiran hermeneutik Wilhem Dilthey terdapat dua prinsip, yang sekaligus menjadi keyword bagi pandangan-pandangannya, yaitu emphaty dan reliving. Disposisi yang kemudian menjadi metode berpikir ala “romantisisme” ini, bagi Emilio Betti, tidak cukuk memuaskan, bahkan dianggap tidak cukup mampu secara tegas “membedah” objek (teks). Untuk itu, ia berupaya merumuskan pemikirannya dari hal-hal yang belum disentuh oleh Dilthey. Ia menjadikan dirinya sebagai residu Dilthey.
Bagi Betti, untuk bisa sampai pada “mengerti” seseorang harus terlebih dahulu mampu menjernihkan persoalan. Setiap detail proses interpretasi mesti diteliti, termasuk metodologi yang dirumuskan untuk menentukan seberapa jauh kemungkinan pengaruh eksternal (subjek) terhadap objek interpretasi. Sebab satu-satunya medium bagi upaya untuk “mengerti” adalah interpretasi. Makna tidak didapatkan dari penyimpulan atas interpretasi, melainkan diderivasi melalui mata-rantai yang menghubungkan peristiwa sejarah.
Dengan demikian, seorang penafsir (intepretor) harus sanggup secara aktif merekonstruksi makna yang didapat dari kronik intelektualitasnya, pengalaman masa lalu, dan latarbelakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki. Proses interpretasi berarti lebih sebagai upaya “menemukan” (to discover), bukan “menciptakan” (to invent), sebagaimana kecenderungan dekonstruski. Peran penafsir tidak lebih dari memaknai ulang sebuah “peristiwa bahasa” dari temuan-temuan yang dihasilkan lewat sebuah proses penelusuran. Sebab tidak ada arbitrary acts yang dipaksakan untuk memaknai sebuah peristiwa tertentu (termasuk teks), karena memang makna hanya bisa diderivasi.
Betti menghendaki –seperti yang dirumuskan dalam keempat kanonnya— dalam “mengolah” teks mesti digunakan sebuah metode tertentu. Untuk itu, ia memformulasikan konsep verstehen, yang menurut Bleicher, didasarkan pada asumsi: bagaimana proses interpretasi diskemakan untuk menghadapi problema memahami. Interpretor, pada dasarnya, telah memiliki konsep untuk menilai dan memaknai gagasan yang akan ditransmisikan pada publik. Ketika ia berhadapan dengan teks, ia telah memiliki struktur pemahaman (pre-understanding) dalam benaknya mengenai objek tersebut. Oleh karenya, konsep verstehen ini dapat dioperasikan dalam menginternalisasi stimulus dan respons, dan mengaplikasikan apa yang disebut sebagai behavior maxims. Metode ini kerap kali digunakan dalam menganalisis ilmu-ilmu sosial, tetapi menurut Betti, realitas sosial juga bisa dipahami sebagai “teks” yang mesti diuraikan intensi yang ada di balik realitas tersebut.
Tugas penafsir sebenarnya adalah menemukan intensi makna di balik manifestasi pemikiran pengarang serta gaya pemikiran yang khas yang tersembunyi di balik teks. Di samping bahwa setiap orang memang memiliki “cara baca” tertentu dalam memahami teks, yang melatari proses berikutnya. Karena penafsir tidak bisa secara pasif menerima makna yang telah ada sebelumnya, tetapi harus melakukan eksplorasi sampai mendapatkan intensi makna yang dikehendakinya. Ia juga yang harus menemukan kebutuhan prosedur-prosedurnya.
Penafsir juga harus memahami dan merekonstruksi makna dalam teks dengan bantuan intuisi dan kekuatan refleksi. Karena dalam melakukan tafsir, seseorang telah dikuasai oleh beragam postulasi yang disebuat Vorverständnis (pre-understanding) sebagai bagian tak terpisahkan dari pemikiran seseorang, yang bisa digunakan sebagai pijakan awal dalam memahami. Vorverständnis ini sangat penting untuk menghindarkan diri dari kesalahpahaman yang seringkali disebabkan tidak adanya asumsi awal mengenai fokus pemikiran tertentu. Tetapi, asumsi awal juga tidak menjamin pengetahuan subjek dan objek secara distinktif, karena ia –termasuk faktor kesejarahan– terkadang hanya berupa sebuah ilusi yang dilegitimasi.
Konkritnya, Betti menyebutkan alur penafsiran sebagai upaya menafsirkan dasar-dasar yang mengandung materi-pokok (gagasan) baik yang secara langsung diekspresikan atau tidak. Gagasan itu sangat mungkin bersamaan waktunya dengan intensi teks, atau ia lahir secara bersamaan dengan munculnya teks. Dengan demikian dapat dihindarkan kesalahpahaman dalam membidik substansi persoalan hermeneutika, yaitu pada wilayah-wilayah yang sebenarnya berada di luar konteks penafsiran. Seringkali, terdapat ambigu pada persoalan ini, yaitu pada ketidaktepatan menentukan di mana mainstream gagasan utama dan mana gagasan sekunder. Hal ini juga berimplikasi pada ketidaktepatan metodologis yang dipergunakan untuk “mengolah” teks tersebut.
Betti membagi proses interpretasi ke dalam empat tahapan di mana masing-masing tahapan merepresentasikan bentuk pendekatan intelektual yang berbeda-beda: (1) filologi, yang berguna dalam memahami simbol-simbol yang memiliki makna permanen, (2) kritik, untuk menguji apakah teks memenuhi prinsip logika; pendekatan ini setidaknya akan membuktikan orisinalitas dan autentisitas beragam elemen teks, (3) psikologi, menjadi penting dalam memahami posisi pengarang supaya proses penghadiran kembali teks lebih faktual dan kontekstual, (4) teknik-morfologi, yang mengantarkan pada pemahaman komprehensif tentang makna objek dalam kaitannya dengan logika pengalaman manusia.
Tulisan ini akan mencoba menuangkan beberapa hal yang menjadi keyword bagi eksplanasi pemikiran Betti, yaitu (1) otonomi objek; (2) totalitas dan koherensi makna (totality and coherence of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole; (3) actuality of understanding, sebuah konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis of thought; dan (4) korespondensi makna (kecukupan-makna dalam memahami).
Pertama, otonomi objek (teks). Sejak awal suatu teks sudah merupakan suatu konsep yang bermakna (meaning-full forms), mengingat ia telah diobjektifikasi dan dimanifestasi oleh beragam pengarang (author), sehingga ia memiliki personality, karena sejak semula ia telah mengandung beragam manifestasi pemikiran. Untuk itu, bagi kritikus (interpretor), dalam memahami teks tersebut harus mereferensi pada pluralitas konsep yang telah berada di dalam struktur pikiran.
Kritikus harus menggunakan referensi manifestasi-manfestasi pemikiran tersebut  dalam memaknai teks, sebelum kemudian diaplikasikan dalam konteks kesejarahan yang sama sekali baru, terlepas bahwa ada “subjek” yang terlebih dulu membuat “pemaknaan” lewat sebuah proses kreatifnya sendiri. Jadi upaya interpretasi yang dilakukan hanya berupa penghadiran kembali meaning-full objek yang telah terdistorsi, kemudian direkonstruksi menjadi makna yang tetap faktual sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan.
Oleh karena itu, para hermeneut melukiskan kanon ini sebagai sensus non est inferendus sed efferendus; makna harus dideterminasi di dalam meaning-full dengan cara menderivasinya, tidak sebagai sebuah kesimpulan yang didapatkan melalui penalaran yang serampangan dan di “bawah tangan”.
Otonomi teks sastra. Jika objek mesti otonom, maka teks sastra pun bisa otonom, terutama dari kecenderungan pemasungan makna tertentu. The author yang konon harus diselami sisi kehidupan dan dirasakan keinginan-keinginannya (sebagaimana dalam perspektif Dilthey) sebenarnya telah melemparkan teks dalam wacana publik. Karena teks tersebut, by nature, telah melengkapi dirinya dengan konsep-konsep yang bermakna yang mesti ditemukan oleh penafsir. Toshihiku Izutsu pernah mengemukakan betapa otonomi teks (entah dia berangkat dari kanon ini atau tidak) melahirkan dinamika organik, dari sekedar makna sederhana, basic meaning, berakselerasi membentuk makna-makna yang lain dengan berelasi dengan teks lain.
Kedua, totalitas dan koherensi makna (totality and coherence of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole. Kanon ini meneguhkan adanya inter-relasi dan koherensi di antara elemen-elemen individual objek tertentu, tentu dengan melibatkan serangkaian manifestasi pemikiran, serta hubungan timbal-balik the whole dan its parts. Jelasnya, ini adalah hubungan elemen-elemen antara teks itu sendiri dengan common whole-nya yang kelak melahirkan reciprocal illmunation (iluminasi timbal balik) dan uraian tentang konsep-konsep meaning-full dalam keterkaitan antara the whole dan its parts.
Dari sini, setiap aksi dari kehidupan the author, bisa dipahami melalui konteks makna yang telah diturunkannya dan bagaimana makna tersebut melakukan interkoneksi dengan faktor-faktor eksternal. Oleh karena itu, memahami teks haruslah melibatkan koherensi di mana konteks makna berhasil ditemukan lewat persentuhan sinergis elemen-elemen teks. Dan penafsir, dalam perspektif ini, harus menemukan relasi organik tersebut sebagai konsideran bagi kesimpulannya dalam memahami teks.
Korelasi Teks sastra. Teks sastra tidak bisa dipahami secara sepenggal. Teks itu memiliki konteks yang memberikan gambaran bagaimana harusnya teks dipahami. Dalam tradisi kritik sastra, terdapat kajian tentang korelasi teks yang mengetengahkan bagaimana antara satu teks dengan yang lain saling berhubungan sehingga membentuk world-view yang ingin diaktualisasikan oleh pengarang. Dalam tataran ini seorang kritikus harus bisa membedah satu teks yang ada pada tempat dan konteks yang berlainan. Kata “revolusi” misalnya, seringkali digunakan oleh Pramudya Ananta Toer dalam novelnya, tentu saja dalam konteks yang berlainan. Tetapi ketika diungkap, dapat ditemukan sebuah koherensi makna yang menjadi world-view -nya. Artinya, dalam kondisi apapun Pram menghendaki ditegakkannya “revolusi” di negeri ini.
Ketiga, actuality of understanding, sebuah konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis of thought. Betti menggambarkannya sebagai situasi kemasakinian. Tugas penafsir yang terpenting adalah menyelidiki proses kreatif ketika teks ditulis (atau diucapkan), merekonstruksi dan menerjemahkannya kembali tanpa mengesankan bahwa teks tesebut merupakan bagian dari masa lalu. Dalam hal ini diperlukan sebuah adaptasi yang kira-kira bisa mengintegrasikan penafsiran ke dalam horizon intelektual masa kini.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sebenarnya subjek telah mengantisipasi perkembangan makna objek, sehingga ia tidak melampaui batas yang dikehendaki subjek. Sebab hal ini dapat membedakan secara tegas proyeksi makna yang dikehendaki oleh subjek, dan kemampuan untuk mengembangkan makna yang secara otonom dimiliki oleh objek. Dari hubungan inter-koneksi ini lahir sintesis pemikiran yang melahirkan makna baru.
Aktualitas Teks. Dalam tradisi kritik sastra sering ditemukan ungkapan “bacalah teks sastra seakan-akan ia ditulis untukmu”. Yang dimaksud adalah, kritikus dituntut untuk memberikan makna yang kontekstual terhadap karya yang dibedahnya. Misalnya, tentang “kawin paksa” dalam novelnya Marah Rusli, Sutan Noer Iskandar, atau Sutan Taksir Ali Syahbana, menjadi tidak aktual jika ditafsirkan sesuai dengan kontek budaya Sumatera Barat pada saat itu, sehingga makna itu dapat diaktualisasikan dalam bentuk “kawin paksa” yang terjadi pada era kontemporer.
Keempat, korespondensi makna (kecukupan makna dalam memahami). Pemahaman saja, tidak cukup mampu untuk membangun komunikasi. Justru diperlukan intellectual open-mindedness yang menjadikan seorang penafsir mampu menempati posisi penting dalam proses “memahami”. Jadi penafsir lebih menitikberatkan pada subjek, dibanding objek. Dengan demikian, seorang penafsir harus berusaha membawa lively actuality-nya ke dalam sebuah “harmoni tertutup” dengan rangsangan yang diterimanya dari objek yang meneguhkan bahwa the one dan the other terpaku pada sebuah harmoni. Ini bisa jadi merupakan refleksi pribadi, yang biasa didapati dalam penafsiran sejarah.
Psikologi pengarang. Mungkin istilah ini kurang tepat, karena sebenarnya ia merupakan bagian dari tradisi kritik seni yang menitikberatkan pada pengarang (subjek), yang kemudian dikembangkan dalam tradisi kritik sastra, khususnya psikologi sastra. Menafsirkan teks berdasar pada psikologi pengarang ini dapat diawali melalui “memahami” proses penulisan karya, karena setiap pengarang selalu melibatkan emosinya (kegelisahan, penderitaan, kegembiraan, dll.) baik sebagai tema karya maupun sebagai motivasi. Tommy F. Awuy menegaskan bahwa puisi (sastra) mengandung makna pribadional, karena setiap penyair memiliki pikiran dan ungkapan tentang realitas. Hal ini senada dengan Roekhan yang menegaskan bahwa sastra itu merupakan hasil kreatifitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang dilahirkan dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi. Puisi “mabuk anggur” misalnya, dapat dianalisis kekuatan maknanya melalui biografi pengarangnya, Abu Nuwas.

Rabu, 02 November 2011

Berkurban Untuk Kaum Lemah

Pada suatu saat Nabi berkumpul bersama para sahabatnya yang sebagian besar tergolong miskin. Di antara sahabat yang miskin itu adalah –sekedar menyebut beberapa nama– Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb, Khabab bin al-Arat. Mereka semua, meski eks budak dan miskin tetapi tergolong sahabat senior dan perintis perjuangan Islam.
Sesaat kemudian datang serombongan bangsawan yang baru masuk Islam untuk menghadap Nabi. Melihat Nabi sedang berada di antara para eks budak yang miskin itu mereka agak enggan untuk langsung menghadap. Mereka pun tak bisa menyembunyikan ekspresi kebenciannya, hingga mereka sepakat untuk mengajukan satu usulan kepada Nabi agar mereka ditemui dalam majelis yang terpisah. "Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah Arab akan datang untuk menemui Anda. Kami merasa malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak itu. Bila kami datang menemui Anda, maka jauhkan mereka dari kami. Dan bila urusan kami sudah selesai, maka Anda boleh duduk bersama mereka sesuka Anda," ungkap mereka.
Uyainah bin Hishn yang ada dalam rombongan itu menambahkan, "Baunya Salman al-Farisi mengangguku. Untuk itu, buatlah majelis khusus bagi kami hingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Dan buat juga majelis bagi mereka hingga mereka tidak berkumpul bersama kami."
Dan tiba-tiba pada saat itu juga Jibril datang membawa firman Tuhan,
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-An'am [6]: 52)
Nabi segera menyuruh para sahabat yang miskin untuk mengambil tempat duduk yang lebih dekat lagi dengannya, sampai lutut-lutut mereka merapat dengan lututnya. "Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Setelah itu, Jibril menyampaikan lagi, "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi [18]: 28)
Dikisahkan bahwa sejak itu Nabi tidak akan meninggalkan tempat duduknya ketika sedang berada dalam satu majelis dengan kaum miskin sebelum mereka pergi lebih dulu. Ia juga memilih duduk dalam kelompok mereka bila mendatangi suatu majelis. Ia sering kali berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya."
Begitulah contoh sikap keberpihakan kepada kelompok lemah yang ditunjukkan oleh Nabi. Namun demikian, tampaknya sikap seperti yang ditunjukkan oleh bangsawan Qurasy tersebut selalu saja terulang sepanjang sejarah manusia. Di sekitar kita tidak terlalu sulit untuk mencari contoh orang yang bersikap seperti itu, atau bahkan diri kita masih memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian. Hal ini barangkali karena sangat kuatnya dominasi standart ekonomi dalam melihat strata sosial dalam masyarakat. Padahal sikap ini justru memiliki potensi untuk memposisikan kelompok lemah hanya sebagai pelengkap guna menunjang kepentingan-kepentingan golongan kaya, dan menafikan suatu komitmen untuk mengangkat taraf hidup mereka (berkorban).
Dari sini patut diingat kembali pernyataan Tuhan bahwa Ia tidak melihat seseorang pada penampilan fisiknya, tetapi lebih pada bobot ketaqwaannya. Tidak ada beda antara golongan kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat, dan sebagainya, selain konsistensinya pada penerapan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dalam kehidupannya (taqwa). Salah satu wujud konkrit ketaqwaan itu adalah kemauan untuk berkorban guna menghapus ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Inilah salah satu makna sosiologis simbol ritual "kurban" dalam Islam yang tampaknya harus terus dikembangkan guna menemukan fungsi transformatifnya bagi masyarakat. Kalau selama ini fugsi transformatif ini belum banyak terwujudkan barangkali karena masih dominannya motiv-motiv yang melatarbelakangi pelaksanaan kurban lebih bersifat individual, yaitu mengharapkan keselamatan dari siksa Tuhan nanti di akhirat, hingga aspek sosialnya hanya menjadi perhatian nomor dua. Padahal kalau pun motiv itu dibalik tetap saja tidak akan mengurangi fingsi individual ritual kurban tersebut.