Senin, 30 Januari 2012

Hidup itu Ujian


Konon, seperti disebutkan dalam qissat israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil), Nabi Ibrahim mengajak istri keduanya, Hajar bersama putra tunggalnya, Ismail, keluar dari rumah untuk menapaki suatu perjalanan adalah karena sikap cemburu Sarah, istri tua Ibrahim yang mandul.
Sangat mungkin kisah tentang sikap Sarah ini tidak benar karena ia dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik dan mulia. Apalagi yang menyarankan, sekaligus memilihkan istri kedua bagi Ibrahim adalah ia sendiri.
Kalaupun mereka berdua terlibat konflik keluarga tidak mungkin Allah melimpahkan berkat kepadanya, seperti tercatat dalam surat Hud ayat 73, "Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Lepas dari soal ini, perjalanan Ibrahim bersama Hajar dan Ismail adalah berdasar pad kepatuhannya kepada perintah Allah. Mungkin ia sudah diberi tahu Allah tentang maksud dan tujuan perjalanannya, tetapi ia tidak dibolehkan membocorkan kepada siapapun, termasuk kepada istri-istrinya. Atau sebenarnya ia juga sama sekali belum mendapatkan penjelasan apa-apa dari Allah. Hanya perintah saja. Sehingga ia memilih diam saat kedua istrinya mempertanyakan.
Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar ketika Ibrahim memerintahkan Hajar untuk membawa anaknya, Ismail, untuk mengikutinya dalam suatu perjalanan. "Kemana kita pergi, hai Ibrahim?" Mungkin kali pertama Hajar yang bertanya kepadanya, mungkin juga Sarah yang bertanya. Tetapi Ibrahim hanya terdiam. Kedua wanita itu pun akhirnya ikut terdiam.
Saat itu Ismail masih berusia belia. Hajar membawanya dan menidurkannya di atas tanah, tepatnya tempat yang sekarang dikenal dengan nama sumur zamzam. Saat itu tempat itu sangat tandus dan belum terdapat sumur yang memancar dari bawah kakinya. Tidak ada setetes air pun. Hanya hamparan padang pasir dan lautan fatamorgana.
Di tempat itu, Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail. "Wahai Ibrahim ke mana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering ini?" "Wahai Ibrahim, di mana engkau akan pergi dan membiarkan kami? Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi?" Hajar mengulang-ulang pertanyaannya itu. Ibrahim tetap diam dan tidak menjawab.
Dapat dibayangkan betapa berat perasaan Ibrahim kala itu. Ia yang amat mencintai keluarganya harus meninggalkannya dalam kondisi yang memperhatinkan seperti itu. Tetapi ia juga sangat cinta kepada Allah. Tidak mungkin ia membantah perintah-Nya. Pun perintah yang sekilas tampak tidak rasional.
Untuk itu, ia pun berdoa kepada Allah, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan anak-anakku di lembah yang tiada bertanam-tanaman, disisi rumah Engkau yang suci. Ya Tuhan kami, supaya mereka mendirikan shalat. Sebab itu hendaklah Engkau jadikan hati manusia rindu kepada mereka dan beri rezekilah mereka dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. 14:37).
Tidak berselang lama, saat Ismail beranjak tumbuh menjadi anak yang pintar dan lucu, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya, seperti yang dikisahkan dalam surat al-saffat ayat 102,
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Begitulah Allah menguji orang yang dicintai dan dikasihi-Nya. Jika yang bersangkutan mau bersabar dan bersyukur, sebagaimana yang dicontohkan Ibrahim dan keluarganya, sudah tentu akan mendapatkan anugerah dan keberkatan yang tidak terkira dari-Nya.
Ahmad Albar, rocker senior bangsa ini, pernah menyebut dalam sebuah bait lagunya, “dunia ini panggung sandiwara.” Sudah tentu, di balik permainan sandiwara ini terdapat teks skenario yang telah ditulis oleh Allah dalam berkas qadla’ dan qadr. Hanya Ia sendiri yang mengetahui-Nya, termasuk pesan-pesan rahasia yang ingin disampaikan melalui pementasan sandiwara ini.
Kalau saja Ibrahim tidak sabar dan bersyukur atas ujian untuk meninggalkan Harar dan Ismail di gurun tandus Makkah, sudah tentu tidak akan ada zam-zam, Ka’bah, dan tradisi haji. Tidak akan ada simbol-simbol pemersatu umat. Juga tidak akan ada simbol kemenangan.
Demikian juga, kalau saja Ibrahim dan Ismail tidak sabar dan bersyukur untuk menjalani ujian penyembelihan, sudah tentu tidak akan ada simbol-simbol pengorbanan, kepatuhan, dan ketulusan.
Hidup ini adalah ujian. Ujian Allah bagi makhluk-Nya. Sudah tentu akan ada yang lulus dan yang gagal. Bagi yang ingin lulus dengan predikat cumlaud sudah tentu harus bersungguh-sungguh serius dalam menghadapi dan menjalaninya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sabtu, 28 Januari 2012

Kritik Nalar Arab-Islam


Akal adalah prinsip dan kaidah untuk memperoleh pengetahuan. Akal juga dapat berarti aturan epistemologis berupa konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Akal Arab misalnya, berarti konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya.
M. Abed Al-Jabiri, seorang intelektual pembaharu Mesir yang mendedikasikan intelektualitasnya pada epistimologi Arab-Islam, membagi akal pada dua bentuk, yaitu akal/nalar murni (‘aql al-mukawwin) yang given, dan akal/nalar budaya (‘aql al-mukawwan) yang merupakan hasil bentukan budaya masyarakat tertentu di dalam perjalanan sejarahnya.
Akal Arab-Islam berarti suatu bangunan epistimologi yang dibentuk oleh budaya bangsa Arab-Islam. Akal Arab-Islam ini menjadi baku dan sistematis sejak masa kodifikasi. Masa inilah telah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap  perkembangan pola dan orientasi pemikiran pada masa-masa sesudahnya, di samping pengaruh terhadap persepsi terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya.
Namun demikian, bangunan epistimologi itu harus dibedakan dengan muatan ideologinya. Karena bangunan epistimologi berbentuk ilmu dan metafisika, sedang muatan ideologi adalah kondisi sosio-politik yang melatari latar banguan ilmu dan metafisika tersebut. Pembedaan ini menjadi penting karena memiliki efek memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Efek inilah menjadi penyebab wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Dalam konteks kekinian, melahirkan suatu model pemikiran yang tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Pemahaman dasar seperti ini sangat penting dalam memahami turats (tradisi). Menurut al-Jabiri, turats dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Pengkajian terhadap turats mutlak dibutuhkan dalam rangka menemukan formasi baru epistimologi Arab-Islam. Sebab inti reformasi sebenarnya terletak pada upaya mengembangkan sebuah metode dan visi baru tentang turats. Reformasi bukan berarti menolak turats atau memutus hubungan dengan masa lalu, tetapi mencari sebuah pola pikir dan pemahaman baru yang melampaui turats tersebut dan yang memiliki relefansi dengan kenyataan modern.
Model pengkajian seperti ini, meneguhkan sikap penolakan al-Jabiri terhadap pola nalar kelompok salafi (al-salafiyyûn) yang cenderung menghadirkan teks masa lalu secara utuh pada konteks modern. Di samping itu, secara metodologis mereka cenderung mengadopsi pola pikir qiyasi, pola pikir yang punya kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namudzaj salafi).
Pola pembacaan terhadap turats seperti ini membuat mereka memiliki kecenderungan untuk mengandaikan kebangkitan Arab-Islam dengan cara penghidupan kembali ruh kejayaan Islam di masa Nabi, para sahabat, dan kebangkitan pada abad pertengahan.
Bagi al-Jabiri, model analisis seperti ini tidak relefan karena tantangan zaman yang dihadapi sangat berbeda. Saat ini Islam harus menghadapi mesin-mesin industri dan kekuatan teknologi yang mengimplikasikan adanya sistem ideologi kapitalisme dan neoliberalisme ekonomi negara-negara metropolis dengan perangkatnya berupa imperialisme dan kolonialisme. Alih-alih upaya mereka merupakan suatu kemunduran intelektual karena tidak mampu mengangkat kekhasan dari budaya Arab-Islam masa kini.
Al-Jabiri juga mengkritik kelompok modernis-liberal yang cenderung menjadikan Barat sebagai pola ideal karena menganggap budaya Barat telah menjadi budaya universal. Sebab, menurutnya, modernitas yang dibangun o1eh Eropa tidak layak untuk dijadikan pegangan bagi peradaban Arab-Islam. Modernitas Eropa merupakan kesadaran yang membentuk sikap dikotomis antara dunia pada tataran profan dan akhirat yang berdimensi sakral. Hal ini bertentangan dengan tradisi historis yang telah dimiliki oleh dunia Arab-Islam. Karena ternyata tradisi yang dimiliki oleh dunia Arab sangat tergantung pada tataran transendent untuk dijadikan fondasi pada kehidupan duniawi.
Tradisi yang telah dibangun pada zaman Nabi dan abad pertengahan memiliki ciri pemaduan antara keduanya yang diikat oleh pola-pola kekuasaan. Nabi sebagai insan suci yang diutus oleh Tuhan dengan sendirinya telah melegitimasi kekuasaan tersebut, sedangkan kekuasaan yang dibangun pada abad pertengahan diperoleh melalui institusi-institusi politik yang patrimonial. Hal ini sebenarnya telah dimulai pada masa dinasti awal, yaitu dinasti Ummayah.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab-Islam tentang turâts. Pertama epistemologis bayani, yaitu metode yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Kedua, epistemologi Irfani, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
Dan ketiga, epistimologi burhani, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada kekuatan rasio, observasi empiris dan inferensiasi intelektual.
Al-Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi. Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan processed structure (al-bunyah al-muhassalah) .
Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.[]

Selasa, 24 Januari 2012

Perilaku Politik Sebagai Implementasi Kesadaran Ritual-Spiritual?

          Dalam perspektif strukturalisme, perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan spiritualitas, tetapi lebih sebagai ungkapan struktural. Perspektif ini jika digunakan untuk mengurai hubungan agama dengan negara maka jawabannya cikup jelas bahwa keduanya tidak memiliki hubungan apa-apa, karena negara merupakan bentuk sekuler, sementara agama merupakan perpaduan dari dimensi esoterik dan eksoterik. Bahkan setiap pengkaitan politik dengan agama merupakan bentuk distorsi kesejarahan masa Pencerahan Eropa.
Bangsa Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa religius, telah berhasil menentukan bentuk sekuler (demokrasi) sebagai sistem bernegara, dan memposisikan agama hanya sebagai salah satu landasan filosofis (moral-etik) bagi setiap upaya-upaya penyelenggaraan negara. Prestasi gemilang ini tidak dapat dilupakan begitu saja, karena bangsa ini harus melewati masa-masa kritis dalam perdebatan ideologis yang taruhannya tidak lain adalah integrasi bangsa. Untuk mengakomodasi beragam kencenderungan dalam bangsa yang pluralistik ini demokrasi memang sangat tepat, sehingga siapa pun baik secara individu maupun kelompok bebas untuk menentukan pilihan sekaligus melakukan kreasi-kreasi demi menyokong kepentingannya. Dengan demikian hubungan agama dengan negara hanya sebagai komplementer.
Bagi pendukung formalisme mengasumsikan bahwa keputusan itu merupakan bentuk penyelesaian yang sepihak, karena tidak melalui mekanisme demokrasi yang jelas dan tegas. Tetapi realitas menunjukkan bahwa penyelesaian politik yang sepihak prestasi ini sekarang telah ternodai oleh
Masih segar ingatan kita terhadap kerasnya tuntutan kelompok muslim untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam mukaddimah UUD 1945 yang telah memancing reaksi keras dari wilayah Timur yang mayoritas merupakan umat Kristiani.
Pengalaman sejarah tersebut, pada awal tahun 1970-an, memunculkan ide tentang rekonstruksi peran politik umat Islam. Tesis tentang ideologisasi Islam mulai dipertanyakan relefansinya dalam konteks politik Nasional. Perhatian umat Islam kemudian dialihkan pada penguatan infrastruktur politik, yang kemudian menampakkan hasilnya pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru (1990-an). Suatu kenyataan yang dapat menunjukkan bahwa demokrasi merupakan satu bentuk sistem bernegara yang ideal bagi bangsa Indonesia. Apalagi ditambah dengan kenyataan tidak diterimanya sistem Sosialisme oleh bangsa ini sejak terjadinya kemelut tahun 1965.  Tetapi cukup disayangkan jika pada era reformasi sekarang ini muncul kembali upaya-upaya pengkaitan politik dengan agama, yang tidak lain merupakan bentuk “politisasi agama”.
Di tengah proses demokratisasi memang segalanya bisa mungkin terjadi, termasuk “politisasi agama”, karena al-Qur’an juga menekankan kepada setiap pemeluknya untuk berislam secara menyeluruh (kaffah). Dengan demikian, Islam tidak hanya sebagai bentuk ritual-spiritual belaka, melaikan juga sebagai bentuk sistem sosial, ekonomi, maupun politik. Hal ini bukan berarti menjastifikasi sistem kehidupan umat Islam yang eksklusif, tetapi lebih memperkuat basic moral-etik Islam dalam setiap perilaku umat Islam. Memang cukup disayangkan berislam secara kaffah ini telah memunculkan bentuk formalisme dalam ranah historis, sebagai akibat dari pola berpikir ideologis. Sejarah telah membuktikan bahwa pola pikir demikian telah kehilangan relefansinya di tengah kehidupan di alam modern.
Sekarang “politisasi agama” telah muncul dalam wajah baru, tidak untuk agama sendiri tetapi lebih untuk kepentingan kelompok. Agama telah beralih fungsi sebagai ligitimasi bagi kamunalisme. Padahal, menurut M. Yudhi R. Haryono (9/3), lahirnya agama itu adalah untuk memotong sifat komunal, karena itu perilaku agama dibangun berdasarkan identitas prestasi, baik pada Tuhan (taqwa) maupun pada kemanusiaan, bukan berdasarkan identitas personal atau kelompok. Memang, dalam taraf tertentu, agama mampu menjadi identitas kelompok. Tetapi jika agama sudah dianggap dapat melegitimasi komunalisme maka itu berarti telah terjadi pereduksian terhadap nilai spiritual agama itu sendiri.
Sampai di sini, jika ditanyakan, bagaimanakah kesadaran ritual-spiritual politisi muslim diimplementasikan dalam perilaku politik? Maka jawabannya cukup mudah, kesadaran ritual-spiritual mereka –sama sekali– belum mewujud dalam kesadaran perilaku, sehingga agama yang seharusnya menjadi basic moral justru menampakkan wajah sebagai ideologi. Laku ritual seorang muslim memiliki dimensi spiritual yang sangat mendalam, mengingat ia sangat menentukan kualitas ketaqwaannya. Seorang muslim yang taqwa berarti dia telah mampu mengiplementasikan tiga hak, haqq Allah (hak Allah), haqq al-‘alam (hak alam raya), dan haqq Adamy (hak kemanusiaan).  Untuk yang disebut terakhir, paling tidak ketaqwaan itu akan menjadikannya sebagai seorang muslim yang menjunjung tinggi nilai 1) kemerdekaan (independency), yang dipahami bukan sekedar otonomi atau kemerdekaan wilayah tetapi terlebih sebagai kemandirian manusia (rakyat, dalam konteks negara); 2) kesaudaraan (solidarity), bukan sekedar persaudaraan (brotherhood), karena pewujudan kesaudaraan menjadi tanggungjawab bersama dengan tetap mengedepankan rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya; 3) keadilan sosial (social justice), dalam arti pencukupan sarana dasar kehidupan bagi semua pihak, bukan sekedar persamaan (equality); 4) kerakyatan (populist), yang dipahami bukan sekedar cinta bangsa tetapi  lebih pada cinta kepada kemanusiaan terutama kepada kelompok yang dimarginalkan.
Prestasi ini sekarang masih sangat jauh dari jangkauan ketaqwaan para palitisi muslim, karena perilakunya –lagi-lagi–  bukan merupakan wujud dari kesadaran ritual-spiritualnya, melainkan dari bentuk sekularitasnya dalam perjuangan ideologi. Karena ideologi, seperti diungkap Albet Camus, adalah sumber malapetaka bagi kehidupan. Jika demikian halnya, maka tidak salah jika yang nampak adalah kemunafikan dan kedhaliman. Bukankah bencana dan malapetaka di darat dan lautan itu merupakan akibat dari ulah manusia sendiri?

Minggu, 22 Januari 2012

Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an

Pendahuluan
Dalam ranah historis, manusia telah mengenal peradaban sejak kurang lebih 60 abad yang lalu di lembah Sawad (Mesopotamia). Manusia mulai menemukan sistem pertanian sebagai perkembangan dari cara hidup yang hanya bergantung pada hasil berburu, di samping penemuan mereka di bidang penjinakan binatang. Sudah tentu tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama, sehingga masing-masing individu memilih untuk melakukan upaya sesuai dengan kemampuannya, yang pada akhirnya pilihan itu mengakumulasi sejumlah orang yang memiliki kecenderungan yang sama. Hal inilah yang kemudian melahirkan stratifikasi sosial yang oleh bangsa Arya diadopsi menjadi sistem kasta.
Kondisi demikian kemudian melahirkan persoalan pembagian kerja (baca: keadilan). Sehingga dapat diungkapkan bahwa persoalan keadilan merupakan persoalan awal kemanusian. Secara struktural persoalan-persoalan yang muncul diserahkan kepada kelompok literia, yang pada masa Sumeria-Babilonia, mereka dipercaya memiliki kemampuan “meneropong langit” untuk mencari wisdom, sehingga mereka mampu mengidentifikasi terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, yang selanjutnya mereka berusaha untuk melakukan rekonstrusi sosial.[1] Dalam term keagamaan, kaum literari biasa disebut nabi atau rasul. Sedangkan wisdom disebut risalah. Nabi memperoleh wisdom hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan rasul lebih difokuskan untuk disampaikan kepada orang lain. Baik kaum literari, nabi, atau rasul, sama-sama memiliki wawasan kemanusiaan yang tinggi dan murni. Perbedaan yang ada hanya pada tataran fungsi dan wewenangnya, sesuai dengan konteks ruang dan waktu (ajaran).
Nabi Muhammad, juga memiliki kapasitas yang sama, meskipun secara kualitas (mungkin) jauh lebih tinggi. Wawasan kemanusiaan Nabi terkandung di dalam al-Qur’an, sehingga di kalangan umat Islam terdapat suatu ungkapan yang cukup populer, yaitu “akhlak Nabi adalah al-Qur’an”. Dapat dipahami bahwa tradisi kemanusiaan yang dibangun (sunnah) oleh Nabi merupakan prototype al-Qur’an, sehingga cukup lagis jika keduanya wajib untuk diimani. Salah satu tradisi itu  adalah penegakan nilai keadilan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, bahkan menjadikannya sebagai missi kemanusiaan (humanistik) Islam yang tertinggi. Tradisi itu dibangun di atas dasar nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam al-Qur’an. Untuk itu, makalah ini akan menganalisis konsep keadilan dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i. 

Makna Keadilan 
Terdapat beragam istilah atau term yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan makna keadilan. Istilah itu tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Di antaranya kata al-‘adl yang dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 35 kali. Lafad al-qisth terulang sebanyak 24 kali. Lafad al-wazn terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad al-wasth sebanyak 5 kali.[2] Semua istilah tersebut bertemu dalam suatu ide umum kaitannya dengan sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur. 
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari bahasa Arab “‘adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan itu sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan; a) tidak berat sebelah atau tidak memihak; b) berpihak kepada kebenaran; dan c) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.[3] Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”. 
Dalam al-Qur’am keadilan diungkapkan antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-wazn, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. 
Qisth arti asalnya adalah “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak. Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula ketika al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth ini yang digunakan, seperti dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 135. 
Wazn berarti timbangan. Oleh karena itu, kata mizan yang merupakan kata jadian dari al-wazn menunjukkan arti “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena penggunaan bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu”.

Perintah Menegakkan Keadilan
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan juga keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat” (Q.S. al-An’am [6]: 152). “Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kehadiran para Rasul ditegaskan al-Qur’an bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan” (Q.S. al-Hadid [57]: 25). 
Al-Qur’an memandang kepemimpinan sebagai “perjanjian Ilahi” yang melahirkan tanggungjawab untuk menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.  Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku “ Allah berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim” (Q.S. al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat tersebut bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: “Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan)” (Q.S. al-Rahman [55]: 7). 
Walhasil, dalam al-Qur’an dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari perspektif tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Beberapa ayat yang telah disebut itu sekaligus dapat menunjukkan betapa kuatnya aspirasi keadilan dalam Islam.

Esensi Keadilan
Ketiga kata -qisth, ‘adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya digunakan oleh al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil: “Katakanlah, Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)” (Q.S. al-A’raf [7]: 29). “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan)” (Q.S. al-Nahl [16]: 90). 
Ketika al-Qur’an menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakan hanya al-qisth (Q.S. Ali ‘Imran [31: 18). Sedang kata ‘adl tidak sekali pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh al-Qur’an; pelakunya pun demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.[4] 
Pertama, keadilan dalam arti keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu kesatuan yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saman-sama menuju satu tujuan tertentu. Untuk itu, dibutuhkan syarat-syarat tertentu agar masing-masing bagian mempunyai ukuran yang tepat kaitannya dengan kesatuan itu. Selama syarat tertentu itu terpenuhi oleh setiap bagian mereka akan mampu menapaki proses menuju apa yang diinginkan. Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan). Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. Al-Qur’an menyatakan bahwa, (Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. 
Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian, bukan lawan kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi. 
Kedua, keadilan dalam arti persamaan dan tidak adanya segala bentuk diskriminasi. Yang dimaksud persamaan di sini adalah bukan perlakuan yang mutlak sama antara setiap orang dengan tanpa melihat pada perbedaan kemampuan, tugas dan fungsinya, tetapi merupakan suatu perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang memiliki hak yang sama. Dengan demikian persamaan ini lebih menekankan pada kepemilikan hak. 
Dalam Q.S. surat al-Nisa’ (4): 58 dinyatakan bahwa, “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil.” Kata “adil” dalam ayat ini -bila diartikan “sama”- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman. 
Ketiga, keadilan dalam pengertian memberikan “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya” Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman”, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial. 
Keempat, keadilan yang dinisbatkan kepada Tuhan  Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.” Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak berlaku untuk Allah, karena Dia memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah. sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Q.S. Ali ‘Imram [3]: 18). 
Sementara Hamzah Yakub[5] membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. 
Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan. Misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Allah berfirman dalam al-Qur’an: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Q.S. al-Maidah [5] : 8). 
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.

Simpulan
Dalam mengungkapkan nilai keadilan al-Qur’an menggunakan kata ungkap al-‘adl, al-qisth dan al-wazn. Nilai keadilan itu sendiri dipahami sebagai suatu penegakan terhadap prinsip keseimbangan, persamaan, penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi, dan menjaga eksistensi, yang semuanya dapat ditepkan baik secara personal untuk diri sendiri maupun dalam sistem kemasyarakatan.


Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim
Bagi, Muhamad Fu`ad Abdul. Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.
Muththahhari, Murtadha. al-“adl al-Ilahi.Qum: Mathba’ah al-Hayyam, 1981.
Nurjaeni, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran: sebuah telaah al-adaabi wal ijtimaa`i WWW.duriyat.ir.id/artikel/html.
Purwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Balai Pustaka, 1986.


[1] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 177-178.
[2] Lihat, Muhamad Fu`ad Abdul Bagi,  Mu`jam  Mufahras li Alfad al- Qur`an.
[3] WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yagyakarta: Balai Pustaka, 1986), 57.
[4] Dalam hal ini hanya akan diambil dari padangan Murtadha Muththahhari dalam al-“adl al-Ilahi (Qum: Mathba’ah al-Hayyam, 1981), 66-71
[5]Nurjaeni, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran: sebuah telaah al-adaabi wal ijtimaa`i (WWW.duriyat.ir.id/artikel/html).