Kamis, 19 April 2012

Berfikir Positif

Nabi Musa pernah diperintah Allah untuk menambah ilmu dari seseorang yang sedang berdiri di tepi pantai yang mempertemukan dua arus laut. Nabi Musa segera mencari orang itu. Ternyata ia adalah Nabi Khidir. Nabi Musa langsung mengutarakan maksudnya kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir bersedia meluluskan niatnya dengan syarat Nabi Musa tidak boleh tergesa-gesa bertanya tentang apapun yang akan terjadi sebelum Nabi Khidir menjelaskan.
“Tapi aku yakin kamu tidak akan bisa bersabar,” tambah Nabi Khidir. Namun karena Nabi Musa bersikeras, Nabi Khidir akhirnya mengajaknya memulai perjalanan dengan berdasarkan pada syarat tadi. Ternyata benar, ketika Nabi Khidir mulai memberikan pelajaran melalui sikap-sikapnya dalam menghadapi beberapa peristiwa, Nabi Musa tidak mampu menahan gejolak dalam dirinya untuk segera ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kisah yang dikutip dari Alquran surat al-Kahfi ayat 60–82 ini, menggambarkan menggelayutnya “pikiran-pikiran jelek” Nabi Musa saat menerima pelajaran dari Nabi Khidir. Sudah tentu pikiran seperti itu telah membawa Nabi Musa pada kegagalan dalam belajarnya.
Kisah tersebut menyiratkan betapa pentingnya berprasangka baik dan berpikir positif dalam memandang orang lain maupun menyikapi sebuah peristiwa. Paling tidak ada empat poin penting yang dapat dicatat dari kisah tersebut. Pertama, penilaian seseorang terhadap orang lain kadang tidak sesuai dengan senyatanya, karena penilaian orang hanya berdasar pada yang tampak. Padahal keseluruhan kedirian orang tidak bisa hanya dilihat dengan mata telanjang.
Kedua, berbaik sangka dan berpikir positif dapat mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan. Dalam hal ini terdapat satu teladan dari Rasulullah Saw. Pada saat seluruh kafilah Arab berkumpul di Makkah pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu, Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan risalah Islam kepada semua kafilah itu. Namun yang terjadi justru mereka mengejek dan menyakiti Rasulullah serta melumuri wajahnya dengan pasir.
Di tengah terjadinya peristiwa itu malaikat Jibril mendatangi Rasulullah. “Wahai Muhammad, (dengan perlakuan mereka ini) sudah sepantasnya jika kamu berdoa kepada Allah agar Ia membinasakan mereka seperti doa Nuh atas kaumnya.” Kata Jibril. Rasulullah segera mengangkat kedua tangannya. Tetapi yang terucap dalam doanya bukan sebuah doa kutukan, melainkan untaian permohonan maaf dan harapan bagi orang-orang yang telah menyakitinya; ‘Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya (mereka melakukan semua ini terhadapku) hanya karena mereka tidak tahu. Ya Allah, tolonglah aku agar mereka bisa menyambut ajakan untuk taat kepada-Mu.’”
Pilihan Rasulullah untuk tidak menuruti saran Jibril ini ternyata tidak salah. Tidak lama setelah peristiwa itu, mereka yang pernah menyakitinya berangsur-angsur memeluk Islam dan menjadi sahabatnya yang paling setia. Hal ini seperti terekam dalam surat al-Fushshilat ayat 34, “Tanggapilah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dengan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat akrab.”
Ketiga, berbaik sangka dan berpikir positif dapat menyelamatkan hati dan hidup seseorang. Sebab hati yang bersih adalah hati yang tidak menyimpan kebencian. Hati yang tenteram adalah hati yang tidak memendam syakwasangka dan apriori terhadap orang lain. Dan hati yang berseri-seri hanyalah hati yang selalu berpikir positif bagi dirinya maupun orang lain.
Kebencian, berburuk sangka, dan berpikir negatif hanya akan meracuni hati. Oleh karena itu, ketika orang-orang Yahudi mengumpat Rasulullah yang sedang duduk santai bersama ‘Aisyah dan ‘Aisyah terpancing untuk membalas menyumpahi mereka, Rasulullah segera mengingatkan ‘Aisyah, “Kamu tidak perlu begitu, karena sesungguhnya Allah menyukai kesantunan dan kelemah-lembutan dalam segala hal.” (Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).
Keempat, berpikir positif bisa membuat hidup seseorang lebih legowo, karena Allah seringkali menyiapkan rencana-rencana yang mengejutkan bagi hamba-Nya. Sebuah peristiwa yang terjadi pada Umar bin Khaththab dapat dijadikan contoh hal ini.
Salah seorang puteri Umar, Hafshah, baru saja menjanda. Umar menemui Abu Bakar untuk menawarinya agar mau menikahi Hafshah. Ternyata Abu Bakar menolak. Umar kemudian menawari Utsman bin Affan, namun Utsman pun menolaknya.
Dalam kegalauan itu, Umar mengadu kepada Rasulullah tentang sikap kedua sahabatnya tersebut. Rasulullah kemudian menuntun Umar agar selalu berpikir positif sehingga ia bisa menjalani hidup dengan legowo. Rasulullah bahkan berdoa, “Semoga Allah akan menentukan pasangan bagi Hafshah, yang jauh lebih dari Utsman; serta menentukan pasangan bagi Utsman, yang jauh lebih baik dari Hafshah.”
Ternyata, tak lama setelah itu, Rasulllah menikahkan Utsman dengan puteri beliau sendiri. Dan setelah itu, beliau pun menikahi Hafshah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Senin, 02 April 2012

Budaya Meniru

         Pada masa pendudukan Belanda di tanah air ini, tidak sedikit ulama pribumi yang menfatwakan haramnya memakai celana dan dasi, dengan dalih hal itu menyerupai pola berpakaian para penjajah. Dasar nashnya adalah sabda Nabi bahwa siapa saja yang menyerupai suatu kaum ia termasuk dari mereka.
    Fatwa ini barang kali antara lain dimaksudkan sebagai salah satu upaya menumbuhkembangkan semangat patriotisme di kalangan masyarakat melalui penolakan bentuk-bentuk tradisi bangsa penjajah. Dengan begitu bangsa ini tidak mudah terpengaruh oleh bentuk-bentuk ‘kemewahan’ yang ditawarkan oleh mereka.
       Pada masa Nabi pelarangan semacam ini juga pernah dikeluarkan, seperti pelarangan untuk menyemir rambut dan lain-lain. Tetapi  di sisi lain Nabi tidak memungkiri akan terjadinya peniruan-peniruan, seperti tercermin dalam pernyataannya bahwa “sesungguhnya kalian pasti meniru tradisi dan gaya hidup umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, dan kalian akan terus mengikuti mereka walau pun harus memasuki lubang biawak.”
Ibnu Hajar al-Asqalani memahami hadits ini dengan mempersandingkannya dengan fakta sejarah, yaitu peniruan umat Islam terhadap bangsa Romawi dan Persi dalam masalah hukum dan politik, dan terhadap umat Yahudi dan Nasrani dalam masalah  keyakinan, cara pandang, pemikiran, gaya hidup, perilaku, dan moral. Fakta ini ditemukannya pada pertanyaan para sahabat lebih lanjut kaitannya dengan pernyataan Nabi tadi, yaitu tentang pembenaran Nabi ketika mereka menanyakan keempat budaya yang ditiru itu.
Adapun peniruan yang digambarkan Nabi sampai harus memasuki lubang biawak, menurutnya, merupakan satu kiasan yang menunjukkan bahwa kesukaan meniru itu sampai pada batas tidak lagi membedakan antara yang boleh ditiru dan yang tidak, yang bertentangan dengan keyakinan agama dan melanggar moral etik dan yang tidak.
Dengan demikian, Islam sebenarnya tidak memungkiri adanya budaya meniru di kalangan umat. Dan sah-sah saja dilakukan asal tidak melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at. Karena tindakan melampaui batas sama saja dengan melakukan penyimpangan terhadap syari’at.
Budaya meniru ini dapat dikaitkan dengan anjuran Nabi tentang menuntut ilmu. Ia pernah menganjurkan kepada umatnya agar mencari ilmu meski sampai berada di tempat yang jauh. Ia menyebutnya ‘meski di negeri Cina.’ Padahal pada saat itu Cina belum tersentuh oleh dakwah Islam. Salah satu logika yang dapat diambil dari anjuran Nabi ini demikian: Seorang yang tengah menuntut ilmu negeri Cina sudah tentu ia akan bersentuhan dengan budaya asing dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang asing pula baginya. Dan persentuhan ini jelas akan berimplikasi pada perubahan prilakunya.
Tetapi anjuran ini jika dikaitkan dengan anjurannya tentang 'berpegang teguh pada iman Islam,' maka dapat dipahami bahwa tidak semua yang datang dari orang lain (dalam konteks pernyataan Nabi tersebut adalah budaya dan ilmu Cina) diambil secara mentah-mentah, melainkan harus disaring dengan syari’at Islam. Sudah tentu hanya yang terdapat kesesuaian dengan syari’at Islam yang boleh dikembangkan.
Di era modern ini semangat itu dibuktikan dengan banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu di negara-negara non-muslim, yang salah satu wujud konkritnya adalah berkembangnya wacana keislaman dengan berbagai ragam bentuknya, baik kaitannya dengan pola keberagamaan maupun pola berbangsa dan bernegara. Berkembangnya sistem negara demokrasi di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim tidak lain merupakan hasil dari budaya meniru ini. Di samping itu, di kalangan umat sendiri juga telah berkembang suatu pola keberagamaan yang inklusif (terbuka).
Namun, dalam konteks percampuran (akulturasi) budaya secara global, sudah tentu budaya meniru ini memiliki dimensi positif dan negatif, di mana hal serupa juga telah disinggung oleh Nabi. Dan sudah tentu hanya yang positif yang seharusnya diambil. Untuk itu, suatu upaya untuk mendampingi masyarakat agar tidak terlalu jauh terjerumus dalam pengambilan aspek negatif harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Tugas ini merupakan kewajiban seruruh komponen bangsa, terutama kalangan pemimpin. Untuk itu, salah satu tugas utama mereka adalah menciptakan kemandirian bangsa di mata dunia, sehingga bangsa ini tidak mudah terombang ambing oleh derasnya penetrasi budaya yang sengaja dilancarkan untuk menghancurkan moralitas bangsa ini.
Pergeseran suatu bentuk budaya bahkan pada tataran tata nilai mungkin tidak dapat dihindari sebagai suatu apaya memperbaiki kondisi bangsa, tetapi hal ini jangan sampai mencerabutnya dari akar budaya sendiri yang memang harus dipertahankan.
Dari segi tontonan yang disuguhkan kepada masyarakat melalui media televisi misalnya, sudah tentu diharapkan adanya produk-produk lokal yang berkualitas yang mampu bersaing di pentas internasional, sehingga dapat menggeser image yang ada sekarang, yaitu ‘asal luar negeri’.
Dalam riwayat lain Nabi ditanya tentang kapan keadaan seperti ini terjadi. Ia menjawab, ''Ketika orang baik-baik tidak lagi bersikap tegas dalam menolak kemungkaran, ketika orang jahat dengan bebas melakukan kejahatannya, ketika kekuasaan dipegang oleh orang lemah, dan ketika banyak orang yang bergaya seperti  ulama tetapi perbuatannya menjijikan.''