Nabi Musa pernah diperintah Allah
untuk menambah ilmu dari seseorang yang sedang berdiri di tepi pantai yang
mempertemukan dua arus laut. Nabi Musa segera mencari orang itu. Ternyata ia
adalah Nabi Khidir. Nabi Musa langsung mengutarakan maksudnya kepada Nabi
Khidir. Nabi Khidir bersedia meluluskan niatnya dengan syarat Nabi Musa tidak
boleh tergesa-gesa bertanya tentang apapun yang akan terjadi sebelum Nabi
Khidir menjelaskan.
“Tapi aku yakin kamu tidak akan
bisa bersabar,” tambah Nabi Khidir. Namun karena Nabi Musa bersikeras, Nabi
Khidir akhirnya mengajaknya memulai perjalanan dengan berdasarkan pada syarat
tadi. Ternyata benar, ketika Nabi Khidir mulai memberikan pelajaran melalui
sikap-sikapnya dalam menghadapi beberapa peristiwa, Nabi Musa tidak mampu
menahan gejolak dalam dirinya untuk segera ingin tahu tentang apa yang
sebenarnya terjadi.
Kisah yang dikutip dari Alquran
surat al-Kahfi ayat 60–82 ini, menggambarkan menggelayutnya “pikiran-pikiran
jelek” Nabi Musa saat menerima pelajaran dari Nabi Khidir. Sudah tentu pikiran
seperti itu telah membawa Nabi Musa pada kegagalan dalam belajarnya.
Kisah tersebut menyiratkan betapa
pentingnya berprasangka baik dan berpikir positif dalam memandang orang lain
maupun menyikapi sebuah peristiwa. Paling tidak ada empat poin penting yang
dapat dicatat dari kisah tersebut. Pertama, penilaian seseorang terhadap
orang lain kadang tidak sesuai dengan senyatanya, karena penilaian orang hanya
berdasar pada yang tampak. Padahal keseluruhan kedirian orang tidak bisa hanya
dilihat dengan mata telanjang.
Kedua, berbaik sangka dan berpikir
positif dapat mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan. Dalam hal ini terdapat
satu teladan dari Rasulullah Saw. Pada saat seluruh kafilah Arab berkumpul di
Makkah pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu, Allah memerintahkan Rasulullah
untuk menyampaikan risalah Islam kepada semua kafilah itu. Namun yang terjadi
justru mereka mengejek dan menyakiti Rasulullah serta melumuri wajahnya dengan
pasir.
Di tengah terjadinya peristiwa
itu malaikat Jibril mendatangi Rasulullah. “Wahai Muhammad, (dengan perlakuan
mereka ini) sudah sepantasnya jika kamu berdoa kepada Allah agar Ia
membinasakan mereka seperti doa Nuh atas kaumnya.” Kata Jibril. Rasulullah
segera mengangkat kedua tangannya. Tetapi yang terucap dalam doanya bukan
sebuah doa kutukan, melainkan untaian permohonan maaf dan harapan bagi
orang-orang yang telah menyakitinya; ‘Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku.
Sesungguhnya (mereka melakukan semua ini terhadapku) hanya karena mereka tidak
tahu. Ya Allah, tolonglah aku agar mereka bisa menyambut ajakan untuk taat
kepada-Mu.’”
Pilihan Rasulullah untuk tidak
menuruti saran Jibril ini ternyata tidak salah. Tidak lama setelah peristiwa
itu, mereka yang pernah menyakitinya berangsur-angsur memeluk Islam dan menjadi
sahabatnya yang paling setia. Hal ini seperti terekam dalam surat al-Fushshilat
ayat 34, “Tanggapilah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka
tiba-tiba orang yang antaramu dengan dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat akrab.”
Ketiga, berbaik sangka dan berpikir
positif dapat menyelamatkan hati dan hidup seseorang. Sebab hati yang bersih
adalah hati yang tidak menyimpan kebencian. Hati yang tenteram adalah hati yang
tidak memendam syakwasangka dan apriori terhadap orang lain. Dan hati yang
berseri-seri hanyalah hati yang selalu berpikir positif bagi dirinya maupun
orang lain.
Kebencian, berburuk sangka, dan
berpikir negatif hanya akan meracuni hati. Oleh karena itu, ketika orang-orang
Yahudi mengumpat Rasulullah yang sedang duduk santai bersama ‘Aisyah dan
‘Aisyah terpancing untuk membalas menyumpahi mereka, Rasulullah segera
mengingatkan ‘Aisyah, “Kamu tidak perlu begitu, karena sesungguhnya Allah
menyukai kesantunan dan kelemah-lembutan dalam segala hal.” (Al-Bukhari dan
Muslim, dari Aisyah).
Keempat, berpikir positif bisa membuat
hidup seseorang lebih legowo, karena Allah seringkali menyiapkan
rencana-rencana yang mengejutkan bagi hamba-Nya. Sebuah peristiwa yang terjadi
pada Umar bin Khaththab dapat dijadikan contoh hal ini.
Salah seorang puteri Umar,
Hafshah, baru saja menjanda. Umar menemui Abu Bakar untuk menawarinya agar mau
menikahi Hafshah. Ternyata Abu Bakar menolak. Umar kemudian menawari Utsman bin
Affan, namun Utsman pun menolaknya.
Dalam kegalauan itu, Umar mengadu
kepada Rasulullah tentang sikap kedua sahabatnya tersebut. Rasulullah kemudian
menuntun Umar agar selalu berpikir positif sehingga ia bisa menjalani hidup
dengan legowo. Rasulullah bahkan berdoa, “Semoga Allah akan menentukan pasangan
bagi Hafshah, yang jauh lebih dari Utsman; serta menentukan pasangan bagi
Utsman, yang jauh lebih baik dari Hafshah.”
Ternyata, tak lama setelah itu,
Rasulllah menikahkan Utsman dengan puteri beliau sendiri. Dan setelah itu,
beliau pun menikahi Hafshah. Wallahu a’lam bi al-shawab.