Jumat, 15 Juni 2012

Air Mata Karena Allah

”Tidak akan masuk neraka orang menangis kerana takut kepada Allah sehingga ada air susu kembali ke tempat asalnya” (HR Turmudzi). Begitu sabda Nabi yang menegaskan suatu keistimewaan yang diterimakan kepada orang yang mampu meneteskan air matanya karena ketakwaannya kepada Allah.
Penekanan takwa bukan hanya karena rasa takut merupakan salah satu wujudnya, tetapi sekaligus merupakan penegas bahwa air mata yang menetes bukan sekedar akibat dari beban berat batin dan pikiran. Biasanya orang mudah menangis saat mengadu kepada Allah terkait dengan suatu musibah yang dialami, tetapi air matanya sukar menetes jika dia dalam keadaan senang.
Yang disebut terakhir ini bukan termasuk yang dimaksud Nabi dalam sabdanya di atas. Tetapi air mata yang menetes dari rasa kerendahan, kekerdilan, dan kelemahan seorang hamba di hadapan Tuhannya, yang berimplikasi pada sikap pasrah dan taat. Karena pada hakekatnya tidak ada daya bagi manusia untuk menghindar dari perbuatan maksiat dan kekuatan untuk kerbakti selain karena bantuan Allah. Inilah makna la haula wala quwwata illa bi Allah.
Imam Abdur Rahman bin Ahmad al-Qadli, dalam kitab Daqa'iqul Akhbar Kitab Daqa’iqul Akhbar (Detil-Detil Berita), subuah kitab yang berisi ulasan kehidupan “metafisik” dengan pendekatan yang amat “fisikal,” menuturkan bahwa akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat nanti dalam keadaan sangat berat timbangan kejahatannya dan telah diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka.
Salah satu daripada rambut-rambut matanya berkata, ”Wahai Tuhanku, Rasul-Mu, Muhammad, telah bersabda, siapa yang menangis kerana takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan matanya itu ke neraka dan sesungguhnya aku menangis kerana amat takut kepada-Mu.”
Allah akhirnya mengampuni hamba itu dan menyelamatkannya dari api neraka berkat sehelai rambut yang pernah menangis kerana takut kepada Allah. Malaikat Jibril mengumumkan kejadian itu kepada seluruh manusia, dengan berkata, ”Telah selamat Fulan bin Fulan sebab sehelai rambut.”
Imam Al-Ghazali, dalam kitab, Bidayatul-Hidayah (Menjelang Hidayah), juga menceritakan bahwa pada hari kiamat nanti, Allah akan mengeluarkan neraka jahanam dengan disertai suara nyala apinya yang gemuruh. Suara itu membuat semua orang berlutut kerana takut dan sedih terhadap apa yang akan menimpanya.
Allah lalu berfirman, "Kamu lihat (pada hari itu) setiap umat berlutut (yakni merangkak pada lututnya). Tiap-tiap umat diseru kepada buku amalannya. (Dikatakan kepadanya) Pada hari ini kamu dibalasi menurut apa-apa yang telah kau kerjakan." (QS. 45: 28).
Hampir saja nyala api itu menghampiri mereka. Semua orang, bahkan para nabi, memohon kepada Allah agar diselamatkan. ”Diriku, diriku.” (selamatkanlah diriku Ya Allah). Begitu kata-kata yang meluncur dari mulut-mult mereka. Hanya Nabi Muhammad yang mengucap ”Umatku, umatku.”
Diterangkan bahwa suara nyala api neraka itu dapat didengar sejauh 500 tahun dalam perhitungan perjalanan di dunia. Pada saat itu nyala api neraka muncul membentuk gumpalan-gumpalan besar bak gunung-gunung. Umat Nabi Muhammad berusaha menghalanginya dengan berkata, ”Wahai api! Demi hak orang-orang yang salat, demi hak orang-orang yang ahli sedekah, demi hak orang-orang yang khusuk, demi hak orang-orang yang berpuasa, supaya kamu kembali.”
Namun api neraka itu tetap tidak mau beranjak. Lalu Jibril berkata, ”Sesungguhnya api neraka itu menuju kepada umat Muhammad.” Kemudian Jibril membawa semangkuk air dan Nabi meraihnya. Berkata Jibril, ”Wahai Rasulullah, ambillah air ini dan siramkanlah kepadanya.” Lalu Baginda mengambil dan menyiramkannya pada api itu, api itu padam seketika.
Setelah itu Nabi bertanya kepada Jibril, ”Wahai Jibril, Apakah air itu?” Maka Jibril berkata, ”Itulah air mata orang yang durhaka di kalangan umatmu yang menangis kerana takut kepada Allah. Sekarang aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar engkau menyiramkan pada api itu.” Maka padamlah api itu dengan izin Allah.
Begitulah keistimewaan menangis yang didasari rasa takut kepada Allah. Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa cucuran air mata seseorang tergantung pada apa yang dirasakan. Jika timbul karena rasa tunduk kepada keperkasaan Allah maka menjadi tangis karena takut kepada-Nya, dan jika timbul karena mengagumi dan mengharapkan keindahan-Nya maka menjadi tangis rindu kepada-Nya.
Allah mengistimewakan orang-orang yang menangis karena takut kepada-Nya dengan menjamin keselamatan baginya. Mereka adalah yang tersungkur dan bersujud seraya mencucurkan air mata karena perasaan tunduk dan patuh kepada Allah, mendengar ayat Allah dengan sikap mengagungkan sehingga memberi pengaruh dalam jiwanya berupa iman, harapan, rasa takut, yang kesemuanya mendorongnya menangis serta memohon ampun kepada-Nya (QS. 5: 83).

Kamis, 07 Juni 2012

Hinanya Meminta-minta

Nabi pernah menjelaskan tentang keutamaan bekerja dan hinanya perilaku meminta-minta sebagaiman diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Dawud. Nabi bersabda,  “Sesungguhnya mencari kayu bakar dan lalu menjualnya adalah lebih baik daripada meminta-minta yang berarti meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat kelak.”
Imam Anas bin Malik (penulis kitab al-muwaththa’) menuturkan sebuah kisah yang menjadi latar belakang (asbabul wurud) disabdakannya hadis ini. Pada suatu saat ada seorang lelaki dari kalangan Anshar mendatangi Nabi untuk meminta-minta. Nabi lalu bertanya pada lelaki itu, “Apakah di rumahmu ada sesuatu?”
“Ya, ada hils (alas duduk) dan bejana untuk minum.” Jawab lelaki itu.
“Bawalah ke sini benda-benda itu,” Suruh Nabi kemudian kepada lelaki Anshar itu.
Sesaat kemudian lelaki itu datang dengan membawa hils dan bejana. Nabi lalu menawarkan benda-benda tersebut kepada para sahabat barangkali ada yang berminat untuk membelinya. Barang itu kemudian laku seharga dua dirham.
Nabi lalu berkata kepada lelaki itu, “Satu dirham gunakan untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu, dan yang satu dirham sisanya gunakan untuk membeli kapak. Setelah itu datang kembali kepadaku dengan membawa kapak yang telah kamu beli.”
Lelaki itu segera melaksanakan perintah Nabi. Dan setelah ia kembali menghadap Nabi dengan membawa sebuah kapak, Nabi kemudian mengikatkan kapak tersebut pada sepotong kayu sebagai pegangan, sebelum kemudian beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama 15 hari”.
Dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, lelaki itu datang lagi dengan membawa sepuluh dirham. Uang itu ia belikan pakaian dan makanan. Nabi lalu berkata, “Ini lebih baik daripada pergi meminta-minta yang berarti meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat kelak.”
Paling tidak ada tiga pelajaran yang dapat dimabil dari hadis serta asbabul wurud-nya tersebut. Pertama, sikap terhadap kerja. Orang tidak bekerja atau menganggur bisa jadi ia tidak memiliki pekerjaan. Atau ada yang sudah memiliki pekerjaan tetapi ia gampang bosan terhadap pekerjaannya. Tetapi ada juga orang yang memang tidak mau bekerja meski sebenarnya banyak yang bisa dikerjakan. Dan parahnya, kadang ia justru lebih suka meminta-minta. Malah meminta-minta ini dijadikan pekerjaannya baik secara langsung atas nama pribadi atau mengatasnamakan suatu institusi sosial.
Terhadap orang-orang seperti ini Islam memberikan nasehat bahwa kerja itu harus dipandang sebagai ungkapan aktualisasi diri. Dengan demikian kerja tergolong sebagai jihat yang harus dilakukan. Inilah cara Islam dalam membentuk etos kerja, yaitu harus dmulai dengan pembentukan cara pandang (paradigma) terhadap kerja itu sendiri.
Kedua, merubah cara pandang. Nabi dengan sangat brilian telah mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap kerja. Tatkala lelaki Anshar tersebut meminta-minta padanya, beliau tidak langsung memberi, juga tidak langsung memberinya nasihat.
Tetapi Nabi lebih memilih untuk berusaha memberdayakan potensi yang dimiliki orang tersebut dan mengajaknya untuk berperan aktif dalam menyelesaikan persoalannya berupa ketidakmampuan untuk bekerja dengan semestinya. Setelah Nabi  memberikan tenggang waktu dan kesempatan pada lelaki tersebut untuk berusaha, barulah ia memberikan wejangan tentang hinanya meminta-minta dan bagaimana caranya seorang muslim bekerja.
Ketiga, Islam tidak memadang rendah suatu pekerjaan, walau hanya sekadar menjadi pencari kayu bakar. Islam hanya memandang hina pekerjaan yang dilakukan dengan cara salah, merendahkan diri seperti mengemis, ataupun yang merugikan orang lain.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika seseorang di antara kamu sekalian mau mengambil dan membawa seikat kayu bakar di punggungnya dan lalu menjualnya (untuk memperoleh penghasilan), itu akan lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain.” (Bukhari).