Pendahuluan
Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai wahyu Allah swt.
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai pegangan hidup (way of
life), sumber ilmu pengetahuan, dan
merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah kenabian dan keumatan. Untuk yang
disebutkan terakhir ini telah dibuktikan dalam sejarah kenabian Muhammad saw,
bahwa al-Qur'an terbukti mampu menjawab hampir seluruh tantangan risalah yang
diembannya. Dalam segi kebahasaan saja al-Qur'an terbukti mampu menundukkan bangsa
Arab yang terkenal sangat piawai dalam menyusun sya’ir, bahkan mampu meluluhkan
kekerasan hati orang kafir, seperti yang tergambar dalam peristiwa masuk
Islamnya Umar Ibn al-Khattab.
Sebagai sumber segala ilmu pengetahuan, al-Qur'an telah
banyak digali oleh para ilmuwan dari berbagai macam disiplin ilmu, termasuk
oleh para mutasawwifun dan ahli sufi. Mereka telah banyak melakukan
interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an terutama untuk merumuskan
pandangan-pandangannya. Tafsir Sufi, yang akan dibahas lebih lanjut, adalah
salah satu bukti produk mereka.
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi hanya pada beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Tafsir Sufi sebagai salah satu
bentuk khazanah ilmu tafsir.
2.
Kontraversi seputar Tafsir Sufi.
Pengertian Tafsir Sufi dan Kitab-kitab Tafsir Sufi
Dengan Penyusunnya
Sufi atau tasawwuf
secara etimologi berasal dari kata صوف, yang berarti bulu. Kaum sufi (pada abad pertama hijriyah)
berbeda dengan orang kebanyakan dari segi pakaian kebanggaan yang dikenakannya.
Mereka lebih suka mengenakan pakaian dari bulu domba, sebagai simbol upaya
mereka dalam menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Atau berasal dari kata صفاء, yang berarti bersih. Menunjukkan suatu
pengertian bahwa seorang murid, orang yang melakukan perjalanan sufi,
baik secara lahiriah maupun batiniah bersih dari hal-hal yang bertentangan
dengan Tuhannya. Dan atau diambil dari kata صفّة, yang berarti teras (emperan), dengan mengadopsi sebutan
tersebut dari sifat para sahabat Nabi saw. yang tergolong fakir (أهل
الصفة), [1]
yang menetap di teras masjid untuk mempelajari agama.
Tasawwuf dalam pengertian seperti ini sebenarnya telah
muncul sejak masa awal Islam (sadr al-Islam). Pada saat itu hampir
mayoritas sahabat Nabi saw. mengambil sikap menjaga jarak atau bahkan
menjauhkan diri dari seluruh kesenangan-kesenangan duniawi, dan memilih jalan
zuhud dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah kepada
Allah). Mereka beribadah di malam hari, dan puasa pada siang harinya. Bahkan
dalam proses pendidikan diri (al-tahdhib) sebagian dari mereka ada yang
sampai mengganjal perutnya dengan batu.
Kata sufi menjadi suatu istilah yang baku baru pada abad
ke-II hijriah. Orang yang pertama kali disebut “sufi” adalah Abu Hashim al-Sufi
(w. 150 H)[2].
Sedangkan sufi atau tasawwuf dalam arti terminologis, menurut Ibn Khaldun,
adalah beribadah kepada Allah secara kontinu, mempergunakan seluruh waktu
untuknya, berpaling dari dunia dengan seluruh keindahannya, zuhud terhadap
semua kecenderungan manusia, seperti kesenangan, harta, dan pangkat, dan
menyendiri (al-khalwah) dari manusia lain untuk beribadah[3].
Lebih tegas Ibrahim Basyuni mengatakan bahwa tasawwuf adalah kesadaran fitriyah
yang mendorong diri untuk secara bersungguh-sungguh melakukan munajat sampai ia
merasakan persambungan (al-wusul) dengan Dhat yang Mutlak[4].
Dengan demikian sufi atau tasawwuf bisa didefinisikan
sebagai aktifitas munajat dalam hati, yang menjadi suatu kesucian bagi orang
yang hendak menyucikan dirinya, dan menjadi suatu kebersihan bagi orang yang
hendak membersihkan dirinya dari kotoran. Dalam munajat ini seseorang telah
memasuki dimensi “kedalaman” yang tidak dapat ditembus apabila hatinya masih
kotor, sehingga ia harus membersihkan terlebih dahulu dari syahwat dan
kesenangan jasmaniyah. Dari sisi dapat dipahami bahwa didalam tasawwuf itu
terkandung unsur pikiran, perbuatan jasmani, pelajaran, dan laku spiritual.[5]
Kemunculan sufi atau tasawwuf pada masa pertama hanya dalam
bentuk perbuatan (‘amaliyah). Dan baru pada abad ke-II tersebut ia mulai
menjadi suatu wacana (dicource) aktual di kalangan umat Islam, sesuai
dengan perkembangan wacana filsafat, kalam (teologi) dan fiqh. Bahkan ketiga
disiplin ilmu tersebut juga turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan
sufi. Munculnya warna yang dominan dalam suatu konstruksi pemikiran sufi
membuktikan adanya kontribusi tersebut, seperti warna filosifis dalam pemikiran
tasawuf Ibn ‘Arabi, warna teologis dan fiqhiyah dalam pemikiran al-Ghazali, dan
lain sebagainya. Meski demikian, perbedaan warna tersebut tetap mengacu kepada
sumber yang sama, yaitu al-Qur'an dan al-Hadith. Perbedaan yang ada lebih
disebabkan oleh perbedaan metodologi dan sudut pandang yang diterapkan. Dan
metode-metode yang digunakan oleh kaum sufi dalam menggali sumber yang pertama
(al-Qur'an) itulah yang menjadi pokok kajian Tafsir Sufi.
Dalam perkembangan selanjutnya, sufi ini terbagi dua, yaitu
al-nazari (teoritis) dan al-‘amali (praktis)[6].
Yang dimaksud dengan al-nazari adalah sufi yang didasarkan pada studi
dan analisis. Sedangkan yang dimaksud dengan al-‘amali adalah sufi yang
didasarkan pada aktifitas ibadah kepada Allah, seperti dengan cara hidup
sengsara, zuhud dan fana’[7].
Pada tataran teoritis, perjalanan spiritual (al-suluk)
kaum sufi memang berbeda-beda, meskipun semuanya didasarkan atas dalil-dalil
naqli, terutama al-Qur'an. Hal itu lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara
pandang mereka terhadap al-Qur'an. Namun
sebenarnya perbedaan tersebut masih
dapat ditarik benang merahnya. Kaum sufi, secara keseluruhan, sependapat bahwa
al-Qur'an itu mempunyai dua dimensi, zahir dan batin[8].
Dibawah setiap huruf-huruf yang ada terkandung banyak pemahaman yang disediakan
bagi seseorang yang mampu membedahnya[9].
Menurut al-Zamakhshari dan Ibn al-Jawzi, apabila yang dimaksud zahir
adalah lafaz (bahasa), sedangkan batin adalah makna lafaz
tersebut, maka batin itulah yang dijadikan pedoman oleh kaum sufi dalam
memahami al-Qur'an, bukan berpedoman pada kaidah bahasa atau makna yang
disimbolkan oleh bahasa tersebut (al-madlul)[10].
Dari sini Tafsir Sufi dapat didefinisikan sebagai tafsir al-Qur'an yang dihasilkan oleh kaum
sufi. Dan karena sufi pada perkembangan selajutnya mempunyai banyak
kecenderungan, maka tafsirnya juga sangat berfariasi, seperti yang akan
dijelaskan lebih lanjut.
Adapun diantara kitab-kitab Tafsir Sufi yang ada adalah.
1.
Tafsir al-Qur’an al-’Adhim,
karangan Abu Muhammad Sahl al-Tusturi.
2.
Haqaiq al-Tafsir, karangan
Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami.
3.
‘Arais al-Bayan fi Haqaiq
al-Qur’an, karangan Abu Muhammad al-Shirazi.
4.
al-Ta’wil al-Najmiyah,
karangan Najm al-Din dan ‘Ala’ al-Daulah al-Samnani[11].
dan
beberapa kitab yang lain, seperti kitab tafsir yang dinisbatkan kepada
Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yaitu kitab al-Futuhat al-Makiyah dan al-Fusus[12].
Pembagian Tafsir Sufi Berkaitan Dengan Panafsiran
Al-Qur’an
Amir ‘Abd al-’Aziz[13]
memahami bahwa kaum sufi
menilai tafsir mempunyai dua cara:
Pertama, cara yang diterapkan oleh kaum rusumiyah (skripturalisme),
yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan hanya berpedoman pada teks yang tertulis.
Dan secara praksis tanpa mencurahkan mata hati
(al-basirah); dan kedua,
cara yang digunakan oleh kaum sufi, yaitu menggali kedalaman al-Qur’an untuk mengungkap kandungan
maknanya.
Kaum sufi lebih menitikberatkan penafsirannya pada
pengungkapan makna terdalam yang dikandung al-Qur'an, dan itu, menurutnya,
hanya bisa ditembus dengan mata hati[14].
Dalam hal ini diantara kaum sufi sendiri
mempunyai metode atau teori yang berbeda-beda. Al-Dhahabi[15]
mencatat ada dua teori besar (grend teory) yang mereka lahirkan, yang
sekaligus digunakan untuk membagi Tafsir Sufi, yaitu al-Tafsir al-Sufi al-Nazari dan al-Tafsir al-Faidi aw al-Ishari.
Dan keduanya ternyata sangat komparatif dengan dua kecenderungan yang ada di
kalangan sufi, teoritis dan praktis, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Menurut
al-Dhahabi, yang dimaksud dengan al-Tafsir al-Sufi al-Nazari adalah tafsir yang didasarkan atas
pandangan-pandangan ilmiah dan filsafat. Seorang sufi menafsirkan al-Qur’an
dengan menyesuaikan penafsirannya dengan pandangan-pandangan pribadinya. Sudah
tentu hal ini tidak mudah, mengingat al-Qur’an itu diturunkan tidak untuk
menjustifikasi suatu pandangan tertentu, tetapi yang diupayakan adalah mencari
pemahaman al-Qur’an yang bisa dipakai sebagai dasar atau pegangan bagi
pandangannya. Metode ini diterapkan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi[16].
Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah dalam surat Maryam ayat 47
berkenaan dengan Idris a.s. ورفعناه مكانا عليا, ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makan ‘ulya
adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu matahari, yang
merupakan tempat Idris. Sedangkan tentang kedudukan seperti dalam surat
Muhammad ayat 35 وأنتم
الأعلون والله معكم , itu
hanya dimiliki oleh Muhammad.
Adapun yang dimaksud dengan al-Tafsir al-Faidi aw al-Ishari adalah
menafsirkan atau menakwilkan al-Qur’an sesuai dengan pemahaman yang ditunjukan
oleh isyarat samarnya (al-isharat al-khafiyah), yang hanya bisa
dipahami oleh seseorang yang telah melakukan perjalanan spiritual (salik)
saja. Dalam metode ini, menurut Subhi Salih[17],
seperti komentarnya tentang al-Alusi dan kitab tafsirnya, Ruh al-Ma’ani,
mufassir sama sekali tidak menafsirkan teks zahir (zahr
al-ayah), tetapi memberikan isyarat pada sebagian makna yang samar dengan
berpegangan pada isyarat teks atau ayat tersebut.
Perbedaan antara kedua metode ini bisa dilihat sebagai
berikut.
1.
Dalam menafsirkan al-Qur’an,
kelompok yang pertama terlebih dahulu membuat rumusan pandangan-pandangannya,
kemudian mereka mencari ayat yang bisa memperkuat pandangannya tersebut. Sedang
kelompok yang kedua berpegangan pada riyadah ruhiyah yang dilakukan,
sehingga mereka sampai kepada tingkat terbukanya isyarat Tuhan yang tersirat
dalam ungkapan al-Qur’an.
2.
Kelompok pertama
menganggap tidak adanya
suatu pemahaman selain apa yang
telah
mereka pahami. Sedangkan kelompok kedua masih menganggap
banyak pemahaman-pemahaman lain yang terkandung, yaitu makna zahir[18].
Kedudukan Tafsir Sufi dan Penilaian Para Ulama Terhadap
Tafsir Sufi
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Tafsir
Sufi itu merupakan hasil interpretasi kaum sufi terhadap al-Qur’an sesuai
dengan kecenderungan pribadinya. Dan juga faktor pemikiran kontemplatif
tampaknya lebih dominan daripada faktor analisis empirik. Melihat fakta ini,
Subhi Salih menggolongkan tafsir ini pada bagian al-tafsir bi al-ra’yi,
seperti al-tafsir al-mu’tazili dan al-tafsir al-batini, tetapi
pada bagian tafsir yang tercela (al-mazmum), karena penafsirnya hanya
bertujuan untuk menguatkan kecenderungan, perasaan, dan penemuan pribadinya
sendiri[19].
Hal ini sama saja dengan merendahkan derajat al-Qur'an kebawah kehendak
manusia.
Para ulama berbeda pendapat dalam menilaian Tafsir Sufi
ini, meski perbedaan yang ada masih bisa ditarik pada satu kesimpulan, yaitu ia
dapat diterima sebagai tafsir apabila memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang
akan dijelaskan lebih lanjut.
Menurut Sayyid Jibril, dari dua metode Tafsir Sufi yang
dijelaskan diatas, hanya metode yang kedua yang bisa diterima, mengingat yang
pertama cenderung merendahkan derajat al-Qur’an dibawah pikiran penafsirnya,
karena yang dilakukan adalah memberikan pemahaman terhadap al-Qur’an sesuai
dengan pikirannya sendiri[20].
Hal senada juga disampaikan oleh Manna al-Qattan, bahwa mufassir yang
pertama itu telah tenggelam pada penakwilan batiniyah, berbeda dengan
yang kedua, itupun dengan catatan apabila tafsirannya terdapat kesesuaian (dan
tidak bertentangan) dengan teks zahir[21].
Subhi Salih mengungkap masalah ini lebih jelas, yaitu
dengan membagi tafsir ini menjadi tiga: Tafsir Sufi, tafsir ishari, dan tafsir
batini. Dan sebenarnya tafsir yang tidak dapat diterima itu adalah hanya tafsir
batini, sebab sangat jauh dari teks ayat[22].
Meskipun sebenarnya perbedaan antara Tafsir Sufi dengan tafsir batini itu sudah
sangat jelas, tepatnya dalam konteks zahir. Kaum sufi tidak menolak zahir
sama sekali, sedangkan kaum batini bersikap sebaliknya, mereka sama sekali
menolak zahir, karena menurut
mereka shari’ itu hanya menghendaki yang batin[23].
Al-Zamakhshari dalam al-Burhan, seperti yang dikutip
oleh al-Zarqani, berbeda dengan berbagai penilaian diatas. Ia sama sekali
menolak Tafsir Sufi, sebab, menurutnya, perkataan seorang sufi tetang tafsir
al-Qur’an itu sebenarnya bukan tafsir, tetapi hanya arti-arti atau
penemuan-penemuan yang didapatkannya saat membaca al-Qur’an[24].
Pendapat ini diperkuat oleh al-Suyuti, dimana ia menilai perkataan seorang sufi yang terkait dengan
ayat al-Qur'an itu bukan tafsir. Ia juga mengutip pendapat Ibn al-Salah dalam
kitab Fatawi, bahwa apa yang ditulis oleh al-Sulami dalam kitab Haqaiq
al-Tafsir itu apabila diyakini sebagai sebuah tafsir maka yang bersangkutan
telah terjerumus kedalam kekafiran[25].
Sikap moderat antar dua pendapan yang ekstrim ini diberikan
oleh Al-Dhahabi dengan mengemukakan beberapa syarat untuk bisa diterimanya
Tafsir Sufi (ishari), yaitu sebagai berikut.
1.
Tidak menafikan makna lahir
(pengertian tektual) dari ayat al-Qur’an.
2.
Penafsiran itu diperkuat oleh
dalil shar’ yang lain.
3.
Penafsiran itu tidak bertentangan
dengan dalil shar’ atau rasio.
4.
Penafsirnya tidak mengakui bahwa
penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian
tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat [26].
Al-Zarqani menambah satu syarat lagi, yaitu.
5.
Penafsirnya tidak
lemah. Seperti menafsirkan kata
لمع danالمحسنين dalam
ayat إِنَّ
اللهَ لَمَعَ اْلمُحْسِنِيْنَ bahwa kataلَمَعَ sebagai fi’il madi dan المُحْسِنِيْنَ sebagai maf’ulnya[27],
yang berarti “Sesungguhnya Allah itu memberi isyarat (petunjuk) kepada
orang-orang yang baik.”
Penutup
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.
Tafsir Sufi dengan berbagai ragam
bentuknya adalah bagian dari tafsir bi al-ra’yi. Namun melihat pada
dominasi unsur kontemplasi yang ada didalamnya, akal intuitif lebih banyak
berperan dalam menghasilkan al-ra’y daripada rasio.
2.
Hampir mayoritas ahli tafsir
berpendapat bahwa dari model Tafsir Sufi yang ada, hanya tafsir ishari yang
bisa diterima, itupun harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Sebagai penutup, penulis beristighfar kepada Allah, karena
hanya Dialah kebenaran yang absolut.
BIBLIOGRAFI
al-‘Aridl, Ali Hasan. Tarikh ‘Ilm
al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. terj. Ahmad Akrom. Cet II, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1994.
al-’Ak, Khalid Abd al-Rahman. Usul
al-Tafsir wa Qawaiduh. Bairut: Dar al-Nafa’is, 1986.
al-’Aziz, Amir ‘Abd. Dirasat fi ‘Ulum
al-Tafsir. Bairut: Muassasah ar-Risalah Dar al-Firqan, 1983.
Basyuni, Ibrahim. Nash’at al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: Dar
al-Ma’arif bi Misr, t.t.
al-Dhahabi, Muhammad Huseyn. al-Tafsir wa
al-Mufassirun. Vol. 3, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1962.
Jibril, Muhammad al-Sayyid. Madkhal ila
Manahij al- Mufassirin. Kairo: al-Risalah, 1987.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. Bairut: Dar al-Qalam,
1981.
al-Qattan, Manna Khalil. Mabahith fi ‘Ulum
al-Qur’an. Manshurat al-‘Asru al-Hadith, 1973.
al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Vol. II.
Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Subhi Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an.
Bairut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, tt.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adhim. Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
[1]Muhammad
Huseyn Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadithah, Vol III, 1962), 337
[2]Ibid,
338
[3]Ibn
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Bairut: Dar al-Qalam, 1981),467
[4]Ibrahim
Basyuni, Nash’at al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr,
t.t), 28
[5]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 338
[6]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 339. Istilah “teoritis” dan “praktis” diambil dari terjemah Ahmad Akrom terhadap
buku Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Ali Hasan
al-‘Aridl. Cet II, Jakarta: PT Raja Grafindo Prsada, 1994.
[7]Ibid,
338
[8]Stetemen
ini awal mulanya diungkapkan oleh golongan Shi’ah Isma’iliyah saat meletakkan
dasar-dasar menafsirkan al-Qur’an, yang didasarkan pada sebuah hadith yang
diriwayatkan oleh al-Alusi bahwa ia berkata: روي عن الحسن قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع Lihat Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij
al- Mufassirin (Kairo: al-Risalah, 1987), 150
[9]Khalid
Abd al-Rahman al-’Ak, Usul al-Tafsir wa Qawaiduh (Bairut: Dar
al-Nafa’is, 1986), 211
[10]Jibril,
Madkhal ila, 210
[11]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 380-393
[12]Ibid,
340
[13]Amir
‘Abd al-’Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Tafsir (Bairut: Mu’assasah al-Risalah
Dar al-Furqan, 1983), 167
[14]Ibid
[15]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 339-352
[16]Manna
Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Manshurat al-‘Asru
al-Hadith, 1973), 356
[17]Subhi
Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut: Dar al-’Ilm li al-Malayin,
), 296
[18]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 377; Idem Jibril, Madkhal
ila, 212-213
[19]Salih,
Mabahith fi, 294
[20]Jibril,
Madkhal ila, 213
[21]al-Qattan,
Mabahith fi, 356-357
[22]Salih,
Mabahith fi, 297
[23]Muhammad
‘Abd al-‘Adhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II
(Bairut: Dar al-Fikr, t.t), 79
[24]Ibid,
78
[25]Jalal
al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an Vol. II (Bairut: Dar
al-Fikr, t.t), 184
[26]Al-Dhahabi,
al-Tafsir, 377
[27]al-Zarqani,
Manahil al-‘Irfan fi, 81