Sejak kemaren kita telah masuk di tahun baru
1434 menurut penanggalan hijriyah. Sejak itu juga ingatan kita tentang sejarah awal
pembentukan masyarakat yang Islami disegarkan kembali. Tepatnya peristiwa
hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Memang pada saat itu penanggalan tahun hijriyah
belum dimulai. Malah baru dicanangkan di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Itu
pun setelah dia disadarkan tentang pentingnya sistem penanggalan oleh surat Abu
Musa al-Asy'ari, salah seorang gubenurnya, yang berisi klarifikasi tentang
beberapa surat Umar yang diterimanya yang tidak tertera tanggalnya.
Umar kemudian mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah
tentang penanggalan Islam. Ada yang mengusulkan menggunakan penanggalan orang
Qurthubi dan ada yang lebih memilih penanggalan Romawi. Tentang kapan
dimulainya ada yang usul didasarkan pada hari kelahiran Nabi, juga ada yang
berpendapat dimulai sejak hijrahnya ke Madinah. Umar berkata, "Hijrah
telah membedakan antara yang hak dan yang batil, maka mulailah penanggalan
Islam dengannya." Para sahabat kemudian menyetujuinya.
Sedangkan tentang penentuan awal bulan ada yang
berpendapat dimulai dengan bulan Ramadan, ada yang lebih memilih bulan Rabiul
Awal. Namun, Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib sama-sam mengusulkan
agar dimulai dengan bulan Muharram, yaitu bulan setelah bulan Dzulhijjah yang merupakan
waktu haji bagi kaum muslimin. Selain itu, bulan Muharram juga merupakan bulan
dimana kaum Anshar melakukan baiat kepada Nabi.
Sejak saat itu umat Islam telah memiliki sistem
penanggalan tersendiri. Namun tampak ironis di negeri yang pemeluk Islamnya
terbesar di dunia ini penanggalan Hijriyah kalah populer dengan penanggalan
Masehi. Tetapi ironi ini menjadi maklum karena penanggalan yang dipakai oleh
negara adalah penanggalan Masehi. Yang sangat ironis adalah orang Islam sendiri
justru tidak mengehatui penanggalan hijriyah, sebab hal ini menunjukkan
tercerabutnya dari akar budayanya sendiri.
Kalau para sahabat waktu itu tidak mau menggunakan
penanggalan Romawi, Persi, dll., maka kita tidak memilih sikap seperti mereka.
Kita tetap menggunakan asal kita tidak menutup mata sama sekali terhadap
penanggalan yang kita miliki sendiri.
Adapun terkait dengan peringatan tahun baru
hijriyah apalagi dikatkan dengan bulan Muharram (Syuro merunut orang Jawa),
banyak sekali tradisi yang berkembang di masyarakat. Ada yang sekedar
mengadakan pawai obor dan tabligh akbar. Ada juga yang melakukan ritual-ritual
tertentu seperti yang berkembang lestari di daerah Yogyakarta, yaitu larung
sesaji, di Surakarta, yaitu arak-arakan kerbau yang bernama Kiai Slamet, di
Gunung Lawu ada ritual khusus yang dilakukan oleh sebagian orang di malam
tanggal satu Muharram, dll.
Semua tradisi itu sah-sah saja asal setiap
orang memami dan dapat memilah secara substantif mana yang Islami dan mana yang
hanya sekedar tradisi untuk menyemarakkan sebuah upacara peringatan. Hal ini
sangat penting agar jangan sampai semangat melestarikan budaya peringatan justru
menjerumuskan pada perilaku syirk.
Berbagai tradisi peringatan yang berkembang
tersebut memang tidak bisa lepas dari faktor sejarah keagungan bulan Muharram.
Agungnya bulan Muharram itu sendiri karena memiliki satu hari yang sangat
istimewa, yaitu hari Asyuro, tepatnya tanggal 10 Dzulhijjah. Keistimewaan hari
itu dibuktikan dengan rahmat dan pertolongan Allah yang diberikan kepada
orang-orang yang dikasihiNya.
Di antara keistimewaan hari Asyuro adalah pertemuan Nabi Adam dan
Hawa' di Jabal Rahmat. Sebelum berada di bumi ini keduanya menetap di surga.
Namun setelah keduanya menerjang larangan Allah untuk memakan buah keabadian
(khuldi) Allah kemudian menurunkannya ke bumi secara terpisah. Peristiwa ini
terus dikenang terutama oleh umat Islam, hingga pada saat musim haji tempat itu
banyak dikunjungi para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.
Pada hari itu juga Allah menyelamatkan Nabi Nuh dari bencana banjir
bandang yang menenggelamkan seluruh musuhnya, termasuk anaknya sendiri, Kan'an.
Allah juga menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir'aun dan tentaranya pada
hari itu. Karenanya umat Yahudi dan umat Nasrani mengagungkan hari itu.
Diriwayatkan bahwa Nabi Nuh melakukan puasa pada hari itu sebagai ungkapan rasa
syukurnya kepada Allah atas keselamatan yang diberikan kepadanya. Nabi Musa juga
melakukan ritual yang sama untuk mensyukuri kemenangannya atas Fir’aun.
Karenanya umat Yahudi melakukan puasa pada hari itu dan
menjadikannya sebagai hari raya. Konon kaum Quraish pada masa jahiliyah juga
melakukan puasa pada hari itu, dan mereka menjadikannya sebagai hari keramat,
hingga pada hari itu mereka menjalankan tradisi mengganti kiswah Ka'bah.
Begitu istimewanya hari itu, hingga Nabi Muhammad sediri
menganjurkan kepada umatnya untuk menghormatinya dengan berpuasa, bukan dengan
merayakannya bahkan menjadikannya hari raya. Adapun terkait dengan sejarah
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari itu Nabi menganjurkan supaya diambil
nilai-nilai ruhaniyahnya.
Sebagai umat
Muhammad, kita seharusnya arief dalam menyikapi beragam tradisi perayaan tahun
baru, bulan Muharram, dan hari Asyuro yang ada. Jangan sampai semangat besar
perayaan justru menjadikan kita lupa terhadap nilai-nilai substansial yang
harus kita ambil untuk memperbaiki hidup kita ke depan, baik dalam konteks
kehidupan sosial, keberagamaan, mapun sebagai hamba Allah. Wallahu a’lam bi
al-shawab.