Nabi masih saja tidur
beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana, meski saat Islam telah memiliki
pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani. Menambal sendiri pakaiaanya yang
koyak, memerah sendiri susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk
dijual, dll.
Setiap pulang ke rumah, dan
melihat tidak ada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum baginda
menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. ”Kalau Nabi
berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga,” tutur ‘Aisyah.
Pernah suatu pagi beliau
merasa amat lapar. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Nabi
bertanya kepada ‘Aisyah, “Belum ada sarapan, ya Khumaira?” (panggilan khas Nabi
kepadanya) ’Aisyah menjawab, “Belum, wahai Nabi.” ”Kalau begitu aku puasa saja
hari ini.” timpal Nabi tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.
Beliau bersegera pergi
ke masjid begitu mengengar suara adzan. Pada suatu ketika gerakan salat Nabi
sangat lambat dan berat. Saat itu beliau jadi imam. Kenyataan itu diilihat dan
dirasakan betul oleh para sahabatnya yang menjadi makmum. Mereka pun mendengar
bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Nabi bergesekan antara satu sama lain.
Umar yang tidak tahan
melihat keadaan itu langsung menanyakannya seusai salat. “Ya Nabi, kami melihat
seolah-olah engkau menanggung penderitaan yang amat berat, sakitkah engkau, ya Nabi?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”
“Ya Nabi. Mengapa setiap
kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi
bergesekan di tubuhmu? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Nabi kemudian mengangkat
jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan
dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar.
Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali
bergeraknya tubuh baginda.
“Ya Nabi! Adakah bila
tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak boleh menyediakan
untukmu?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu,
apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di
hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada
umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak
tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat
kelak.”
Baginda Nabi pernah
tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis,
miskin dan kotor. Seolah-olah anugerah kemuliaan dari Allah tidak dijadikan
sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam
keseorangan.
Ketika pintu surga telah
terbuka, seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih saja berdiri di
waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda
terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu
menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Hingga ditanya oleh ‘Aisyah:
“Ya Nabi, bukankah
engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?” Jawab
baginda dengan lunak, “Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba?
Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”
Imam Ahmad mengisahkan
sebuah peristiwa yang dilalui Umar bin Khattab bersama Nabi dari Ibnu Abbas
dengan sanad (silsilah penuturan hadis) yang sahih, bahwa dia berkata,
“Umar bin Khattab
bercerita kepadaku, Aku pernah memasuki rumah Nabi, yang saat itu beliau sedang
berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku
duduk di dekat beliau, aku baru tahu bahwa beliau juga menggelar kain mantelnya
di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain, Tikar itu telah menimbulkan
bekas guratan di lambung beliau. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah beliau ada satu takar gandum. Di
dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini
kedua mataku meneteskan air mata.
“Mengapa engkau menangis,
wahai Ibnul Khattab?” tanya beliau “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak
menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu dan
lemari yang hanya diisi barang itu saja? Padahal Kisra dan Kaisar hidup di
antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah Nabi Allah dan orang
pilihan-Nya, sementara lemari engkau hanya seperti itu.
Dengan lembut Nabi
menjawab, “Wahai Ibnul Khattab, apakah engkau tidak rela jika kita mendapatkan
akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan dunia? ”
Dari kisah-kisah di atas
tergambar cukup jelas bagaimana dunia dimata Nabi. Jika Nabi yang merupakan
makhluk pilihan Allah saja demikian sikap dan pandangannya terhadap dunia, maka
bagaimana dengan kita?