Selasa, 28 Februari 2012

Dunia di Mata Nabi

Nabi masih saja tidur beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana, meski saat Islam telah memiliki pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani. Menambal sendiri pakaiaanya yang koyak, memerah sendiri susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual, dll.
Setiap pulang ke rumah, dan melihat tidak ada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga,” tutur ‘Aisyah.
Pernah suatu pagi beliau merasa amat lapar. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Nabi bertanya kepada ‘Aisyah, “Belum ada sarapan, ya Khumaira?” (panggilan khas Nabi kepadanya) ’Aisyah menjawab, “Belum, wahai Nabi.” ”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” timpal Nabi tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.
Beliau bersegera pergi ke masjid begitu mengengar suara adzan. Pada suatu ketika gerakan salat Nabi sangat lambat dan berat. Saat itu beliau jadi imam. Kenyataan itu diilihat dan dirasakan betul oleh para sahabatnya yang menjadi makmum. Mereka pun mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Nabi  bergesekan antara satu sama lain.
Umar yang tidak tahan melihat keadaan itu langsung menanyakannya seusai salat. “Ya Nabi, kami melihat seolah-olah engkau menanggung penderitaan yang amat berat, sakitkah engkau, ya Nabi?” “Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”
“Ya Nabi. Mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi bergesekan di tubuhmu? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Nabi kemudian mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.
“Ya Nabi! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak boleh menyediakan untukmu?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat kelak.”
Baginda Nabi pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor. Seolah-olah anugerah kemuliaan dari Allah tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.
Ketika pintu surga telah terbuka, seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih saja berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Hingga ditanya oleh  ‘Aisyah:
“Ya Nabi, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?” Jawab baginda dengan lunak, “Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”
Imam Ahmad mengisahkan sebuah peristiwa yang dilalui Umar bin Khattab bersama Nabi dari Ibnu Abbas dengan sanad (silsilah penuturan hadis) yang sahih, bahwa dia berkata,
“Umar bin Khattab bercerita kepadaku, Aku pernah memasuki rumah Nabi, yang saat itu beliau sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat beliau, aku baru tahu bahwa beliau juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain, Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambung beliau. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah beliau ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata.
“Mengapa engkau menangis, wahai Ibnul Khattab?” tanya beliau “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu dan lemari yang hanya diisi barang itu saja? Padahal Kisra dan Kaisar hidup di antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah Nabi Allah dan orang pilihan-Nya, sementara lemari engkau hanya seperti itu.
Dengan lembut Nabi menjawab, “Wahai Ibnul Khattab, apakah engkau tidak rela jika kita mendapatkan akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan dunia? ”
Dari kisah-kisah di atas tergambar cukup jelas bagaimana dunia dimata Nabi. Jika Nabi yang merupakan makhluk pilihan Allah saja demikian sikap dan pandangannya terhadap dunia, maka bagaimana dengan kita?

Kamis, 23 Februari 2012

Mengapa Selalu Ada Politisasi Agama?

         Indonesia yang dikenal sebagai bangsa religius telah berhasil menentukan bentuk sekuler (demokrasi) sebagai sistem bernegara, dan memposisikan agama hanya sebagai salah satu landasan filosofis (moral-etik) bagi setiap upaya-upaya penyelenggaraan negara. Prestasi gemilang ini tidak dapat dilupakan begitu saja karena untuk meraihnya bangsa ini harus melewati masa-masa kritis dalam perdebatan ideologis yang menaruhkan integrasi bangsa. Pilihan terhadap demokrasi memang sangat tepat mengingat dalam bangsa yang pluralis ini demokrasi akan mampu mengakomodasi beragam kecenderungan yang ada, karena ia menjamin kepada setiap individu maupun kelompok untuk dapat dengan bebas menentukan pilihan sekaligus untuk melakukan kreasi-kreasi pengembangan diri demi menyokong kepentingannya.
          Keputusan tersebut menyiratkan bahwa negara dan agama merupakan dua wilayah yang berbeda, dan tidak memiliki hubungan apa-apa kecuali sebatas sebagai basic moral. Negara merupakan bentuk sekuler, sementara agama merupakan perpaduan antara dimensi esoterik dan eksoterik. Setiap upaya pengkaitan politik dengan agama atau sebaliknya berarti merupakan bentuk distorsi kesejarahan. Tetapi sampai saat ini fenomena ‘politisasi agama’ masih tetap menyeruak seiring dengan menajamnya konflik politik (kekuasaan).
Pilihan pada bentuk sekuler tersebut, dalam perspektif strukturalisme, sudah menyiratkan bahwa politik itu sama selaki tidak memiliki hubungan dengan kesadaran spiritual, karena perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya lebih sebagai ungkapan struktural. Artinya dia (subjek) hanyalah sebagai pemain papa (a poor player) dari struktur yang mengungkungnya; entitas individu dengan kedirian subjektifnya tidak diakui atau diabaikan (Cahoone,1996).
Sampai di sini muncul pertanyaan, bagaimanakah perspektif strukturalisme memahami peranan teks-teks keagamaan dalam membentuk suatu pandangan dunia (weltanschoung) bagi pemeluknya? Dalam perspektif ini teks dapat dilihat sebagai satu produk dunia kehidupan seseorang atau kelompok sehingga kedirian subjek dengan dept-conciousnessnya patut dipertanyakan. Artinya seseorang tetap berada dalam kungkungan struktur karena pilihannya untuk mengadopsi pandangan tertentu yang digali dari teks tertentu sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Lalu, apakah seseorang tidak mungkin keluar dari kungkungan struktural? Pertanyaan ini kembali mengingatkan perbedaan mendasar antara eksistensialisme dengan strukturalisme Prancis dalam memahami realitas individu atau masyarakat, di mana perbedaan itu juga menimbulkan persoalan apakah ‘gagasan’ tidak dapat membimbing perilaku?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat pada kenyataan adanya rentang yang jauh antara dunia ide dengan realitas. Terdapat kendala realitas bagi penerjemahan ide secara utuh sehingga entitas ide selalu mengalami perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian (Habermas1996). Lantas apakah ini juga dapat diartikan berakhirnya ideologi? Jika ideologi dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang ketat dan tertutup, dengan tingkat pereduksian realitas sehingga melahirkan pandangan polaristik-dikotomistik maka jawabannya adalah benar, sebab tidak ada realitas atau dunia semacam ini. Eksistensi ideologi hanya terdapat pada level ‘anggitan’.
Dalam konteks dunia ‘anggitan’ inilah teks memainkan peranan signifikan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kesepadanan antara pola berpikir ideologis dengan teks. Tegasnya jika teks –terutama teks-teks keagamaan– dibaca secara tekstual dan tidak melihat realitas di luar teks itu sendiri maka pemahaman yang muncul adalah dogmatis-ideologis. Suatu pemahaman yang melihat teks sebagai realitas itu sendiri.
Tanpa ingin terlibat jauh dalam perdebatan antara strukturalisme dan eksistensialisme, dapat disebutkan bahwa teks dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan pandangan dunia seseorang atau kelompok, dan melalui sosialisasi (indoktrinasi), pandangan dunia ini dapat membimbing perilakunya.

Teks Sebagai Pembentuk Identitas
Teks-teks keagamaan yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu selalu memuat pesan-pesan tentang menegaskan Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh yang meliputi aspek moral dan norma bagi kehidupan individual, masyarakat, dan bahkan penyelenggaraan negara. Model pemahaman keislaman yang dihadirkan dalam teks-teks tersebut sangat kental karakter pembacaan tekstualnya. Sebagai produk sejarah teks-teks itu haruslah dibiarkan sebagaimana adanya. Tetapi untuk menghadirkannya dalam konteks kekinian tentu membutuhkan kontekstualisasi-kontekstualisasi. Jika tidak, misalnya dengan tetap mempertahankan karakter tekstualnya, maka yang muncul adalah suatu model pemahaman dogmatis-formalistik. Karena teks-teks tersebut ditempatkan sebagai resemblance realitas yang diangankan. Pembacaan seperti ini dimungkinkan dengan memandang bahasa kitab suci (teks-teks keagamaan) sebagai bahasa demotik (Fryee, 1962), sehingga dapat dipahami secara deskriptif-realistik. Tegasnya teks adalah realitas itu sendiri.
Model pembacaan seperti ini akan memposisikan teks-teks keagamaan tersebut sebagai blue print realitas yang diangankan. Setiap pandangan yang berbeda dari bunyi lahir teks dinilai sebagai penyelewengan agama. Sesungguhnya model pembacaan tekstual semacam ini telah berlangsung berabad-abad di dunia Islam. Pernyataan ini tidak mengingkari adanya model pembacaan lain, seperti yang dihadirkan para sufi. Tetapi model pembacaan tekstual dengan penekanan pada eksoterisme agama terbukti lebih mendominasi wacana umat Islam.
Hal yang disebut terakhir inilah yang pada gilirannya dapat menjadikan aktivisme politik sebagai pilihan keberagamaan. Hal ini didasarkan kepada kesadaran bahwa risalah Islam merupakan seperangkat tata-nilai dan perundang-undangan bagi pembentukan suatu tatanan sosial yang utuh, seperti yang telah teraktualisasikan dalam kehidupan Nabi dan generasi pertama umat Islam di Madinah, dan yang telah ‘dibekukan’ melalui teks-teks keagamaan klasik yang kemudian disakralkan, dan diangkat melampaui realitas kesejarahannya. Akhirnya ia menjelma menjadi sebuah dogma yang tidak dapat dicari realitasnya dalam lingkup ruang dan waktu kesejarahan,  tetapi  harus  diambil dari teks-teks keagamaan secara apa adanya. Singkatnya, masa lalu harus hadir di masa kini. Itulah ‘anggitan’ utama teks-teks yang menjadi referensi bagi perilaku politik umat Islam.
Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa ‘politisasi agama’ tetap mengikuti episteme zaman klasik. Padahal dalam pandangan klasikisme seperti ini terdapat karakter romantisme yang sangat kuat, yang berkonsekuensi pada pola pandang terhadap masa lalu sebagai yang lebih baik. Naifnya nalar klasik tersebut belum mampu melampaui nalar dogmatiknya (Arkoun, 1992). Pola berpikir dogmatik-ideologis inilah yang selalu mengandaikan realitas di luar wacananya sebagai suatu realitas kegelapan yang harus diubah atau bahkan dihapuskan. Sikap mental semacam ini tentu saja melahirkan eksklusifitas yang menyulitkan bagi terjadinya suatu dialog rasional, sehingga sangat tidak menguntungkan bagi wacana demokrasi, dimana setiap wacana berhak untuk dianut, tetapi dalam praksis sosial perlu dilakukan konsensus berdasar common sense dan kesetaraan hak sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
        Dalam kondisi seperti ini, seperti yang terjadi sekarang, sikap dogmatis-ideologis ini terbukti telah mempertajam potensi konflik baik secara vertikal maupun horisontal. Pernyataan ini didasarkan kepada kenyataan di negeri ini  bahwa politik identitas –etnik, ras, agama, dan mungkin kelas– masih mendominasi kesadaran kolektif masyarakat. Dan yang mengerikan bangsa ini belum memiliki mekanisme konflik kecuali dalam bentuk berdarah-darah.
          Kiranya yang patut disadari adalah suatu kenyataan bahwa setiap zaman pasti memiliki epitemenya sendiri, suatu cara baca tertentu terhadap realitas. Untuk dapat membaca realitas secara baru ini memang membutuhkan keberanian untuk menempatkan teks-teks keagamaan di bawah koridor ilmiah. Tetapi di sini perlu ditekankan pula cara baca para sufi (pembacaan esoteris) yang menempatkan spiritualitas kehidupan keagamaan sebagai dasar utama sebelum seseorang terjun ke dalam aktivisme politik ataupun yang lain, karena pembacaan esoteris ini selalu menekankan pada pencarian esensi dan tidak mau terjebak dalam formalisme dan verbalisme keberagamaan, sehingga ia akan mendorong terbentuknya sikap mental yang lapang, toleran, dan inklusif.[]