Kamis, 29 Maret 2012

Menelisik Iman

Ibnul Qoyyim al-Jauzi mengumpamakan hati orang yang melakukan dosa seperti hati yang berada di antara dua sayap burung. Hati yang diliputi rasa takut. Takut jatuh dari ketinggian, takut tergelincir, dan takut bencana akibat dosa.
Dia menegaskan, “Ketaatan kepada Allah merupakan benteng yang agung. Siapa saja yang memasukinya akan merasa aman dan siapa saja yang keluar darinya akan diliputi rasa takut. Sedangkan dosa akan menimbulkan rasa kesepian dan kegelisahan yang luar biasa.”
Begitulah suasana hati seorang mukmin. Dia akan merasa sedih, gunda, gelisah, dan diliputi rasa takut jika dia telah terlanjur melakukan perbuatan dosa. Perasaan inilah yang merupakan benih rasa penyesalan yang mendalam hingga tidak enggan untuk segera bertaubat. Di sinilah relefansi sabda Nabi, ”Ikutilah keburukan dengan kebaikan (agar dapat) menghapusnya.”
Orang yang merasa tenang-tenang saja dengan gundukan dosa berarti hatinya telah tertutup dan berarti pula kekokohan imannya telah terusik. Orang seperti ini akan enggan bertaubat karena masih merasa kesalahan yang dilakukan masih belum membutuhkan pertaubatan.
Terkait dengan hal ini, Nabi membuat perumpamaan yang lebih tegas, ”Perumpamaan orang beriman yang berbuat dosa adalah seperti orang yang duduk di bawah gunung, dia takut ditimpa gunung tersebut. Sementara orang kafir yang berbuat dosa seperti orang yang menepis lalat lewat di depan hidungnya.”
Sangat jelas perumpamaan perumpamaan yang dibuat Nabi tersebut. Orang kafir menganggap dosa seperti meminum air putih di saat dahaga. Dosa menjadi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan disalurkan. Dosa amat kecil di matanya, seperti orang yang menepis lalat yang lewat di depan hidungnya.
Keadaannya jauh berbeda dengan orang beriman yang tergelincir dalam dosa, cahaya iman dihatinya tidak rela bercampur dengan kegelapan dosa. Dosa yang telah dilakukannya seakan menjulang seperti gunung yang akan jatuh menimbunnya. Dosa itu telah menimbulkan kegelisahan yang luar biasa dan rasa takut.
Begitulah seharusnya perasaan hati orang yang beriman, dia akan merasa gelisah dan takut jika dia sampai terlanjur melakukan perbuatan dosa, sedih karena imannya tidak menjadi benteng yang kokoh baginya untuk melindunginya dari godaan dosa.
Saat ini, mungkin agak langka menemukan orang yang demikian. Di zaman, yang menurut Nabi sudah berusia renta, ini telah ditandai dengan semakin terkikisnya keimanan dan keislaman sebagai pembentuk perilaku bagi pemeluknya sendiri. Tidak heran jika disebutkan balau iman dan Islam hanya tinggal nama sebab pengikutnya tidak lagi mencerminkan sebagai mukmin dan muslim.
Indikasi yang sangat nampak adalah sajian berita kriminal baik di media cetak maupun elektronik. Setiap hari para wartawan kriminal tidak susah menemukan kasus-kasus kriminal yang dijadikan berita. Bahkan media yang secara khusus mengekspos hasus-kasus kriminal tidak pernah kehabisan sumber berita.
Pelaku tindak kriminal yang diberitakan adalah orang yang beriman. Sementara mereka seolah menganggap perbuatannya hanya berdimensi duniawi yang tidak memiliki implikasi apa pun bagi kehidupannya kelak sesudah mati. Rasa bersalah yang ditampakkan hanya kamuflase di hadapan para penegak hukum. Mereka tidak menganggapnya sebagai sebuah gunung yang akan menindih dan menimbunnya sebagaimana telah digambarkan Nabi.
Itu baru orang yang telah tertangkap basah atau terbukti melakukan tindakan kriminal. Belum lagi mereka yang masih diduga melakuan perbuatan tercela dan asusila. Sebagai seorang yang beriman seharusnya mereka menjadikan dugaan itu sebagai momentum untuk menelisik keimannya.
Misalnya, kalau memang mereka benar-benar melakukan perbuatan yang didugakan, segera mereka mengakui tanpa takut kehilangan popularitas, kejayaan, kekayaan, dll. Tindakan ini justru akan menimbulkan simpati masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran keimanan yang  amat berharga.
Tetapi jika sikap menutup-nutupi kesalahan dengan sedikit konsprirasi pencitraan bersih diri di hadapan publik yang diambil, maka status keimanannya sudah sangat jelas sebagaimana gambaran Nabi di atas. Lebih parah lagi, mereka telah tergolong kelompok orang yang menjual agama dengan dunia, sekelompok orang yang telah tegas diancam  Allah sebagaimana ditegaskan di dalam Alquran.
Untuk itu, sebagai orang yang beriman, sudah selayaknya kita menelisik keimanan di dada kita dengan mengevaluasi sikap kita terhadap perbuatan dosa yang kerap kita lakukan. Penelisikan terhadap keimanan ini juga harus disertai dengan mengevaluasi seberapa besar ketaatan kita kepada Allah telah mampu membentuk perilaku kita sehingga dapat membentengi diri kita dari perbuatan dosa.

Minggu, 25 Maret 2012

Epistemologi Islam Sebuah Pengantar Sangat Singkat


Pendahuluan
Betapapun pengetahuan merupakan masalah yang selalu relevan dikaji, bahkan ia mempunyai sejarah yang panjang sepanjang kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah banyak mencatat tentang bagaimana upaya manusia untuk mencari pengetahuan sejati untuk sampai pada kebenaran—dalam konteks nilai pengetahuan. Al-ghazali, untuk tidak menyebut semua, menulis sebuah otobiografi tentang masalah ini, Al-Munqidz Min Al-Dhalal. Tentu saja bukan hanya al-Ghazali yang gelisah akan nilai pengetahuan. Dalam setiap zaman dan waktu selalu saja ada manusia yang memertanyakan nilai pengetahuan.
Dalam dunia pengetahuan terdapat berbagai aliran pengetahuan, seperti rasionalisme, empirisisme, dan intuisisme. Rasionalisme mengandaikan bahwa kemampuan manusia mengetahui realitas hanya dengan fakultas rasio belaka. Berbeda dengan rasionalisme, empirisisme mengandaikan bahwa manusia hanya mampu mengetahui realitas berdasarkan kesan indriawinya. Berbeda dengan keduanya, intuisisme menganggap hanya hatilah yang mampu menangkap realitas.
Empirisisme membatasi objek kajiannya hanya pada bidang fisik, sedangkan rasionalisme menitikberatkan kajiannya pada bidang fisik maupun nonfisik. Lain hal dengan intuisisme, ia hanya mampu menangkap realitas yang bisa dihayati atau dijadikan pengalaman diri, experential. Perbedaan tersebut merupakan implikasi dari sumber-sumber pengetahuan itu sendiri yang dianggap valid dalam menangkap realitas (konkret dan abstrak) dan objek (objek-objektif dan objek-subjektif). Tulisan berikut menitikberatkan pada persoalan tersebut, sumber-sumber pengetahuan, terutama dalam tradisi ilmu keislaman.

Epistemologi Islam
Membicarakan sumber-sumber pengetahuan berarti menyoal epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan, khususnya empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan (nilai), struktur, batas, dan sumber (Adian, 2002;17). Epistemologi sebuah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya (Yazdi, 2003;83). Sederhananya epistemologi adalah teori pengetahuan. Ia membahas bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai oleh manusia? Di manakah batas-batas pengetahuan itu? Apakah manusia dalam pengetahuannya menangkap realitas, tak terbatas? Apakah pengetahuan yang diperoleh manusia bersifat pasti? Atau berupa kemungkinan? Kalau pengetahuan yang ditangkap manusia adalah bersifat kemungkinan, sampai di manakah batas kemungkinan tersebut?
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji pengetahuan manusia, kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengetahuan itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan (ma’rifah)? “Ma’rifah dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya ia berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya ia digunakan dalam arti pencerapan khusus (idrak juz’i atau particular perception), dan adakalanya digunakan dalam arti tindak pengingatan ulang (tadzakkur atau recognition). Kadang-kadang ia juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan (Yazdi, ibid;82).”
Perlu dikemukakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu konsep swanyata atau paling jelas. Dengan demikian pengetahuan tidak perlu didefinisikan, bahkan sebagian mengatakan memang tidak bisa didefinisikan. Bukanlah hal yang keliru untuk tidak mendefinisikan pengetahuan, sebab definisi bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang belum jelas. Kalau memang hendak memaksa untuk menjelaskan pengetahuan— haruslah dipahami bahwa hal itu hanya bertujuan untuk memberikan gambaran atau contoh atas pengetahuan itu sendiri— adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.
Kalau epistemologi dipahami sebagai teori pengetahuan, yang jadi pertanyaan kita adalah kenapa harus ada kata sifat dalam epistemologi, seperti epistemologi Islam? Epistemologi Barat? Epistemologi Hindu? Epistemologi Timur? Konsekuensinya kita berasumsi bahwa pengetahuan tidak bersifat universal, melainkan partikular, hingga harus ada pembedaan sifat antara satu epistemologi dengan epsitemologi lainnya. Atau kata sifat yang mengikut pada epistemologi bukan bermakna pada tataran hal tersebut, melainkan hanya terletak pada sumber pengetahuan itu sendiri? Karenanya mendudukkan makna dari kata sifat itu sendiri dirasa sangat perlu.
Epistemologi Islam di sini dimaksud sebagai epistemologi alternatif terhadap epistemologi Barat, yang mempunyai objek pengetahuan berbeda. Dalam epistemologi Barat, dalam hal ini sains positivistik, objek pengetahuan hanya dibatasi pada objek yang bisa dicerap oleh indra atau bersifat fisik. Sains dipahami bukan sebagai pengetahuan sistematis belaka, ia juga harus berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris (Kartanegara, 2003;2-3).
Karenanya, objek-objek metafisika atau nonfisik tidaklah dianggap sebagai objek pengetahuan. Kalaupun objek tersebut mau dianggap sebagai objek pengetahuan, toh manusia takkan mampu mengetahuinya, sebab tuhan tidak bisa dicerap oleh indriawi. Pada sisi lain objek tersebut tidak bisa diverivikasi secara korespondensi. Dengan demikian tuhan disingkirkan dari ranah pengetahuan. Disingkirkan di sini bisa dipahami dua macam. Pertama, tuhan tidak ada; karena tidak bisa dicerap oleh fakultas indriawi atau tidak mampu diverivikasi. Kedua, tuhan itu ada; akan tetapi pengetahuan atasnya tidak mungkin bisa diperoleh oleh manusia. Tentu saja pemahaman bahwa objek nonfisik tidak bisa diketahui menjadi masalah dalam Islam. Bagaimana kaum muslim bisa beriman kepada Allah, kalau Allah itu sendiri tidak bisa diketahui? Agaknya inilah yang dirasa sangat perlu untuk membubuhi kata sifat dalam epistemologi.
Kaum Muslim tentu tidak bisa menerima pandangan epistemologi seperti ini. Salah satu bukti keislaman seseorang adalah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alllah. Dengan begitu, seorang Muslim tidak hanya mengakui bahwa Allah itu ada, melainkan ia juga bersaksi bahwa Dia adalah tuhannya (mengetahui-Nya). Tuhan sebagai wujud nonmateri yang dianggap sebagai objek pengetahuan oleh kaum Muslim juga mengakibatkan bahwa dalam epistemologi Islam, objek pengetahuan tidak hanya dibatasi pada bidang fisik, melainkan juga nonfisik.
Dalam al-Qur’an disinggung dua bidang pengetahuan, yaitu yang tampak dan yang gaib. Mungkin karena hal tersebut para filosof Islam membedakan dua jenis pengetahuan: 1) ‘ilm yang mengungkap ‘alam syahadah; dan 2) ma’rifah yang mendedahkan ‘alam al-ghaib atau alam yang tersembunyi (metafisika). Berbeda dengan epistemologi Barat, terutama sains positivistik, yang hanya mengakui objek fisik sebagai objek pengetahuan. Dengan demikian, objek pengetahuan epistemologi Islam lebih luas dan menyeluruh. Semua wujud merupakan objek pengetahuan, entah itu alam syahadah atau alam gaib.. Betapapun, Barat atau Islam di sini dipahami bukan dalam tataran geografis, melainkan sumber pengetahuan.

Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan. Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fuad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi —yang merupakan cabang filsafat.
Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder. Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fuad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006). Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
1. Indriawi
Fakultas indriawi merupakan daya yang penting dalam pengetahuan manusia. Sebegitu pentingnya, ia dianggap atau diyakini sebagai satu-satunya tolak ukur pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme. Dalam epistemologi Islam, fakultas indriawi terdiri dari dua bentuk; 1) pancaindra lahir; dan 2) pancaindra batin.
Pancaindra Lahir Adalah fakultas yang terdiri dari lima dimensi yaitu: 1) pendengaran (audio); 2) penglihatan (visual); 3) perasa; 4) pencium; dan 5) peraba. Dengan daya pendengaran (telinga), manusia dapat menangkap dimensi suara dari setiap objek fisik. Musik sebagai entitas yang keberadaannya tidak bisa ditunjuk atau tidak mempunyai referensi dalam alam luaran, dikenal melalui dimensi suara, bukan dengan penglihatan. Penglihatan (mata), melalui dimensi ini manusia menangkap berbagai bentuk, keberadaan, dan sifat-sifat atau atribut-atribut objek fisik. Perasa (lidah), melalui daya ini manusia mampu mengenali rasa dari setiap objek, seperti asam, manis, pahit, asin, dll. Pencium (hidung), melalui daya ini manusia mampu membedakan antara aroma yang harum dengan yang tidak harum. Begitu juga dengan daya peraba (kulit), manusia mampu mengenali dingin, panas, lunak, keras, halus, kasar, sejuk, dll. Melalui indriawi kita mengenal lima dimensi objek.
Pertanyaan kita adalah apakah fakultas indriawi mampu menangkap objek dengan sempurna atau sebagaimana adanya? Apakah daya penglihatan telah memberikan pengetahuan yang sebenarnya? Apakah bintang yang tampak kecil ketika dilihat dengan mata telanjang, telah benar-benar mewakili ukuran bintang itu sebenarnya? Apakah kayu yang dimasukkan ke dalam air benar-benar bengkok? Apakah dentuman ledakan yang sampai ke telinga, benar-benar terjadi saat itu, dalam artian ketika suara yang sampai ke telinga berbarengan dengan peristiwa dentuman ledakkan? Ketika orang sedang sakit, flu misalnya, terkadang kemampuan lidahnya atau hidungnya tidak mampu merasakan dengan sempurna. Begitu juga dengan kulit, ketika menggengam batu es dalam waktu yang lama, batu es tersebut bisa berubah menjadi panas. Padahal, sifat es adalah dingin.
Dengan demikian, walaupun fakultas indriawi banyak memberikan manfaat, bukan berarti ia tidak mempunyai kelemahan. Dan yang terpenting, indriawi hanya mampu menangkap objek fisik.
Pancaindra Batin Adalah kecakapan-kecakapan mental yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal. Yang pertama, indriawi bersama (al-hiss al-musytarak). Indriawi ini berfungsi untuk menggabungkan data-data indriawi lahir secara utuh. Pengetahuan yang didapatkan dari mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit bersifat parsial. Untuk menggabungkan pengetahuan itu dibutuhkan indriawi bersama ini. Kedua, khayal atau daya imajinasi retentif. Pengetahuan yang digabungkan oleh indriawi bersama tidak berarti akan lestari di dalam benak. Karenanya ia membutuhkan daya lain untuk melestarikan atau merekamnya. Inilah fungsi daya khayal atau retentive imaginative faculty.
Ketiga, wahm atau daya estimasi. Pancaindra mampu menangkap benda-benda yang cukup rumit, tetapi tidak mampu menangkap “arti-arti” yang dikandung oleh benda. Daya estimasi inilah yang menangkapnya, misalnya, apakah sebuah benda itu bermanfaat atau tidak bermanfaat, aman atau berbahaya, sehingga dengan kemampuan ini manusia mampu mengambil keputusan. Ketika manusia telah mengetahui bahwa kandungan benda tersebut tidak bermanfaat atau berbahaya, ia akan menghindarinya. Sebaliknya, bila kandungan benda tersebut diketahui bermanfaat dan aman, misalnya makanan yang mengandung vitamin, ia akan memakannya untuk kesehatan.
Keempat, imajinasi (mutakhayal atau compositive imaginative faculty). Sebagaimana indriawi bersama (al-hiss al-musytarak) mampu menangkap sebuah objek secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap bentuk (shurah) secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan indra penglihatan dapat dilihat melalui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya bisa melihat satu bentuk dalam sebuah benda, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki (Kartanegara, 2003;23).
Terakhir, indriawi pengingat atau memori (al-hafizhah). Daya ini mempunyai keserupaan dengan daya khayal berfungsi menyimpan pengetahuan indriawi bersama. Quwwah al-hafizhah berfungsi merekam pengetahuan yang didapatkan dari daya imajinasi atau bentuk-bentuk imajiner. Daya ini tidak hanya mampu merekam bentuk-bentuk fisik, melainkan juga bentuk-bentuk abstrak.
2. Akal
Selain indriawi, akal juga merupakan salah satu sumber pengetahuan. Sama dengan indriawi, segera kita bertanya: Apakah akal mampu mengetahui realitas sebagaimana adanya? Objek yang dicerap oleh akal apakah objek-objektif atau objek-subjektif? Apakah akal juga mempunyai keterbatasan seperti sama halnya dengan indriawi?
Dalam tradisi filsafat akal dibagi menjadi dua macam, akal praktis dan teoritis. Akal yang dibahas ini kali adalah akal teoritis. Melalui penglihatan kita mengetahui bahwa bulan itu berbentuk pipih, tapi fakultas akal menyempurnakannya, sehingga diketahui bahwa bulan itu tidak pipih. Penglihatan hanya mampu melihat objek sesuai profil yang tampak kepadanya. Berbeda dengan akal, ia mampu melihat seluruh profil objek, walaupun profil objek yang terlihat oleh mata hanya satu profil. Sebab akal mampu mengabstraksikan sesuatu, karenanya akal dapat melihat seluruh profil dari suatu objek.
Contoh lain, di balik tembok yang terlihat di hadapan saya terdapat sebuah dispenser. Ketika saya melihat tembok tersebut mata saya tidak bisa menangkap keberadaan dispenser, sebab terhalangi oleh tembok. Akan tetapi akal saya bisa mengetahui bahwa ada dispenser di balik tembok. Dengan begitu, akal bersifat melengkapi pengetahuan yang diperoleh oleh daya indriawi lahir.
Di sisi lain, objek akal tidaklah bersifat kendriya (sensible), melainkan kawruhan (intelligible). Tembok yang ditangkap oleh akal, bukanlah tembok yang fisik tersebut (objek-objektif), melainkan tembok abstrak (objek-subjektif). Tidak bisa dibayangkan bahwa akal mengetahui tembok sebagai tembok yang bersifat objek-objektif. Tembok itu harus hadir dalam akal, bayangkan tembok ada di dalam kepala kita. Ketika kita mengetahui konsep api, kenyataan bahwa kita tidak merasakan panasnya api menandakan bahwa objek akal bukanlah objek-objektif. Selain itu, akal juga mempunyai kemampuan untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal dapat mengetahui konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indriawi yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan data-data partikular (Kartanegara, ibid;25).
Dalam memeroleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan (tazjiah) dan penguraian (tahlil) serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas rasio. Berbagai pemilahan dan penyusunan rasional (tarkib ‘aqli) itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada katagorinya (maqulah) masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan (tazjiah) (Muththahari, 2001;53). Di antara aktifitas rasio manusia yang amat luar biasa adalah proses tajrid (melepas) (Muththahari, ibid;55). Karenanya, meskipun indriawi mampu mengetahui dan realitas, terlepas dari kelemahannya, ia tidak mampu mengabstraksikan sesuatu, sehingga ia membutuhkan akal untuk menyempurnakannya. Tentu saja harus disebut bahwa salah satu yang utama dari daya akal ialah kemampuan untuk bertanya secara kritis.
Walaupun tulisan ini hanya membahas gambaran fakultas akal secara umum, rasanya perlu di sini sedikit menyinggung pembagian tingakatan akal dalam tradisi filsafat Islam. Para filosof Muslim membagi tingkatan akal teoritis menjadi tiga bagian (sistem al-Farabi) atau empat bagian (sistem Ibn Sina). Pertama, akal potensial. Menurut Ibn Sina akal potensial adalah kemampuan reseptivitas (quwwah isti’dadiyyah) ke arah hal-hal intelligible. Sedangkan menurut al-Farabi akal potensial adalah kemampuan awal akal yang sama-sama dimiliki oleh semua manusia. Kedua, akal habitual adalah kemampuan, menurut Ibn Sina, akal yang telah dilatih berpikiran abstrak. Ketiga, akal aktual adalah kemampuan berpikir abstrak atau kemampuan mencerap abstraksi, sehingga memungkinkan sang penahu berpikir untuk memeroleh sejumlah pamahaman dan sadar akan pengetahuan sesuatu. Akal aktual menurut al-Farabi adalah kemampuan menangkap arti lepas dari materi. Sedangkan menurut Ibn Sina, ketika menafsirkan surat al-Nur, mengatakan bahwa akal aktual adalah, “...kemampuan lain yang diperoleh oleh akal ketika entitas-entitas intelligible primer muncul di dalamnya. Munculnya entitas-entitas intelligible primer ini merupakan landasan yang di atasnya entitas-entitas intelligible sekunder bisa didapatkan. Proses pemerolehan ini dimunculkan entah dengan kontemplasi, yang disebut pohon zaitun, jika pikiran tidak tajam, atau dengan dugaan yang disebut bahan bakar minyak dari pohon zaitun, jika pikiran benar-benar cerdik.”
Keempat, akal pencapaian (‘aql al-mustafad) adalah kesanggupan akal manusia untuk berpikir abstrak dan sarana yang mampu menerima limpahan dari akal aktif atau kemampuan akal yang telah mampu melepaskan diri dari materi dan sepenuhnya bersifat formal (bentuk). Menurut al-Farabi, akal pencapaian adalah kemampuan menangkap makna dan bentuk murni yang berada di luar alam manusia. Akal pencapaian merupakan puncak kemampuan intelek manusia, sehingga menurut Ibn Sina “...tanpa perlu penyelidikan, ia bisa mencerap objek-objek intelligible yang sebelumnya telah diperoleh dan yang sekarang terlupakan seolah-olah tepersepsi, manakala pikiran menginginkannya.”
3. Hati (Intuisi)
Indriawi, betapapun, masih banyak terdapat kelemahan dalam mencerap realitas. Sedang akal bisa dianggap sebagai salah satu sumber yang cukup kuat. Dengan akal kita dapat mencerap konsep-konsep atau entitas abstrak. Akan tetapi akal masih bersifat terbatas. Misalkan akal tidak mampu mengerti kenapa orang yang sedang kasmaran akan sangat berbeda melihat realitas. Dimaksud berbeda melihat realitas ketika orang yang sedang jatuh cinta adalah, ketika sebuah tempat yang sering dikunjunginya, katakanlah kampus, akan menjadi berbeda maknanya ketika salah satu teman mahasiswanya menjadi dambaaan hatinya. Akal jelas tidak bisa memahami gejala ini, sebab salah satu sifat akal adalah meruang-ruang (spatilize). Jadi, akal melihat realitas, dalam hal ini kampus, suasana kampus tetaplah suasana kampus; tidak ada yang berbeda dari suasana tersebut untuk orang yang sedang kasmaran atau tidak kasmaran. Dengan demikian akal membutuhkan sumber pengetahuan lain, yaitu hati atau intuisi yang bentuk tertingginya adalah wahyu (Kartanegara, ibid;26), untuk memahami realitas.
Berbeda dengan akal yang meruang-ruang, hati bersifat penghayatan (experential) dalam mencerap realitas. Akal sering tidak mampu memahami menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Akal juga tidak mampu membedakan bahwa waktu dan ruang pada titik tertentu atau karena satu hal bisa berbeda-beda maknanya. Hati mampu memahami hal-hal experential seperti ini. Hati juga mempunyai kemampuan mengenal objeknya secara langsung, bukan dengan konsep, seperti akal. Untuk mengetahui indahnya jatuh cinta tidak akan pernah tercapai bila lewat konsep-konsep, melainkan dengan mengalaminya secara langsung; jatuh cinta.

Kesimpulan
Sumber-sumber pengetahuan merupakan salah satu bahasan kajian epsitemologi. Oleh karenanya, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai sumber-sumber pengetahuan, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan epistemologi. Walaupun sumber-sumber pengetahuan tidak hanya akal, indriawi, dan hati, melainkan sejarah dan alam serta wahyu, pemahaman atas ketiga hal tersebut yang menjadi bahasan sumber pengetahuan.
Dengan fakultas apa kita memahami alam, sejarah, dan wahyu? Fakultas indriawi hanya mampu mencerap objek-objek fisik, sehingga objek-objek nonfisik tertutup untuk diketahui. Pada sisi lain, fakultas indriawi terdapat, betapapun fakultas tersebut berguna dalam kehidupan, banyak kelemahan. Sedangkan fakultas akal, walaupun tidak membatasi kajiannya dalam bidang fisik, melainkan mampu mencerap entitas-entitas nonfisik —bahkan pada tingkat akal perolehan, akal benar sama sekali terlepas dari materi dan sepenuhnya formal (bentuk)— ia tetap terbatas dalam menghadapi sisi kehidupan emosional manusia.
Di sinilah letak pentingnya hati, untuk mengisi kekosongan kemampuan akal tersebut. Tentu saja, menggunakan sumber-sumber pengetahuan tersebut pada dunianya masing-masing merupakan langkah yang tepat.
Ketika kita mengetahui kemampuan fakultas indriawi begitu lemah, bukan berarti kita harus menafikan kemampuannya dalam kehidupan. Begitu juga dengan fakultas akal, walaupun bersifat terbatas, bukan berarti harus dipandang remeh. Betapapun hati bersifat langsung dalam menangkap realitas bukan berarti kemampuan fakultas hati mengungguli fakultas yang lain. Kita harus menempatkan fakultas pengetahuan tersebut pada tempatnya masing-masing. Indriawi hanya mampu menangkap objek-objek pengetahuan bersifat kendriya (sensible). Akal hanya mampu menangkap objek-objek pengetahuan berisifat kawruhan (intelligible). Hati mampu menangkap objek-objek yang bersifat experential. Memadukan semua sumber pengetahuan mengandaikan kemampuan menangkap realitas dari berbagai bidang dan dimensi. Dengan demikian pengetahuan yang didapatkan dengan memadukan semua sumber pengetahuan tersebut bersifat menyeluruh. Paradigma holistik, demikian orang bijak meyebutnya. []

Kamis, 22 Maret 2012

Enam Wasiat Nabi

Ali bin Abi Thalib pernah menceritakan bahwa pada suatu saat ada seorang lelaki yang menghadap Nabi, dan berkata: “Wahai Rasulullah, ajarilah aku suatu amalan yang membuatku dicintai Allah, dicintai para makhluk, Allah memperbanyak hartaku, menyehatkan badanku, memanjangkan umurku, dan membangkitkanku di mahsyar bersamamu.”
Nabi kemudian bersabda: “Permintaan yang enam hal itu memerlukan enam hal yang lainnya: 1) kalau kamu ingin dicintai Allah maka takutlah kepada-Nya dan bertakwalah; 2) kalau kamu ingin dicintai para makhluk mak berbuat baiklah kepada mereka dan jangan berharap sesuatu dari yang mereka miliki; 3) kalau kamu ingin diperkaya dalam harta maka zakatilah harta bendamu; 4) kalau kamu ingin disehatkan badanmu maka perbanyaklah sedekah; 5) kalau kamu ingin diperpanjang umurmu maka bersilaturahmilah kepada kaum kerabatmu; 6) kalau kamu ingin dikumpulkan bersamaku di padang mahsyar maka perpanjanglah sujudmu kepada-Nya.”
Pertama, bertakwa. Dikisahkan, suatu saat Dzunnun al-Misri berjalan di tepi sungai nil. Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking besar sedang merayap mendekati air. Ternyata di sana sudah ada seekor katak yang sedang menunggu kedatangannya. Kalajengking itu kemudian naik ke punggung katak untuk diantar ke seberang.
Di seberang sungai tampaknya ada seekor ular berbisa yang sedang melata mendekati seorang pemuda. Namun, sebelum ular itu berhasil mendekat dan mematuk si pemuda, kalajengking terlebih dulu menjepit kepalanya hingga mati. Pemuda itu pun selamat dari ancaman ular berbisa tadi.
Begitulah salah satu contoh penjagaan Allah kepada seseorang lantaran ketakwaannya. Nabi bersabda: “Jika kita ingin kuat berserahlah kepada Allah. Jika kita ingin mulia bertawakallah pada-Nya. Dan jika kita ingin menjadi yang paling kaya, mantapkan atas jaminan Allah melebihi (kekayaan) yang telah dipegangnya (harta yang telah ada).”
Kedua, berbuat baik pada sesama. Al-Hasan pernah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat kasih.” Para Sahabat berkata, “Kita semua pengasih.” Nabi berkata, “Bukan kasih sayang kalian terhadap diri kalian sendiri, tetapi kasih sayang kalian terhadap umat manusia secara umum. Tidak dapat menyayangi mereka semua kecuali Allah.” (Thabarani, Bazar dan Baihaqi).
Pada kesempatan lain, Rasulullah juga bersabda, “Sayangilah makhluk yang di bumi, niscaya Anda akan disayangi oleh yang dilangit.”
Ketiga, membayar zakat. Di salah satu majalah pernah dituturkan sebuah laporan tentang kejadian nyata di desa Putukrejo, Kecamatan Gondonglegi, 20 km dari kota Malang. Padi di sawah milik penduduk di desa tetangganya sudah hampir ludes di serang hama wereng dan tikus, sedangkan penduduk di desa Putukrejo bisa memanennya. Setelah diselidiki ternyata masyarakat di desa tersebut sangat disiplin membayar zakat dan gemar bersedekah. Peristiwa ini mengingatkan sebuah sabda Nabi, “Lindungilah harta dan jiwa anda dengan zakat.”
Keempat, bersedekah. Beliau juga bersabda, “Jagalah harta kamu dengan zakat dan obatilah sakitmu dengan sedekah dan hadapilah segala cobaan dan bahaya dengan doa serta kerendahan hati.”
Kelima, bersilatur rahim. Ada sebuah kisah tentang Nabi Daud yang bersahabat dengan Malaikat Maut. Satu hari Malaikat Maut memberitahu Nabi Daud bahwa ia akan mencabut nyawa seseorang enam hari lagi. Tapi ketika sudah lewat enam hari, orang itu ternyata masih hidup. Nabi Daud bertanya kepada Malaikat Maut mengenai sebabnya, “Apakah kamu lupa?” tanya Nabi Daud. “Oh, kalau mencabut nyawa seseorang saya tidak akan pernah lupa,” jawab Malaikat Maut.
“Lalu kenapa nyawa si Pulan itu belum kamu cabut?” kilah Nabi Daud. “Ketika saya keluar dari tempatmu, si Pulan telah menyambung tali kekeluargaan yang sudah putus. Maka Allah tambah umurnya 20 tahun lagi.” Bukankah Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang ingin diperpanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambungkan persaudaraan.” (Bukhari dan Muslim).
Keenam, memperpanjang sujud. Rabiah bin Ka’ab meriwayatkan,  “Aku biasa melayani Rasulullah di waktu malam, yaitu menyiapkan air, siwak, sajadah untuk salat tahajudnya. Satu ketika karena senangnya dengan pelayananku, beliau bertanya, ‘Apa yang paling engkau inginkan, wahai Rabiah?” Aku menjawab, ‘Insya-Allah nanti akan saya sampaikan.’ Setelah saya melakukan salat istikharah di rumah, esoknya saya berkata kepaa Rasulullah, ‘Saya ingin menemanimu di surga.’ Beliau bertanya lagi, barangkali ada permintaan lain. Tapi aku menjawab hal yang sama. Maka Rasulullah berkata,  ‘Kalau demikian bantulah aku menyelesaikan ini untukmu dengan sering-seringlah engkau bersujud" Muslim). Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 15 Maret 2012

Menjaga Mulut

Mulut merupakan satu anggota butuh yang terletak di bagian wajah. Posisinya yang strategis itu membuatnya cukup menjadi perhatian.
Tidak jarang kita temui orang yang gemar "menghias" mulutnya dengan berbagai macam cara, baik yang nampak maupun yang tak nampak. Semua itu dilakukannya tidak lain bertujuan agar dia lebih percaya diri untuk tampil di hadapan publik.
Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah keberadaan mulut sebagai penentu baik atau buruk seseorang, sekaligus konsekuensinya, yaitu bahagia atau sengsara.
Terdapat banyak pepatah Arab yang mempernarkan pernyataan ini, seperti "celakanya seseorang itu bukan karena terpelesetnya kaki melaikan karena terpelesetnya mulut," "selamatnya seseorang itu karena penjagaan terhadap lisannya," dan lain-lain.
Hal ini karena mulut merupakan media yang sangat efektif bagi orang untuk mengungkapkan kata hatinya. Memang bukan satu-satunya, misalnya melalui bahasa tubuh, bahasa isyarat, dan sebagainya, tetapi melalui mulut jelas jauh lebih sempurna.
Melihat pada peran penting mulut ini, hingga ada yang menyatakan bahwa segala perkataan yang keluar darinya merupakan representasi dari kepribadian seseorang.
Hal ini memang cukup pelik, mengingat belum dapat dipastikan, misalnya orang yang tutur katanya terdengar baik dan lembut belum pasti ia memiliki karakter seperti itu, karena bisa jadi hal itu dilakukan karena ada maksud-maksud terselubung.
Untuk itu, mulut sangat erat dengan hati. Dan di sini orang tidak bisa main-main lagi karena siapa pun tidak akan bisa membohongi diri sendiri. Hati yang tulus akan melahirkan perkataan yang menenteramkan bagi orang yang mendengarnya.
Terdapat satu kisah tentang seorang yang mampu menjaga mulutnya untuk tetap berada pada jalur kebaikan dan kebenaran, yang kemudian namanya diabadikan oleh Tuhan dalam al-Qur’an sebagai salah satu teladan bagi umat manusia, yaitu Lukman Hakim.
Dia adalah seorang budak hitam (wahsyi), yang memiliki bibir tebal dan dua kaki yang melekuk.
Dapat dibayangkan secara fisik jelas bukan tergolong orang yang tampan.
Tetapi dari bibirnya yang nampak kurang sedap dipandang mata itu, justru mencerminkan kelebihannya di banding orang lain, yaitu dia selalu tidak mengeluarkan suatu pun dari mulutnya selain hal-hal yang mulia, penuh makna dan hikmah, serta berguna.
Pada suatu hari dia diperintahkan oleh tuannya untuk menyembelih beberapa ekor kambing karena ada suatu tujuan tertentu. Setelah kambing-kambing itu disembelih, dia disuruh untuk mengambilkan dua bagian yang terbaik dari daging kambing itu.
Beberapa saat kemudian dia menghadap kepada tuannya dengan membawa potongan hati dan lidah.
Setelah tuannya memastikan kedua potong daging itu telah berada di tanggannya, dia kembali menyuruh Lukman untuk mengambilkan dua potong daging lagi, tetapi kali ini harus diambil adalah daging dari bagian yang terburuk.
Tak lama kemudia, dia kembali menghadap tuannya dengan membawa potongan hati dan lidah.
Sudah tentu ulah Lukman ini terasa ganjil di mata tuannya, yaitu daging yang terbaik dan terburuk sama bentuknya. Ia pun akhirnya meminta kepada Lukman untuk menjelaskan keganjilan perbuatannya itu.
Lukman kemudian menguraikan bahwa "bila kedua bagian ini sudah baik, tidak ada lagi yang lebih baik dari keduanya. Sebaliknya, bila kedua bagian ini sudah buruk, tidak ada lagi yang lebih buruk dibandingkan dengan keduanya."
Kisah ini telah memberikan satu gambaran yang sangat jelas dua bagian fisik manusia yang memiliki peran penting dalam mencitrakan baik atau buruk, yatu hati dan mulut.
Keduanya memang tidak dapat dipisahkan, karena masing-masing bergantung pada yang lain. Untuk itu, keduanya harus dijaga secara bersamaan. Sebab jika yang satu menyimpang maka yang lain akan mengikutinya.
Seringkali Nabi mengingatkan untuk serius dalam menjaga mulut. Pada satu kesempatan ia menyatakannya berkaitan dengan sikap yang semestinya bagi seorang mukmin.
Menurutnya, seorang yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaknya ia hanya berbicara yang baik-baik, dan kalau ia tidak sanggup untuk itu, sebaiknya diam saja.
Pada kesempatan yang lain Nabi juga menegaskan akibat bagi orang yang tidak mampu menjaga mulutnya, yaitu menjadi penghuni neraka.
Penegasan Nabi ini membuktikan adanya kaitan yang erat antara perkataan dan keimanan. Perkataan yang baik jelas mencerminkan iman yang tebal. Begitu juga sebaliknya, dengan iman yang kuat seseorang tidak akan membiarkan mulutnya untuk berkata-kata kotor.
Dan karena iman itu akan menyelamatkan seseorang, maka mulut juga akan dapat menyelamatkannya. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, menjaga mulur berarti juga menjaga keimanan.
Dan karena iman itu merupakan suatu keyakinan dalam hati maka hati juga harus diperhatikan. Nabi mengingatkan bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang bila ia baik maka seluruh kediriannya akan baik, dan bila ia rusak maka maka seluruh kediriannya akan rusak, yatu hati.
Sebagai tempat iman, hati memang harus dijaga secara ekstra. Sebab jika ia busuk dan kotor, jelas iman semakin menghindarinya. Dan ketika iman sudah semakin jauh, mulut akan semakin tak terkendali. Dan pada saat itulah kehancuran orang mulai menghampirinya.