Seorang
mukmin sejati tidak menggantungkan hidupnya pada materi. Karena itu tidak jauh
berbeda baginya antara hidup dalam gelimangan harta dengan serba kekurangan. Keduanya
sama-sama disikapi sebagai rahmat Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada,
disyukuri dan disabari.
Fakta
bahwa kekayaan acap kali membuat orang pongah dan lalai, dan kemiskinan tak
jarang membuat orang putus asa dan kadang malah menjerumuskan pada perilaku
kufur, tidak lain merupakan efek dari sikap menggantungkan hidup pada materi.
Pola
hidup demikian jelas tidak sesuai dengan hakikat penciptaan materi (baca:
dunia) bagi manusia, yaitu sebagai fasilitas yang harus dikelola untuk
menjalankan upaya secara terus-menerus mendekatkan diri kepada Allah, baik
dalam dimensi personal maupun sosial.
Di
sinilah relevansi peran kekhalifahan manusia. Sepatutnya manusia mengelola
dunia untuk kepentingan kemanusiaan dan perjuangan agama. Dalam hal ini, terdapat
satu keteladanan dari Nabi Sulaiman yang terkenal dengan kekayaan yang
melimpah.
Dikisahkan,
seusai membangun Baitul Maqdis di Palestina, Nabi Sulaiman melakukan perjalanan
ke Yaman. Setiba di sana, ia bermaksud menyuruh burung hud-hud (sejenis belatuk)
mencari sumber air. Ia pun memanggilnya. Tetapi aneh, ia tidak segera datang
seperti biasanya. Nabi Sulaiman pun marah.
Tak
lama kemudian burung hud-hud datang menghadap. Setelah meminta maaf ia mengatakan
bahwa keterlambatannya disebabkan ia sibuk mengamati sesuatu yang penting untuk
diketahui oleh Nabi Sulaiman.
Segera
ia melaporkan kalau ia menemukan sebuah kerajaan di negeri Saba yang dipimpin
oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Balqis. Ia hidup dalam gelimangan
harta serta mempunyai singgasana yang besar dan megah. Ia dan kaumnya menyembah
matahari.
Nabi
Sulaiman segera menindaklanjuti informasi itu dengan mengirim surat nasihat kepada
Ratu Balqis agar ia menyembah Allah. Burung hud-hud sendiri yang disuruh
membawa surat itu. Seusai membaca surat itu Ratu Balqis mengirim utusan bersama
hadiah kepada Nabi Sulaiman. Sesampainya di hadapan Nabi Sulaiman, utusan itu
menyampaikan pesan Ratu Ratu Balqis: apakah patut kamu menolong aku dengan
harta?
Nabi
Sulaiman pun mengirim jawaban untuk Ratu Balqis: sesungguhnya apa yang
diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu,
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. “Kembalilah kalian. Sungguh kami
akan mendatangi kalian dengan bala tentera yang tidak mampu kalian lawan, dan kami
pasti akan mengusir kalian dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan kalian
akan menjadi tawanan yang tidak berharga,” kata Nabi Sulaiman.
Utusan
itu kembali ke negeri Saba dan melaporkan semua yang terjadi. Ratu Balqis
kelihatan gentar, sehingga ia ingin berjumpa sendiri dengan Nabi Sulaiman.
Keinginan Ratu Balqis ini berhasil diketahui Nabi Sulaiman terlebih dulu. Ia
pun segera memerintahkan tenteranya yang terdiri dari manusia, hewan dan jin
untuk membuat persiapan guna menyambut kedatangan Ratu Balqis.
Nabi
Sulaiman juga memerintahkan Ifrit supaya membawa singgasana Ratu Balqis ke
istananya. Setibanya Ratu Balqis Nabi Sulaiman bertanya kepadanya, “Apa seperti
ini singgasanamu? “Ya, memang sama seperti ini.” Jawab Ratu Balqis sebelum kemudian
ia dipersilakan untuk masuk ke istana Nabi Sulaiman.
Namun,
ketika berjalan di istana Nabi Sulaiman, pandangan Ratu Balqis tertipu oleh kilauan
lantainya yang disangkanya berupa genangan air, sehingga ia mengangkat kainnya
hingga kedua betisnya terlihat.
Melihat
kejadian itu, Nabi Sulaiman berkata, “Lantai ini tampak licin karena dibuat dari
kaca.” Peristiwa ini membuat Ratu Balqis merasa sangat malu, dan berkata, “Ya Allah,
sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku berserah
diri bersama Nabi Sulaiman dan kepada-Mu, Tuhan semesta alam.”
Ratu
Balqis yang telah menyadari kelemahannya itu kemudian memohon ampun atas segala
kealpaan yang selama ini diperbuatnya. Ia pun kemudian berserah diri kepada Nabi
Sulaiman untuk diperistri.
Demikianlah
kisah keangguhan Ratu Balqis yang ditundukkan oleh kekayaan Nabi Sulaiman.
Sangat berbeda dengan Nabi Sulaiman yang justru menggunakan kekayaannya untuk
memperjuangkan kalimat tauhid.
Oleh
karenanya, seorang mukmin boleh kaya, bahkan di era sekarang tampaknya kaya ini
sangat penting karena masyarakat hampir menilai segala hal dari sisi ekonomi.
Salah satu implikasinya, perkataan orang kaya akan lebih mudah diterima dan
diikuti dibanding perkataan kyai sekalipun.
Namun
yang patut diingat adalah jangan sampai penerimaan dan keikutan masyarakat
terhadap orang kaya itu karena kekayaannya, bukan semata-mata perkataannya
memang baik dan benar. Karena hal ini justru berimplikasi pada hilangnya
keimanan, seperti telah dinyatakan Nabi bahwa orang yang tunduk dan patuh
kepada orang kaya karena kekayaannya seperempat agamanya telah hilang. Wallahu
a’lam bi al-shawab.