Kamis, 24 Mei 2012

Kaya Itu Penting?


          Seorang mukmin sejati tidak menggantungkan hidupnya pada materi. Karena itu tidak jauh berbeda baginya antara hidup dalam gelimangan harta dengan serba kekurangan. Keduanya sama-sama disikapi sebagai rahmat Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada, disyukuri dan disabari.
Fakta bahwa kekayaan acap kali membuat orang pongah dan lalai, dan kemiskinan tak jarang membuat orang putus asa dan kadang malah menjerumuskan pada perilaku kufur, tidak lain merupakan efek dari sikap menggantungkan hidup pada materi.
Pola hidup demikian jelas tidak sesuai dengan hakikat penciptaan materi (baca: dunia) bagi manusia, yaitu sebagai fasilitas yang harus dikelola untuk menjalankan upaya secara terus-menerus mendekatkan diri kepada Allah, baik dalam dimensi personal maupun sosial.
Di sinilah relevansi peran kekhalifahan manusia. Sepatutnya manusia mengelola dunia untuk kepentingan kemanusiaan dan perjuangan agama. Dalam hal ini, terdapat satu keteladanan dari Nabi Sulaiman yang terkenal dengan kekayaan yang melimpah.
Dikisahkan, seusai membangun Baitul Maqdis di Palestina, Nabi Sulaiman melakukan perjalanan ke Yaman. Setiba di sana, ia bermaksud menyuruh burung hud-hud (sejenis belatuk) mencari sumber air. Ia pun memanggilnya. Tetapi aneh, ia tidak segera datang seperti biasanya. Nabi Sulaiman pun marah.
Tak lama kemudian burung hud-hud datang menghadap. Setelah meminta maaf ia mengatakan bahwa keterlambatannya disebabkan ia sibuk mengamati sesuatu yang penting untuk diketahui oleh Nabi Sulaiman.
Segera ia melaporkan kalau ia menemukan sebuah kerajaan di negeri Saba yang dipimpin oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Balqis. Ia hidup dalam gelimangan harta serta mempunyai singgasana yang besar dan megah. Ia dan kaumnya menyembah matahari.
Nabi Sulaiman segera menindaklanjuti informasi itu dengan mengirim surat nasihat kepada Ratu Balqis agar ia menyembah Allah. Burung hud-hud sendiri yang disuruh membawa surat itu. Seusai membaca surat itu Ratu Balqis mengirim utusan bersama hadiah kepada Nabi Sulaiman. Sesampainya di hadapan Nabi Sulaiman, utusan itu menyampaikan pesan Ratu Ratu Balqis: apakah patut kamu menolong aku dengan harta?
Nabi Sulaiman pun mengirim jawaban untuk Ratu Balqis: sesungguhnya apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. “Kembalilah kalian. Sungguh kami akan mendatangi kalian dengan bala tentera yang tidak mampu kalian lawan, dan kami pasti akan mengusir kalian dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan kalian akan menjadi tawanan yang tidak berharga,” kata Nabi Sulaiman.
Utusan itu kembali ke negeri Saba dan melaporkan semua yang terjadi. Ratu Balqis kelihatan gentar, sehingga ia ingin berjumpa sendiri dengan Nabi Sulaiman. Keinginan Ratu Balqis ini berhasil diketahui Nabi Sulaiman terlebih dulu. Ia pun segera memerintahkan tenteranya yang terdiri dari manusia, hewan dan jin untuk membuat persiapan guna menyambut kedatangan Ratu Balqis.
Nabi Sulaiman juga memerintahkan Ifrit supaya membawa singgasana Ratu Balqis ke istananya. Setibanya Ratu Balqis Nabi Sulaiman bertanya kepadanya, “Apa seperti ini singgasanamu? “Ya, memang sama seperti ini.” Jawab Ratu Balqis sebelum kemudian ia dipersilakan untuk masuk ke istana Nabi Sulaiman.
Namun, ketika berjalan di istana Nabi Sulaiman, pandangan Ratu Balqis tertipu oleh kilauan lantainya yang disangkanya berupa genangan air, sehingga ia mengangkat kainnya hingga kedua betisnya terlihat.
Melihat kejadian itu, Nabi Sulaiman berkata, “Lantai ini tampak licin karena dibuat dari kaca.” Peristiwa ini membuat Ratu Balqis merasa sangat malu, dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku berserah diri bersama Nabi Sulaiman dan kepada-Mu, Tuhan semesta alam.”
Ratu Balqis yang telah menyadari kelemahannya itu kemudian memohon ampun atas segala kealpaan yang selama ini diperbuatnya. Ia pun kemudian berserah diri kepada Nabi Sulaiman untuk diperistri.
Demikianlah kisah keangguhan Ratu Balqis yang ditundukkan oleh kekayaan Nabi Sulaiman. Sangat berbeda dengan Nabi Sulaiman yang justru menggunakan kekayaannya untuk memperjuangkan kalimat tauhid.
Oleh karenanya, seorang mukmin boleh kaya, bahkan di era sekarang tampaknya kaya ini sangat penting karena masyarakat hampir menilai segala hal dari sisi ekonomi. Salah satu implikasinya, perkataan orang kaya akan lebih mudah diterima dan diikuti dibanding perkataan kyai sekalipun.
Namun yang patut diingat adalah jangan sampai penerimaan dan keikutan masyarakat terhadap orang kaya itu karena kekayaannya, bukan semata-mata perkataannya memang baik dan benar. Karena hal ini justru berimplikasi pada hilangnya keimanan, seperti telah dinyatakan Nabi bahwa orang yang tunduk dan patuh kepada orang kaya karena kekayaannya seperempat agamanya telah hilang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 10 Mei 2012

Takut Hisab

Tampaknya tidak salah jika dikatakan Abu Bakar al-Siddiq adalah orang yang paling baik setelah Nabi. Bukankah ia yang disuruh Nabi untuk menggantinya sebagai imam salat saat beliau sedang sakit dan mendekati ajalnya. Ia juga yang akhirnya dinobatkan menjadi khalifah untuk yang pertama kali dalam sejarah Islam.
Tidak hanya itu, Abu Bakar juga menempati urutan pertama dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga (al-‘asyarah al-mubasysyar bi al-jannah). Bahkan Nabi pernah menyampaikan kalau nama Abu Bakar akan dipanggil dari setiap pintu surga dan ia merupakan seorang pengikutnya yang pertama akan memasukinya.
Tetapi semua itu tidak membuatnya terlena hingga menggeser sikap takwanya kepada Allah. Paling tidak hal ini tercermin dalam ungkapan-ungakap yang menunjukkan rasa takutnya kepada Allah yang bersemayam kuat di dalam hatinya.
Sekedar menyebut contah, Abu Bakar bernah mengungkapkan, “Alangkah baiknya kalau aku menjadi sebatang pohon yang ditebang dan dijadikan kayu bakar.” “Alangkah baiknya kalau aku ini menjadi sehelai rumput yang riwayat hidupnya akan tamat apabila dimakan oleh seekor binatang ternak.”
Pernah pada suatu hari ia berada di suatu taman. Ia melihat seekor burung yang sedang berkicau. Ia pun berkata, “Wahai burung. Sungguh bahagia kamu. Kamu makan, minum, dan terbang semaumu tanpa pernah punya perasaan takut pada hari perhitungan (hisab). Aku ingin menjadi seperti kamu, burung.”
Abu Bakar juga pernah berselisih paham dengan Rabi’ah Aslamiyah, sebagaimana dituturkan oleh Rabi’ah sendiri. Saat itu Abu Bakar sempat mengeluarkan kata-kata yang agak kasar. Tetapi saat itu juga ia menyadari kesalahannya dan memohon kepada Rabi’ah untuk membalasnya dengan umpatan yang sama.
Sudah tentu Rabi’ah enggan memenuhi permintaan Abu Bakar tersebut. Tapi anehnya, Abu Bakar malah mendesak dan mengancam untuk mengadukannya kepada Nabi. Rabi’ah tetap menolak. Abu Bakar kemudian pergi meninggalkan Rabi’ah.
Beberapa orang kawan Rabi’ah yang sejak awal menyaksikan peristiwa itu mulai berkomentar, “Aneh sekali orang itu. Dia yang melakukan kesalahan, malah dia sendiri yang mengancam untuk mengadu kepada Nabi.”
“Kamu tahukah siapa dia?” tanya Rabi’ah. “Dia adalah Abu Bakar. Menyinggungnya berarti menyinggung Nabi. Menyinggung Nabi berarti menyinggung Allah. Kalau perbuatanku menyinggung Allah, siapa yang akan mampu menyelamatkanku,” tegasnya.
Rabi’ah kemudian mengajak kawan-kawannya pergi menghadap Nabi untuk mengadu. Nabi kemudian berkata, “Keenggananmu mengeluarkan kata-kata kasar itu sudah tepat, tetapi alangkah lebih baik kalau untuk mengurangi kegelisahan batinnya kamu berkata ‘semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar’.”
Begitulah sebagian contoh sikap takwa yang ditunjukkan oleh Abu Bakar al-Siddiq. Ia selalu mengawatirkan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak di hari kemudian. Perasaan khawatir ini membuatnya selalu berhati-hati dalam bertindak. Meski sebagai manusia ia tidak luput dari kesalahan.
Sikap dasar ini pula yang membawa keberhasilannya selama menjabat sebagai khalifah. Sudah tentu sikap ini merupakan satu teladan yang sepatutnya ditiru oleh pemimpin-pemimpin saat ini, terutama mereka yang beragama. Mereka bisa saja melakukan manipulasi pertanggungjawaban kepemimpinannya di dunia ini, tetapi mereka jelas tidak mampu mengelabuhi mata Rakib dan Atid yang selalu mengawasi setiap langkahnya.
Barangkali beratnya tanggungjawab ini yang membuat para sahabat, terutama al-khulafa’ al-rasyidun, saat itu enggan untuk dinobatkan sebagai khalifah. Sehingga untuk memaksanya para sahabat bersepakat untuk menggunakan mekanisme baiat. Dengan kata lain, mekanisme baiat ini menjadi pilihan alternatif saat tidak mungkin dilakukan pemilihan dan atau penunjukkan.
Hal ini sangat jauh dengan fenomena saat ini, di mana seseorang akan bersedia melakukan apa saja agar ia dipilih menjadi pemimpin. Kalau dulu beratnya tanggungjawab, terutama saat yaum al-hisab, menjadi pertimbangan utama. Tapi kini justru orang akan berpikir ia akan dapat melakukan apa saja kalau ia menjadi seorang pemimpin.
Ungkapan ini bukan berarti merupakan satu simpul bahwa apa yang terjadi saat ini tidak ada sisi baiknya sama sekali. Tetapi lebih menekankan agar bangsa yang religius ini tidak melupakan agama dan keberagamaannya saat ingin merebut kursi kepemimpinan. Sebab dampaknya tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakat secara umum.
Patut diingat, Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu saat melihat anak kecil yang menjerit kelaparan sementara ibunya hanya mengelabuhi harapannya dengan menanak batu, bukan karena ia takut reputasi kepemimpinannya hancur karena prestasi kepemimpinannya yang buruk. Tetapi lebih karena sikap takwanya. Karena takut pada pertanggungjawabannya kelak pada yaum al-hisab. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 03 Mei 2012

Energi Hati

Di salah satu sudut pasar kota Madinah terdapat seorang pengemis Yahudi buta. Setiap kali ada orang yang mendekatinya dia selalu berkata, ”Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Jika kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”
Pada setiap pagi ada seorang lelaki yang mendatanginya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun lelaki itu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Pengemis itu juga selalu berpesan agar lelaki itu tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Pekerjaan rutin itu terus dilakukan lelaki itu hingga dia dipanggil menghadap Tuhannya, meninggal dunia. Sepeninggalnya tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis Yahudi buta itu.
Pada suatu hari Abu Bakar berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah. Dia bertanya kepada Aisyah, ”Anakku adakah sunah kekasihku yang belum aku kerjakan?” ”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunah, hampir tidak ada satu sunah Nabi pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunah saja.” Jawab Aisyah. ”Apakah Itu?” tanya Abu Bakar. ”Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah dengan suara yang agak tinggi, ”siapakah kamu!” Abu Bakar menjawab, ”Aku orang yang biasa mendatangimu. Maaf agak lama aku tidak mendatangimu.”
”Bukan! kamu bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis itu. ”Bila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan dengan mulutnya, setelah itu dia berikan padaku dengan mulutnya sendiri.” Pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ”Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Rasulullah.”
Pengemis itu tercenganga mendengar cerita Abu Bakar. Dia pun menangis dan berkata, ”benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi dia tidak pernah sekali pun memarahiku. Dia malah mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, dia begitu mulia....” Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.
Begitulah salah satu teladan Nabi tentang energi hati. Kekuatan hatinya telah membuatnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menebarkan kebaikan kepada orang lain, termasuk orang-orang secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang dan memusuhinya.
Semua itu dilakukan Nabi bukan semata-mata karena terpaksa. Maksudnya, bukan berarti sebenarnya Nabi enggan melalukan pekerjaan rutin itu, tetapi karena dia memiliki tujuan untuk menampakkan perilakunya baiknya kepada orang lain sehingga semua orang akan mengikutinya. Tegasnya pekerjaan itu menjadi salah satu bentuk strategi dakwahnya.
Bukan demikian halnya, Nabi melakukan pekerjaan itu dengan tulus. Tidak ada sedikit pun pamrih agar dia dianggap orang baik. Semata-mata karena kebaikan hati Nabi yang mendorongnya untuk selalu memberikan perhatian kepada orang lemah, serta selalu berusaha untuk menjadi orang yang memiliki manfaat bagi orang lain.
Tuhan mencipta akal dan hati bagi manusia dengan fungsi masing-masing yang spesifik. Bagi orang yang beragama seharusnya menjadikan hati sebagai fokus utama perhatiannya, bukan akal, sebab ia dekat dengan roh yang suci, dan menjadi penggerak utama bagi manusia.
Tetapi kebanyakan orang justru lebih mengutamakan akal daripada hati. Akal dianggap merupakan alat utama bagi manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Pandangan mereka mendapat justifikasi dari ilmu logika (mantiq) yang memposisikan akal sebagai pembeda manusia dengan makhluk yang lain.
Pandangan umum ini biarlah seperti adanya. Tetapi bagi orang yang beragama tentu tetap harus menomerduakan akal setelah hati. Sebab baik atau buruk manusia sangat tergantung pada hatinya, sebagaimana penegasan Nabi bahwa  ”Di dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah, jika ia baik maka sekujur tubuh akan baik, tetapi jika ia buruk maka sekujur tubuh akan buruk. Ingat segumpal darah itu adalah hati.”
Sampai di sini jelas bahwa kekuatan energi hati akan mampu menandingi dan mengalahkan kekuatan akal. Terkait dengan karakter buruk manusia misalnya, sangat susah untuk merubahkanya dengan hanya menggunakan pendekatan akal. Tetapi jika hatinya dapat ditata maka dengan sendirinya potensi karakter buruk itu tidak mendapat bagian untuk digunakan.
Belum lagi efek munafik yang ditimbulkan oleh akal. Contoh yang amat jelas dapat disaksikan pada tayangan yang mempertontonkan ungkapan bawah sadar seseorang yang terhipnotis di televisi. Ungkapan bawah sadar yang jujur itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ungkapannya di saat dia sadar. Hal ini terjadi tidak lain karena faktor akal.