Jumat, 31 Agustus 2012

Aroma Dosa

“Seandainya dosa itu mempunyai aroma, tentu semua orang tidak akan senang duduk bersama saya.“ kata ini pernah diungkapkan oleh Muhammad bin Wahsy dalam muhasabahnya (perenungannya).
Dapat dibayangkan seandainya dosa mempunyai aroma, sudah tentu semua orang tidak akan bisa hidup tenang,. Kalau saja dosa memberi efek samping bau busuk yang mengepul dari pori-pori menyertai aliran keringat, sudah tentu seseorang tidak akan bisa hidup tenang karena ia selalu dihantui rasa malu ketika bertemu dengan orang lain. Pun orang lain juga enggan untuk mendekatinya.
Juga seandainya dosa memiliki efek samping terhadap anggota tubuh. Misalnya seseorang yang memakan hasil korupsi perutnya tiba-tiba buncit; seseorang yang selingkuh atau berzina hidungnya menjadi belang; seseorang yang suka melihat aurat wanita tiba-tiba matanya bengkak, sudah tentu semua orang akan berusaha keras untuk menghindari dosa.
Al-Ghazali pernah membuat perumpamaan dosa, yaitu bagaikan debu yang menempel di kaca. Sebuah kaca yang terkena debu jelas kilaunya akan hilang. Dan jika kaca itu adalah kaca cermin, maka jelas tidak akan dapat digunakan untuk bercermin. Untuk itu, ia menyarankan kepada semua orang agar pandai-pandai membersihkan kacanya.
Kaca cermin digunakan al-Ghazali sebagai perumpamaan hati dan jiwa manusia. Potensi penerangnya akan menjadi buram, kabur dan gelap kerana semakin bertambahnya dosa yang dilakukan, sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams: 9-10).
Sebaliknya, hati dan jiwa yang bersih dapat memberi efek positif berupa rasa damai dan tenteram. Sikap dan laku orang yang memiliki hati dan jiwa yang bersih dapat menyejukkan dan membawa pada suasana damai dan penuh kasih sayang. Dalam rumah tangga misalnya, ia akan membawa pada kerukunan, ia juga dapat menciptakan suasana yang kondusif di tempat kerjanya, dll.
Dapat dibayangkan jika hidup ini dipenuhi orang-orang yang berhati dan berjiwa bersih, sudah tentu akan damai dan tenteram. Suasana damai dan kasih sayang akan begitu terasa. Kehidupan keluarga penuh dengan nila-nilai kerukunan, di tempat kerja tercipta suasana keharmonisan (kondusif), saling tegur sapa berlangsung sedemikian akrab, dengan tutur kata yang santun.
Ada tiga hal yang tidak akan kembali, Kata-kata yang telah diucapkan, waktu yang telah berlalu, dan kesempatan yang telah terabaikan. Oleh karenanya, sudah seharusnya siapa pun tidak menyia-nyiakan umur dengan hanya menimbun dosa, tetapi mengisinya dengan perbuatan-perbuatan baik.
Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang damai. Simbol kedamaian di dalam agama adalah surga. Bagi orang yang menginginkannya disarankan untuk selalu meningkatkan kualitas taqwa. Untuk itu diperlukan gairah yang optimistis, menjadi manusia yang selalu condong untuk melakukan hal-hal baik (amal saleh), sebagaimana difirmankan Allah :
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS. An Nisa: 124).
Seseorang yang telah memiliki kecenderungan pada kebaikan dengan dasar keihlasan, kejujuran, dan keinginan untuk bertemu dengan Allah, ia akan terhindar dari noda-noda, kepalsuan, perbuatan-perbuatan buruk. Tegasnya benteng dosa adalah taqwa.
Sampai di sini patut kiranya memperhatikan sabda Nabi dalam rangka menjawab pertanyaan Abu Darda, “Ya Rasulullah, mungkinkah seorang mukmin mencuri?” Kata Nabi, “Ya, kadang-kadang”. Ia bertanya lagi, “Mungkinkah mereka (mukmin) berzina?“ Kata Nabi, “Mungkin saja”.
Abu Darda bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berdusta?” ”Nabi menjawab dengan ayat Alquran, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl: 105)
Dengan demikian, seorang mukmin yang sudah tercium bau kebohongannya ia bukanlah seorang mukmin, melainkan hanya orang muslim. Hal itu sesuai dengan firman Allah, “Bahwa orang-orang Arab Baduwi itu berkata: Kami telah beriman. (Allah berfirman) Katakanlah (kepada mereka): kamu belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk. karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Al Hujuraat: 14)
Seorang mukmin yang kuat dan muttaqi (selalu menjaga ketaqwaannya) tidak akan bisa tercium aroma dosanya, karena ia mampu mengontrol dirinya dengan menghindari tempat-tempat maksiat, mendobrak belenggu nafsu, dan ingin segara masuk ke dalam hati nurani, sebab di saat itu ia akan menemukan cahaya ilahi yang mungkin sempat terlepas dari dirinya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 30 Agustus 2012

Berkat Jalinan Cinta Kasih

Setelah Nabi Musa wafat, Nabi Yusya’ membawa Bani Israil ke luar dari kota mereka. Mereka berjalan hingga menyeberangi sungai Yordania. Dan akhirnya mereka sampai di kota Jerica, sebuah kota yang mempunyai pagar dan pintu gerbang yang kuat, bangunan-bangunan yang tinggi, dan berpenduduk padat.
Mereka mengepung kota itu sampai enam bulan lamanya. Setelah dirasa memungkinkan untuk melancarkan serangan, mereka bersepakat untuk melakukan penyerbuan ke dalam kota. Suara pekikan takbir dan tiupan terompet memicu semakin membulatnya semangat mereka, hingga pagar kota yang kokoh itu berhasil mereka robohkan.
Bisa dibayangkan yang terjadi berikutnya; sebuah pertempuran yang sengit tak bisa dihindari. Nabi Yusya’ dan Bani Israil berhasil memenangkan peperangan itu. Sebanyak dua belas ribu pria dan wanita berhasik mereka bunuh. Sejumlah harta rampasan juga berhasil mereka kumpulkan. Setelah peristiwa itu, mereka juga memerangi sejumlah raja yang berkuasa, hingga mereka berhasil mengalahkan sebelas raja dan raja-raja yang berkuasa di Syam.
Dikisahkan, di antara peperangan yang dilakukan oleh Nabi Yusya’ dan Bani Israil, ada yang terjadi pada hari Jumat. Sampai sore hari peperangan belum juga usai, sementara matahari sudah hampir terbenam. Hari Jumat akan berlalu, akan berganti hari Sabtu, di mana pada hari itu, menurut syariat mereka, mereka dilarang melakukan peperangan.
Untuk itu Nabi Yusya’ berkata, “Wahai matahari, sesungguhnya engkau hanya mengikuti perintah Allah, begitu pula aku. Aku berjihad mengikuti perintah-Nya. Ya Allah, tahanlah matahari itu untukku agar tidak terbenam dulu.” Allah kemudian menahan matahari agar tidak terbenam sampai dia berhasil memenangkan peperangan, dan memerintahkan bulan agar tidak menampakkan dirinya.
Kisah ini relevan dengan sabda Nabi, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Sesungguhnya matahari itu tidak pernah bertahan tidak terbenam hanya karena seorang manusia kecuali untuk Yusya’, yaitu pada malam-malam dia berjalan ke Baitul Maqdis (untuk jihad).” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat Imam Muslim, Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Nabi bersabda, “Ada seorang nabi dari nabi-nabi Allah yang ingin berperang. Dia berkata kepada kaumnya, ‘Tidak boleh ikut bersamaku dalam peperangan ini seorang laki-laki yang telah berkumpul dengan istrinya dan dari itu dia mengharapkan anak tapi masih belum mendapatkannya, begitu pula orang yang telah membangun rumah tapi atapnya belum selesai. Juga tidak boleh ikut bersamaku orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya.’
Nabi itu kemudian berangkat berjihad. Dia sudah berada di dekat daerah yang dituju saat Ashar telah tiba atau hampir tiba. Maka dia berkata kepada matahari, ‘Hai matahari, engkau tunduk kepada perintah Allah dan akupun juga demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak agar tidak terbenam.’ Maka Allah menahan matahari itu hingga Nabi itu menaklukan daerah tersebut.
Setelah itu balatentaranya mengumpulkan semua harta rampasan di sebuah tempat, kemudian ada patir yang datang menyambar tetapi tidak membakarnya. Lalu Nabi itu berkata, ‘Di antara kalian ada yang khianat, masih menyimpan sebagian dari harta rampasan. Aku harap dari setiap kabilah ada seorang yang bersumpah padaku.’
Mereka kemudian datang satu persatu untuk disumpah. Dan secara tiba-tiba kedua tangan Nabi itu lengket pada tangan salah seorang di antara mereka. Dia kemudian berkata, ‘Di antara kalian ada yang berkhianat, aku minta semua orang di kabilahmu untuk bersumpah.’ Satu persatu dari mereka kemudian disumpah. Tiba-tiba tangan Nabi itu lengket pada tangan dua atau tiga orang. ‘Kalian telah berkhianat,’ katannya pada mereka.
Lalu mereka pun mengeluarkan emas sebesar kepala sapi. Emas itu kemudian dikumpulkan dengan harta rampasan lain yang telah dikumpulkan sebelumnya di sebuah lapangan. Tiba-tiba datanglah api menyambar dan melalapnya. Harta rampasan memang tidak pernah dihalalkan untuk umat sebelum kita. Dan dihalalkan untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita.”
Setelah Baitul Maqdis dapat dikuasai oleh Bani Israil, maka mereka hidup di dalamnya dan di antara mereka ada Nabi Yusya’ yang memerintah mereka dengan kitab Allah, Taurat, sampai akhir hayatnya. Dia kembali ke hadirat Allah saat berumur seratus dua puluh tujuh tahun, dan masa hidupnya setelah wafatnya Nabi Musa adalah dua puluh tujuh tahun.
Salah satu hikmah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah bahwa tertahannya matahari untuk tenggelam atas permintaan Nabi Yusya’ tampaknya bukan semata-mata anugerah Allah karena dia telah berjihad di jalan-Nya. Bukankah banyak orang yang tampak berjihat, tetapi doa-doanya terasa hampa!
Tampaknya ada faktor lain yang membuat doa Nabi Yusya’ mudah terkabul, yaitu kedekatannya dengan Tuhan secara spiritual dalam jalinan cinta-kasih. Hal ini yang membuat Tuhan tidak bisa menolak permintaan seorang hamba yang dicintai-Nya itu.
Dalam konteks perjuangan agama saat ini, aspek spiritual ini patut dikaji ulang. Lebih-lebih tingkat kemurnian perjuangan yang masih dalam tanda tanya besar. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Rabu, 29 Agustus 2012

Lebaran Bagi Koruptor

Tradisi berlebaran yang khas di negeri ini adalah halal bi halal. Tradisi ini sungguh merupakan tradisi yang sangat baik, mengingat ia dapat melengkapi kefitrahan setiap mukmin yang setelah melalui proses penghambaan yang utuh selama bulan Ramadan. Sebab jaminan kembali pada fitrah tersebut hanya terkait dengan dimensi vertikal (habl min Allah).
Taubat seorang mukmin yang diajukan kepada Allah di bulan Ramadan melalui serangkaian ibadah wajib dan sunat hanya menyangkut kesalahan dan dosa kepada Allah. Tegasnya Allah hanya mengampuni dosa yang terkait lang denganNya. Sementara kesalahan dan dosa yang berdimensi horizontal (habl min al-nas) masih ditangguhkan sampai orang yang bersangkutan menyelesaikannya.
Di sinilah letak nilai pentingnya tradisi halal bi halal, yaitu sebagai suatu upaya membersihkan diri dari kesalahan dan dosa horizontal. Dengan berhalal bi halal maka setiap mukmin akan benar-benar mampu naik tingkat ke dalam golongan orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yang beruntung lagi bahagia (minal a’idin wal faizin).
Namun, yang patut diperhatikan adalah pelaksanaan halal bi halal itu sendiri. Seorang yang melakukan halal bi halal hanya bermotiv melestarikan tradisi, misalnya. Maka dia tidak mendapatkan apa-apa selain kenyataan  bahwa tradisi itu masih tetap lestari, di mana dia turut ambil bagian dalam pelestarian itu.
Ada yang hanya mengalir bagaikan air, hanyut dalam eforia bermaaf-maafan, tanpa dibarengi denga upaya membersihkan diri dari kesalahan dan dosa horizontal. Pola ini yang nampaknya menjadi pilihan mayoritas umat mukmin di negeri ini, termasuk para penjahat dan para koruptor. Jika demikian halnya, maka jauh panggang dari apai. Artinya halal bi halal yang dilakukan belum mampu berfungsi sebagai pelengkap untuk mencapai kefitrahan.
Sebagaimana telah menjadi maklum bahwa ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain atau sebaliknya yang mudah dimaafkan dan tidak mudah untuk dimaafkan. Yang pertama biasanya terkait dengan kesalahan-kesalahan kecil baik yang disengaja atau tidak. Sementara yang kedua terkait dengan hal-hal besar dan prinsipil. Sudah tentu kesalahan yang kedua ini tidak bisa selesai hanya dengan bermaaf-maafan tanpa adanya suatu upaya penyelesaian yang nayata.
Sampai di sini, kiranya patut kita membaca kembali ajaran Islam tentang taubat, sebab halal bi halal itu tidak lain adalah salah satu bentuk taubat. Taubat secara harfiah berarti kembali. Manusia yang pada dasarnya baik, dengan bertaubat dia akan kembali baik, setelah sekian lama terjerumus dalam keburukan.
Taubat juga ada yang terhitung serius/tulus (taubat nashuha), ada yang tidak. Untuk menilai tingkat keseriusannya paling tidak ada empat kreteria yang harus dipenuhi, yaitu 1) meninggalkan kesalahan dan dosa yang diperbuat dengan penuh kesadaran tentang keburukannya, 2) bersungguh-sungguh menyesalinya, 3) berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, dan 4) menggantinya dengan perilaku yang baik.
Keempat kreteria ini berlaku baik bagi dosa vertikal maupun harizontal. Bertaubat untuk kesalahan pertama hanya membutuhkan permohonan maaf (istighfar) kepada Allah. Tetapi untuk kesalahan yang kedua istighfar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penyelesaian secara tuntas hak-hak orang lain yang menjadi tanggungjawabnya.
Taubat seorang pencuri misalnya, di samping harus memohon ampunan kepada Allah, dia juga harus memohon maaf kepada seluruh korbannya dengan atau tanpa syarat, dan mengembalikan seluruh hasil curiannya. Jika korbannya sudah meninggal maka diselesaikan dengan ahli warisnya. Dan jika juga tidak ada maka dibelanjakan untuk kemaslahatan umat. Sama halnya dengan koruptor, karena keduanya sama-sama maling,.
Lebaran bagi koruptor tidak lain adalah moment untuk bertaubat. Karenanya dalam berhalal bi halal hendaknya dia membeberkan korupsi yang dilakukannya disertai dengan pengembalian seluruh hasil korupsinya, sekaligus turut menyelesaikan seluruh dampak sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut. Jadi tidak hanya cukup dengan permohonan maaf dan tetap membiarkan kerusakan sistem yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Memang tampak berat, tapi setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dan ini merupakan satu harga mahal yang harus dibayar demi mencapai kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat, seperti yang tertuang dalam do’anya setiap habis shalat (rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah).
Tetapi tampaknya bukan prasyarat yang cukup memberatkan ini yang membuat para koruptor enggan untuk bertaubat. Ketercorengan “harga diri” di hadapan masyarakat mengalahkan rasa malunya (haya’) di hadapan Allah. Alpa pada laranganNya agar tidak menjual agamanya demi kepentingan duniawi semata, dan tentang tanggungjawab personal di hadapanNya.
Penegasan terakhir tersebut meneguhkan sikap naif para koruptor “hidup adalah permainan.” Alih-alih mereka menampakkan kesadaran religiusnya saat berlebaran dan berhalal bi halal. Mereka malah menjadikannya sebagai bagian dari permainannya. Logika kembali pada fitrah dijadikan momentum untuk merasa bahwa dirinya benar-benar telah bersih, termasuk dari kejahatan korupsi. Sehingga pasca Idul Fitri korupsinya menjadi semakin menggila.