“Seandainya dosa itu mempunyai aroma, tentu
semua orang tidak akan senang duduk bersama saya.“ kata ini pernah diungkapkan
oleh Muhammad bin Wahsy dalam muhasabahnya (perenungannya).
Dapat dibayangkan seandainya dosa mempunyai
aroma, sudah tentu semua orang tidak akan bisa hidup tenang,. Kalau saja dosa
memberi efek samping bau busuk yang mengepul dari pori-pori menyertai aliran keringat,
sudah tentu seseorang tidak akan bisa hidup tenang karena ia selalu dihantui
rasa malu ketika bertemu dengan orang lain. Pun orang lain juga enggan untuk
mendekatinya.
Juga seandainya dosa memiliki efek samping terhadap
anggota tubuh. Misalnya seseorang yang memakan hasil korupsi perutnya tiba-tiba
buncit; seseorang yang selingkuh atau berzina hidungnya menjadi belang;
seseorang yang suka melihat aurat wanita tiba-tiba matanya bengkak, sudah tentu
semua orang akan berusaha keras untuk menghindari dosa.
Al-Ghazali pernah membuat perumpamaan dosa,
yaitu bagaikan debu yang menempel di kaca. Sebuah kaca yang terkena debu jelas
kilaunya akan hilang. Dan jika kaca itu adalah kaca cermin, maka jelas tidak
akan dapat digunakan untuk bercermin. Untuk itu, ia menyarankan kepada semua
orang agar pandai-pandai membersihkan kacanya.
Kaca cermin digunakan al-Ghazali sebagai perumpamaan
hati dan jiwa manusia. Potensi penerangnya akan menjadi buram, kabur dan gelap
kerana semakin bertambahnya dosa yang dilakukan, sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams: 9-10).
Sebaliknya, hati dan jiwa yang bersih dapat
memberi efek positif berupa rasa damai dan tenteram. Sikap dan laku orang yang
memiliki hati dan jiwa yang bersih dapat menyejukkan dan membawa pada suasana
damai dan penuh kasih sayang. Dalam rumah tangga misalnya, ia akan membawa pada
kerukunan, ia juga dapat menciptakan suasana yang kondusif di tempat kerjanya,
dll.
Dapat dibayangkan jika hidup ini dipenuhi
orang-orang yang berhati dan berjiwa bersih, sudah tentu akan damai dan tenteram.
Suasana damai dan kasih sayang akan begitu terasa. Kehidupan keluarga penuh
dengan nila-nilai kerukunan, di tempat kerja tercipta suasana keharmonisan
(kondusif), saling tegur sapa berlangsung sedemikian akrab, dengan tutur kata
yang santun.
Ada tiga hal yang tidak akan kembali, Kata-kata
yang telah diucapkan, waktu yang telah berlalu, dan kesempatan yang telah terabaikan.
Oleh karenanya, sudah seharusnya siapa pun tidak menyia-nyiakan umur dengan
hanya menimbun dosa, tetapi mengisinya dengan perbuatan-perbuatan baik.
Setiap manusia pasti menginginkan hidup yang
damai. Simbol kedamaian di dalam agama adalah surga. Bagi orang yang menginginkannya
disarankan untuk selalu meningkatkan kualitas taqwa. Untuk itu diperlukan
gairah yang optimistis, menjadi manusia yang selalu condong untuk melakukan hal-hal
baik (amal saleh), sebagaimana difirmankan Allah :
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh,
baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” (QS. An Nisa: 124).
Seseorang yang telah memiliki kecenderungan pada
kebaikan dengan dasar keihlasan, kejujuran, dan keinginan untuk bertemu dengan
Allah, ia akan terhindar dari noda-noda, kepalsuan, perbuatan-perbuatan buruk.
Tegasnya benteng dosa adalah taqwa.
Sampai di sini patut kiranya memperhatikan sabda
Nabi dalam rangka menjawab pertanyaan Abu Darda, “Ya Rasulullah, mungkinkah
seorang mukmin mencuri?” Kata Nabi, “Ya, kadang-kadang”. Ia bertanya lagi,
“Mungkinkah mereka (mukmin) berzina?“ Kata Nabi, “Mungkin saja”.
Abu Darda bertanya lagi: “Mungkinkah mereka
(mukmin) berdusta?” ”Nabi menjawab dengan ayat Alquran, “Sesungguhnya yang
mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl: 105)
Dengan demikian, seorang mukmin yang sudah
tercium bau kebohongannya ia bukanlah seorang mukmin, melainkan hanya orang muslim.
Hal itu sesuai dengan firman Allah, “Bahwa orang-orang Arab Baduwi itu
berkata: Kami telah beriman. (Allah berfirman) Katakanlah (kepada mereka): kamu
belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk. karena iman itu belum masuk
ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang ” (QS. Al Hujuraat: 14)
Seorang mukmin yang kuat dan muttaqi
(selalu menjaga ketaqwaannya) tidak akan bisa tercium aroma dosanya, karena ia
mampu mengontrol dirinya dengan menghindari tempat-tempat maksiat, mendobrak
belenggu nafsu, dan ingin segara masuk ke dalam hati nurani, sebab di saat itu ia
akan menemukan cahaya ilahi yang mungkin sempat terlepas dari dirinya. Wallahu
a’lam bi al-shawab.