Rabu, 31 Oktober 2012

Allah Benci Kepada…

Ada orang-orang yang dicintai oleh Allah, ada pula yang dibenci-Nya. Adapun mereka yang dibenci, seperti yang diinformasikan dalam al-Qur’an, antara lain: Pertama, orang-orang yang sombong (mutakabbirin). Satu hal yang membuat mereka bersikap sombong adalah kebodohannya terutama tentang eksistensinya sebagai makhluk, seperti ditegaskan dalam al-Qur’an, ''Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.'' (40: 76).
Orang yang berperilaku demikian berarti telah meletakkan dimensi kemanusiaannya di atas segala hal. Kemampuan akalnya telah menundukkan Tuhan berada pada kendalinya. Ia lupa bahwa yang memberinya akal adalah Tuhan. Jika kepada Tuhan saja ia bersukap demikian, maka jelas ia juga merasa lebih tinggi dari orang-orang di sekelilingnya. Orang seperti ini jelas tidak mau menerima kebenaran selain dari dirinya sendiri. Nabi menyatakan, ''Kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang enteng orang lain.'' (Muslim).
Kedua, orang-orang yang berlebih-lebihan (musrifin) dalam menggunakan harta dan kekayaan yang dimilikinya. Allah berfirman, ''Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.'' (6: 141).
Perilaku berlebihan dalam memanfaatkan nikmat yang diberikan Allah, selain merugikan diri sendiri, juga merupakan wujud rasa tidak bersyukur kepada-Nya. Di samping itu, perilaku ini juga cenderung menggiring orang pada pola hidup individualistik dan menghilangkan kepekaan sosial. Sebab seluruh energinya akan tercurahkan untuk mencari kepuasan pribadi, padahal hasrat manusia itu tidak akan ada habisnya jika terus diikuti. Imam Busyiri menegaskan dalam qasidah Burdahnya, “Hasrat nafsu itu seperti hasrat bayi untuk menetek ibunya. Jika dibiarkan ia akan terus menetek, tetapi ia pun akan berhenti jika dihentikan (sapeh).”
Ketiga, orang-orang yang gemar berdusta (kadzibin). Dusta merupakan sikap orang munafik, selain tidak menepati janji dan tidak dapat dipercaya. Nabi menjelaskan, “Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (Bukhari dan Muslim)
Orang yang gemar berdusta ia akan tersingkir dari pergaulannya, karena orang di sekelilingnya tidak akan percaya kepadanya bahkan membencinya. Kalau manusia saja membencinya apalagi Tuhan. Nabi juga sangat membenci pendusta, apalagi hal itu dilakukan kepada dirinya (agama). Ia mengungkapkan, “Siapa yang berdusta atas namaku maka sialahkan ambil tempatnya di neraka.”
Termasuk pendusta adalah orang yang berjanji untuk menggunakan harta pada jalan Allah dan membantu orang lain apabila kaya. Namun, ketika kaya ia lupa terhadap janji itu. Allah berfirman, ''Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh'. Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka, Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.'' (9: 75-77).
Keempat, orang-orang yang berbuat kerusakan (mufsidin) dan melampaui batas. Orang yang gemar menciptakan kerusakan dapat dipastikan ia tidak memiliki i’tikad baik untuk menciptakan pola hidup yang harmoni. Suatu sikap yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. Untuk itu Ia sangat membencinya, seperti dalam firman-Nya, ''Janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.'' (28: 77).
Perbuatan merusak ini sangat banyak jenisnya, baik ditujukan pada diri sendiri seperti mengkonsumsi narkoba, judi, dll., maupun pada lingkungan sekitar seperti melakukan pengerusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum. Termasuk kategori kedua ini adalah melakukan ekploitasi sumber daya alam yang tidak mempedulikan ekosistem alam hingga mengakibatnya terjadinya banyak bencana, juga teknologi produksi yang tidak ramah lingkungan hingga berakibat buruk baik bagi manusia maupun alam sekitarnya.
Begitu juga dengan orang yang melampaui batas dengan menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Dengan sikapnya itu berarti ia tidak lagi mengindahkan batas-batas yang telah digariskan oleh Tuhan. Kebencian Tuhan kepadanya seperti tersurat dalam firman-Nya, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.'' (5: 87).
Sudah tentu, setiap muslim hendaknya menjauhkan dirinya dari sikap dan perilaku orang-orang yang dibenci oleh Allah ini. Sebab, perilaku tersebut di samping dapat merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan pribadi, juga merusak tatanan kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Senin, 29 Oktober 2012

Allah Cinta Kepada…

Allah mencipta alam semesta, termasuk manusia, ini bukan sekedar untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan pribadi, tetapi disertai dengan tujuan yaitu agar eksistensi-Nya dikenal oleh ciptaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi Ia berfirman, “Aku adalah sebuah gudang rahasia, kemudian Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Perkenalan antara makhluk dan penciptanya ini jelas manfaatnya tidak untuk  diri-Nya melainkan untuk makhluk itu sendiri. Karena taat atau durhakanya makhluk tidak berpengaruh sedikit pun bagi-Nya. Ketaatan makhluk kepada-Nya tidak akan menambah sedikit pun kebesaran dan keagungan-Nya. Dan kebesaran dan keagungan-Nya juga tidak akan tergeser sama sekali oleh kedurhakaan makhluk-Nya. Ini pasti bagi-Nya karena Ia Maha Kaya (Ghani).
Ibarat sebuah permainan (game), Allah telah membuat prangkat-prangkat baik software dan hardware yang dapat menjerat manusia untuk mempercayai-Nya atau tidak, menyintai-Nya atau tidak, bahkan mengenal-Nya atau tidak. Perangkat ini yang kemudian disebut syari’at. Dalam syari’at ini telah digariskan adanya golongan manusia yang dicintai-Nya dan yang dibenci-Nya. Mereka yang dicintai, seperti yang diinformasikan dalam al-Qur’an, antara lain:
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Rasa cinta merupakan bagian kecenderungan yang dimiliki oleh manusia. Namun bagi seorang muslim cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus menempati posisi yang paling tinggi (al-mahammabul ‘ula), dan menjadikan kecintaan ini sebagai tolok ukur bagi kecintaannya kepada yang lain, seperti istri/suami, anak, keluarga, harta, pangkat, dan jabatan. 
Cinta kepada Allah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Karena kecintaan inilah yang dapat memotivasinya untuk selalu konsisten di jalan yang telah disyari’atkan-Nya. Ia berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) menyintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (3: 31). Bahkan Allah juga telah menjadikan cinta ini sebagai salah satu tanda keimanan, “Orang-orang yang beriman (mukmin) itu sangat cinta kepada Allah.” (2: 165).
Sudah tentu cinta kepada Allah harus dilengkapi dengan cinta kepada Rasul-Nya. Sebab hanya darinya mereka mengetahui syari’at-Nya. Nabi menyataka, “Tidak beriman kepadaku salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (Bukhari dan Muslim).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin). Adil berarti melakukan suatu perbuatan secara proporsional, tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan dan menerima hak sebagai imbalannya.
Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Allah berfirman, ''Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.'' (5: 42).
Ketiga, orang-orang yang berlaku sabar (shabirin). Sabar dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya, pada saat senang dan duka, dll. Sabar yang demikian menunjukkan suatu wujud kepatuhan seutuhnya kepada kehendak Tuhan, rela terhadap qada’ dan qadar-Nya. Allah berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.'' (3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin). Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah berkaitan dengan segala hal, dengan dasar suatu keyakinan bahwa tidak ada daya untuk berupaya selain atas pertolongan Allah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim).
Tawakkal seperti ini jelas tidak menafikan faktor usaha (ikhtiyar) yang memang dianjurkan oleh Tuhan, dengan dasar bahwa siapa pun akan diberi balasan oleh-Nya sesuai dengan jerih payahnya. Tegasnya manusia diharuskan untuk selalu merancang dan melakukan suatu upaya meski keberhasilannya tetap sangat bergantung pada kehendak Tuhan. Allah berfirman, ''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathahhirin). Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (2: 222). Kesucian dalam pandangan Islam ada dua jenis, yaitu kesucian secara fisik berupa suci dari najasah dan kesucian secara maknawi berupa suci dari hadats baik kecil maupun besar.
Kesucian ini menjadi salah satu prasyarat bagi muslim untuk melakukan ibadah kepada Allah. Lebih jauh diharapkan kebiasaan bersuci sebelum bermunajat kepada Allah ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih diri dan lingkungan. Dengan demikian, orang yang selalu menjaga kesuciannya dapat dipastikan memiliki i’tikad baik untuk menciptakan suatu lingkungan yang harmoni.

Jumat, 12 Oktober 2012

Manifestasi Allah


Alam semesta ini berarti merupakan cermin bagi Allah. Ketika Dia ingin melihat diri-Nya, Dia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Dia pun menampakkan diri-Nya dalam bentuk tajalli, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis qudsi: Dia berfirman, ”Aku adalah gudang rahasia, kemudian Ku-ciptakan makhluk agar menganali-Ku.”
Manifestasi atau tajalli dalam tradisi sufi berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Konsep ini berakar pada pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini.
Allah, dengan demikian,  merupakan sumber segala sesuatu, dan berarti pula segala sesuatu itu pasti memiliki hubungan erat dengan-Nya. Andai saja Allah tidak menciptakan alam semesta ini sudah tentu tidak akan ada yang bereksistensi kecuali cahaya murni yang membutakan, tidak akan ada satu pun makhluk yang melihatnya dan tak ada yang bisa dilihat.
Untuk memudahkan pemahaman tentang manifestasi ini, William C. Chittick membuat analogi sederhana, yaitu matahari dan sinarnya. Matahari berhubungan dengan Allah dalam diri-Nya sendiri (yang dalam tradisi teologi Islam disebut “Dzat”). Spektrum cahaya        muncul dari matahari ketika berhubungan dengan nama-nama Allah (juga disebut “sifat-sifat-Nya”).
Warna dan bentuk yang tampak di dunia dan terjadi karena pantulan cahaya itu merupakan “tanda-tanda” Allah. Kalau cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan merupakan perbuatan matahari, maka sama halnya dengan semua makhluk yang merupakan perbuatan Allah.
Dalam hal tajalli ini, seorang tokoh sufi terkenal, Ibn ’Arabi, memberikan penjelasan yang cukup rinci. Mula-mula dia menerangkan tentang pengertian tajalli, yaitu Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada makhluk-Nya. Sinonim tajalli adalah kata fayd (emanasi), zuhr (penampakan), tanazzul (penurunan), dan fath (pembukaan).
Baginya, penampakan Allah atau tajalli bukan hanya dikhususkan bagi orang yang diberi kasyf (terbukanya hijab atau penghalang). Namun dari pengetahuan kasyf itu sendiri dapat diambil sebuah pemahaman bahwa alam merupakan tajalli Allah dalam bentuk beraneka ragam sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) sesuai ilmu Allah.
Bentuk tajalli tidak pernah sama dan tidak pula berulang, tetapi tajalli itu akan terus menerus berlangsung tanpa berhenti. Terjadinya tajalli disebabkan kerinduan Allah untuk dikenal ciptaan-Nya. Namun, tajalli tidak bisa terjadi kecuali terbentuk dalam bentuk nyata yang telah ditentukan dan dikhususkan. Penampakan diri ini disebut dengan ta’ayyun.
Ada tiga martabat tajalli dalam pandangan Ibn ’Arabi, yaitu: Pertama, martabat ahadiyah atau dzatiyah, wujud Allah dalam kondisi yang mutlak yang mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Dia tidak dapat dipahami atau sekedar dikhayalkan. Pada martabat ini Allah berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’ama’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musamma (dinamai).
Kedua, martabat wahidiyah, penampakan pertama (ta’ayyun awwali) Allah atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam martabat ini, zat yang mujarrad bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Di sinilah nama Allah muncul dan nama-nama-Nya yang lain (asmaul husna).
Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Dia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Ketiga, martabat tajalli syuhudi yang juga disebut faydh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata.
Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan begitu alam ini tidak lain merupakan kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq.
Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia seperti ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Selama ada Allah, alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Inti pandangan Ibn Arabi adalah bahwa keseluruhan kosmos merupakan wahana manifestasi sifat-sifat Allah. Pada hakikatnya tidak ada yang bereksistensi kecuali nama-nama-Nya. Menurutnya, segala sesuatu berasal dari Allah, segala sesuatu memanifestasi Allah, segala sesuatu menjadi tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala sesuatu itu bukanlah selain-Allah, semuanya adalah Allah (wihdatul wujud).
Inilah konsep dasar tasawuf Ibnu ’Arabi. Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 11 Oktober 2012

Allah Hanya Memilih Yang Ikhlas


Setibanya di rumah, dia menarik nafas yang dalam-dalam, lalu bersandar di sebatang pohon tua di tengah halaman rumahnya. “Suamiku, apa yang terjadi?” tegur istrinya begitu mengetahui keresahan yang melanda suaminya itu. Abu Aqil kemudian berjalan masuk ke rumah. Lalu sambil bersandar ke dinding dia berkata, “Musuh Tuhan bermaksud untuk memerangi kita. Tentara muslim sudah disiagakan untuk melawan. Tetapi, tentara kita tidak punya bekal dan makanan. Kami sedang berada di masjid ketika Nabi membacakan sebuah ayat suci Alqur’an dan meminta kaum muslimin untuk memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya.” 
Hari itu Abu Aqil tampak sangat resah. Tak pernah dia kelihatan seresah itu sebelumnya. Dia tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk, hingga tak hirau terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, pun suara gaduh saat dia melangkahkan kaki menju rumahnya. Langkahnya cepat, kepalanya tertunduk, matanya selalu memandang tanah, dan mulutnya tampak bergerak seperti mengucapkan sesuatu.
 “Apakah bunyi ayat itu?” Tanya istri Abu Aqil. Setelah berpikir sejenak, sambil menutup matanya, Abu Aqil kemudian membaca ayat ke-11 dari surat Al-Hadid: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak,.
Istri Abu Aqil tertunduk sedih, dan berkata, “Engkau adalah pemimpin dalam rumah ini dan engkau lebih mengetahui bahwa kita tidak punya harta dan simpanan apapun untuk kita berikan.” Dia menjawab, “Tetapi, kita harus turut melibatkan dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui perbuatan ini disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya?
 “Ayat ini sangat menyentuh perasaanku hingga aku segera pulang.” Lanjut Abu Aqil. “Hari ini semua orang Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi agar permintaan Tuhan terpenuhi.” Istrinya tersenyum dan dia mengambil salah satu bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata, “Kita mempunyai sedikit kurma. Ambillah dan berikan kepada Nabi".
Abu Aqil tertegun dan menggumam sendirian, “Apa yang bisa diperbuat dengan kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali.” Istrinya lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain bersih dan memberikannya kepada Abu Aqil. “Meskipun kurma ini tidak tampak berguna tetapi ia dapat dimanfaatkan di medan perang”. Kata Abu Aqil saat menerimanya.
Segera Abu Aqil membawanya ke masjid. Saat itu halaman masjid suah ramai. Dia melihat sudah ada beberapa ekor biri-biri, kambing, dan unta sumbangan dari umat Islam. Dia juga melihat masih banyak orang yang membawa sumbangan, baik yang berjumlah besar maupun kecil. Abu Aqil mendekap bungkusan yang dibawanya, lalu melangkah masuk ke dalam masjid.
Kaum munafik merasa tidak senang melihat simpati umat Islam yang besar itu, hingga mereka mengejek beberapa orang yang hendak memberikan bantuan, termasuk Abu Aqil. Orang yang memberikan bantuan dalam jumlah besar, mereka ejek sebagai orang yang pamer, tidak ikhlas dan mengharap pujian. Sedangkan orang yang memberikan bantuan dalam jumlah sedikit, mereka ejek dengan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya tidak memerlukan bantuan kamu yang tidak ada harganya”.
Melihat sikap orang-orang munafik itu, Abu Aqil sempat terbersit keinginannya untuk kembali pulang. Tetapi dia merasa seolah ada kekuatan besar dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang. Akhirnya dia duduk terdiam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi sedang duduk di tepi Mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. “Alangkah baiknya jika dia mempunyai simpanan yang lebih pantas untuk diberikan kepada Nabi.” Katanya dalam hati.
Beberapa waktu kemudian, masjid menadadak hening. Abu Aqil melihat Nabi tampaknya sedang sedang menerima wahyu. Terihat mata Nabi tertutup dan wajahnya sekonyong-konyong sedang tenggelam dalam cahaya yang bersinar. Semua sahabat memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Nabi selesai menerima wahyu.
Nabi kemudian membuka matanya dan dengan langkah perlahan beliau mendekati Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan dia berusaha untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar suara Nabi yang memecah kesunyian Masjid: “Wahai manusia, baru saja Jibril menyampaikan wahyu dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa para malaikat yang berada di langit, memandang bumi untuk menyaksikan pinjaman siapakah yang terbaik di sisi Allah ”.
Nabi kemudian meletakkan tangannya ke atas pundak Abu Aqil dan berkata, “Ketahuilah, hadiahmu lebih berharga dari emas di sisi Allah. Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan hatimu sakit, kelak akan diberi azab. Wahai Abu Aqil, para malaikat sedang menanti, berikan hadiah itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin agar aku menggembirakanmu. Engkau hari ini disenangi oleh Allah”.
Abu Aqil tertegun, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia seperti sedang bermimpi. Nabi akhirnya mengambil bungkusan kurma tersebut dari tangan Abu Aqil.  Lalu membacakan ayat ke-79 surah Taubah:
 “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.

Kamis, 04 Oktober 2012

Makna Al-Birr


Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 44 ini memang dalam konteks memberi peringatan kepada ahlil kitab yang gemar menganjurkan orang untuk berbuat taat dan takwa, tetapi mereka sendiri menyalahinya.
“Mengapa kamu suruh orang lain melakukan al-birr (kebajikan) sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Namun ayat ini juga dapat berlaku umum. Artinya Allah memperingatkan kepada setiap orang yang mengajak orang lain untuk berlaku bijak agar tidak melupakan dirinya sendiri dari kebajikan yang diajakkannya.
Apa yang dianjurkan oleh ahli kitab itu merupakan kebajikan (al-birr). Namun berubah menjadi keburukan yang menimpa diri mereka sendiri dengan berbagai konsekuensinya, manakala mereka hanya berhenti pada ucapan dan ajakan. Berbeda misalnya jika mereka tidak banyak bicara dan justru memberikan keteladanan sesuai dengan kebaikan dalam ucapan mereka.
Sikap yang seperti ditunjukkan oleh alhi kitab itu tampaknya saat ini cukup banyak. Bahkan yang juah lebih parah juga banyak. Ada orang yang gemar memberi nasehat kepada orang lain, bahkan memiliki jamaah atau pengikut yang berjumlah ribuan, namun dia malah memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Ada pula yang suka mengobarkan semangat perjuangan untuk perbaikan hidup bersama, namun justru dia malah mencari kekayaan dengan program perjuangannya tersebut. Dll.
Perilaku seperti ini persis dengan apa yang pernah digambarkan Nabi: ’Kelak di hari kiamat akan dihadapkan seorang dan segera dilempar ke neraka, maka keluar ususnya, maka ia terputar di dalam neraka sebagaimana berputarnya himar di penggilingan, maka dikerumuni orang-orang di neraka dan bertanya, ’Ya Fulan mengapa Anda? Tidakkah Anda selalu menganjurkan kami supaya berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar? Jawabnya, ’Dahulu aku menganjurkan kamu supaya berbuat baik sedang aku tidak mengerjakannya, dan melarang kalian dari kemungkaran, tetapi aku melakukannya’(HR.Bukhari).
Ajakan dan anjuran yang dimaksud bukan hanya dalam persolan agama saja, tetapi mencakup juga segi-segi kehidupan sosial secara keseluruhan. Tepatnya, pada hakekatnya tidak ada pemilahan persoalan agama dan non agama. Sebab agama itu mencakup seluruh dimensi kehidupan, termasuk hal-hal gaib. Adanya pembagian agama dan non agama hanya dalam konteks ilmu, terutama sejak al-Ghazali membuat klasifikasi ilmu.
Karenanya Nabi menegaskan bahwa al-birr atau kebajikan itu, sebagaimana riwayat dari Nawas bin Sam’an, bahwa “Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR. Muslim)
Wabishah bin Ma’bad juga menuturkan: Aku datang kepada Nabi, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.”
Begitulah Nabi menjelaskan tentang kebajikan, yaitu khusn al-huluq (budi pekerti yang baik) yang tercermin dari kebaikan hati. Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa suatu yang nampak baik, tetapi tidak didorong oleh maksud yang baik bukan termasuk kebajikan, tetapi malah tergolong dosa.
Begitulah tampaknya kenyataan yang terjadi pada ahli kitab sebagaimana telah disinggung di atas. Mereka tidak mendasari perbuatannya dengan ketulusan hati, tetapi lebih didorong oleh kepentingan duniawi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nabi dalam mendakwahkan Islam. Ketulsan hati Nabi telah berbuah merebaknya Islam di seluruh belahan dunia ini.
Perilaku plus hati itulah sesungguhnya makna al-birr, karena keduanya merupakan inti budi pekerti atau akhlak. Orang yang akhlaknya baik jelas hatinya bersih. Orang yang berhati bersih tentu akan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Orang yang dekat Tuhan sudah tentu dia akan selalu berusaha berbuat dan bersikap baik dengan semua makhluk, terutama dengan sesama manusia.
Penjelasan ini sekaligus menunjukkan cakupan al-birr, yaitu terkait dengan Allah dan al-birr terkait dengan sesama. Al-Birr terkait dengan Allah adalah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Sedang yang terkait dengan sesama adalah husnul khuluq yaitu banyak berderma dan tidak mengganggu kepada sesama.
Tepatnya seperti penegasan Allah dalam surat al-Baqarah: 177 bahwa al-birr merupakan sikap baik yang mewujud dalam keimanan dan komitmen sosial, seperti dalam bentuk menyantuni anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dll.
Akhirnya, semoga teologi al-birr ini menjadi motivasi dasar bagi setiap anak bangsa, terutama yang consern pada pembuatan peraturan dan kebijakan untuk masyarakat.