Salah
satu hal yang patut disyukuri di penghujung akhir tahun ini adalah tidak
terjadinya kasus intoleransi di negeri ini. Tidak seperti pada beberapa tahun
sebelumnya yang selalu diwarnai kasus intoleransi terutama pada saat peringatan
Natal bagi kaum Kristiani. Meski sepanjang tahun ini, menurut catatan lembaga
pemerhati hak asasi manusia Setara Institute, seperti dilansir oleh BBC-Indonesia.com
(17/12/2012), terdapat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299 tindakan.
Peningkatan
itu juga dibarengi dengan beberapa perbedaan, kalau tidak peningkatan,
penyebaran intoleransi. Jika sebelumnya banyak dilakukan oleh ormas atau
lembaga-lembaga tertentu, maka pada tahun ini sudah dilakukan secara individe
atau perseorangan.
Lepas
dari angka-angka yang menyulut munculnya beragam komentar dan sanggahan
tersebut, yang jelas kasus intolerasi menjadi tanggungjawab bersama untuk
segera dikikis, sehingga kebhinekaan bangsa ini benar-benar terwujud.
Bagi
Islam, cukup banyak dasa-dasar tekstual yang menyerukan kepada umatnya untuk
bersikap toleran terhadap umat lain. Nabi sendisi juga telah member teladan
tentang perilaku toleran. Salah satu contohnya adalah sebuah perjandian yang
dibuat Nabi Muhammad dan umat Kristen di Gunung Sinai. Isi perjanjianan itu
adalah sebagai berikut:
"Ini adalah pesan dari Nabi Muhammad bin
Abdullah, sebagai perjanjian terhadap kaum Kristiani, bahwa kami bersama mereka
di manapun mereka berada. Sesungguhnya, aku, para pelayan dan pembantuku serta
para pengikutku akan membela mereka, karena umat Kristen juga anggota
masyarakatku: Demi Tuhan, aku akan melepaskan segala hal yang tidak
menyenangkan mereka. Tidak ada paksaan bagi mereka,....”
Tak seorangpun boleh menghancurkan rumah ibadah
mereka, merusak atau mengambil sesuatu dari tempat itu ke rumah-rumah orang
Islam. Jika ada yang melakukannya, maka orang itu merusak perjanjiannya dengan
Tuhan dan ingkar pada Nabinya. Sesungguhnya, mereka adalah sahabat-sahabatku
dan mendapatkan perlindunganku dari segala yang mereka benci.
Tak seorangpun yang akan memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang.
Umat Islam akan berperang untuk mereka...gereja -gereja mereka akan dihormati,
Tak satupun negara (Islam) boleh melanggar perjanjian ini hingga hari
akhir."
Suatu saat ada utusan umat Kristen dari Najran
datang untuk bertemu Nabi, beliau membolehkan utusan itu untuk masuk ke masjid
dan mengizinkan untuk berdoa di masjid itu sesuai keyakinan mereka. Mereka juga
ditawari Nabi untuk menyepakati perjanjian yang sama seperti di atas.
Nabi juga
menerima tamu dari umat non muslim yang ingin meminta bantuan untuk menyelesaikan
pertikaian yang terjadi di antara mereka. Dan ketika Nabi harus mengambil
keputusan yang terkait dengan pertikaian antara umat Islam dan non muslim, beliau
selau merujuk ke Alqur’ann dan tidak pernah membuat perbedaan atas dasar agama
yang mereka anut.
Pola toleran
Nabi ini diteruskan oleh khalifah penerusnya. Kalifah Umar bin Khattab misalnya,
ketika beliau menaklukkan Yerusalem pada tahun 638 M. Dia mendeklarasikan bahwa
mereka akan melindungi harta benda, anak-anak, gereja dan semua yang menjadi
milik penganut umat Kristen.
Bahkan ketika
kekhalifahan Islam telah menyebar ke luar wilayah Arabia, sikap toleran masih
dijunjung tinggi. Ekspansi kekhalifahan Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia,
Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Ekspansi itu sama
sekali tidak diwarnai pemaksaan suatu kaum atau bangsa untuk memeluk Islam.
Memang di
beberapa kasus terjadi peperangan dalam ekspansi tersebut, namun peperangan itu
dilakukan hanya sebagai pembelaan agar Islam tidak mengalami kekalahan.
Peperangan itu sama sekali bukan dimaksudkan untuk memaksakan keyakinan, tetapi
lebih merupakan ekses politik sebagai konsekuensi sebuah pendudukan.
Justru dengan
sikap kekhalifahan Islam yang seperti ini Islam dapat berkembang dengan cepat
hingga mencapai kejayaannya, tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu.
Sampai di sini
patut kiranya dikemukakan ungkapan jujur kalau tidak kesaksian seorang Yahudi
bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam
adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan
menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu.
Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang
mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada
keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.
Pengakuan seorang
Yahudi di Spanyol ini sungguh sangat tepat. Dia bahkan menyatakan bahwa dalam
peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka,
untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi tidak
pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.
Kembali pada
kasus intoleransi di negeri ini, tampaknya di beberapa kasus yang terjadi
mengindikasikan bukan murni semata-mata kasus benturan antara agama atau antar
umat beragama, tetapi lebih merupakan ekses dari pertarungan politik yang
melibatkan agama. Dan tampaknya juga pelibatan ini akan sia-sia jika para tokoh
dan pemuka agama tidak menudukung gerakan pelibatan tersebut.
Untuk itu,
harapan umat kepada para pemuka agamanya adalah bersikap ariflah dalam
mengarahkan langkah umat, sehingga mereka tidak terjebur dalam kubangan konflik
atau tindak kekerasan atas nama agama.