Selasa, 30 Juli 2013

Imsak

Kata “imsak” cukup populer terutama pada bulan Ramadlan. Paling tidak hampir pada setiap menjelang fajar kata ini terdengar dikumandangkan dari masjid atau mushalla. Beberapa tahun terakhir ini jadwal puasa juga sering menggunakan istilah "imsakiyah". Bagaimana kaitan kata ini dengan puasa? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dimulai dari pelacakan secara linguistik.
Puasa dalam bahasa Arab disebut shaum atau shiyam, seperti dalam firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa (al-shiyam), sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (al-Baqarah:183). Secara etimologis kata shaum atau shiyam berarti menahan (al-imsak). Puasa berarti menahan, hingga secara sya’i puasa diberi pengertian menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan seksual sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan disertai niat.
Dari sini dapat dipahami bahwa isti puasa adalah menahan. Dan nampaknya menahan ini lebih difokuskan pada menahan dari pemenuhan kebutuhan naluriah kemanusiaan. Manusia tentu akan merasa sakit jika sebagian kebutuhannya tidak terpenuhi. Hal yang lumrah bagi semua makhluk hidup. Tetapi kenapa Tuhan justru mewajibkan penahanan ini meski pada batas waktu tertentu?
Tuhan mencipta manusia ini dalam bentuknya yang paradoks. Di satu sisi manusia memiliki potensi baik sebagaimana potensi fitrah yang diberikan kepadanya, tetapi di sisi lain potensi jahatnya juga tidak kecil sebagai akibat dari kealpaannya terhadap fitrahnya sendiri. Namun tentu kenyataan ini bukan berarti tanpa guna. Jika dikaitkan dengan puasa, Tuhan mewajibkan puasa kepada manusia bukan untuk kepentingannya, melainkan demi kebaikan manusia itu sendiri, yaitu agar mereka dapat meningkatkan kualitas ketaqwaannya, seperti telah dijelaskan dalam ayat di atas.
Kalau Tuhan menilai manusia hanya dari faktor kualitas taqwa ini, seperti ditegaskan Nabi, 'Sesungguhnya 'Allah tak memandang bentuk dan harta kekayaanmu, tetapi memandang hati dan bekas amalmu.'' (HR Muslim), maka sudah tentu hal ini menyiratkan adanya tuntutan usaha kepada manusia. Dengan demikian, Tuhan menuntut agar manusia itu selalu menjaga dinamisasi hidupnya. Sudah tentu dalam usaha itu ada berhasil dan gagal. Sukses atau gagalnya manusia untuk mencapai tujuan tertinggi puasa itu akhirnya berpulang kepada manusianya sendiri.
Dengan demikian, puasa sangat terkait dengan dua potensi yang dimiliki oleh manusia tadi. Artinya bagaimana puasa dapat memupuk potensi baiknya dan membunuh potensi buruknya. Untuk dapat merealisasikan hal ini mereka diharuskan untuk menahan diri dari jerat-jerat yang mengantarnya pada keburukan, meski jeratan ini merupakan bagian naluriahnya.
Berarti petekanan puasa adalah pada pemberisihan sekaligus penguatan jiwa dengan menekan kemauan nafsu, meski tidak dapat dipungkiri adanya manfaat puasa bagi dimensi fisik manusia. Puasa memang merupakan suatu upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan perwujudan kehendak Tuhan untuk melebihkan derajat manusia dari binatang yang hanya tunduk pada instink dan hawa nafsu. Islam tidak mengenal dunia kependetaan yang bersikap tak acuh terhadap keduniaan. Tetapi Islam juga memiliki sisi-sisi kezuhudan yang mengendalikan manusia untuk tidak cinta dunia dan melakukan kemungkaran.
Untuk itu, dalam surat al-Qashash ayat 77, Allah memerintahkan untuk memberikan porsi yang semestinya bagi kehidupan dunia dan akhirat. Pemberian porsi 'yang semestinya' inilah yang selalu menjadi titik lemah manusia yang telah dianugerahi dengan akal dan hawa nafsu. Untuk melakukan hal itu, manusia memerlukan suatu pengorbanan yang luar biasa. Karena, hal itu berarti dia harus berusaha untuk selalu mengekang hawa nafsunya. Salah satu wujud dari pengekangan hawa nafsu yang paling nyata adalah puasa (menahan) untuk tidak melakukan segala yang diharamkan, dan bahkan beberapa hal yang dihalalkan.
Tetapi memang itulah esensi puasa, yang dimaksudkan untuk mendidik jiwa agar bersabar dan bertakwa. Dan yang lebih penting dari itu semua, kita sebagai orang muslim harus merasa bahwa puasa adalah salah satu jalan Allah untuk mendidik jiwa kita agar kita bersabar, dan kita sebagai manusia harus berusaha untuk merasakan kenikmatan dalam melakukan kesabaran. Karena pada dasarnya kemurkaan Allah tidak hanya berbentuk musibah dan petaka yang bisa diindera oleh manusia. Ketiadaan rasa nikmat pada saat kita bersabar itu pun merupakan suatu petaka bagi kita.
          Dengan bentuk lain, ungkapan di atas telah disampaikan pula oleh salah seorang nabi dari Bani Isra’il. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika ada seorang Yahudi berkata kepada Nabi itu, "Aku tidak pernah berdzikir, tetapi mengapa Allah tidak menghukumku?" Sang Nabi menjawab, "Kamu telah dihukum oleh Allah, tetapi kamu tidak merasakan hukuman itu. Ketika Allah tidak memberimu kenikmatan dalam berdzikir kepada-Nya, maka pada saat itulah sebenarnya kamu sedang berada dalam hukuman-Nya."

Minggu, 28 Juli 2013

Puasa, Ibadah Kejujuran

      Puasa adalah ibadah kejujuran. Puasa yang bersifat personal, dalam arti dikerjakan sendiri dan merupakan rahasia antara shaim (orang yang puasa) dan Tuhannya, menanamkan sikap jujur bagi shaim. Tidak adanya orang lain yang dapat mengetahui tingkat kejujurannya membuka peluang baginya untuk melakukan penyimpangan saat berpuasa. Hanya kesadaran akan kehadiran Allah yang selalu mengawasi dan kesadaran akan tanggungjawab yang harus dipikul atas segala perbuatannya (taqwa) yang dapat menutup peluang itu.
       Untuk itu kejujuran bagi puasa amat menentukan. Kejujuran yang dimaksud adalah kepada diri sendiri dan Allah. Pernyataan Allah “puasa untuk-Ku”, memberi pengertian bahwa kejujuran shaim untuk tidak makan dan minum serta berhubungan seksual yang hanya karena-Nya itulah yang menjadi fokus penilaian. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, hampir tidak ada peluang bagi puasa untuk tidak ditujukan kepada Allah. Seorang anak misalnya berpuasa karena orang tuanya. Itu tidak mungkin, karena ketidakmampuan orang tua untuk dapat mengetahui sepenuhnya kejujuran puasa anaknya tersebut.
     Karenanya, hanya Allah yang mampu menilai puasa dan sekaligus memberikan balasannya. Ungkapan ini juga memberi pengertian bahwa puasa bukan untuk kepentingan Allah. Berbeda misalnya dengan puasa dalam tradisi agama-agama primitif, yang dilakukan untuk kepentungan dewa, seperti puasa untuk meredam kemarahan dewa, atau agar dewa bersuka hati hingga bersedia memberikan pertolongan, dan lain-lain.
Kejujuran ini merupakan manifestasi ketaqwaan. Berarti puasa bukan semata-mata ibadah fisik yang terkait dengan perut dan organ seks belaka. Yang terpenting adalah kualitas ketaqwaan. Dan karena ketaqwaan itu bersumber pada hati nurani maka fokus ibadah puasa adalah hati.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam Islam hampir tidak terdapat satu ibadah fisik belaka, melainkan selalu menyertakan dimensi batin. Perilaku fisik hanya menjadi media penguat dimensi batin tersebut. Meski demikian keduanya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mengandung makna tersendiri. Seperti ibadah kurban, bukan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada Allah, melainkan ketaqwaan. Tetapi hewan sembelihan itu tidak dibuang sia-sia, melainkan harus dibagikan kepada fakir miskin. Berarti secara batin kurban merupakan satu manifestasi taqwa. Sedangkan secara fisik ia mengandung komitmen meringankan beban sosial masyarakat miskin. Ibadah kurban ini berbeda dengan ritus persembahan atau sesaji dalam agama-agama primitif yang mutlak dipersembahkan kepada dewa, dan membiarkan hidangan sesajinya mengering atau membusuk.
Puasa juga demikian, ketaqwaan yang diterima oleh Allah. Sementara penahanan sebagian kebutuhan biologis maupun ruhani berguna untuk memantapkan pribadi pelakunya. Memang secara syariat puasa cukup dengan menahan diri dari makan, minum dan berhubungan seksual. Kewajiban puasa sudah gugur. Namun jika berhenti sampi di situ maka nilai atau manfaat yang diperoleh juga sebatas fisik. Sementara manfaat secara batiniahnya kosong.
Satu bukti konkrit puasa tidak hanya ibadah fisik adalah adanya kemurahan (ruhsah) bagi orang-orang tertentu yang berhalangan untuk tidak berpuasa, seperti orang tua renta, sakit parah, sedang mengandung atau menyusui, sedang bepergian, dan lain-lain. Kemurahan bagi mereka sangat manusiawi, sehingga tidak bisa dibilang merupakan pembangkangan dari kewajiban.
Kenyataan ini membuktikan bahwa kejujuran dalam melakukan puasa itulah yang sangat ditekankan, bukan pada rasa berat secara fisik. Salah satu implikasi kejujuran yang ditanamkan oleh puasa adalah sikap amanah (dapat dipercaya dan bertanggungjawab). Dan jelas dapat diprediksi manfaat kejujuran puasa ini bagi kehidupan masyarakat.
Sampai di sini, kiranya patut kita perhatikan tiga model puasa menurut klasifikasi al-Ghazali, yang sekaligus menunjukkan tingkat puasa dan kejujuran shaim, dan tentunya dapat membedakan capaiannya, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa sangat khusus.
Yang pertama adalah puasa yang hanya menekankan aspek syariat tadi. Puasa demikian hanya menunjukkan kepatuhan secara fisik, sehingga dapat mereduksi substansi yang mestinya diperhatikan. Implikasi sikap yang muncul dari puasa ini adalah masih adanya kesediaan untuk tetap melakukan kesalahan. Kalau dikatakan bahwa puasa tetap tidak mampu mengurangi tindak kejahatan, seperti korupsi, manupulasi, dan lain-lain di masyarakat, maka jelas puasanya sebatas dorongan syar’i ini.
Yang kedua di samping aspek syariat tadi ditambah dengan menjaga seluruh organ tubuh seperti telinga, mata, mulut, tangan dan kaki dan lain-lain dari berbuat salah atau dosa. Puasa demikian masih menyimpan rasa takut (khauf) dan harapan (raja’): takut terhadap siksa dan mengharapkan pahala dan surga. Puasa ini masih digantungkan pada imbalan atau upah sehingga masih mencipta sikap pamrih.
Sedang yang ketiga dengan menghadapkan seluruh hati dan pikiran hanya kepada Allah. Bagi mereka puasanya akan batal hanya dengan sejenak berfikir tentag dunia yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Berarti puasa yang dilakukan semata-mata merupakan pengabdian kepada Allah.

Sabtu, 27 Juli 2013

Puasa dan Sabar

          Refrensi tentang sabar sangat banyak ditemukan dalam ajaran Islam. Dalam al-Qur’an kata ini paling tidak diulang sebanyak 75 kali, terutama yang berkaitan dengan tingkatan (derajat) dan kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang mau berbuat sabar. Nabi juga sering menguraikan tentang sikap sabar ini dalam banyak haditsnya sesuai dengan konteks perjuangannya.
Pada satu kesempatan Nabi menegaskan tentang sabar ini dengan dikaitkan pada persoalan iman, “sabar itu setengah daripada iman.” Dalam memahami hadits ini, Al-Ghazali menyatakan ada dua argumentasi yang dapat membuktikan kebenaran pernyataan Nabi ini. Pertama, pemaknaan kata iman kadang hanya dikaitkan dengan persoalan kepercayaan terhadap pokok-pokok agama (usul al-din), kadang hanya dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan baik yang muncul dari kepercayaan tersebut, juga kadang berkaitan dengan keduanya.
Apabila makna yang terakhir ini (kepercayaan dan implikasi dalam bentuk perbuatan) yang digunakan, maka iman sebenarnya memiliki dua unsur pokok (rukun), yaitu keyakinan dan kesabaran. Yang dimaksud dengan keyakinan adalah pengetahuan pasti yang dihasilkan dari petunjuk (hidayah) Allah terhadap hambanya kaitannya dengan pokok-pokok agama. Sedangkan kesabaran adalah suatu perbuatan yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Keyakinan akan memberikan pengertian kepada seseorang bahwa perbuatan jahat (maksiat) itu akan membahayakan dan taat itu akan memberi manfaat bagi dirinya, dan dia tidak mungkin meninggalkan yang pertama dan tetap melaksanakan yang kedua kecuali hanya dengan kesabaran. Orang yang berperilaku demikian berarti dia telah menggunakan dorongan agama untuk memaksa dorongan hawa nafsu. Dengan demikian, dalam hal ini sabar berarti merupakan setengah daripada iman.
Kedua, iman diartikan sebagai suatu kondisi (ahwal) yang menghasilkan suatu perbuatan, bukan pengetahuan. Dalam pandangan ini, semua yang dikerjakan oleh seseorang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang bermanfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat, atau yang sebaliknya (yang membahayakan). Hal yang terkait dengan yang pertama berarti sabar, sedang yang kedua adalah syukur. Dengan demikian iman sebagai satu kesatuan yang utuh, setengahnya ditopang oleh sabar dan setengah sisanya ditopang oleh syukur. Terkait dengan penjelasan ini Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits marfu’ berupa penegasan Nabi bahwa “iman itu terdiri dari dua bagian, yang pertama adalah sabar sedang yang lain adalah syukur.”
Tadi telah disinggung bahwa sabar adalah menekan dorongan nafsu dengan dorongan agama. Yang dimaksud dorongan nafsu itu ada yang berbentuk pemenuhan kesenangan diri melalui jalur naluriah (syahwat) dan ada yang melalui jalur marah (ghadlab) guna menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan. Ibadah puasa, dalam pengertian ini, berarti hanya senilai seperempat iman, karena unsur sabar yang ada hanya terkait dengan dorongan naluriah, sesuai penegasan Nabi bahwa “puasa itu setengah daripada sabar.” Karena itu sabar yang sempurna adalah yang mengumpulkan kedua unsur tersebut. Parameter inilah yang selanjutnya digunakan untuk melihat kadar atau batasan ibadah kaitannya dengan iman.
Sedangkan dorongan agama kaitannya dengan dorongan nafsu itu sendiri ada tiga macam, yaitu pertama, menekan dorongan nafsu hingga ia tidak memiliki kekuatan sama sekali. Berdasarkan pada hal ini terdapat ungkapan “siapa yang sabar dia tergolong orang yang menang.” Memang hanya sedikit orang yang mampu sampai pada tingkatan ini, karena dia sama sekali telah mampu menghilangkan dorongan nafsu dalam dirinya. Inilah yang dimaksud penjelasan Tuhan “orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka konsisten (istiqamah).” (Fussilat: 30) Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan ketenangan batin.
Kedua, dorongan agama terkalahkan sama sekali oleh dorongan nafsu. Mereka adalah orang yang terkalahkan oleh setan dan tidak melakukan usaha untuk memeranginya. Mereka tergolong orang yang lupa, seperti ditegaskan Tuhan bahwa “kalau Kami menghendaki tentu Kami akan memberikan petunjuk bagi setiap jiwa tetapi ungkapan yang hak itu hanya dari-Ku.” (as-Sajdah: 13).
Tanda-tanda orang yang termasuk dalam kategori kedua ini adalah cenderung putus asa dan tertipu oleh harapan-harapan. Dan ini merupakan puncak keteledoran (humq). Nabi menyatakan “orang yang cerdas itu adalah orang yang lemas jiwanya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal. Sedangkan orang yang teledor adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan dia berharap (rahmat) kepada Tuhan.”
         Orang seperti yang disebut terakhir ini jika diberi nasehat untuk bertaubat misalnya, dia akan bilang “aku memang butuh bertaubat tetapi aku belum sempat hingga aku tampak belum membutuhkannya.” Itu masih mending, karena ada yang menyatakan “aku tidak butuh bertaubat mengingat Tuhan itu Maha Pengampun dan Pengasih, hingga tidak butuh pada taubatku.”
Dan ketiga,  dorongan agama dan dorongan nafsu selalu berperang. Kadang yang satu mengalahkan yang lain, dan begitu juga sebaliknya. Orang seperti ini tergolong mujahid bukan tergolong orang menag. Mereka sesekali akan berlaku baik dan sesekali sebaliknya. Dan semoga Tuhan menerima taubatnya.