Ada
banyak tradisi yang unik dan khas di negeri ini terkait dengan perayaan Hari
Raya Idul Fitri, seperti mudik, ketupat, halal bi halal, ucapan minal ‘aidin
wal faizin, dll. Unik karena hampir tidak, kalau tidak sama sekali tidak,
ditemukan di negara selain Indonesia.
Sebagai
suatu realitas budaya, tradisi-tradisi tersebut jelas mengandung makna
spiritual, transendental, bahkan primordial. Menancap kuatnya makna tersebut
dalam benak masyarakat membuat tradisi-tradisi tersebut tetap lestari hingga
saat ini. Negara pun harus turun tangan untuk memperlancar pelaksanaannya.
Namun
ada beberapa ironi yang melekat pada tradisi-tradisi tersebut. Misalnya, adanya
jarak antara bentuk tradisi dan makna yang disimbolkan oleh tradisi tersebut.
Bahkan jarak itu ada yang justru melahirkan bentruk tradisi yang salah kaprah.
Ucapan
“minal ‘aidin wal faizin” milasnya, ucapan ini biasanya diungkapkan seseorang
kepada orang lain untuk berhalal bi halal atau bermaaf-maafan. Untuk melengkapi
maksud berhalal bi halal, ucapan itu biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi
diikuti dengan ucapan “mohon maaf lahir dan batin.”
Kedua
frasa tersebut jika diungkap secara lengkap akan menimbulkan perasaan lega yang
tiada terkira karena telah mengajukan permohonan maaf secara lengkap. Biasanya
orang pertama akan mengucapkan “minal ‘aidin wal faizin” atau ditambah dengan
“mohon maaf lahir dan batin.” Orang kedua akan menimpali dengan ucapan
“taqabbalallahu minna wa minkum.” Itu pun biasanya diungkapkan oleh orang yang
mengerti atau sedikit mengerti bahasa Arab. Namun umumnya orang kedua
menimpalinya dengan ucapan “sama-sama.”
Faktanya
demikian, yakni ucapan “minal ‘aidin wal faizin” digunakan untuk mengajukan
permohonan maaf dalam dialog berhalal bi halal. Namun ternyata kenyataan
tersebut kurang tepat jika ditinjau dari segi kebahasaan atau pun rujukan
tradisi dalam sejarah Islam terutama yang berlaku di masa sahabat Nabi.
Dari
segi kebahasaan, ucapan “minal ‘aidin wal faizin” mengandung dua kata pokok,
yaitu ‘aidin dan faizin. Yang pertama memiliki akar kata yang sama
dengan kata ‘id pada Idul Fitri. ‘Id artinya kembali, maksudnya sesuatu
yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan hari raya yang
datang setiap tahun. Sedangkan al-fitr artinya berbuka, maksudnya tidak lagi
berpuasa selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri berarti “hari raya berbuka.”
Sementara
‘aidin menunjukkan
para pelakunya (fa’il), yaitu orang-orang
yang kembali berpuasa selama sebulan penuh. Ada juga yang mengaitkan kembali di sini
tidak pada berbuka atau tidak berpuasa tetapi pada fitrah atau kesucian
seseorang sesuai dengan kondisinya saat baru dilahirkan ke dunia ini.
Adapun
kata faizin berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan. Sama dengan ‘aidin kata faizin juga
menunjukkan para pelakunya, artinya adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti
memperoleh keberuntungan berupa ampunan dan ridha Allah dan nikmat surga.
Sampai
di sini cukup jelas bahwa meskipun “minal ‘aidin wal faizin” diikuti dengan
kalimat mohon maaf lahir batin, ia tidak mempunyai makna yang serupa. Bahkan
sebenarnya merupakan tambahan doa yang patut diaminkan saja.
Dalam
rentang sejarah Islam, tradisi ucapan “minal ‘aidin wal faizin” saat berlebaran
juga tidak ditemukan pada masa para sahabat Nabi. Orang Arab secara umum bahkan
bisa jadi tidak paham terhadap makna ucapan tersebut. Justru yang lazim diucapkan
oleh para sahabat Nabi saat berlebaran ungkapkan adalah kalimat “taqabalallaahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian).
Maksudnya, menerima amal ibadah kita
semua selama bulan Ramadhan. Para sahabat juga biasa
menambahkan “shiyamana
wa shiyamakum” (semoga juga puasaku dan kalian diterima).
Jadi
kalimat yang kedua dari ucapan selamat lebaran di atas memang biasa digunakan
sejak jaman para Sahabat Nabi hingga sekarang, bukan yang pertama (minal ‘aidin
wal faizin), ucapan ini memang diambil dari bahasa Arab. Namun patut untuk
diketahui bahwa frasa ini tidak dikenal dalam budaya Arab, seperi juga frasa
“halal bi halal.” Karenanya wajar jika frasa ini hanya bisa dipahami oleh orang
Indonesia meski berbentuk bahasa Arab.
Penulisan
frasa itu sesuai pedoman transliterasi yang tepat adalah “min al-‘aidin wa
al-faizin.” Frasa itu dimulai dengan kata huruf jar “min” yang berarti dari.
Namun arti ini tidak satu-satunya arti min. Syeh Ibnu Malik, penulis kitab Nadham Alfiyah Ibn Malik
menjelaskan “Ba’id wa bayyin wabtadi fil amkinah # bi min wa qad ta’ti li bad’il azminah” (maknailah dengan “sebagian”, kata penjelas dan permulaan tempat # dengan min. Tapi kadang ia untuk menunjukkan permulaan waktu).
menjelaskan “Ba’id wa bayyin wabtadi fil amkinah # bi min wa qad ta’ti li bad’il azminah” (maknailah dengan “sebagian”, kata penjelas dan permulaan tempat # dengan min. Tapi kadang ia untuk menunjukkan permulaan waktu).
Penjelasan
ini dapat menggambarkan bahwa kata min pada min al-aidin wa al=faizin
menunjukkan arti “sebagian” (li al-tab’idh).
Jadi secara harfiyah, minal ‘aidin wal-faizin artinya: bagian dari orang-orang
yang kembali dan orang-orang yang menang.
Dari
sisi tampak bahwa frasa itu merupakan penggalan, tepatnya penggalan doa yang
lengkapnya adalah “ja’alanallaahu min
al-‘aidin wa al-faizin.” (semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang kembali (kepada
ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang
yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah).
Tegasnya,
menggunakan ucapan itu dalam berlebaran sah-sah saja, asal dimaksudkan sebagai
doa. Tetapi jikaa digunakan untuk berhalal bi halal jelas kurang tepat. Untuk
tujuan yang terakhir ini alangkah lebih baiknya menggunakan ucapan permononan
maaf dengan menggunakan bahasa Indonesia saja. Tidak sok Arab tapi ternyata salah
kaprah. Wallahu a’lam bi al-shawab.