Senin, 19 Agustus 2013

Ucapan Minal ‘Aidin wal Faizin

Ada banyak tradisi yang unik dan khas di negeri ini terkait dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri, seperti mudik, ketupat, halal bi halal, ucapan minal ‘aidin wal faizin, dll. Unik karena hampir tidak, kalau tidak sama sekali tidak, ditemukan di negara selain Indonesia.
Sebagai suatu realitas budaya, tradisi-tradisi tersebut jelas mengandung makna spiritual, transendental, bahkan primordial. Menancap kuatnya makna tersebut dalam benak masyarakat membuat tradisi-tradisi tersebut tetap lestari hingga saat ini. Negara pun harus turun tangan untuk memperlancar pelaksanaannya.
Namun ada beberapa ironi yang melekat pada tradisi-tradisi tersebut. Misalnya, adanya jarak antara bentuk tradisi dan makna yang disimbolkan oleh tradisi tersebut. Bahkan jarak itu ada yang justru melahirkan bentruk tradisi yang salah kaprah.
Ucapan “minal ‘aidin wal faizin” milasnya, ucapan ini biasanya diungkapkan seseorang kepada orang lain untuk berhalal bi halal atau bermaaf-maafan. Untuk melengkapi maksud berhalal bi halal, ucapan itu biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi diikuti dengan ucapan “mohon maaf lahir dan batin.” 
Kedua frasa tersebut jika diungkap secara lengkap akan menimbulkan perasaan lega yang tiada terkira karena telah mengajukan permohonan maaf secara lengkap. Biasanya orang pertama akan mengucapkan “minal ‘aidin wal faizin” atau ditambah dengan “mohon maaf lahir dan batin.” Orang kedua akan menimpali dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum.” Itu pun biasanya diungkapkan oleh orang yang mengerti atau sedikit mengerti bahasa Arab. Namun umumnya orang kedua menimpalinya dengan ucapan “sama-sama.”
Faktanya demikian, yakni ucapan “minal ‘aidin wal faizin” digunakan untuk mengajukan permohonan maaf dalam dialog berhalal bi halal. Namun ternyata kenyataan tersebut kurang tepat jika ditinjau dari segi kebahasaan atau pun rujukan tradisi dalam sejarah Islam terutama yang berlaku di masa sahabat Nabi.
Dari segi kebahasaan, ucapan “minal ‘aidin wal faizin” mengandung dua kata pokok, yaitu ‘aidin dan faizin. Yang pertama memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘id pada Idul Fitri.  ‘Id artinya kembali, maksudnya sesuatu yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan hari raya yang datang setiap tahun. Sedangkan al-fitr artinya berbuka, maksudnya tidak lagi berpuasa selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri berarti “hari raya berbuka.”
Sementara ‘aidin menunjukkan para pelakunya (fa’il), yaitu orang-orang yang kembali berpuasa selama sebulan penuh. Ada juga yang mengaitkan kembali di sini tidak pada berbuka atau tidak berpuasa tetapi pada fitrah atau kesucian seseorang sesuai dengan kondisinya saat baru dilahirkan ke dunia ini.
Adapun kata faizin berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan. Sama dengan ‘aidin kata faizin juga menunjukkan para pelakunya, artinya adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ampunan dan ridha Allah dan nikmat surga.
Sampai di sini cukup jelas bahwa meskipun “minal ‘aidin wal faizin” diikuti dengan kalimat mohon maaf lahir batin, ia tidak mempunyai makna yang serupa. Bahkan sebenarnya merupakan tambahan doa yang patut diaminkan saja.
Dalam rentang sejarah Islam, tradisi ucapan “minal ‘aidin wal faizin” saat berlebaran juga tidak ditemukan pada masa para sahabat Nabi. Orang Arab secara umum bahkan bisa jadi tidak paham terhadap makna ucapan tersebut. Justru yang lazim diucapkan oleh para sahabat Nabi saat berlebaran ungkapkan adalah kalimat “taqabalallaahu minna wa minkum” (semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian). Maksudnya, menerima amal ibadah kita semua selama bulan Ramadhan. Para sahabat juga biasa menambahkan “shiyamana wa shiyamakum” (semoga juga puasaku dan kalian diterima).
Jadi kalimat yang kedua dari ucapan selamat lebaran di atas memang biasa digunakan sejak jaman para Sahabat Nabi hingga sekarang, bukan yang pertama (minal ‘aidin wal faizin), ucapan ini memang diambil dari bahasa Arab. Namun patut untuk diketahui bahwa frasa ini tidak dikenal dalam budaya Arab, seperi juga frasa “halal bi halal.” Karenanya wajar jika frasa ini hanya bisa dipahami oleh orang Indonesia meski berbentuk bahasa Arab.
Penulisan frasa itu sesuai pedoman transliterasi yang tepat adalah “min al-‘aidin wa al-faizin.” Frasa itu dimulai dengan kata huruf jar “min” yang berarti dari. Namun arti ini tidak satu-satunya arti min. Syeh Ibnu Malik, penulis kitab Nadham Alfiyah Ibn Malik
menjelaskan “Ba’id wa bayyin wabtadi fil amkinah # bi min wa qad ta’ti li bad’il azminah” (maknailah dengan “sebagian”, kata penjelas dan permulaan tempat # dengan min. Tapi kadang ia untuk menunjukkan permulaan waktu).
Penjelasan ini dapat menggambarkan bahwa kata min pada min al-aidin wa al=faizin menunjukkan arti “sebagian” (li al-tab’idh). Jadi secara harfiyah, minal ‘aidin wal-faizin artinya: bagian dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.
Dari sisi tampak bahwa frasa itu merupakan penggalan, tepatnya penggalan doa yang lengkapnya adalah “ja’alanallaahu min al-‘aidin wa al-faizin.” (semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah).
Tegasnya, menggunakan ucapan itu dalam berlebaran sah-sah saja, asal dimaksudkan sebagai doa. Tetapi jikaa digunakan untuk berhalal bi halal jelas kurang tepat. Untuk tujuan yang terakhir ini alangkah lebih baiknya menggunakan ucapan permononan maaf dengan menggunakan bahasa Indonesia saja. Tidak sok Arab tapi ternyata salah kaprah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kamis, 15 Agustus 2013

Zakat dan THR

Berita tentang perusahaan yang tidak membayarkan THR kepada karyawannya masih saja menghiasi lembar media massa seputar lebaran. Mereka jelas memiliki, kalau tidak menyiapkan seambrek alasan pembenaran terhadap kebijakannya tersebut. Parahnya lagi jumlah mereka meningkat. Dari 4 perusahaan pada lebaran tahun 2012 menjadi 10 di tahun ini.
Mereka yang telah ingkar terhadap kewajiban jelas harus mendapat sanksi. Sanksinya bisa berbentuk denda atau apa pun yang bisa menimbulkan kerugian perusahaauan, atau sanksi apa pun yang dapat menimbulkan efek jera. Asal bukan sekedar sanksi moral. Sebab sanksi ini kecil sekali efek jera yang ditimbulkan, sehingga hanya akan memberi peluang untuk mengulanginya di tahun-tahun yang akan datang.
Urusan THR adalah urusan duit. Banyak orang yang tidak mempedulikan aspek moralitas untuk urusan itu, pun perusahaan. Kalau Allah mengancam neraka bagi hambanya yang tidak membayar zakat, maka bisa dianalogikan sanksi apa yang pantas bagi perusahaan yang mangkir dari THR.
Sebenarnya THR hampir mirip dengan zakat fitrah, yaitu pada tujuan berbagi kesenangan dan kebahagiaan saat berlebaran. Jangan sampai ada orang yang susah apalagi kelaparan di hari yang semestinya semua orang bersuka ria merayakan kemenangan pasca Ramadhan. Sekaligus sebagai salah satu wujud konkrit rasa peka sosial yang ditumbuhkan melalui ibadah puasa.
Begitulah Islam. Islam bukan hanya membimbing umat manusia untuk mentauhidkan Allah, akan tetapi juga menawarkan solusi-solusi bagi kesulitan yang didera oleh umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan selalu adanya dimensi sosial dalam setiap bentuk ibadah yang diwajibkan di dalam Islam. Bahkan ada yang secara tegas menitikberatkan pada aspek kemanusiaan.
Untuk yang disebut terakhir ini tidak sulit menemukannya dalam ajaran agama Islam. Salah satunya adalah zakat. Hikmah kewajiban zakat adalah tumbuhnya semangat berbagi terhadap sesama umat manusia. Kewajiban ini sekaligus dapat menjadi solusi untuk keluar dari keterkungkungan dan keterpurukan masalah ekonomi umat.
Di dalam harta melimpah yang dimiliki oleh orang kaya (aghniya’) terdapat hak fakir miskin, yatim piatu, orang jompo dan sejumlah kelompok penerima zakat. Karenanya, mereka tidak hanya harus berbagi dengan orang-orang yang lebih membutuhkan, tatapi mereka sebenarnya memiliki tanggungjawab untuk meringankan beban derita yang diamali oleh saudara-saudaranya itu.
Di samping sebagai wujud konkrit kepedulian dan tanggungjawa sosial, zakat juga sangat bermanfaat bagi pemberinya sendiri, yaitu sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia, perkataan kotor, dan perbuatan-berbuatan buruk yang lain, untuk zakat fitrah, dan sebagai penucian harta untuk zakal mall.
Untuk zakat fitrah, dalam bahasa Arab fitrah artinya berbuka. Zakat fitrah berarti zakat berbuka, yaitu berbukanya kembali seseorang dari puasa selama satu bulan Ramadhan. Kalau berbuka dengan kurma merupakan berbuka pada sore hari sebagai penyempurna ibadah puasa selama sehari, maka berbuka dengan zakat fitrah (beras) adalah berbuka pada akhir bulan Ramadhan sebagai penyempurna ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Sebagian ulama mengatakan bahwa fitrah berasal dari kata al fithr yang artinya asal penciptaan (ashl al khalq) yang sifatnya suci. Asal penciptaan manusia adalah bersih dari kotoran dan dosa. Zakat fitrah berarti sebagai pelengkap dan penyempurna ibadah puasa seseorang untuk mengembalikan dirinya pada kondisi bersih dan suci (fitrah).
Kebanyakan orang menyertakan zakat mallnya di bulan Ramadhan, dengan harapan dapat paket tree in one (puasa, zakat mall, dan zakat fitrah). Mereka berharap dengan pelaksanaan ketiga ibadah wajib itu mereka benar-benar dapat kembali fitrah dengan membersihkan jiwa, raga, dan hartanya.
Kembali pada konteks sosial zakat, pelaksanaan zakat pada bulan Ramadhan dan hari raya akan dapat mengembalikan orang-orang yang berkesusahan pada kondisi senang dan bahagia. Jika hari raya juga disebut hari kemenangan maka kondisi ini menunjukkan kemenangan umat untuk mengembalikan kebahagiaan bersama, dan pada gilirannya akan dapat orang-orang yang terdera kemiskinan dapat terentaskan.
Dengan demikian, zakat fitrah dapat dikatakan sebagai pembuka hari kemenangan Idul Fitri dengan mengembalikan kebahagiaan bersama. Dapat dibayangkan, di tengah-tengah kemeriahan hari raya, alangkah mirisnya jika ada yang bersedih. Alangkah ironisnya jika ada orang-orang yang tidak bahagia pada hari itu, dan merekalah orang-orang fakir dan miskin. 
Oleh karena itu diwajibkan zakat fitrah pada hari itu adalah untu menutupi hajat orang-orang fakir dan miskin pada hari Idul Fitri agar hati mereka juga turut merasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakan oleh mayoritas umat.
Zakat berarti memiliki manfaat ke dalam dan ke luar. Ibarat nafas, udara yang keluar tidak hanya memberikan manfaat pada tumbuh-tumbuhan di luar, tetapi juga memberikan manfaat  kepada tubuh sendiri. Sebab udara yang dibuang adalah zat-zat sisa yang merusak tubuh. Dan yang dikeluarkan tubuh itu nantinya akan dirubah tumbuh-tumbuhan menjadi zat yang pada akhirnya juga justru bermanfaat untuk tubuh manusia kembali.
      Sama halnya dengan THR, pembayarannya oleh perusahaan akan sangat menyenangkan bagi karyawan dan akan banyak menguntungkan karena kesenangan mereka dapat berbanding lurus dengan kualitas kerja mereka.

Selasa, 06 Agustus 2013

Idul Fitri

Idul Fitri terdiri dari dua kata, yaitu ’id dan fithr. Kata ‘id yang dalam bahasa Arab bermakna kembali, dari asal kata ‘ada. Dalam rentang perjalanan waktu setiap orang akan kembali bertemu dengan hari raya Idul Firti setiap tahunnya. Kat ’id juga ada yang diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan, yang bermakna bahwa umat Islam sudah biasa pada tanggal 1 Syawal selalu merayakannya.
Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan hidangan mewah dari langit (QS. al-Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat identik dengan makanan dan minuman yang serba mewah. Dan ternyata Allah pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS. al-Maidah: 115).
Mungkin cerita itu juga yang menjadi akar tradisi perayaan pesta Hari Raya Idul Fitri dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari biasa. Memang dalam hari raya tidak ada larangan menyediakan makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Sedangkan kata fithr dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia mengandung makna berbuka puasa (ifthar). Karenanya ungkapan ”kembali kepada fitrah” ada yang menafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya secara seimbang.
Sementara kata fithrah sendiri bermakna ”yang mula-mula diciptakan Allah.” Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS. al-A’raf: 172).
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah. Dalam hadis, Rasulallah juga mempertegas dengan sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).”
Hadits ini memperjelas kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas. Namun sayang tidak sedikit dari mereka yang melupakan ikatan primordial tersebut sehingga potensi dasar suci itu pun tak dapat dikembangkan sebagai penerang asasi bagi seluruh pola lakunya. Keterseretan meraka dalam kondisi seperti ini merupakan akibat dari ketersibukannya dengan hal-hal duniawi.
Idul Fitri dengan demikian berarti kembali pada fitrah. Seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan seharusnya mampu membawa pelakunya pada suatu kondisi psikologis dan ruhani yang bersih dan akrab dengan Allah. Itulah capaian tertinggi Ramadan yang dalam bahasa Alquran disebut muttaqi (orang yang bertakwa). Bergitulah fitrah manusia yang seharusnya terkondisikan setiap tahun.
Di dalam tradisi sufisme, fitrah manusia dikaitkan dengan penempatan cahaya (nur) dari Tuhan dalam diri manusia. Asal nur dari Tuhan ini sekaligus menunjukkan bahwa pada hakekatnya Dialah yang secara primordial memberikan sinaran (petunjuk), bimbingan, dan arahan pada perilaku dan hidup manusia.
Dari sini kemudian muncul istilah nurani (yang bersifat kecahayaan), yang dalam perbendaharaan bahasa Indonesia ditambah dengan hati (qalb) menjadi hati nurani. Dalam bahasa Arab juga digunakan kata dhamir, yang secara harfiah diartikan perasaan. Dengan demikian, kata nurani, hati atau dhamir, semuanya menunjukkan potensi yang cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan kejujuran (hanif).
Lagi-lagi sayang tidak sedikit manusia yang melupakan fitrahnya dan mengingkari hati nuraninya sendiri. Terhadap kenyataan seperti ini, Tuhan menyediakan fasilitas bagi manusia untuk kembali pada kondisi dasarnya (fitrah), yaitu dengan rangkaian ritual di dalam bulan suci Ramadan.
Siapapun yang mampu menjalankannya dengan baik dan benar dengan didasari keimanan yang utuh berarti ia telah menjalani proses mudik pada fitrahnya. Kegagalan dalam menjalani proses ini berarti menggiring pada absurditas dalam keberagamaan. Bukankah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles) justru memilih beragama sebagai langkah jitu dalam rangka menyempurnakan dirinya (insan kamil).
Namun demikian, perayaan idul fitri terasa belum sempurna jika masih menyisakan persoalan kemanusiaan. Oleh karenanya harus dibarengi dengan upaya menjalin hubungan yang harmonis antar sesama manusia, yaitu dengan menebar kasih yang diawali dengan ungkapan saling memaafkan, yang dalam tradisi masyarakat kita lazim disebut Halal bi Halal.
Dari sini ukuran keberhasilan perayaan idul fitri adalah kemampuan seseorang dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih sayang dengan sesama manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.