Kamis, 12 September 2013

Bulan Selo Itu Bulan Sial ?

Menurut kalender Hijriyah, saat ini kita berada di bulan kesebelas, yaitu Dzul Qo’dah. Bulan ini berada di tengah antara bulan Syawal dan Dzul Hijjah. Orang Jawa menyebut bulan ini dengan nama bulan Selo, yaitu antara bulan Syawal dan Besar. Mereka mengartikan bulan ini sebagai bulan sial, karena “selo” berarti “kesesel barang olo” (kemasukan barang yang jelek).
Padahal bulan Bulan Dzul Qo’dah atau Selo ini sebenarnya bukan bulan yang penuh dengan bencana tapi justeru merupakan bulan yang penuh berkah, penuh dengan semangat untuk berbuat baik, sebab ada larangan khusus untuk tidak berbuat dholim selama bulan-bulan mulia (QS. at-Taubah 36), termasuk pada bulan Dzul Qo’dah ini.
Pengartian bulan Selo dengan bulan “seselane ala” (baca olo = kejelekan) tersebut sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pemaknaan bulan Dzul Qo’dah, meski terdapat sedikit keterpelesetan. Kata “qo’dah” berasal dari kata “qo’ada” yang artinya duduk. Yang dimaksud duduk dalam penamaan ini adalah duduk untuk merenung dan berdzikir. Dari makna ini maka orang Jawa menyebutnya Siloan (baca silo = duduk bersila, seperti kebiasaan orang yang berdzikir). Dan lambat laun sebutan Siloan bergeser menjadi Selo.
Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa terdapat larangan khusus bagi umat Islam untuk berbuat dhalim atau berperang di bulan-bulan tertentu, tepatnya adalah bulan-bulan mulia (ayhurul hurum), sebagaigaimana difirmankan Allah: “Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar …’ “ (QS. al-Baqarah: 217); “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram … “ (QS. al-Maidah: 2).
Bulan-bulan mulia tersebut adalah Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Nabi bersabda: ”Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya saat Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu ada dua belas bulan. Empat di antaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) Syahru Mudhar, terletak di antara Jumada (ats Tsaniyah) dan Sya’ban. ” (QS. Bukhari)
Namun larangan itu tidak didasarkan pada pemahaman bahwa di bulan-bulan itu terdapat kesialan bagi umat Islam, seperti di bulan Dzul Qo’dah atau Selo. Tetapi lebih karena bulan-bulan itu sangat tepat untuk digunakan mendekatkan diri kepada Allah.
Jika bulan Syawal berarti peningkatan, tepatnya harapan adanya peningkatan pada setiap individu muslim setelah mereka kembali ke fitrah pasca Ramadan, maka di bulan Dzul Qo’dah ini mereka memasuki waktu untuk merenung dan berdzikir untuk menyiapkan diri memasuki bulan haji, Dzul Hijjah. Karenanya di waktu untuk merenung ini kurang baik jika digunakan untuk bersenang-sengang, seperti merayakan pernikahan, dll.
Jika makna “silo” (duduk bersila) ini yang dimaksud dengan Selo maka sebenarnya tidak ada kontradiksi antara pesan dari leluhur Jawa dengan maksud hijriyah, artinya sama-sama untuk merenung, bukan untuk seneng-seneng. Tegasnya bulan Dzul Qo’dah = bulan Silo untuk memperbanyak dzikir, bukan selo.
Bagi umat Islam sudah seharusnya meyakini ini; bulan Dzul Qo’dah adalah termasuk bulan-bulan yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan ibadah dan berdzikir kepada Allah. Hal ini bisa dimulai, misalnya dengan didasarkan pada semangat bulan ini adalah bulan napak tilas Musa (QS. Al-A’rof 142)
Para ulama salaf sangat memahami arti Dzul Qo’dah atau Selo sebagai bulan untuk bersila untuk berdzikir dan bermunajat kepada Allah. Mereka bahkan memanfaatkan bulan ini dengan membaca aurat (bacaan wirid) tertentu, seperti dalam anjuran berikut:
Bagi yang ingin memperoleh keutamaan bulan ini, hendaknya mandi sunnah pada hari pertama, kemudian berwudhu’ dan melakukan shalat sunnah empat rakaat (2 kali salam). Setiap rakaat sesudah Fatihah, membaca Surat Al-Ikhlas (3 kali), An-Nas (3 kali) dan Al-Falaq (sekali). Seusai shalat membaca Istighfar (70 kali), kemudian membaca: Lâ Hawla walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyil ‘azhîm. (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung), Yâ `Azîzu yâ Ghaffâru, ighfirlî dzunûbî wa dzunûba jamî`il mu’mîna wal mu’minât. Fainnahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ Anta. (Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Pengampun, ampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa mukminin dan mukminat, tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau).
Syeikh Ali bin Ibrahim berkata: Sungguh pada bulan-bulan yang mulia keburukan dilipatgandakan demikian juga kebaikan. Tanggal 11 Dzul Qaidah 148 H adalah hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha. Malam tanggal 15 Dzul Qa`idah adalah malam yang penuh berkah, sebab pada malam itu Allah memandang hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan rahmat-Nya, memberi seratus pahala kepada orang yang beramal dalam ketaatan kepada Allah, juga kepada orang yang berpuasa yang hatinya selalu terkait dengan masjid dan matanya tidak bermaksiat kepada Allah, khususnya di dalam masjid Nabawi. Karena itu, hendaknya menghidupkan malam itu dengan ibadah, ketaatan, shalat dan doa kepada Allah.
Itu hanya sekedar contoh dari setumpuk buku kumpulan doa-doa dan cara bermunajah yang menjadi kebiasaan para ulama salaf di bulan Dzul Qo’dah atau Selo. Namun, sampai saat ini ternyata pemahaman bulan ini sebagai bulan sial dan bencana masih tetap lestari di tengah-tengah masyarakat, khusunya Jawa. Meski sebenarnya merupakan suatu pemahaman yang telah mengalami pergeseran dari makna yang dipahami oleh para leluhur Jawa sendiri. Yang lebih parah lagi, pemahaman ini dimanfaatkan oleh segelintir orang yang menyukai jalan pintas untuk meraih kesuksesan dengan meminta bantuan dukun, justeru menggunakan bulan ini sebagai bulan penebusan dan menyajian persembahan. Dan lebih parah lagi hal ini dilakukan dengan mengorbankan orang lain.