Sejak manusia
masih berupa janin dalam kandungan, ketika Tuhan meniupkan ruh kepadanya, Tuhan
meminta kesaksiannya kaitannya dengan eksistensi ketuhanan-Nya. Tidak ada satu
pun yang menolak, semuanya telah memberikan kesaksian bahwa hanya Allah sebagai
Tuhannya. Kejadian yang kemudian dikenal dengan istilah ”perjanjian primordial”
inilah yang menjadi dasar potensi fitrah yang dimiliki oleh manusia sejak dia
dilahirkan. Dengan potensi fitrah yang dimiliki ini manusia memiliki satu
kecenderungan pada kebenaran yang disebut khanif.
Dasar ini
sekaligus memberikan pengertian bahwa potensi jahat pada manusia itu bukan
merupakan bawaan, melainkan merupakan pengaruh lingkungan di mana dia hidup.
Hal ini dapat dipahami dari penegasan Nabi bahwa kefitrahan manusia itu akan
memudar tergantung pada lingkungan yang membentuknya.
Kecenderungan manusia pada kebenaran itu
kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Karena itu manusia
tidak dapat dinilai melalui eksistensi kemanusiaannya, melainkan dari perbuatannya.
Perbuatan ini yang disebut amal. Baik atau buruk manusia sangat tergantung pada
amal yang diperbuat. Dan karena manusia bisa menjadi baik atau buruk melalui
perbuatannya, maka sudah tentu amal manusia ada yang tergolong baik (salih) dan
buruk (maksiat).
Di dalam
al-Qur’an, banyak sekali anjuran Tuhan untuk menjalankan yang pertama dan
meninggalkan yang kedua, sekaligus berbagai manfaat dan mudharatnya bagi
pelakunya. Salah satu anjuran-Nya adalah tentang menjadikan amal baik sebagai
media untuk bertemu dengan-Nya: “bagi siapa saja yang mengharapkan untuk
bertemu dengan Tuhannya, hendaknya ia mengerjakan amal baik”.
Ibnu Qayyim
memberikan pengertian amal baik sebagai suatu perbuatan yang mengandung
kebenaran. Dan sebaliknya amal buruk adalah suatu perbuatan yang mengandung
kebatilan. Al-Syahrastani menyebutkan bahwa amal baik ialah perbuatan yang
mendatangkan pujian menurut pandangan syari’at bagi pelakunya, dan amal buruk
ialah perbuatan yang membawa kecelakaan menurut pandangan syari’at bagi pelakunya.
Menurut al-Ghazali, suatu perbuatan disebut baik (amal salih) kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan itu sesuai atau tidak dengan tujuan dapat terjadi pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa perbuatan baik dalam pengertian yang sebenarnya adalah perbuatan yang sesuai dengan tujuan di masa yang akan datang yaitu akhirat, jelasnya suatu perbuatan yang oleh wahyu ditentukan baik. Dan perbuatan buruk atau jahat adalah lawan dari perbuatan baik tersebut.
Menurut al-Ghazali, suatu perbuatan disebut baik (amal salih) kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan itu sesuai atau tidak dengan tujuan dapat terjadi pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa perbuatan baik dalam pengertian yang sebenarnya adalah perbuatan yang sesuai dengan tujuan di masa yang akan datang yaitu akhirat, jelasnya suatu perbuatan yang oleh wahyu ditentukan baik. Dan perbuatan buruk atau jahat adalah lawan dari perbuatan baik tersebut.
Berpijak pada
ayat di atas dapat dipahami bahwa persoalan baik dan buruk memang sangat
menentukan bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, karena ia
sangat terkait dengan capaian akhir yang menjadi penentu terhadap kebahagiaan
atau celakanya seseorang. Dan Tuhan
menghendaki agar amal baik dijadikan sebagai media pertemuan antara Ia dan
dengan-Nya.
Ungkapan pertemuan ini dapat diartikan
rahmat atau ridha Tuhan, yang merupakan orientasi dari segala perbuatan manusia
beriman. Suatu pertemuan tidak bermakna apa-apa jika tidak ada kucuran rahmat
atau ridha. Bertemu juga dapat diartikan suatu pertemuan antara manusia dan
Tuhan nanti di surga, seperti pernyataan sebagaian ulama bahwa nikmat yang
paling besar yang akan diterimakan kepada manusia adalah bertemu dengan Tuhan.
Penjelasan ini sekaligus menyiratkan urgensi iman, karena ia merupakan inti energi yang menggerakkan manusia untuk menentukan perbuatannya sekaligus orientasi atau tujuan tertinggi dari perbuatan tersebut. Jika iman seseoang kuat atau tebal maka perbuatannya akan baik. Dan sebaliknya, jika imannya lemah atau tipis sangat mungkin ia akan terjerumus pada prilaku maksiat. Penegasan Tuhan tentang upaya mendekati dan memperoleh ridha Tuhan melalui kerja atau amal salih juga dapat dijadikan sebagai bukti adanya keterkaitan antara perbuatan manusia dengan iman.
Penjelasan ini sekaligus menyiratkan urgensi iman, karena ia merupakan inti energi yang menggerakkan manusia untuk menentukan perbuatannya sekaligus orientasi atau tujuan tertinggi dari perbuatan tersebut. Jika iman seseoang kuat atau tebal maka perbuatannya akan baik. Dan sebaliknya, jika imannya lemah atau tipis sangat mungkin ia akan terjerumus pada prilaku maksiat. Penegasan Tuhan tentang upaya mendekati dan memperoleh ridha Tuhan melalui kerja atau amal salih juga dapat dijadikan sebagai bukti adanya keterkaitan antara perbuatan manusia dengan iman.
Jelasnya, amal
baik seperti yang dikehendaki ayat di atas merupakan suatu media transendensi
manusia kepada Tuhan, dan karenanya keimanan memiliki peran yang signifikan.
Artinya tanpa dasar keimanan suatu perbuatan baik tidak akan berarti apa-apa.
Ia tidak akan dapat menghantarkan pelakunya pada capaian yang tertinggi yaitu
pertemuannya dengan Tuhan.
Agaknya agak
sulit diuraikan signifikansi iman bagi perbuatan ini, karena yang pertama
bersifat abstrak sedang yang kedua bersifat konkrit. Untuk itu, ada konsep
ibadat. Ibadah inilah yang berfungsi sebagai jembatan antara iman dan amal
perbuatan tersebut. Dan karena itu ibadah memiliki makna intrinsik yaitu
sebagai media pendekatan kepada Tuhan (taqarrub).
Di samping maksa intrinsik itu ibadah juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai suatu usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku yang bermoral. Shalat misalnya, yang merupakan wujud ibadah yang menengahi antara perilaku baik dan iman, dapat mencegah seseorang dari perilaku kotor dan keji.
Di samping maksa intrinsik itu ibadah juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai suatu usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku yang bermoral. Shalat misalnya, yang merupakan wujud ibadah yang menengahi antara perilaku baik dan iman, dapat mencegah seseorang dari perilaku kotor dan keji.