Sabtu, 26 Oktober 2013

Amal Baik

Sejak manusia masih berupa janin dalam kandungan, ketika Tuhan meniupkan ruh kepadanya, Tuhan meminta kesaksiannya kaitannya dengan eksistensi ketuhanan-Nya. Tidak ada satu pun yang menolak, semuanya telah memberikan kesaksian bahwa hanya Allah sebagai Tuhannya. Kejadian yang kemudian dikenal dengan istilah ”perjanjian primordial” inilah yang menjadi dasar potensi fitrah yang dimiliki oleh manusia sejak dia dilahirkan. Dengan potensi fitrah yang dimiliki ini manusia memiliki satu kecenderungan pada kebenaran yang disebut khanif.
Dasar ini sekaligus memberikan pengertian bahwa potensi jahat pada manusia itu bukan merupakan bawaan, melainkan merupakan pengaruh lingkungan di mana dia hidup. Hal ini dapat dipahami dari penegasan Nabi bahwa kefitrahan manusia itu akan memudar tergantung pada lingkungan yang membentuknya.
 Kecenderungan manusia pada kebenaran itu kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Karena itu manusia tidak dapat dinilai melalui eksistensi kemanusiaannya, melainkan dari perbuatannya. Perbuatan ini yang disebut amal. Baik atau buruk manusia sangat tergantung pada amal yang diperbuat. Dan karena manusia bisa menjadi baik atau buruk melalui perbuatannya, maka sudah tentu amal manusia ada yang tergolong baik (salih) dan buruk (maksiat).
Di dalam al-Qur’an, banyak sekali anjuran Tuhan untuk menjalankan yang pertama dan meninggalkan yang kedua, sekaligus berbagai manfaat dan mudharatnya bagi pelakunya. Salah satu anjuran-Nya adalah tentang menjadikan amal baik sebagai media untuk bertemu dengan-Nya: “bagi siapa saja yang mengharapkan untuk bertemu dengan Tuhannya, hendaknya ia mengerjakan amal baik”.
Ibnu Qayyim memberikan pengertian amal baik sebagai suatu perbuatan yang mengandung kebenaran. Dan sebaliknya amal buruk adalah suatu perbuatan yang mengandung kebatilan. Al-Syahrastani menyebutkan bahwa amal baik ialah perbuatan yang mendatangkan pujian menurut pandangan syari’at bagi pelakunya, dan amal buruk ialah perbuatan yang membawa kecelakaan menurut pandangan syari’at bagi pelakunya.
Menurut al-Ghazali, suatu perbuatan disebut baik (amal salih) kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan itu sesuai atau tidak dengan tujuan dapat terjadi pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa perbuatan baik dalam pengertian yang sebenarnya adalah perbuatan yang sesuai dengan tujuan di masa yang akan datang yaitu akhirat, jelasnya suatu perbuatan yang oleh wahyu ditentukan baik. Dan perbuatan buruk atau jahat adalah lawan dari perbuatan baik tersebut.
Berpijak pada ayat di atas dapat dipahami bahwa persoalan baik dan buruk memang sangat menentukan bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, karena ia sangat terkait dengan capaian akhir yang menjadi penentu terhadap kebahagiaan atau celakanya seseorang. Dan Tuhan menghendaki agar amal baik dijadikan sebagai media pertemuan antara Ia dan dengan-Nya.
Ungkapan pertemuan ini dapat diartikan rahmat atau ridha Tuhan, yang merupakan orientasi dari segala perbuatan manusia beriman. Suatu pertemuan tidak bermakna apa-apa jika tidak ada kucuran rahmat atau ridha. Bertemu juga dapat diartikan suatu pertemuan antara manusia dan Tuhan nanti di surga, seperti pernyataan sebagaian ulama bahwa nikmat yang paling besar yang akan diterimakan kepada manusia adalah bertemu dengan Tuhan.
Penjelasan ini sekaligus menyiratkan urgensi iman, karena ia merupakan inti energi yang menggerakkan manusia untuk menentukan perbuatannya sekaligus orientasi atau tujuan tertinggi dari perbuatan tersebut. Jika iman seseoang kuat atau tebal maka perbuatannya akan baik. Dan sebaliknya, jika imannya lemah atau tipis sangat mungkin ia akan terjerumus pada prilaku maksiat. Penegasan Tuhan tentang upaya mendekati dan memperoleh ridha Tuhan melalui kerja atau amal salih juga dapat dijadikan sebagai bukti adanya keterkaitan antara perbuatan manusia dengan iman.
Jelasnya, amal baik seperti yang dikehendaki ayat di atas merupakan suatu media transendensi manusia kepada Tuhan, dan karenanya keimanan memiliki peran yang signifikan. Artinya tanpa dasar keimanan suatu perbuatan baik tidak akan berarti apa-apa. Ia tidak akan dapat menghantarkan pelakunya pada capaian yang tertinggi yaitu pertemuannya dengan Tuhan.
Agaknya agak sulit diuraikan signifikansi iman bagi perbuatan ini, karena yang pertama bersifat abstrak sedang yang kedua bersifat konkrit. Untuk itu, ada konsep ibadat. Ibadah inilah yang berfungsi sebagai jembatan antara iman dan amal perbuatan tersebut. Dan karena itu ibadah memiliki makna intrinsik yaitu sebagai media pendekatan kepada Tuhan (taqarrub).
Di samping maksa intrinsik itu ibadah juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai suatu usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku yang bermoral. Shalat misalnya, yang merupakan wujud ibadah yang menengahi antara perilaku baik dan iman, dapat mencegah seseorang dari perilaku kotor dan keji.

Jumat, 04 Oktober 2013

Pentingnya Salat



”Salat merupakan tiang agama. Orang yang menegakkannya berarti telah menegakkan agama. Sedang orang yang meninggalkannya sama saja dia merobohkan agama.”
Penegasan Nabi tersebut membuktikan sangat pentingnya salat bagi manusia. Sebab ia merupakan penentu kualitas perilaku manusia. Bahkan, konon, salat juga menjadi tolok ukur bagi amal ibadah seseorang pada saat hisab (perhitungan amal selama di dunia) kelak seusai kiamat.
Cukup rasional jika salat dijadikan penentu kualitas perilaku manusia, sebab ia merupakan media komunikasi yang sangat efektif antara manusia dan Tuhan. Komunikasi yang harmonis antara manusia dan Tuhannya melalui salat sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menjaga ketenangan dan keteguhan batinnya.
Kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam dengan demikian tidak lain agar manusia mampu menjaga hubungannya dengan Tuhan. Orang yang mampu menjaganya berarti dia telah merupaya menjaga konsistensi (istiqamah) imannya. Dari orang seperti ini dapat diharapkan perilaku positif yang mencerminkan keimanannya tersebut. Sebaliknya, orang yang keimanannya terusik akibat tidak salat dia akan sangat mudah melakukan perbuatan yang meresahkan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Orang yang tidak menegakkan salat, betapa pun tampak gembira karena serta tercukupi kebutuhan maretialnya misalnya, tetapi kalau dia mau jujur sebenarnya dia acap kali merasa resah dan gelisah. Kegelisahan ini tidak lain karena batinnya yang kering akibat semakin menipisnya keimanannya.
Setiap orang memang seharusnya mengingat Tuhan kapan saja dan di mana saja dia berada. Tetapi kebutuhan-kebutuhan duniawi acap kali dapat mengusik ingatannya kepada Tuhan tersebut. Dengan media salat kealpaan itu dapat dimimalisir, sehingga ingatannya kepada Tuhan tetap terjaga.
Seseorang yang lupa pada Tuhan akan sangat mudah tergelincir pada perilaku menyimpang, terutama dari ajaran agama. Berarti orang yang gemar meninggalkan salat sangat mudah untuk terjerumus pada perbuatan maksiat. Apa yang bisa didapat dari kemaksiatan selain keresahan dan kegelisahan?
Karena itulah Nabi seringkali mengingatkan kepada sahabatnya perihal salat ini. Beliau juga menunjukkan bukti-bukti akibat yang harus diterima orang orang yang melalaikan salat. Salah satunya adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari Nabi. sedang duduk bersama para sahabat di masjid Nabawi. Kemudian ada seorang pemuda Arab masuk ke dalam masjid dengan menangis. Nabi lalu bertanya, ”Wahai orang muda kenapa kamu menangis?” ”Ya Rasulullah, ayah saya telah meninggal dunia dan tidak ada kain kafan dan tidak ada orang yang hendak memandikannya,” jawab pemuda itu.
Nabi kemudian memerintahkan Abu Bakar dan Umar untuk ikut pemuda itu untuk melihat masalahnya. Setelah mengikut orang itu, keduanya mendapati ayah pemuda itu telah bertukar rupa menjadi babi hitam. Mereka pun kembali dan memberitahu kepada Nabi.
Nabi lalu berangkat bersama sahabatnya menuju rumah pemuda itu. Nabi kemudian berdoa kepada Allah, kemudian mayat itu pun bertukar kepada bentuk manusia semula. Lalu Nabi dan para sahabat menyalatkan jenazah tersebut.
Namun mayat itu hendak dikebumikan, mayat itu kembali berubah menjadi seperti babi hutan yang hitam. Nabi kemudian bertanya kepada pemuda itu, ”Wahai orang muda, apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu sewaktu dia di dunia dulu?” Dia menjawab, ”Sebenarnya ayahku ini tidak mahu mengerjakan salat.”
Kemudian Nabi bersabda, ”Wahai para sahabatku, lihatlah keadaan orang yang meninggalkan salat. Di hari kiamat nanti akan dibangkitkan oleh Allah seperti babi hutan yang hitam.”
Kisah seperti ini bagi sebagian orang mungikin dianggap mengada-ada, karena dianggap tidak rasional dan imposible. Tetapi alangkah lebih baik jika diambil hikmah syar’iyah-nya saja bahwa Nabi sangat mewanti-wanti umatnya agar tidak meninggalkan salat.
Sebagian dari mereka bahkan menganggap memperbaiki perilaku sosial itu lebih baik daripada menegakkan salat. Hal ini mempertimbangkan implikasi yng ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Yang pertama jelas lebih besar karena dapat dirasakan oleh banyak orang. Berbeda dengan salat yang hanya dirasakan oleh orang yang menegakkannya.
Biarlah orang berpegang pada pendapatnya sendiri. Yang sangat jelas adalah Allah mewajibkan salat bukan untuk kepentinyan-Nya sendiri, karena ketundukan atau ketaatan manusia kepada-Nya tidak menambah sedikit pun keagungan-Nya. Semua hanya untuk kepentingan manusia sendiri, baik bagi kehidupannya saat ini maupun kelak di hadapa-Nya. Wallahu a’lam bi al-shawab.