“Sesungguhnya orang yang
mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas
eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya
sekedar kepura-puraan tersembunyi.” (Ahmad Wahib).
Barangkali
kalau catatan hariannya tidak dibukukan oleh teman dekatnya, Djohan Effendi,
nama Ahmad Wahib benar-benar terkubur bersama jasadnya. Seorang pemuda berdarah
Madura yang turut mewarnai pergolakan pembaruan Islam di Indonesia pada tahun
1960-an dan awal 1970-an. Sayang, ia mati muda, sebelum sempat melakukan
pengkajian lebih dalam terhadap pemikiran liar dan non-mainstreaming yang ia
catat dalam diarenya.
Tidak heran
kalau nama Ahmad Wahib luput dari perhatian para Indosianis, seperti Prof. B.J.
Boland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, saat mereka melakukan
pengkajian tentang gerakan pemaruan Islam di Indonesia.
Baru pada
tahun 1981, delapan tahun meninggalnya (31 Maret 1973), saat catatan hariannya
diterbitakan oleh LP3ES dengan judul yang provokatif, Pergolakan Pemikiran
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, nama Wahib kembali diingat dan
memperoleh puncak popularitasnya.
Usia Wahib yang pendek dan posisinya sebagai “intelektual di
balik layar” memang membuat nama pemuda berperawakan kecil dan kurang
meyakinkan ini tidak banyak dikenal. Tetapi di kalangan
pemuda dan mahasiswa yang gandrung pada ide-ide pembaruan dan kawan-kawannya,
seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, ia dikenal sebagai
pemuda yang agresif menyuarakan pentingnya pembaruan di tubuh Islam.
Sikap agresif
Wahib mula-mula muncul dalam diri yang ditemuinya selalu gelisah. Kegelisahan
ini tampak misalnya dalam catatanya, “Aku ingin al-Qur’an itu membentuk pola
berpikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimanakah
mengintegrasikan al-Qur’an itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu
akan kebenaran-Mu.
Adalah kegelisahan yang mendorong Wahib untuk menyerukan
berpikir bebas dalam rangka mencari kebenaran. Berpikir bebas bukan saja hak
melainkan sebuah kewajiban. Orang yang berpikir, meskipun hasilnya
salah, masih jauh lebih baik daripada orang yang tidak pernah salah karena
tidak pernah berpikir.
Berpikir bebas
meniscayakan tidak adanya batasan dalam pemikiran keagamaan. Karenanya, Wahib menolak
pemikiran keagamaan yang dibatasi dengan tauhid sebagai konklusi globalitas
ajaran Islam. Ia tidak menginginkan Islam yang membatasi kebebasan berpikir. Ia
lebih memilih menjadi seorang kafir, atau paling tidak, muslim setengah hati,
jika memang Islam memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak
dipikirkan.
Wahib yakin Tuhan
tidak membatasi pikirannya. Dia malah bangga dengan otaknya yang selalu
bertanya-tanya tentang-Nya. “Aneh,” tulisnya, “mengapa berpikir hendak dibatasi.
Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri?” Tuhan
bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku,
dan Dia tak akan mau dibekukan
Meski demikian, Wahib sebenarnya tidak sampai pada tingkat mendewakan
kekuatan berpikir manusia seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia memang
ada batasnya, tetapi batasan itu baru akan diketahui setelah manusia
berkali-kali mencoba menembusnya dan selalu gagal. Otak manusia tidak akan mampu
melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah begitu, tidak ada gunanya mempersoalkan
batas, karena yang di luar batas itu sudah di luar kemampuan.
Piranti berpikir bebas ini kemudian digunakan Wahib untuk
mengkritisi masalah-masalah sosial, politik, budaya dan, terutama, agama. Pada
masalah agama, Wahib tidak segan-segan mengkritik sikap-sikap keberagamaan yang
ekslusif dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sudah established.
Alih-alih Wahib menyerukan kepada umat Islam untuk tidak takut
menggunakan piranti berpikir bebas tentang agama, termasuk berpikir pada
wilayah eksistensi Tuhan. Ia menegaskan, “Sesungguhnya orang yang mengakui
ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas
eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar
kepura-puraan tersembunyi.”
Berpikir bebas ini mutlak diperlukan bagi upaya pembaruan Islam.
Sebagaimana mutlaknya keharusan pembaruan Islam itu sendiri, seiring dengan perubahan
struktur sosial yang dipicu oleh perubahan sosio-politik, terpuruknya kekuatan
politik umat Islam, dan terjadinya ketegangan di internal umat Islam sendiri
kaitannya dengan upaya merespon modernisme.
Ketegangan yang terjadi di kalangan modernis Islam telah sampai
pada titik ekstrim, yaitu kelompok yang cenderung melibatkan agama
secara total dalam setiap segi kehidupan dan kelompok yang mengeksklusi agama
untuk berperan dalam perubahan sosial. Padahal, keduanya telah terjerembab dalam lubang kekeliruan yang sama.
Faksi pertama abai terhadap elan vital wahyu karena lebih mengedepankan historical
setting-nya. Dan faksi kedua cenderung menafikan peran agama sebagai
penjelas realitas sosial.
Ketegangan itu kemudian diurai oleh Wahib dengan membedakan
Islam das sollen dan Islam das sein. Islam das sollen
adalah statis, abadi, universal dan sempurna. Ia menjadi sumber moral
yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Islam dalam pengertian ini
bukan merupakan Islam barang jadi tinggal pakai, bukan Islam yang secara rinci
mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanya merupakan
titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical
setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Berbeda dengan Islam das sein, Islam dalam pemahaman
umat. Islam ini dinamis dan akan terus mengalami perubahan seiring perubahan
ruang dan waktu. Tegasnya, terdapat perbedaan antara (agama) Islam dan
konseptualisasi terhadapnya. Kesadaran seperti ini yang tampaknya tidak
dimiliki oleh mayoritas umat Islam, sehingga mereka cenderung menganggap pemahamannya
terhadap Islam merupakan pemahaman menurut Tuhan.
Melalui
penegasan ini tampaknya Wahib berusaha mengambil posisi tengah di antara dua
faksi kelompok modernis yang masih terbuai oleh pemahaman keagamaan yang
dogmatis dan parsial. Mereka tidak mau berpikir terlalu
jauh atau berpikir bebas karena takut pada murka Tuhan.
Wahib ragu
bahwa manusia akan mampu menemukan Islam sebenar-benar Islam dalam pengertian
Islam menurut pembuatnya sendiri, Allah. Sebab manusia merupakan makhluk yang
profan, meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya merupakan suatu yang
transendental. Yang dapat dilakukan manusia hanya mendekati Tuhan dan mendekati
Islam yang sejati (das sollen), bukan meraihnya.
Di sisi lain,
(agama) Islam juga memerlukan bentuk. Tetapi bentuk itu sendiri bukan
agama. Dalam hal ini, ajaran-ajaran
Islam yang dipercayai secara penuh oleh Wahib hanya Allah dan Muhammad. Selain
itu tidak mutlak, kondisional. Agama dalam pengertian peraturan-peraturan yang
dibawa oleh Nabi Allah itu tidak mutlak dan tidak boleh dimutlakkan. Yang boleh
dimutlakkan hanya Tuhan.
Al-Qur’an dan
hadis merupakan bentuk final Islam di era formasi Islam. Tetapi keduanya bukan
Islam itu sendiri, karena keduanya secara material merupakan hal yang profan,
hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat pada jamannya.
Karenanya,
umat Islam secara individual perlu memberikan bentuk pada Islamnya yang tidak
berbentuk. Dan bentuk tersebut semata-mata urusan individual sesuai dengan
keunikan-keunikan dalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupan dan
penafsirannya terhadap suatu bentuk sempurna yang telah pernah ada dalam
sejarah Islam, yaitu sejaran Muhammad.
Sejarah
Muhammad, menurut Wahib, merupakan sumber utama Islam, bukan al-Qur’an dan
hadis. Bunyi al-Qur’an dan hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari
sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad sendiri.
Dikatakan sebagian karena masih tersisa sejarah Muhammad yang lain, seperti
struktur masyarakat, kebudayaan, struktur ekonomi, pola pemerintaha, hubungan
luar negeri, adat istiadat, iklim, pribadi Muhammad sendiri dan para
sahabatnya, dll.
Dengan
meletakkan sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber Islam setiap
individu muslim akan terlibat dalam tugas historical direction untuk
mengisap dari sejarah itu sumber terang bagi masa kini. Dalam tugas ini,
aktifitas spiritual dan intelektual akan ikut bicara. Orang yang mampu
melaksanakan tugas ini dengan baik dan memahami tugas historical directian
sebagai panggilan sekaligus direct communication with God, ia akan bisa
memahami wahyu Allah secara komplit, yaitu wahyu Allah yang turun kepadanya
selain al-Qur’an yang turun ke Muhammad.
Dengan
demikian, apa yang transenden dan yang ideal harus didekati terus-menerus. Dan
pada saat yang sama realitas alam semesta secara keseluruhan (kauniyah)
juga harus dipersandingkan. Inilah tugas manusia sesuai fitrahnya. Apalagi manusia
memang tidak mengetahui batas kemampuan pikirannya.
Proses
serupa itu harus dilakukan secara terus-menerus. Untuk itu, Wahib menyatakan pentingnya gerakan pembaruan dan harus terus-menerus
dijalankan, mengingat kompleksitas masalah keagamaan di satu sisi, dan
perbedaan tantangan dari zaman ke zaman pada sisi lain. Sehingga proses pembaruan
menjadi tuntutan yang tak bisa dielakkan.
Pembaruan berarti tidak mengenal kata selesai. Sebab ia
senantiasa mencari dan terus mencari kebenaran. “… gerakan pembaruan adalah
suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari
dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, dari yang lebih
baik dari yang sudah baik.” tulis Wahib.
Biodata dan Karya
Ahmad Wahib lahir dan besar di di
tengah-tengah keluarga muslim santri di Sampang Madura pad 9 Nopember 1942.
Wahib mewarisi watak sebagai pemberontak terutama soal keberagamaan dari
ayahnya yang seorang kyai. Meski ia seorang “Gus,” tapi ia lebih memilih
pendidikan umum; SMA Pamekasan tahun 1961, FIPA UGM Yogyakarta dan STF
Driyakara Jakarta. Sayang, ia belum sempat menyelesaikan kuliahnya.
Wahib memiliki pergaulan yang
cukup luas, selain di HMI dan Lingkaran Diskusi Limited Group. Pergaulan ini
turut mendukung proses pencariannya, sekaligus membentuk pikiran-pikirannya,
hingga ia menjadi seorang pemikir “radikal” dan progresif.
Sayang, Wahib keburu meninggal
(31 Maret 1973) sebelum sempat menuangkan pikiran-pikiran “liarnya” dalam
bentuk kajian yang komprehensip. Selain artikelnya tentang pembaruan pemikiran
Islam, yang ia tulis sebagai laporan untuk majalah Tempo menggantikan Syu’ba
Asa yang sedang sakit, hanya berupa catatan harian yang kemudian disunting oleh
teman dekatnya, Djohan Effendi, untuk diterbitkan oleh LP3ES tahun 1981 dengan
judul Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.