Kamis, 31 Januari 2013

Penjual Agama

            “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih.”
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 174 ini merupakan peringatan keras bagi umat beragama agar tidak memperlakukan teks dasar keagamaan sebagai bahan permainan untuk menuruti keinginan-keinginannya sendiri, dengan cara menyimpan bagian-bagian yang merugikan dan menyampaikan bagian-bagian yang menguntungkan baginya.
Biasanya orang yang mampu melakukan perbuatan itu adalah orang yang memiliki penguasaan lebih terhadap teks keagamaan, yang lazim disebut ulama, atau ahli kitab sesuai konteks asbabun nuzul ayat tersebut.
Ulama memang dipandang sebagai orang yang mumpuni di bidang agama, sehingga fatwa-fatwanya dapat dijadikan sebagai panutan bagi mayoritas umat yang awam. Orang seperti ini telah ada sejak masa Nabi, meski istilah ulama belum populer saat itu, mungkin karena panutan keberagamaan umat masih tersentral pada Nabi.
Ali bin Abi Thalib misalnya, dia adalah seorang yang sangat alim, yang karena ketinggian ilmunya disebut-sebut Nabi sebagai babul 'ilm (pintunya ilmu), setelah menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu.
Ibnu Mas’ud terkenal sebagai seorang ahli tafsir yang sangat faham isi Alqur’an. Dia malah sering diminta Nabi untuk membacakan ayat-ayat Alqur’an. Suaranya yang merdu dan penghayatannya yang mendalam membuat Nabi menangis hingga meleleh
air matanya.
Ibnu Abbas juga demikian. Kebersamaannya dengan Nabi sejak usia belia membuatnya memiliki banyak pelajaran yang didapatkan dari Nabi. Tak heran kemudian jika banyak hadis Nabi yang jalur perawiannya melalui dia.
Nabi sendiri tampaknya telah menyadari kalau beliau harus mencetak kader penerus perjuangannya. Beliau kemudian membentuk halaqoh atau kelompok belajar khusus di serambi masjid, sehingga setiap saat mereka bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan dialog-dialog Nabi. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan ahlu suffah.
Salah seorang sahabat yang tergabung dalam ahlu suffah adalah Abu Hurairah. Meski dia memeluk Islam pada masa-masa akhir kehidupan Nabi, tetapi karena
intensitas pertemuannya dengan Nabi yang sangat tinggi memungkinkannya untuk mampu mengumpulkan ribuan hadis. Dia bahkan tergolong seorang perawi hadis yang sangat produktif.
Orang-orang yang pandai dibidang agama tersebut semakin bertambah banyak jumlahnya pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in. Mereka kemudian lazim disebut ulama. Mereka memiliki legitimasi dan kedudukan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi mereka mendapatkan justifikasi dari hadis nabi yang menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang perebutan. Para
penguasa di segala zaman selalu menarik ulama untuk dekat dengan kekuasaan. Sebut saja sebagai contoh Turki Utsmani, Iran pada masa rezim Shah Pahlevi, dan Indonesia pada masa rezim Soeharto.
Tetapi tidak sedikit juga di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.
Ketiga kelompok itu mempunyai alasannya sendiri-sendiri. Namun jauh dekatnya mereka dari kekuasaan bukanlah merupakan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah
apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan
kekuasaan itu, telah menjalankan fungsinya sebagai ulama pewaris Nabi atau justru menyikapi keulamaannya secara ”profesional.”
Apapun sikap yang diambil oleh para ulama mereka tetap harus ingat terhadap peringatan Allah seperti telah dikutip di atas. Sehingga peran Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin) benar-benar dapat menjadi perata jalan bagi terbentunya kehidupan sosial yang damai dan sejahtera.
Karenanya sebenarnya seorang ulama di samping pandai di bidang agama juga harus memiliki integritas dan moralitas yang melebihi orang kebanyakan.  Paling tidak dia harus memiliki dua karakter, yaitu takut hanya kepada Allah, seperti difirmankan Allah, ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambaNya hanyalah para
ulama” (Faathir: 28); dan keluhuran akhlak, seperti disabdakan Nabi, ”Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR al-Bazzar).
Ulama yang tidak memiliki dua karakter sersebut sama saja dengan penjual agama. Lantas bagaimana dengan fenomena adanya ulama yang ”profesional,” yang enggan untuk menerapkan pola hidup sederhana, bahkan seperti selebriti papan atas, atau yang sibuk turut berkompetisi dalam perebutan kekuasaan, namun saat berhasil berkuasa tidak mampu memfungsikan keulamaannya sebagaimana yang diwarisinya dari Nabi? Wallahu a’lam bi al-shawab

Jumat, 18 Januari 2013

Bersyukur dan Bekerja Keras

Seorang sahabat bernama Atha, suatu hari menemui Aisyah. Lalu ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang menakjubkan dari Rasulullah?” Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Aisyah menangis.
Lalu Aisyah berkata, “Bagaimana tak menakjubkan, pada suatu malam beliau mendatangiku, lalu pergi bersamaku ke tempat tidur dan berselimut hingga kulitku menempel dengan kulitnya.”
Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai putri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanmu.” Aisyah menjawab, “Saya senang berdekatan denganmu, tetapi saya juga tidak akan menghalangi keinginanmu.” Rasulullah lalu mengambil tempat air dan berwudhu, tanpa menuangkan banyak air.
Nabi pun shalat, lalu menangis hingga air matanya bercucuran membasahi dadanya. “Beliau ruku, lalu menangis. Beliau sujud lalu menangis. Beliau berdiri lagi lalu menangis. Begitu seterusnya hingga sahabat bernama Bilal datang dan aku mempersilakannya masuk,” papar Aisyah.
“Ya Rasullulah, apa yang membuat Anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang,” tanya Aisyah. “Tak bolehkah aku menghendaki agar menjadi seorang hamba yang bersyukur?” ungkap Nabi.
Allah telah menjelaskan pentingnya bersyukur, seperti dalam firman-Nya di surah Ibrahim ayat 17, “…. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Dikisahkan, kaum Saba’ pernah mengalami kemajuan peradaban yang laur biasa. Mereka menguasai teknologi yang tertinggi pada zamannya, yakni telah berhasil membangun bendungan Ma’rib (sekarang Yaman). Menurut penulis Yunani, Ma’rib merupakan salah satu kota termaju saat itu dan memiliki lahan yang subur.
Bendungan Ma’rib mampu mengairi sekitar 9.600 hektare lahan subur. Negeri itu pun kaya-raya. Namun, karena mereka tak bersyukur atas nikmat yang begitu melimpah, Allah menurunkan banjir besar yang menghancurkan semua kekayaan yang dimiliki penduduk negeri Saba’.
Pada bagian lain, Nabi pernah mencium tangan seorang pemuda saat berjabatan tangan. Padahal kedua tangan pemuda itu keras dan agak kasar. Wajar, karena pemuda itu seorang pekerja keras. Saat itu Nabi menyatakan, “Inilah kedua tangan yang dicintai Allah.” (HR Jamaah).
Tergambar dalam hadis ini bahwa Nabi menyintai dan bangga terhadap sosok muslim pekerja keras. Karenanya beliau mendorong umatnya untuk selalu bekerja dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, mempersembahkan kerja dan amal yang terbaik (ihsan), baik dalam kaitannya dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan dirinya sendiri.
Allah berfirman, “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS at-Taubah [9]: 105).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjurunya (bekerja keras) dan makanlah sebahagiaan dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk [67]: 15).
Rasulullah sangat memuji orang yang berusaha dan bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Beliau bersabda “Sesungguhnya seseorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak.” (HR Bukhari).
 “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri dan Nabi Dawud AS juga makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari). Bahkan, jika seseorang tertidur kelelahan karena mencari rezeki yang halal maka tidurnya itu akan dipenuhi dengan ampunan dari Allah (HR Imam Tabrani).
Sebaliknya, Rasulullah sangat membenci bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Dan, beliau selalu memohon perlindungan Allah dari sifat malas. "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, malas, pengecut, dan kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.” (HR Bukhari).
Negeri ini sangat kaya. Kekayaan itu harus dinikmati dan disyukuri. Wujud syukurnya adalah dengan bekerja keras memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan bersama. Dengan begitu bangsa ini akan terhindar dari adzab Allah, sebagaimana yang dialami oleh kaum Saba’. Jika sebaliknya, sudah tentu bangsa ini harus besiap-siap meneria adzab Allah yang sangat pedih, akibat dari sikap kufur nikmat mereka.

Kamis, 17 Januari 2013

Beda Antara Sabar dan Mengeluh


Biasanya orang sangat bersemangat saat menceritakan keberhasilannya dalam suatu usaha. Tetapi ia meratap jika usahanya itu gagal. Sikap seperti ini sudah umum, bahkan dapat dibilang lumrah. Padahal kalau diamati secara jernih belum tentu keberhasilan itu merupakan suatu rahmat. Sebaliknya kegagalan itu merupakan suatu cobaan atau azab.
Orang acap kali menggunakan materi duniawi sebagai parameter rahmat atau ujian. Nabi pernah menyabdakan bahwa kekayaan itu bukan terletak pada tumpukan kekayaan tetapi pada kelapangan hati. Sabda ini sekaligus dapat menunjukkan bahwa parameter rahmat atau unjian itu juga pada hati.
Tegasnya, hati yang sadar akan memahami bahwa apa yang diterimanya dari Tuhan itu merupakan rahmat atau ujian. Bahkan kadang hati tidak mempedulikan antara keduanya karena keduanya membutuhkan kesabaran meski mungkin kadar kesabarannya berbeda karena terkait dengan kecenderungan manusia pada hal-hal material (nafsu).
Orang yang telah memiliki kejernihan hati, ia tidak akan pernah mengeluh. Justru ia banyak bersyukur karena segala yang diterimanya, baik berupa rahmat atau ujian, disikapi dengan pikiran positif.
Dikisahkan, dalu ada seorang yang bernama Abu Hassan yang pergi haji ke Makkah. Saat wuquf di padang Arafah ia melihat seorang wanita yang berparas cantik dan menawan. Ia menggumam, “Demi Allah, selama ini aku belum pernah melihat wajah secantik dan semenawan ini. Mungkin wajah seperti ini hanya dimiliki oleh orang yang tidak pernah mengalami kesusuhan dan kesedihan. “
Gumaman Abu Hasan sabar terdengar wanita itu. “Apa Apakah katamu, hai saudaraku?” Tanya wanita itu kepada Abu Hasan. Tanpa menunggu jawaban Abu Hasan wanita itu kemudian menjelaskan, ”Demi Allah aku telah diseliuti rasa duka cita yang teramat dalam. Mungkin hanya aku yang mengalaminya di dunia ini.”
“Apa yang membuatmu bersedih?” Tanya Abu Hassan. Wanita itu kemudian mengisahkan bahwa dulu ia hidup bahagia bersama suami dan dua orang anaknya, anak  yang pertama sudah seusia TK dan yang kedua masih balita.
Pada suatu hari ketika suaminya sedang menyembelih kambing kurban, dan dia sendiri sedang menyiapkan makanan di dapur, dia dikejutkan oleh ajakan anak pertamanya kepada adiknya; “Dik, kamu mau kakak tunjukkan cara ayah menyembelih kambing?” Si adik yang masih lugu pen mengiyakan.
Lalu si kakak menyuruh adiknya tidur berbaring dan menyembelih leher adiknya itu. Darah segar memucrat setelah pisau dapur yang dia pegang mengiris kulit leher adiknya. Pemadangan itu membuatnya takut, hingga ia lari kea rah bukit dan tak pernah kembali lagi. Diperkirakan anak itu telah tewas diterkam srigala.
Suaminya kemudian pergi mencari anak itu. Ia pun tak pernah kembali lagi. Mungkin ia juga diterkam srigala atau mati kehausan. Di saat yang sama anaknya yang kedua merangkak ke tepi periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan air panas pun tumpah mengguyur sekujur tubuhnya. Ia pun jatuh pinsan dan kemudian meninggal dengan tubuh melepuh.
“Sejak saat itu aku hidup sebatang kara hingga saat ini.” Tegas wanita itu mengakhiri ceritanya. Abul Hassan lalu bertanya, “Bagaimana bias sabar menghadapi semua musibah yang sangat berat itu ?”
Wanita itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berbeda. Sabar adalah dengan memperbaiki yang nampak mata karena itu merupakan hal yang baik dan terpuji. Sedang mengeluh hanya akan memperparah kondisi dan tidak akan mengembalikan semua yang telah hilang.”
Setiap orang memang cenderung suka mengeluh. Tuhan sendiri telah menyatakan hal ini di dalam Alquran. Tetapi itu suatu kebiasaan buruk yang dimiliki manusia dan jelas tidak disukai-Nya. Untuk itu Tuhan memberi balasan yang amat besar bagi siapa pun yang mau bersabar, sebagaimana disabdakan Nabi dalam satu hadis qudsi, “Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan surga.”
Sebaliknya Tuhan sangat membeci sikap mengeluh, sebagaimana sabda Nabi, “Ada tiga macam tanda kekafiran terhadap Allah, yaitu merobek baju, mengeluh dan menghina nasab orang.”
Begitulah contoh orang yang mampu bersabar dan mampu membedakan antara kesabaran dan keluhan. Bukahkah sekarang banyak orang yang ingin menunjukkan sikap sabarnya dalam menghadapi ujian dari Allah, tetapi hal itu ditunjukkan dengan mengungkapkan ujian yang sedang atau telah dihadapinya dengan nada keluhan, seolah ia telah atau sedang benar-benar hancur tapi ia tetap mampu bertahan!!!. Wallahu a’lam.

Kamis, 03 Januari 2013

Menyikapi Orang Fasik

Kata fasiq berasal dari bahasa Arab al-fisq yang berarti keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dalam keadaan rusak. Adapun secara syar’i fasik diartikan sebagai suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah. Fasik berarti pula sikap lupa terhadap ketaatan kepada Allah yang tercermin dalam suatu perbuatan, baik yang berimplikasi pada kekufuran maupun tidak.
Fasik ada yang terkategori akbar (besar) yang bersifat kulli (menyeluruh). Artinya keluar dari Islam secara keseluruhan dan ini sama dengan kufur. Fasik dalam kategori ini seperti ditemukan dalam firman Allah, “Dan sungguh Kami telah turunkan kepadamu ayat-ayat yang nyata dan tidaklah mengafirinya kecuali orang-orang yang fasiq” (al-Baqarah: 99).
Ada juga yang terkategori ashghar (kecil) yang bersifat juz’i (sebagian). Artinya keluar dari sebagian ajaran Islam dengan cara melakukan dosa besar. Sebagaimana dalam firman Allah, “Dan orang-orang yang menuduh (berzina) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya lalu tidak mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka delapan puluh cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (an-Nur: 4)
Orang fasik baik dalam kategori pertama maupun kedua jelas ada, kalau tidak dibilang banyak, di lingkungan sekitar kita. Salah satu kegemaran mereka, disadarinya atau tidak, adalah membuat fitnah. Karenanya, sudah sepatutnya kita bersikap hati-hati terhadap merega agar kita terhindar dari fitnanya.
Segala bentuk informasi yang mereka sampaikan jangan ditelan mentah-mentah, agar kita tidak tertelan oleh kebohongan dan fitnanya. Dalam hal ini Allah pernah mengingatkan Nabi, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.“ (al-Hujurat: 6).
Imam al-Baghawi dalam kitabnya Tafsir al-Baghawi menuturkan asbabun nuzul ayat ini. Dia mengatakan bahwa ayat di ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abi Muith yang diutus oleh Nabi kepada Bani Al-Musthaliq. Di masa jahiliyah al-Walid pernah bermusuhan dengan Bani Musthaliq. Tatkala Bani Musthaliq mendengar kabar akan datangnya al-Walid sebagai utusan Nabi, mereka bergerak untuk menyambut kedatangannya.
Namun al-Walid justru kembali dan melaporkan kepada Nabi bahwa Bani Musthaliq telah menolak membayar zakat dan bahkan akan membunuhnya. Laporan itu membuat Nabi marah dan bertekad hendak memerangi mereka.
Di sisi lain, kabar tentang kembalinya al-Walid juga sampai ke telinga Bani Musthaliq. Mereka segera menghadap Nabi. ‘Wahai Rasulullah.” Perwakilan mereka mulai melaporkan kepada Nabi. “Kami mendengar tentang akan datangnya utusanmu kepada kami. Kami segera bergegas keluar untuk menyambutnya dan kami akan membayar kepadanya apa yang sudah kami terima sebagai hak Allah. Tetapi ternyata dia kembali sebelum bertemu kami. Kami khawatir kalau-kalau perintahmulah yang membuatnya kembali karena engkau murka kepada kami. Sungguh kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan murka Rasul-Nya.”
Nabi belum bisa menentukan sikap terhadap berita yang berbeda seratus delapan puluh derajat tersebut. Beliau kemudian memerintahkan Khalid bin Walid untuk pergi dengan membawa pasukan ke perkampungan Bani Musthaliq secara diam-diam. Beliau memerintahkan agar Khalid dan pasukannya untuk mengamati mereka. Jika mereka terlihat masih beriman maka ambillah zakat dari harta mereka. Tetapi jika ternyata mereka telah berpaling dari iman maka perlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap orang-orang kafir.
Khalid melaksanakan perintah itu. Dia masih mendengar adzan Maghrib dan Isya berkumandang di perkampungan mereka. Dia kemudian segera mengambil zakat dari mereka, sebelum kemudian kembali ke Madinah untuk melapor kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dalam ayat tersebut Allah telah menyebut al-Walid sebagai seorang fasik lantaran telah membuat laporan palsu, yang tidak sesuai dengan faktanya tentang Bani Musthaliq dan sempat membuat Nabi murka dan hendak memeranginya. Sebutan fasik itu tepat untuknya karena telah melakukan perbuatan dosa besar, yakni bohong, apalagi kebohongannya itu bisa membuat fitnah yang besar yakni peperangan.
Allah telah begitu tegas memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu informasi. Mereka tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi, berita, opini, dll. yang dibawa atau disebarkan oleh orang-orang fasik. Sebelum sampai pada kesimpulan menerima atau menolaknya mereka harus menelitinya terlebih daluhu tetang kebenarannya.
Islam menempatkan identifikasi “kefasikan” pada posisi yang sangat penting, sejajar dengan pentingnya identifikasi ‘adalah wa tsiqah (dapat dipercaya dan kredibel). Dalam tradisi ilmu musthalah hadits identifikasi ini digunakan untuk meneliti kredibilitas perawi dalam sanad hadis.
Nabi sendiri pernah menegaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Mawardi, “Umumkanlah orang fasik dengan kondisi yang ada padanya agar masyarakat mewapadainya.” Imam Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad hasan “Sampai kapan kamu enggan menyebut tentang orang pendusta? Umumkanlah sampai masyarakat mengetahuinya.” 
Kondisi carut-marutnya tatanan kemasyarakatan saat ini tidak lain merupakan akibat dari ulah orang-orang fasik yang gemar berbohong dan menebar fitnah. Untuk mengidentifikasi mereka pun tidak cukup sulit. Membasmi mereka tampaknya mnjadi semangat yang wajib ditanam dalam benak kita di awal tahun ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.