Sabtu, 23 Februari 2013

Meraih Pujian Allah

Manusia memiliki beberapa karakter buruk yang jika tidak diobati maka akan merugikan manusia itu sendiri. Beberapa karakter buruk manusia disebut dalam Alquran adalah: Pertama, mengeluh dan kikir. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir." (QS. 70:19). Disadari maupun tidak, mengeluh merupakan sifat dasar manusia yang biasanya timbul di saat dia tersandung masalah atau tertimpa musibah.
Sedangkan kikir atau bakhil, diuraikan Allah: “... Dan adalah manusia itu sangat kikir” (QS. 17:100). Agar sifat ini tidak semakin tumbuh besar dalam diri seseorang, maka Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu berdoa, “Allahumma inni a’udzubika minal bukhli (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir).”
Kedua, lemah. Sifat lemah ini di dalam Alquran dijelaskan ada lemah secara fisik, “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah...” (QS.30:54); dan lemah (dalam melawan) hawa nafsu, “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. 4:28). Menurut Syeh Nawawi qal-Bantani, tafsir “lemah” dalam ayat ini adalah lemah dalam melawan hawa nafsu.
Ketiga, zalim dan bodoh. “... sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. 33:72). Kezaliman dan kebodohan manusia dalam ayat di atas disebabkan karena rusak dan kotornya bumi, karena pertumpahan darah dan ulah manusia itu sendiri yang tidak merawat bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan Allah.
Keempat, tidak adil. Sering kali manusia kurang memperhatikan perilaku adil dalam kehidupan sehari-hari. Kaum Madyan yang tidak berlaku adil, akhirnya diazab oleh Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dan Syu'aib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. 11:85).
Semua karakter tersebut bukan berarti sama sekali tidak bisa diatasi. Sebab membiarkan karakter-karakter tersebut mendominasi seseorang sama saja dengan mendatangkan murka Allah. Oleh karenanya, dia harus mengerahkan segala usaha untuk meminimalkan karakter buruk tersebut dengan menonjolkan sifat-sifat baik yang ada dalam dirinya, sehingga Allah akan memujinya.
Hampir semua nabi dan rasul yang mendapatkan pujian dari Allah selalu terkait dengan sifat shiddiq, yaitu jujur dan benar. Baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tingkah laku keseharian. Tidak ada perbedaan, apalagi pertentangan antara yang diucapkan dan yang dilakukan.
Sifat dan karakter inilah yang sangat dicintai Allah dan menghantarkan kesuksesan para nabi dan rasul tersebut di dalam melaksanakan misi dari risalah kenabiannya.
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (Alquran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar (jujur) lagi seorang Nabi.” (QS 19:41). Lihat juga dalam ayat 54-57 tentang kejujuran Ismail dan Idris AS.
Karena itu, para ulama menempatkan empat karakter dan sifat yang wajib melekat pada setiap pribadi nabi dan rasul dengan shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), fathanah(cerdas), dan tabligh (menyampaikan risalah Islamiyah kepada umat manusia dengan penuh kesungguhan).
Meskipun keempat sifat dan karakter tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun kejujuran merupakan sumber utamanya. Nabi menganjurkan umatnya untuk senantiasa jujur dalam segala hal, tidak boleh ada dusta, kepura-puraan, dan pengkhianatan.
Beliau bersabda, “Kalian harus berlaku jujur karena kejujuran itu akan membimbing pada kebaikan. Dan, kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring pada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.” (HR Muslim).
Korupsi yang merajalela sampai saat ini di berbagai instansi dan tingkatan, penyebab utamanya tidak lain adalah karena hilangnya sifat jujur pada sebagian masyarakat, terutama yang mendapatkan amanah sebagai pejabat publik. Berbagai delik jeratan hukum dikelabui sedemikian rupa agar dapat aman menggasak uang negara dan rakyat.
Dan naifnya, mereka yang muslim saat berhasil sukses dan aman bersyukur dengan mengucap Alhamdulillah, sembari merasa mereka telah mendapat pertolongan Allah karena dapat melakukan semuanya dengan lancer.
Padahal, bagi orang yang beriman (apa pun posisi dan jabatannya), meskipun tantangannya sangat berat untuk memiliki dan menguatkan sifat jujur dan benar dalam segala hal, harus tetap ditumbuhkembangkan dan diperkuat sehingga menjadi struktur kepribadian yang melekat pada pribadinya.
Karena, jujur itu akan mengundang kasih sayang dan pujian dari Allah, yang dampaknya akan dirasakan dalam kehidupan di dunia ini berupa ketenangan, kedamaian, dan kesuksesan. Dan, di akhirat nanti akan mendapatkan surga-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, ber takwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur (benar).” (QS 9:119).

Kamis, 14 Februari 2013

Taubatnya Sang Pembunuh

Dalam kitab kumpulan hadisnya yang cukup terkenal, “Riyadl al-Shalihin,” Imam An-Nawawi, menuturkan sebuah hadis yang berisi kisah tentang upaya taubatnya seorang pembunuh 100 nyawa. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sanad Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan.
Dikisahkan, di Israel, ribuan tahun sebelum Masehi, ada seorang pria yang tegap perkasa, berwajah seram, dan selalu membawa senjata ke mana pun dia pergi. Baginya membunuh orang tak ubahnya membunuh tikus. Sudah 99 nyawa melayang di tangannya. Perilakunya tak ubahnya bagai seorang spikopat.
Pria itu memang hidup di lingkungan yang jauh dari norma agama. Alih-alih pernah beribadah hari-harinya malah berselimut kejahatan. Selama hidupnya dia sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan. Sampai pada suatu saat kesadaran nuraninya tersentuh. Dia menyesal telah menghabiskan usianya dengan membunuh puluhan jiwa tak berdosa. Dia ingin bertaubat.
Namun di saat yang sama dia juga bimbang apakah mungkin dosanya yang sangat besar itu bisa terampuni. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana caranya dia bisa mengganti 99 nyawa yang telah dihabisinya. Dia hanya bisa meratapi betapa sangat buruk perilakunya selama ini.
Dia ingin memohon ampun Allah dengan mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi Musa. Tetapi dia tidak tahu harus mulai dari mana, karena tidak sama sekali tidak pernah mau mendengarkan pengajaran agama yang dibawa Nabi Musa. Itu pun dia tetap pesimis kalau taubatnya akan diterima.
Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari seorang ahli agama yang dapat menuntunnya bertaubat. Dia pergi ke kota dan berseru, “Siapakah orang yang paling alim di muka bumi ini, apakah dia salah satu di antara kalian?”
Suaranya yang menggelegar memancing perhatian warga. Dari mereka akhirnya dia memperoleh informasi tentang keberadaan seorang ahli agama nomor satu di seluruh negeri Israel, seorang rahib Yahudi yang dikenal sebagai orang yang paling taat beribadah. Sama sekali dia tidak pernah melewatkan waktunya untuk beribadah.
Sang pembunuh itu akhirnya pergi ke kediaman seorang rahib seperti yang diinformasikan warga tersebut. Sesampainya di hadapan sang rahib, dia semakin yakin sebab dari wajahnya saja telah menyiratkan kalau dia adalah seorang rahib yang sangat rajin beribadah. Setelah bercengkrama sejenak, dia mulai menuturkan maksud kedatangannya. Dengan jujur dia mengakui perbuatannya di hadapan sang rahib kalau dia telah merenggut 99 nyawa. Dia sangat menyesal terhadap semua itu dan dia ingin sang rahim menuntunnya untuk bertaubat. 
Penuturan jujur sang pembunuh itu membuat sang rahib sangat terkejut dan murka. Dia pun menyatakan dengan tegas kalau Allah tidak akan mungkin bersedia menerima taubatnya. Pernyataan sang rahib ini pun memancing kemarahannya. Dia pun kemudian menghabisi rahib itu hingga menggenapkan angka korbannya menjadi 100.
Setelah ditelisik ternyata sang rahib itu hanya rajin beribadah dan kolot dalam beragama. Dia tidak mampu menghayati ilmu agama, apalagi pengamalan ilmu agama yang aplikatif ketika dihadapkan pada berbagai problem di masyarakat, termasuk problem memfasilitasi seorang penjahat yang ingin memperbaiki diri dengan bertaubat.
Pada esok harinya, sang pembunuh itu kembali ke tengah kota dan menyeru dengan teriakan yang sama. Cuma kali ini dia menginginkan informasi tentang keberadaan seorang yang benar-benar paling alim di seluruh belahan dunia.
Kali ini ada seorang warga yang menunjukkan rumah seorang rahib yang rajin beribadah dan juga ahli ilmu agama. Berbeda dengan rahib sebelumnya, rahim yang kedua ini dikenal sangat mumpuni pemahaman dan penghayatannya terhadap agama dengan suluruh dimensi syariatnya.
Sang pembunuh pun berangkat menuju rumah rahib ahli ilmu itu. Ketika dia telah bertemu dengan sang rahib dia mengutarakan dengan jujur sebagaimana yang dilakukan kepada rahib sebelumnya. Pun ditambah dengan peristiwa yang menimpa sang rahib pertama.
Sang rahib kedua ini pun sangat terkejut mendengar pengakuan sang pembunuh tersebut, namun dia masih memberi penilaian tersendiri terhadap niat baik sang pembunuh. “Tentu saja, siapakah yang mampu menghalangimu untuk bertaubat.”  Sang rahib berupaya memberikan penjelasan terhadap pertanyaan sang pembunuh sembari menepuk-nepuk pundaknya.
Penjelasan sang rahib membuat wajah sangar sang pembunuh berubah 180 derajat. Raut mukanya tampak bersinar, kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya tersenyum meski tampak aneh karena selama ini bibirnya tidak pernah digunakan untuk menyungging senyuman. Dia sangat senang karena harapannya untuk menjadi orang baik mulai menemukan jalan.
Selanjutnya sang rahib memberinya petunjuk agar dia meninggalkan negerinya yang bergelimang kejahatan dan pergi ke negeri orang-orang saleh. Di sana dia bisa menghabiskan sisa usianya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.
“Pergilah ke negeri rantau. Di sana terdapat orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah. Sembahlah Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke negerimu yang dulu karena negeri tersebut adalah negeri yang buruk,” nasihat sang rahib kepadanya.
Tanpa menunda waktu sang pembunuh itu segera menjalankan nasihat sang rahib itu. Dia  bergegas melakukan hijrah menuju negeri baru. Perjalanan panjang harus ditempuhnya. Sama sekali dia tidak mengeluh sepanjang perjalanan, sebab tekadnya untuk bertaubat sudah mendarah daging.
Tetapi tampaknya takdir Allah menghendaki lain. Sang pembunuh itu meninggal di tengah perjalanan hijrahnya. Belum sempat dia melakukan kebaikan. Satu-satunya kebaikan adalah niatnya untuk bertaubat yang telah mulai dijalaninya.
Kematian sang pembunuh itu rupanya menimbulkan polemik penghuni langit. Setelah malaikat Izrail mencabut nyawanya, giliran malaikat pembawa ruh dilanda perselisihan. Malaikat rahmat dan malaikat azab sama-sama merasa berkewajiban membawa ruh itu ke alam baka.
“Dia telah bertaubat, meninggal dalam keadaan taubat dan menyerahkan sepenuh jiwa hatinya kepada Allah,” kata malaikat rahmat berargumentasi. Namun, malaikat azab punya pendapat lain. “Dia bertaubat, tapi belum sedikit pun melakukan amalan kebajikan,” ujarnya.
Cukup lama kedua malaikat itu beradu pendapat, hingga Allah mengutus satu malaikat untuk menengahi mereka. “Ukurlah jarak orang ini dengan dua negeri, negeri buruk asalnya dan negeri baik yang menjadi tujuannya. Mana jarak terdekat dengan negeri itu, maka tentukan apakah dia termasuk orang yang dirahmati atau diazab,” tutur malaikat penengah tersebut.
Malaikat rahmat dan malaikat azab akhirnya menjalankan usulan malaikat penengah tersebut. Mereka mengukur jarak dua negeri dengan lokasi kematian sang pembunuh. Dan tenyata lokasi meninggalnya sang pembunuh itu tepat di tengah-tengah jarak antara kedua negeri, namun jasadnya dalam posisi membusungkan dadanya ke arah negeri tujuan.
Kedua malaikat itu akhirnya sepakat kalau dia dianggap lebih mendekati negeri baik. Selanjutnya malaikat rahma membawa ruhnya menuju surga.