Kamis, 28 Maret 2013

Istigfar dan Taubat

Istigfar berasal dari kata gafr yang berarti ampunan. Dalam gramatika bahasa Arab penambahan awalan alif dan sin menunjukkan arti memohon, berarti istigfar menunujuk pada arti memohon ampunan. Seseorang yang merasa telah melakukan kekhilafan dan dosa memohon ampunan agar kekhilafan dan dosanya dihapus.
Sedangkan kata taubat berarti kembali. Cetak dasar manusia adalah fitrah, bersih atau suci. Orang yang taubat berarti ia berupaya kembali pada fitrahnya setelah ia ternoda oleh kekhilafan dan dosa.
Uraian harfiah kedua kata tersebut menunjukkan bahwa keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat kaitannya dengan upaya manusia untuk membersihkan diri atau kembali pada firahnya.
Agar tujuan ini dapat tercapai secara maksimal, para ulama merumuskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Al-Razi,(W 660 H), yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Abu Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi, dalam kitabnya Hadbiq al-Haqbiq mensyaratkan taubat dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat, mengucapkan kalimat istigfar, disertai sikap penyesalan yang dalam terhadap perbuatan dosa dan maksiat itu, dan juga dibarengi keinginan yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi.
Syarat ini ditambah oleh sebagian ulama terutama kaitannya dengan khilaf yang menyangkut khilaf terhadap sesama manusia (haq adami) denga meminta maaf kepada orang yang telah dianiaya, mengembalikan hak-haknya, dan mengganti perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal kabajikan.
Ini pun tidak cukup, hingga harus ditambah dengan upaya menghancurkan daging dan lemak yang berasal dari sumber yang haram dengan cara riyadlah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan menyucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya.
Manusia, sebagaimana disabdakan Nabi, memang tempat salah dan lupa. Tetapi bukan berarti kesalahan itu dibiarkan menumpuk tanpa ada suatu penyelesaian. Jika demikian yang terjadi, maka kegelapan akan segera menyelimuti kehidupan ini. Alih-alih kesalahan itu harus diselesaikan dengan cara beristigfar dan bertaubat.
Soal kesalahan itu juga menjadi permasalahan tersendiri. Ada sebagian orang yang merasa bersalah hanya karena perasaan tidak enak saja. Sebagian yang lain merasa bersalah karena merasa kurang berterima kasih. Tetapi sebagian yang lain malah merasa tidak bersalah atau menutup-nutupi kesalahannya meski sejatinya ia telah melakukan kesalahan.
Perbedaan ini juga berimplikasi pada perbedaan tingkatan taubat manusia. Al-Gazali (W 505 H) mengklasifikasikan ada tiga tingkatan. Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari dosa dan maksiat. Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat tidak karena melakukan dosa atau maksiat melainkan taubat karena alpa melakukan ketaatan yang bersifat sunnat. Ketiga, taubatnya orang khawahul khawas, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan sunnat, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyu dari seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan.
Sampai di sini kita teringat pada pertanyaan Aisyah kepada Nabi kaitannya dengan kebiasaan Nabi yang selalu menghabiskan malamnya dengan beribadah dan beristigfar, padahal beliau adalah orang yang paling baik dalam sejarah manusia dan telah dijamin masuk surga. “Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur,” jawab Nabi.
Dialog antara Aisyah dan Nabi ini sekaligus memberikan suatu pemahaman bahwa hakekat taubat bukan sekedar media membersihkan diri hingga manusia dapat kembali pada fitrahnya, melainkan juga dapat menjadi media mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Nabi juga pernah menegaskan bahwa Allah itu baik dan hanya akan menerima yang baik. Penegasan ini dapat menjadi pendorong manusia untuk membersihkan diri melalui istigfar dan taubat. Sehingga ia dapat benar-benar menghadap kepada Allah dan dapat diterima oleh-Nya.
Menimbang begitu pentingnya istigfar dan taubat ini, kaum mutasawwifin (ahli tasawuf) meletakkan taubat  pada tingkatan dasar yang harus dilalui oleh murid (orang yang menghendaki dekat dengan Allah), sebelum ia melalui tingkatan-tingkatan yang lain, seperti sabar, qanaah, faqir, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma'rifah.
Tetapi sayang, fakta dalam kehidupan sosial saat ini, justru banyak orang yang cenderung menutup-nutupi kesalahannya atau bahkan tidak merasa bersalah sembari merasa ia masih disayang dan dekat dengan Allah. Padahal sikap serupa ini justru yang menjadi penyebab gelapnya kehidupan ini karena selalu diliputi oleh murka Allah.
Dalam bulan syawal ini, bulan yang berarti peningkatan setelah melalui proses ujian di bulan Ramadan, semoga kita selalu berupaya menyadari kesalahan dengan bertaubat. Sesuai dengan anjuran Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Abu Dzar, “…susullah suatu kejahatan dengan kebaikan, (kebaikan itu) pasti akan menghapusnya …”

Rabu, 27 Maret 2013

Nikmat Hidayah

       Abu Thalib tetap mempertahankan dukungannya terhadap dakwah Nabi meski tekanan dan teror terus datang dari kaum Quraisy. Cukup disayangkan memang paman Nabi yang turut membesarkan dan membela Nabi itu tetap memilih untuk tidak beriman dan mengikti ajaran yang dibawa oleh keponakannya tersebut.
       Tekanan dan teror yang diberikan oleh kaum Quraisy kepada Nabi dan pengikutnya membuat Abu Thalib prihatin. Mungkin keprihatinan itu muncul dari rasa kemanusiaannya yang tidak tega melihat orang yang selalu ditindas atau justru hanya faktor keluarga, tidak ada riwayat yang menuturkan hal ini, yang jelas keprihatinannya tersebut tidak sampai mengetk pintu hatinya untuk menerima dan mengikuti ajaran Nabi hingga akhir hayatnya.
       Terdap kenyataan ini Nabi tidak bisa berbuat apa-apa, terutama kaitannya dengan ancaman siksaan bagi orang kafir, beliau hanya bisa berdoa, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits riwatar Bukhari dan Muslim: “Semoga syafaatku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu, dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih.”
       Sesungguhnya Nabi sangat berkeinginan untuk mengislamkan pamannya itu. Namun, Allah tidak memberikan hidayah kepadanya. Allah memiliki rencana lain yang belum dipahami oleh Nabi. Allah menegaskan, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qashshash: 56).
       Hidayah memang merupakan hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada manusia yang dikehendakiNya. Karenanya nikmat hidayah merupakan nikmat yang sangat besar yang terimakan Allah kepada manusia. Bersyukur terhadap nikmat ini sudah sepatutnya menjadi prioritas karena nikmat ini kelakigus sebagai tanda bahwa orang yang bersangkutan telah dikehendaki baik oleh Allah.
      Nikmat hidayah ini sungguh sangat mahal harganya. Tidak semua orang mendapatkannya. Mari kita tengok perjuangan Nabi Nuh, sudah sekian lama dia berdakwah untuk mengajak umatnya beriman kepada Allah. Namun, hingga usianya hampir seribu tahun (950 tahun), hanya sedikit kaumnya yang beriman kepada Allah. Bahkan, anak dan istri yang disayanginya juga tidak mengindahkan seruannya untuk beriman kepada Allah.
       Nuh bahkan tidak dapat menyelamatkan mereka dari adzab Allah. “Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’. Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 42-43)
       Melihat anaknya yang tenggelam, Nabi Nuh berdoa,“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Hud: 45-46)
       Kisah yang serupa juga dialami oleh Nabi Ibrahim. Keimanannya yang diperoleh melalui proses pencarian yang panjang mampu tertanam kokoh di dalam hatinya. Namun dia hidup di tengah-tengah orang yang menyembah berhala dan menyekutukan Allah, dan dia tidak mampu mengajak orang tuanya untuk mengikuti ajaran yang dibawanya. “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS al-An’am: 75).
       Kisah-kisah tersebut, dan kisah-kisah lain yang serupa, dapat menjadi pendorong yang kuat untuk meningkatkan sikap syukur terhadap nikmat hidayah. Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa orang yang tidak mendapat hidayah dari Allah, hidup di dunia ini terasa lelah, takut, cemas, waswas, gelisah, dan bingung.
       Bukankah tidak sedikit orang kaya malah menderita dengan kekayaannya. Kekayaan yang melimpah justru semakin membuat sengsara dan menyiksanya. Semakin kaya semakin banyak barang yang harus dijaganya, takut hilang, takut dicuri orang, memunculkan sifat ingin dipuji, dan sebagainya.
       Ada juga yang menyangka bahwa dengan kedudukan, pangkat, dan gelar maka seseorang akan memperoleh kemuliaan. Dia menganggap kemuliaan itu datang dari gelar, sehingga dia kasak kusuk kesana kemari memburu kedudukan dan gelar. Sekolah tidak, kuliah tidak, tiba-tiba bertitel master atau doktor.
       Mengapa ada orang yang sampai mau membeli gelar, membohongi dirinya sendiri. Padahal semua itu tidak ada artinya kalau dia tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah untuk menjadi orang yang tahu agama. Setinggi apapun gelar atau kedudukannya, setiap manusia suatu saat pasti akan mati.
       Orang yang jauh dari agama, jauh dari Alquran, apapun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya akan membuat dirinya hina. Harta, gelar, pangkat, jabatan yang diberikan Allah kalau tidak diikuti dengan ketaatan kepada Allah, justru pasti akan menjadi siksa baginya.
       Sebaliknya, orang yang mendapat hidayah dari Allah, dia tidak akan pernah merasa takut. La khaufun alaihim wa laa hum yahzanuun (tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Dia tidak pernah panik menghadapi kehidupan dunia. Justru dia akan merasa galau kalau tidak mampu berbuat yang terbaik dengan apa yang bisa dia lakukan.
       Jika orang lain takut tidak punya uang, maka orang yang mendapatkan hidayah takut kalau tidak punya jujur, takut jika tidak punya syukur, takut bila tidak punya sabar. Banyak orang takut karena tidak memiliki gelar, padahal yang seharusnya ditakuti adalah ketidakmampuan mempertangungjawabkan gelar tersebut.
       Langkah paling pokok untuk meraih hidayah Allah adalah dengan terus mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Tiada hari tanpa mencari ilmu, tiada hari kecuali bertambah amal dan tiada hari kecuali menambah bersih hati. Makin banyak ilmu, makin produktif dalam beramal dan makin bening hati.
       Semoga Allah tetap menjaga nikmatNya yang paling mahal, yakni hidayah, untuk kita dengan ilmu. Dan semoga pula kita dapat terus mensyukurinya dengan amal yang tulus dan ikhlas.

Kamis, 14 Maret 2013

Agama Nasehat

Pada suatu kesempatan Nabi menjelaskan kepada para sahabatnya bahwa "Agama itu nasehat." Mereka bertanya, “Untuk siapa?” Ia menjawab, “Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan mereka secara umum."
Tampaknya jawaban Nabi ini dapat dipahami secara jelas untuk dua objek yang terakhir, tetapi untuk tiga objek yang pertama mungkin masih samar bagi sebagian umat Islam. Karenanya, hampir setiap ahli hadits memberikan penjabaran. Kalau makna nasehat adalah mengharapkan kebaikan pada orang lain, maka bagaimana mungkin hal itu diharapkan pada ketiga objek tersebut. Hal ini benar, tetapi yang patut diingat adalah adanya implikasi kebaikan bagi yang memberi nasehat baik secara langsung atau tidak. Implikasi inilah yang sesungguhnya ditekankan pada nasehat di sini.
Pertama, nasehat untuk Allah. Nasehat ini diartikan sebagai suatu sikap iman secara jujur kepada-Nya melalui informasi dari Kitab maupun dari Nabi-Nya, kesediaan untuk menghambakan diri (beribadah) kepada-Nya secara tulus (ikhlas), patuh terhadap seluruh perintah dan larangan-Nya, serta mencintai dan membenci segala apa yang dicintai dan dibenci-Nya.
Pengertian seperti ini dapat ditemukan dalam penafsiran al-Qurtubi tentang pernyataan Tuhan mengenai persoalan ini dalam surat At-Taubah ayat 91. Dia menyatakan bahwa "nasehat untuk Allah adalah sikap memurnikan keyakinan tentang keesaan-Nya, memberi sifat kepada-Nya sifat-sifat ketuhanan (uluhiyah), dan mensucikan-Nya dari segala kekurangan serta mencintai apa saja yang dicintai-Nya dan menjauhi apa saja yang dibenci-Nya"
Kedua, nasehat untuk kitab-kitab-Nya (bagi umat Islam adalah al-Qur’an). Yaitu meyakini bahwa ia merupakan kalam Allah (bukan makhluk), yang diwahyukan kepada Nabi melalui Jibril, dengan berbahasa Arab, dan berfungsi sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagaimana penegasan-Nya. Arti ini merujuk pada firman Allah "Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa oleh Jibril (al-ruh al-amin)  ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas."
Al-Qur’an adalah risalah yang disampaikan oleh Nabi kepada umatnya. "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." Ia juga merupakan kalam Allah, sebagaimana hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang suatu saat Nabi menyodorkan dirinya kepada orang yang pulang haji: "Adakah seorang yang akan membawaku kepada kaumnya, sebab orang Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan kalam Tuhanku." 
Ketiga, nasehat bagi rasul-rasul-Nya. Yaitu membenarkan kenabiannya, selalu taat kepadannya kaitannya dengan larangan dan perintahnya, mencintai orang yang mencitainya dan membenci orang yang membencinya, menghormatinya, mencintainya dan keluarganya, mengagungkannya, dan menghidupkan sunahnya dengan pempelajari, memahami, membela, dan menyebarkannya.
Keempat, nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin. Maksudnya adalah membantu mereka dalam menjalankan kepemimpinannya, mengingatkannya jika mereka melakukan kesalahan, mendukungnya jika mereka berada pada jalur kebenaran, selalu mendukungnya selain pada kezaliman, berupaya mengembalikan dukungan dari orang-orang yang sempat menjauh darinya, dan nasehat terbesar bagi mereka adalah menyelamatkannya dari kezaliman dengan cara yang baik.
Senada dengan pengertian ini, al-Qurtubi menjelaskan bahwa yang dimaksud nasehat ini adalah "tidak memberontak kepada mereka, membimbingnya pada kebenaran, mengiatkannya tentang urusan kaum muslimin yang dilalaikannya, tetap taat kepadanya dan memberikan hak-haknya." Al-Hafidh Ibnu Rajab menambahinya dengan sikap "mencintai kebaikan, kecerdasan, dan keadilan mereka, mencintai upayanya untuk menjaga kesatuan umat di bawah kepemimpinannya, membencinya kalau umat ini terpecah belah di bawah kepemimpinannya, mengingatkannya agar tetap menjadi orang yang beragama dengan taat, membenci orang-orang yang bersikap memberontak kepadanya, dan mencintai kemulaannya dalam urusan taat kepada Allah.”
Dan kelima, nasehat bagi kaum muslimin.  Maksudnya adalah tidak memusuhi mereka, mencintai orang shalih di antaranya, dan selalu berupaya agar mereka mendapat kebaikan. Imam Muhyiddin al-Nawawi memaksudkan nasehat ini berupa “membimbing kaum muslimin demi kebaikan di dunia dan akhirat, tidak mengganggu mereka, mengajarkan kepadanya tentang persoalan agama yang belum diketahuinya baik melalui ucapan maupun amalan, menutup aurat mereka, menghadang hal-hal yang membahayakan bagi mereka, mengusahakan agar mereka selalu mendapat kebaikan, menyeruhnya kepada yang ma'ruf, mencegahnya dari yang munkar dengan ketulusan dan kasih sayang, menyayanginya, menghormati yang tua dari mereka, menyayangi yang muda, selalu menasehati mereka, tidak menipunya, tidak dengki kepadanya, mencintai segala kebaikan yang dicintainya, membenci segala keburukan dan kejahatan yang dibencinya, membela harta dan kehormatan mereka, menganjurkannya untuk menjadikan segala kebaikan yang telah disebut sebagai akhlaknya, serta mendorongnya agar selalu melakukan amalan-amalan taat."