Istigfar
berasal dari kata gafr yang berarti ampunan. Dalam gramatika bahasa Arab
penambahan awalan alif dan sin menunjukkan arti memohon, berarti istigfar
menunujuk pada arti memohon ampunan. Seseorang yang merasa telah melakukan
kekhilafan dan dosa memohon ampunan agar kekhilafan dan dosanya dihapus.
Sedangkan kata
taubat berarti kembali. Cetak dasar manusia adalah fitrah, bersih atau suci. Orang
yang taubat berarti ia berupaya kembali pada fitrahnya setelah ia ternoda oleh
kekhilafan dan dosa.
Uraian harfiah
kedua kata tersebut menunjukkan bahwa keduanya memiliki keterkaitan yang sangat
erat kaitannya dengan upaya manusia untuk membersihkan diri atau kembali pada
firahnya.
Agar tujuan
ini dapat tercapai secara maksimal, para ulama merumuskan beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi. Al-Razi,(W 660 H), yang memiliki nama lengkap Muhammad bin
Abu Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin al-Razi, dalam kitabnya Hadbiq al-Haqbiq
mensyaratkan taubat dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat, mengucapkan
kalimat istigfar, disertai sikap penyesalan yang dalam terhadap perbuatan dosa
dan maksiat itu, dan juga dibarengi keinginan yang kuat untuk tidak mengulangi
perbuatan itu lagi.
Syarat ini
ditambah oleh sebagian ulama terutama kaitannya dengan khilaf yang menyangkut
khilaf terhadap sesama manusia (haq adami) denga meminta maaf kepada orang
yang telah dianiaya, mengembalikan hak-haknya, dan mengganti perbuatan dosa dan
maksiat itu dengan amal kabajikan.
Ini pun tidak
cukup, hingga harus ditambah dengan upaya menghancurkan daging dan lemak yang
berasal dari sumber yang haram dengan cara riyadlah, yakni menjalani
latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan
diri kepada Allah, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan
nafsu, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang
halal, dan menyucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati,
dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya.
Manusia,
sebagaimana disabdakan Nabi, memang tempat salah dan lupa. Tetapi bukan berarti
kesalahan itu dibiarkan menumpuk tanpa ada suatu penyelesaian. Jika demikian
yang terjadi, maka kegelapan akan segera menyelimuti kehidupan ini. Alih-alih
kesalahan itu harus diselesaikan dengan cara beristigfar dan bertaubat.
Soal kesalahan
itu juga menjadi permasalahan tersendiri. Ada sebagian orang yang merasa
bersalah hanya karena perasaan tidak enak saja. Sebagian yang lain merasa
bersalah karena merasa kurang berterima kasih. Tetapi sebagian yang lain malah
merasa tidak bersalah atau menutup-nutupi kesalahannya meski sejatinya ia telah
melakukan kesalahan.
Perbedaan ini
juga berimplikasi pada perbedaan tingkatan taubat manusia. Al-Gazali (W 505 H) mengklasifikasikan
ada tiga tingkatan. Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari
dosa dan maksiat. Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat
tidak karena melakukan dosa atau maksiat melainkan taubat karena alpa melakukan
ketaatan yang bersifat sunnat. Ketiga, taubatnya orang khawahul
khawas, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan
sunnat, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyu dari
seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan.
Sampai di sini
kita teringat pada pertanyaan Aisyah kepada Nabi kaitannya dengan kebiasaan
Nabi yang selalu menghabiskan malamnya dengan beribadah dan beristigfar,
padahal beliau adalah orang yang paling baik dalam sejarah manusia dan telah
dijamin masuk surga. “Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur,” jawab
Nabi.
Dialog antara
Aisyah dan Nabi ini sekaligus memberikan suatu pemahaman bahwa hakekat taubat
bukan sekedar media membersihkan diri hingga manusia dapat kembali pada
fitrahnya, melainkan juga dapat menjadi media mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah.
Nabi juga pernah
menegaskan bahwa Allah itu baik dan hanya akan menerima yang baik. Penegasan
ini dapat menjadi pendorong manusia untuk membersihkan diri melalui istigfar
dan taubat. Sehingga ia dapat benar-benar menghadap kepada Allah dan dapat
diterima oleh-Nya.
Menimbang
begitu pentingnya istigfar dan taubat ini, kaum mutasawwifin (ahli
tasawuf) meletakkan taubat pada
tingkatan dasar yang harus dilalui oleh murid (orang yang menghendaki
dekat dengan Allah), sebelum ia melalui tingkatan-tingkatan yang lain, seperti sabar,
qanaah, faqir, zuhud, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma'rifah.
Tetapi sayang,
fakta dalam kehidupan sosial saat ini, justru banyak orang yang cenderung
menutup-nutupi kesalahannya atau bahkan tidak merasa bersalah sembari merasa ia
masih disayang dan dekat dengan Allah. Padahal sikap serupa ini justru yang
menjadi penyebab gelapnya kehidupan ini karena selalu diliputi oleh murka
Allah.
Dalam bulan
syawal ini, bulan yang berarti peningkatan setelah melalui proses ujian di
bulan Ramadan, semoga kita selalu berupaya menyadari kesalahan dengan
bertaubat. Sesuai dengan anjuran Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari
Abu Dzar, “…susullah suatu kejahatan dengan kebaikan, (kebaikan itu) pasti
akan menghapusnya …”