Jumat, 28 Juni 2013

Akibat Rasa Takut Yang Berlebihan

Dikisahkan, seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum terkenal sebagai orang yang tawadlu’ dalam menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Bukan karena kondisi fisiknya yang memiliki kekurangan, kebetulan dia diberi kebutaan oleh Allah, tetapi karena dia memang sangat ingin mendekat kepada Allah sedakat-dekatnya.
Dia pernah berikrar untuk mengikuti jamaah subuh di masjid, sekalipun dia harus tertatih berjalan ke masjid dengan sebatang tongkat sebagai pemandunya. Bukan tanpa resika tekadnya tersebut. Pada suatu hari, dia pernah tersandung batu, hingga jatuh tersungkur, wajahnya pun berlumuran darah karena terantuk batu.
Sesaat kemudian ada seorang pemuda yang menghampirinya untuk menolongnya. Pemuda itu bertanya, "Paman hendak pergi kemana?". "Saya hendak memenuhi panggilan Allah," jawab Abdullah dengan tenang. "Saya akan antarkan paman ke masjid, lalu nanti kembali pulang ke rumah," kata pemuda itu.
Ternyata pemuda itu menepati janjinya, diantarnya Abdullah pergi dan pulang ke masjid setiap hari. Mengantar Abdullah ke masjid sudah menjadi sebagian pekerjaan rutin pemuda itu. Rasa heran Abdullah kepada pemuda itu membuatnya lupa untuk menanyakan siapa sebenarnya pemuda yang rela dan ikhlas membantunya setiap hari tersebut.
Hingga pada suatu saat Abdullah ingin mengetahui siapa sejatinya pemuda itu. Dia pun menanyakan namanya. Spontan pemuda itu menjawab, "Apa yang paman inginkan dari namaku?" "Saya ingin berdoa kepada Allah atas kebajikan yang selama ini kamu lakukan," jawab Abdullah. "Tidak usah Paman, Paman tidak perlu berdoa untuk meringankan penderitaanku," tegasnya.
Abdullah tersentak kaget mendengar jawaban pemuda itu. Ternyata dia tidak sebaik yang dia perkirakan. Dia pun kemudian bersumpah atas nama Allah dan meminta pemuda itu untuk tidak menemuinya lagi sampai dia mengetahui dengan tepat siapa nama pemuda itu dan mengapa dia terus memandunya menuju ke masjid tanpa mengharapkan balasan apapun.
Sumpah Abdullah tersebut membuat keringat dingin pemuda itu mulai keluar membasasi wajahnya dan seluruh tubuhnya. Dia bimbang untuk mengenalkan dirinya, sebab jika itu dilakukan maka akan terbongkar semua kodaknya. Tetapi akhirna dia memutuskan untuk menegaskan kepada Abdullah, "Baiklah akan aku katakan siap diriku sebenarnya. Aku adalah Iblis," jawabnya.
Lagi-lagi Abdullah tersentak kaget. Dia hampir tak percaya mendengar penuturan pemuda itu. "Bagaiman mungkin kamu menuntunku ke masjid setiap hari, sedangkan golonganmu selalu menghalangi dan mengganggu orang hendak shalat?" tanya Abdullah.
Iblis kemudian menjawab, "Engkau masih ingat ketika dulu hendak melaksanakan shalat subuh berjamaah, lalu tersandung batu dan bongkahannya mengenai wajhmu?" "Ya, aku mengingatnya," jawab Abdullah. "Ketahuilah pada saat itu aku mendengar ucapan malaikat bahwa Allah telah mengampuni setengah dari dosamu. Aku takut kalau engkau tersandung untuk kedua kalinya, Allah akan menghapuskan setengah dosamu yang lain. Oleh karena itu aku selalu menuntunmu ke masjid dan mengantarkanmu pulang, aku khawatir jika engkau kembali tersandung untuk yang kedua kalinya," jelasnya.
Kisah yang dialami Abdullah bin Ummi Maktum ini memberi gambaran bahwa tidak semua perbuatan baik itu dilakukan oleh orang baik dan benar-benar baik secara hakiki. Ada penjahat yang nampak berbuat kebaikan namun motif yang mendasarinya adalah ingin menutupi kedoknya agar dia dapat melakukan kejahatan yang lebih besar.
Pun ada pula orang yang berkeinginan tinggi untuk menumpuk kebaikan dengan perbuatannya, dan dia dan pekerjaannya memang benar-benar baik menurut dirinya. Sudah tentu, yang disebut terakhir inilah yang merupakan tuntutan Allah kepada setiap hamba-Nya.
Sebaliknya orang yang gemar mengemas kejahatannya dalam bentuk perbuatan baik, dia tidak ubahnya iblis yang tidak memiliki kebaikan sama sekali, bahkan menjadi musuh Allah dan akan menerima adzabNya. Sayangnya orang seperti ini sangat banyak pada saat ini.
Julukan yang tepat bagi orang seperti itu dalah munafik. Tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan dari munafik, selain sebagai pelajaran utnuk dihindari. Sudah terlalu banyak rumah tangga, perusahaan, organisasi, bahkan negara yang hancur karena sikap munafik.
Sebenarnya yang mendasari sikap munafik tidak lain adalah rasa takut yang berlebihan. Orang yang gila dengan nama baik dia akan melakukan apa saja untuk menjaga nama baiknya. Dia akan rela mengeluarnya dana miliaran rupiah untuk menancapkan citra baiknya. Orang yang gila harta dan kekuasaan akan gila pula dalam mengejar harta dan kekuasaan. Dst,
Alqur’an menggambarkan ketakutan mereka seperti takutnya seseorang mendengar guruh dan petir tatkala ditimpakan hujan lebat yang sangat disertai gelap gulita, guruh, dan banyak kilatan (QS 2: 19-20). Posisinya dihantui rasa takut yang sangat mencekam dalam hati dan selalu berada dalam ketakutan yang sangat dan mengerikan. Untuk menghapus rasa takut yang akut tersebut dan sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya (QS 9: 57). Mereka itu takut, sehingga mereka bersumpah atas nama Allah SWT (QS 9: 56) untuk dijadikan sebagai perisai (QS 63: 2).
Sama persis dengan ketakutan iblis yang mewujud seorang pemuda yang bersedia membantu Abdullah bin Ummi Maktum seperti yang telah dituturkan di awal tulisan ini.