Dikisahkan,
seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum terkenal sebagai
orang yang tawadlu’ dalam
menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah. Bukan karena kondisi fisiknya yang
memiliki kekurangan, kebetulan dia diberi kebutaan oleh Allah, tetapi karena dia memang sangat ingin mendekat
kepada Allah sedakat-dekatnya.
Dia pernah berikrar untuk
mengikuti jamaah subuh di masjid, sekalipun dia harus tertatih berjalan ke
masjid dengan sebatang tongkat sebagai pemandunya. Bukan tanpa resika tekadnya
tersebut. Pada suatu hari, dia pernah tersandung batu, hingga jatuh tersungkur,
wajahnya pun berlumuran darah karena terantuk batu.
Sesaat kemudian ada seorang pemuda yang
menghampirinya untuk menolongnya. Pemuda itu bertanya, "Paman hendak pergi kemana?".
"Saya hendak memenuhi panggilan Allah,"
jawab Abdullah dengan tenang. "Saya akan antarkan paman ke masjid, lalu
nanti kembali pulang ke rumah," kata pemuda itu.
Ternyata pemuda itu menepati janjinya,
diantarnya Abdullah pergi dan
pulang ke masjid setiap hari. Mengantar Abdullah ke masjid sudah menjadi
sebagian pekerjaan rutin pemuda itu. Rasa heran Abdullah kepada pemuda itu
membuatnya lupa untuk menanyakan siapa sebenarnya pemuda yang rela dan ikhlas
membantunya setiap hari tersebut.
Hingga pada suatu saat Abdullah ingin mengetahui
siapa sejatinya pemuda itu. Dia pun menanyakan namanya. Spontan pemuda itu
menjawab, "Apa
yang paman inginkan dari namaku?" "Saya ingin berdoa kepada Allah atas kebajikan yang selama ini kamu
lakukan," jawab Abdullah. "Tidak usah Paman, Paman tidak perlu berdoa
untuk meringankan penderitaanku," tegasnya.
Abdullah tersentak kaget mendengar
jawaban pemuda itu. Ternyata dia tidak sebaik yang dia perkirakan. Dia pun kemudian
bersumpah atas nama Allah dan meminta pemuda itu untuk tidak menemuinya lagi
sampai dia mengetahui dengan tepat siapa nama pemuda itu dan mengapa dia terus
memandunya menuju ke masjid tanpa mengharapkan balasan apapun.
Sumpah Abdullah tersebut membuat
keringat dingin pemuda itu mulai keluar membasasi wajahnya dan seluruh
tubuhnya. Dia bimbang untuk mengenalkan dirinya, sebab jika itu dilakukan maka
akan terbongkar semua kodaknya. Tetapi akhirna dia memutuskan untuk menegaskan
kepada Abdullah, "Baiklah akan aku katakan siap diriku sebenarnya. Aku adalah
Iblis," jawabnya.
Lagi-lagi Abdullah tersentak kaget. Dia hampir
tak percaya mendengar penuturan pemuda itu. "Bagaiman mungkin kamu menuntunku ke masjid setiap hari, sedangkan golonganmu
selalu menghalangi dan mengganggu orang hendak shalat?" tanya
Abdullah.
Iblis kemudian
menjawab, "Engkau
masih ingat ketika dulu hendak melaksanakan shalat subuh berjamaah, lalu
tersandung batu dan bongkahannya mengenai wajhmu?" "Ya, aku mengingatnya,"
jawab Abdullah. "Ketahuilah pada
saat itu aku mendengar ucapan malaikat bahwa Allah telah mengampuni setengah
dari dosamu. Aku takut kalau engkau tersandung untuk kedua kalinya, Allah akan
menghapuskan setengah dosamu yang lain. Oleh karena itu aku selalu menuntunmu ke masjid dan mengantarkanmu
pulang, aku khawatir jika engkau kembali tersandung untuk yang kedua
kalinya," jelasnya.
Kisah yang dialami Abdullah bin Ummi
Maktum ini memberi gambaran bahwa tidak semua perbuatan baik itu dilakukan oleh
orang baik dan benar-benar baik secara hakiki. Ada penjahat yang nampak berbuat
kebaikan namun motif yang mendasarinya adalah ingin menutupi kedoknya agar dia
dapat melakukan kejahatan yang lebih besar.
Pun ada pula orang yang berkeinginan
tinggi untuk menumpuk kebaikan dengan perbuatannya, dan dia dan pekerjaannya
memang benar-benar baik menurut dirinya. Sudah tentu, yang disebut terakhir
inilah yang merupakan tuntutan Allah kepada setiap hamba-Nya.
Sebaliknya orang yang gemar mengemas
kejahatannya dalam bentuk perbuatan baik, dia tidak ubahnya iblis yang tidak
memiliki kebaikan sama sekali, bahkan menjadi musuh Allah dan akan menerima
adzabNya. Sayangnya orang seperti ini sangat banyak pada saat ini.
Julukan yang tepat bagi orang seperti
itu dalah munafik. Tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan dari munafik,
selain sebagai pelajaran utnuk dihindari. Sudah terlalu banyak rumah tangga,
perusahaan, organisasi, bahkan negara yang hancur karena sikap munafik.
Sebenarnya yang mendasari sikap munafik
tidak lain adalah rasa takut yang berlebihan. Orang yang gila dengan nama baik
dia akan melakukan apa saja untuk menjaga nama baiknya. Dia akan rela
mengeluarnya dana miliaran rupiah untuk menancapkan citra baiknya. Orang yang
gila harta dan kekuasaan akan gila pula dalam mengejar harta dan kekuasaan.
Dst,
Alqur’an menggambarkan ketakutan mereka
seperti takutnya seseorang mendengar guruh dan petir tatkala ditimpakan hujan
lebat yang sangat disertai gelap gulita, guruh, dan banyak kilatan (QS 2:
19-20). Posisinya dihantui rasa takut yang sangat mencekam dalam hati dan
selalu berada dalam ketakutan yang sangat dan mengerikan. Untuk menghapus rasa
takut yang akut tersebut dan sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan
atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya
dengan secepat-cepatnya (QS 9: 57). Mereka itu takut, sehingga mereka bersumpah
atas nama Allah SWT (QS 9: 56) untuk dijadikan sebagai perisai (QS 63: 2).
Sama persis dengan ketakutan iblis yang
mewujud seorang pemuda yang bersedia membantu Abdullah bin Ummi Maktum seperti yang
telah dituturkan di awal tulisan ini.