Kata “imsak” cukup populer terutama pada
bulan Ramadlan. Paling tidak hampir pada setiap menjelang fajar kata ini
terdengar dikumandangkan dari masjid atau mushalla. Beberapa tahun terakhir ini
jadwal puasa juga sering menggunakan istilah "imsakiyah". Bagaimana
kaitan kata ini dengan puasa? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dimulai dari
pelacakan secara linguistik.
Puasa dalam bahasa Arab disebut shaum
atau shiyam, seperti dalam firman Allah, "Wahai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa (al-shiyam), sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang
bertakwa." (al-Baqarah:183). Secara etimologis kata shaum atau shiyam
berarti menahan (al-imsak). Puasa berarti menahan, hingga secara sya’i
puasa diberi pengertian menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan seksual
sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan disertai niat.
Dari sini dapat dipahami bahwa isti puasa
adalah menahan. Dan nampaknya menahan ini lebih difokuskan pada menahan dari
pemenuhan kebutuhan naluriah kemanusiaan. Manusia tentu akan merasa sakit jika
sebagian kebutuhannya tidak terpenuhi. Hal yang lumrah bagi semua makhluk
hidup. Tetapi kenapa Tuhan justru mewajibkan penahanan ini meski pada batas
waktu tertentu?
Tuhan mencipta manusia ini dalam bentuknya
yang paradoks. Di satu sisi manusia memiliki potensi baik sebagaimana potensi
fitrah yang diberikan kepadanya, tetapi di sisi lain potensi jahatnya juga
tidak kecil sebagai akibat dari kealpaannya terhadap fitrahnya sendiri. Namun
tentu kenyataan ini bukan berarti tanpa guna. Jika dikaitkan dengan puasa,
Tuhan mewajibkan puasa kepada manusia bukan untuk kepentingannya, melainkan
demi kebaikan manusia itu sendiri, yaitu agar mereka dapat meningkatkan
kualitas ketaqwaannya, seperti telah dijelaskan dalam ayat di atas.
Kalau Tuhan menilai manusia hanya dari faktor
kualitas taqwa ini, seperti ditegaskan Nabi, 'Sesungguhnya
'Allah tak memandang bentuk dan harta kekayaanmu, tetapi memandang hati dan
bekas amalmu.'' (HR Muslim), maka
sudah tentu hal ini menyiratkan adanya tuntutan usaha kepada manusia. Dengan
demikian, Tuhan menuntut agar manusia itu selalu menjaga dinamisasi hidupnya.
Sudah tentu dalam usaha itu ada berhasil dan gagal. Sukses atau gagalnya
manusia untuk mencapai tujuan tertinggi puasa itu akhirnya berpulang kepada
manusianya sendiri.
Dengan demikian, puasa sangat terkait dengan
dua potensi yang dimiliki oleh manusia tadi. Artinya bagaimana puasa dapat
memupuk potensi baiknya dan membunuh potensi buruknya. Untuk dapat
merealisasikan hal ini mereka diharuskan untuk menahan diri dari jerat-jerat
yang mengantarnya pada keburukan, meski jeratan ini merupakan bagian
naluriahnya.
Berarti petekanan puasa adalah pada
pemberisihan sekaligus penguatan jiwa dengan menekan kemauan nafsu, meski tidak
dapat dipungkiri adanya manfaat puasa bagi dimensi fisik manusia. Puasa memang
merupakan suatu upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan perwujudan
kehendak Tuhan untuk melebihkan derajat manusia dari binatang yang hanya tunduk
pada instink dan hawa nafsu. Islam tidak mengenal dunia kependetaan yang
bersikap tak acuh terhadap keduniaan. Tetapi Islam juga memiliki sisi-sisi
kezuhudan yang mengendalikan manusia untuk tidak cinta dunia dan melakukan
kemungkaran.
Untuk itu, dalam surat al-Qashash ayat 77,
Allah memerintahkan untuk memberikan porsi yang semestinya bagi kehidupan dunia
dan akhirat. Pemberian porsi 'yang semestinya' inilah yang selalu menjadi titik
lemah manusia yang telah dianugerahi dengan akal dan hawa nafsu. Untuk
melakukan hal itu, manusia memerlukan suatu pengorbanan yang luar biasa.
Karena, hal itu berarti dia harus berusaha untuk selalu mengekang hawa
nafsunya. Salah satu wujud dari pengekangan hawa nafsu yang paling nyata adalah
puasa (menahan) untuk tidak melakukan segala yang diharamkan, dan bahkan
beberapa hal yang dihalalkan.
Tetapi memang itulah esensi puasa, yang
dimaksudkan untuk mendidik jiwa agar bersabar dan bertakwa. Dan yang lebih
penting dari itu semua, kita sebagai orang muslim harus merasa bahwa puasa
adalah salah satu jalan Allah untuk mendidik jiwa kita agar kita bersabar, dan
kita sebagai manusia harus berusaha untuk merasakan kenikmatan dalam melakukan
kesabaran. Karena pada dasarnya kemurkaan Allah tidak hanya berbentuk musibah
dan petaka yang bisa diindera oleh manusia. Ketiadaan rasa nikmat pada saat
kita bersabar itu pun merupakan suatu petaka bagi kita.
Dengan bentuk lain,
ungkapan di atas telah disampaikan pula oleh salah seorang nabi dari Bani Isra’il.
Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika ada seorang Yahudi berkata kepada Nabi
itu, "Aku tidak pernah berdzikir, tetapi mengapa Allah tidak
menghukumku?" Sang Nabi menjawab, "Kamu telah dihukum oleh
Allah, tetapi kamu tidak merasakan hukuman itu. Ketika Allah tidak memberimu
kenikmatan dalam berdzikir kepada-Nya, maka pada saat itulah sebenarnya kamu
sedang berada dalam hukuman-Nya."