Rabu, 20 November 2013

Berpikir Bebas Dalam Beragama



“Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.” (Ahmad Wahib).

Barangkali kalau catatan hariannya tidak dibukukan oleh teman dekatnya, Djohan Effendi, nama Ahmad Wahib benar-benar terkubur bersama jasadnya. Seorang pemuda berdarah Madura yang turut mewarnai pergolakan pembaruan Islam di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal 1970-an. Sayang, ia mati muda, sebelum sempat melakukan pengkajian lebih dalam terhadap pemikiran liar dan non-mainstreaming yang ia catat dalam diarenya.
Tidak heran kalau nama Ahmad Wahib luput dari perhatian para Indosianis, seperti Prof. B.J. Boland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, saat mereka melakukan pengkajian tentang gerakan pemaruan Islam di Indonesia.
Baru pada tahun 1981, delapan tahun meninggalnya (31 Maret 1973), saat catatan hariannya diterbitakan oleh LP3ES dengan judul yang provokatif, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, nama Wahib kembali diingat dan memperoleh puncak popularitasnya.
Usia Wahib yang pendek dan posisinya sebagai “intelektual di balik layar” memang membuat nama pemuda berperawakan kecil dan kurang meyakinkan ini tidak banyak dikenal. Tetapi di kalangan pemuda dan mahasiswa yang gandrung pada ide-ide pembaruan dan kawan-kawannya, seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, ia dikenal sebagai pemuda yang agresif menyuarakan pentingnya pembaruan di tubuh Islam.
Sikap agresif Wahib mula-mula muncul dalam diri yang ditemuinya selalu gelisah. Kegelisahan ini tampak misalnya dalam catatanya, “Aku ingin al-Qur’an itu membentuk pola berpikirku. Aku tak tahu apakah selama ini aku sudah Islam atau belum. Tapi bagaimanakah mengintegrasikan al-Qur’an itu dalam kepribadianku? Bagaimana? Tuhan, aku rindu akan kebenaran-Mu.
Adalah kegelisahan yang mendorong Wahib untuk menyerukan berpikir bebas dalam rangka mencari kebenaran. Berpikir bebas bukan saja hak melainkan sebuah kewajiban. Orang yang berpikir, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir.
Berpikir bebas meniscayakan tidak adanya batasan dalam pemikiran keagamaan. Karenanya, Wahib menolak pemikiran keagamaan yang dibatasi dengan tauhid sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Ia tidak menginginkan Islam yang membatasi kebebasan berpikir. Ia lebih memilih menjadi seorang kafir, atau paling tidak, muslim setengah hati, jika memang Islam memberikan batasan terhadap apa yang boleh dan tidak dipikirkan.
Wahib yakin Tuhan tidak membatasi pikirannya. Dia malah bangga dengan otaknya yang selalu bertanya-tanya tentang-Nya. “Aneh,” tulisnya, “mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri?” Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku, dan Dia tak akan mau dibekukan
Meski demikian, Wahib sebenarnya tidak sampai pada tingkat mendewakan kekuatan berpikir manusia seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia memang ada batasnya, tetapi batasan itu baru akan diketahui setelah manusia berkali-kali mencoba menembusnya dan selalu gagal. Otak manusia tidak akan mampu melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah begitu, tidak ada gunanya mempersoalkan batas, karena yang di luar batas itu sudah di luar kemampuan.
Piranti berpikir bebas ini kemudian digunakan Wahib untuk mengkritisi masalah-masalah sosial, politik, budaya dan, terutama, agama. Pada masalah agama, Wahib tidak segan-segan mengkritik sikap-sikap keberagamaan yang ekslusif dan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sudah established.
Alih-alih Wahib menyerukan kepada umat Islam untuk tidak takut menggunakan piranti berpikir bebas tentang agama, termasuk berpikir pada wilayah eksistensi Tuhan. Ia menegaskan, “Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan tersembunyi.”
Berpikir bebas ini mutlak diperlukan bagi upaya pembaruan Islam. Sebagaimana mutlaknya keharusan pembaruan Islam itu sendiri, seiring dengan perubahan struktur sosial yang dipicu oleh perubahan sosio-politik, terpuruknya kekuatan politik umat Islam, dan terjadinya ketegangan di internal umat Islam sendiri kaitannya dengan upaya merespon modernisme.
Ketegangan yang terjadi di kalangan modernis Islam telah sampai pada titik ekstrim, yaitu kelompok yang cenderung melibatkan agama secara total dalam setiap segi kehidupan dan kelompok yang mengeksklusi agama untuk berperan dalam perubahan sosial. Padahal, keduanya telah terjerembab dalam lubang kekeliruan yang sama. Faksi pertama abai terhadap elan vital wahyu karena lebih mengedepankan historical setting-nya. Dan faksi kedua cenderung menafikan peran agama sebagai penjelas realitas sosial.
Ketegangan itu kemudian diurai oleh Wahib dengan membedakan Islam das sollen dan Islam das sein. Islam das sollen adalah statis, abadi, universal dan sempurna. Ia menjadi sumber moral yang mampu menggugah dan menerangi jiwa manusia. Islam dalam pengertian ini bukan merupakan Islam barang jadi tinggal pakai, bukan Islam yang secara rinci mengatur tingkah laku dan mengatur hukum-hukum kehidupan. Ia hanya merupakan titik tolak bagi munculnya berbagai perilaku dan hukum yang terbentuk menurut historical setting suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Berbeda dengan Islam das sein, Islam dalam pemahaman umat. Islam ini dinamis dan akan terus mengalami perubahan seiring perubahan ruang dan waktu. Tegasnya, terdapat perbedaan antara (agama) Islam dan konseptualisasi terhadapnya. Kesadaran seperti ini yang tampaknya tidak dimiliki oleh mayoritas umat Islam, sehingga mereka cenderung menganggap pemahamannya terhadap Islam merupakan pemahaman menurut Tuhan.
Melalui penegasan ini tampaknya Wahib berusaha mengambil posisi tengah di antara dua faksi kelompok modernis yang masih terbuai oleh pemahaman keagamaan yang dogmatis dan parsial. Mereka tidak mau berpikir terlalu jauh atau berpikir bebas karena takut pada murka Tuhan.
Wahib ragu bahwa manusia akan mampu menemukan Islam sebenar-benar Islam dalam pengertian Islam menurut pembuatnya sendiri, Allah. Sebab manusia merupakan makhluk yang profan, meruang dan mewaktu, sedangkan Tuhan dan kalam-Nya merupakan suatu yang transendental. Yang dapat dilakukan manusia hanya mendekati Tuhan dan mendekati Islam yang sejati (das sollen), bukan meraihnya.
Di sisi lain, (agama) Islam juga memerlukan bentuk. Tetapi bentuk itu sendiri bukan agama.  Dalam hal ini, ajaran-ajaran Islam yang dipercayai secara penuh oleh Wahib hanya Allah dan Muhammad. Selain itu tidak mutlak, kondisional. Agama dalam pengertian peraturan-peraturan yang dibawa oleh Nabi Allah itu tidak mutlak dan tidak boleh dimutlakkan. Yang boleh dimutlakkan hanya Tuhan.
Al-Qur’an dan hadis merupakan bentuk final Islam di era formasi Islam. Tetapi keduanya bukan Islam itu sendiri, karena keduanya secara material merupakan hal yang profan, hasil sintesa problem kemasyarakatan dan respon umat pada jamannya.
Karenanya, umat Islam secara individual perlu memberikan bentuk pada Islamnya yang tidak berbentuk. Dan bentuk tersebut semata-mata urusan individual sesuai dengan keunikan-keunikan dalam dirinya, penghayatannya terhadap kehidupan dan penafsirannya terhadap suatu bentuk sempurna yang telah pernah ada dalam sejarah Islam, yaitu sejaran Muhammad.
Sejarah Muhammad, menurut Wahib, merupakan sumber utama Islam, bukan al-Qur’an dan hadis. Bunyi al-Qur’an dan hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad sendiri. Dikatakan sebagian karena masih tersisa sejarah Muhammad yang lain, seperti struktur masyarakat, kebudayaan, struktur ekonomi, pola pemerintaha, hubungan luar negeri, adat istiadat, iklim, pribadi Muhammad sendiri dan para sahabatnya, dll.
Dengan meletakkan sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber Islam setiap individu muslim akan terlibat dalam tugas historical direction untuk mengisap dari sejarah itu sumber terang bagi masa kini. Dalam tugas ini, aktifitas spiritual dan intelektual akan ikut bicara. Orang yang mampu melaksanakan tugas ini dengan baik dan memahami tugas historical directian sebagai panggilan sekaligus direct communication with God, ia akan bisa memahami wahyu Allah secara komplit, yaitu wahyu Allah yang turun kepadanya selain al-Qur’an yang turun ke Muhammad.
Dengan demikian, apa yang transenden dan yang ideal harus didekati terus-menerus. Dan pada saat yang sama realitas alam semesta secara keseluruhan (kauniyah) juga harus dipersandingkan. Inilah tugas manusia sesuai fitrahnya. Apalagi manusia memang tidak mengetahui batas kemampuan pikirannya.
Proses serupa itu harus dilakukan secara terus-menerus. Untuk itu, Wahib menyatakan pentingnya gerakan pembaruan dan harus terus-menerus dijalankan, mengingat kompleksitas masalah keagamaan di satu sisi, dan perbedaan tantangan dari zaman ke zaman pada sisi lain. Sehingga proses pembaruan menjadi tuntutan yang tak bisa dielakkan.
Pembaruan berarti tidak mengenal kata selesai. Sebab ia senantiasa mencari dan terus mencari kebenaran. “… gerakan pembaruan adalah suatu gerakan yang selalu dalam keadaan gelisah, tidak puas, senantiasa mencari dan bertanya tentang yang lebih benar dari yang sudah benar, dari yang lebih baik dari yang sudah baik.” tulis Wahib.



 Biodata dan Karya

Ahmad Wahib lahir dan besar di di tengah-tengah keluarga muslim santri di Sampang Madura pad 9 Nopember 1942. Wahib mewarisi watak sebagai pemberontak terutama soal keberagamaan dari ayahnya yang seorang kyai. Meski ia seorang “Gus,” tapi ia lebih memilih pendidikan umum; SMA Pamekasan tahun 1961, FIPA UGM Yogyakarta dan STF Driyakara Jakarta. Sayang, ia belum sempat menyelesaikan kuliahnya.

Wahib memiliki pergaulan yang cukup luas, selain di HMI dan Lingkaran Diskusi Limited Group. Pergaulan ini turut mendukung proses pencariannya, sekaligus membentuk pikiran-pikirannya, hingga ia menjadi seorang pemikir “radikal” dan progresif.

Sayang, Wahib keburu meninggal (31 Maret 1973) sebelum sempat menuangkan pikiran-pikiran “liarnya” dalam bentuk kajian yang komprehensip. Selain artikelnya tentang pembaruan pemikiran Islam, yang ia tulis sebagai laporan untuk majalah Tempo menggantikan Syu’ba Asa yang sedang sakit, hanya berupa catatan harian yang kemudian disunting oleh teman dekatnya, Djohan Effendi, untuk diterbitkan oleh LP3ES tahun 1981 dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. 

Sabtu, 16 November 2013

Tasfir Untuk Perempuan



Watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan empati terhadap penderitaan kaum lemah (mustadl’afin), menurut Asghar Ali Enginner, merupakan salah satu problem mendasar keimanan. Problem ini jika diajukan kepada Islam maka akan ditemukan solusinya, yaitu bangunan Islam pembebas seperti terkandung dalam al-Qur’an dan rentang sejarah Nabi.
Kedua sumber utama Islam itu memang telah memberi dasar kuat tentang keberpihakan teologis kepada kaum lemah. Keduanya telah mengajarkan tentang menyantuni anak yatim, menegakkan keadilan, menekankan agar kapital tidak hanya berputar di segelintir orang, dan mengangkat martabat perempuan setara dengan laki-laki.
Dalam bukunya, Islam and Liberation Theology (1990), Asghar kemudian merumuskan teologi pembebasan yang tetap merujuk pada kedua sumber utama Islam tersebut. Konstruksi teologi yang dibangun Asghar berbeda dengan teologi klasik (ilmu kalam) yang sempat berkembang pesat pada abad ke-2 H. Teologi klasik itu masih berkutat pada wacana metafisik-transendental yang abstrak. Sementara teologi yang dikehendaki Asghar adalah bersifat konkret, aplikatif, dan berpijak pada persoalan kemanusiaan kontekstual.
Perbedaan lain dengan teologi klasik adalah kecenderungannya sebagai penopang ideologi kekuasaan, teologi pembebasan Asghar justru meneguhkan keberpihakannya kepada kaum mustadl’afin untuk membebaskannya dari segala bentuk tirani dan penindasan.
Sumber utama teologi pembebasan Asghar adalah al-Qu’ran dan sejarah Nabi. Namun dia tidak mau terjebak pada wacana tekstual semata, dia lebih menekankan pada aspek praksis dengan mengkombinasikan antara refleksi dan aksi, iman dan amal. Meminjam istilah Amin Abdullah, Asghar menjadikan normativitas dan historisitas Islam sebagai pertimbangan utuh dalam membangun konsepsi teologinya.
Hal ini tergambar jelas misalnya pada konsep Asghar tentang takdir. Dia tidak melihat takdir hanya sebagai konsep metafisik, tetapi dia juga memahami bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan takdirnya sendiri. Penelitiannya tentang sejarah panjang kehidupan manusia membuktikan pemahaman itu, terutama mengenai relasi antara kaum mustakbirin (orang-orang yang kuat dan sombong) dan kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah dan tertindas).
Asghar mendapati dalam hubungan itu kaum mustadh’afin selalu terkalahkan. Dan di dalam spasio temporal yang berbeda-beda selalu ada orang-orang dalam agama-agama tertentu yang menyuarakan pembebasan bagi mereka. Tegasnya, manusia sendirilah yang menentukan penindasan terhadap manusia yang lain. Karenanya manusia juga yang seharusnya membebaskan belenggu penindasan tersebut.
Salah satu komunitas yang masuk dalam kategori tertindas adalah kaum perempuan. Asghar memberikan perhatian khusus pada persoalan ini dengan menulis buku yang diberi judul The Rights of Women in Islam (1992). Dalam buku ini, dia membuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi martabat perempuan. Dia kemudian mengkonstruksi tafsir al-Qur’an khusus mengenai ayat-ayat tentang perempuan.
Asghar menganalisis beberapa ayat yang oleh banyak kalangan dianggap mendiskreditkan perempuan, seperti an-Nisa/4:3 tentang poligami, an-Nisa/4:11 tentang hak waris bagi perempuan, al-Baqarah/2:282 tentang kesaksian perempuan, an-Nisa/4:34 tentang larangan kepemimpinan perempuan dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz.
Ayat-ayat tersebut sering diajukan oleh para orientalis sebagai bukti normatif ketidakadilan Islam terhadap perempuan. Di sisi lain kaum muslimah sendiri sering menanggapinya secara dilematis antara menerimanya sebagai suatu konsep keadilan Islam bagi perempuan dan meragukannya karena pada kenyataannya secara manusiawi telah mengusik rasa keadilan bagi mereka.
Dileman ini, menurut Asghar, merupakan akibat dari cara baca yang tidak fair terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yaitu cenderung mengambil pesan normatifnya dan mengabaikan spirit yang menjadi latar sosiologis munculnya pesan tersebut. Dia kemudian mengajukan metodologi tafsir untuk mendapatkan pemahaman yang komprehenship, yaitu dengan memilah antara ayat normatif dan ayat kontekstual.
Yang dimaksud ayat normatif adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan normatif atau mengandung nilai universal sehingga merupakan sesuatu yang seharusnya (das solen) dan berlaku sepanjang masa. Sedang ayat kontekstual adalah adalah ayat-ayat yang mengungkapkan pesan kontekstual atau sangat berkait dengan konteks masyarakat pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat kontekstual biasanya menguraikan tentang kenyataan sosial atau apa yang terbaik saat turunnya ayat tersebut (das sein).
Urgensi pemilahan ini adalah untuk memudahkan pembedaan antara apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah dan realitas sosial yang dibangun oleh masyarakat pada saat turunnya ayat. Sebab al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal, tetapi ada fakta empiris-sosial yang dipertimbangkan. Dengan pertimbangan ini al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu di mana al-Qur’an diturunkan, di samping norma-norma universal yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan referensi untuk diberlakukan pada suatu masa ketika realitas masyarakat lebih kondusif.
Yang dimaksud Asghar dengan ayat-ayat normatif adalah seperti ayat tentang prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan. Ayat-ayat yang memuat norma atau prinsip dasar al-Qur’an kaitannya dengan persoalan kesetaraan gender, seperti an-Nisa/4:1 tentang penciptaan manusia dari esensi yang sama, al-Isra’/17:70 tentang pemuliaan anak-anak Adam, dan al-Ahzab/33:35 tentang pahala yang sama bagi laki-laki atau perempuan yang bertakwa, bagi Asghar, merepresentasikan revolusi besar dalam pemikiran egalitarianisme dan sekaligus simbol deklarasi kesatuan manusia dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan ayat-ayat kontekstual adalah seperti ayat tentang poligami, hak waris perempuan, kesaksian perempuan, larangan kepemimpinan perempuan, dan legalitas bagi suami untuk memukul istrinya yang nusyuz seperti yang telah disebut di atas. Pertama, ayat tentang poligami (an-Nisa/4:3). Diperbolehkannya poligami pada masa Nabi karena pada saat itu poligami merupakan jalan terbaik untuk mengangkat martabat perempuan. Ayat itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah perempuan yang diperistri. Anggota suku Quraisy saja pada umumnya mempunyai istri 10 orang. Batasan hanya beristri empat orang seperti yang tercantum di dalam ayat tersebut merupakan langkah yang revolusioner.
Di samping itu, praktik poligami pada masa Nabi juga tidak terlepas dari peperangan yang berkelanjutan, yang berakibat pada banyaknya janda dan anak yatim dalam komunitas muslim. Namun demikian, diperbolehkannya poligami itu dengan catatan dapat berbuat adil terhadap perempuan. Dengan demikian, dibolehkannya poligami harus mempertimbangkan secara ketat situasi dan kondisi yang ada, sehingga meski situasi dan kondisi membolehkan poligami, lelaki tetap dituntut untuk monogami jika tidak mampu berbuat adil.
Menurut Asghar, ajaran normatif ayat tersebut adalah monogami. Sedangankan poligami merupakan ajaran kontekstual. Namun sangat disayangkan yang terjadi malah memahami ajaran kontekstual ini sebagai ajaran normatif yang berlaku sepanjang masa dan dalam situasi apa pun. Padahal saat ini alasan poligami sebagai cara mengangkat martabat perempuan menjadi tanda tanya besar.
Kedua, ayat tentang hak waris perempuan yang mendapat setengah dari bagian lelaki (an-Nisa/4:11). Secara kontekstual ayat ini juga merupakan upaya mengangkat martabat perempuan. Pada masa pra-Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi baik kekayaan ayah, suami maupun kerabatnya yang lain. Kebanyakan dari mereka malah diperlakukan sebagai bagian dari harta yang diwariskan. Tegasnya, pemberian hak waris kepada perempuan merupakan suatu gerakan revolusioner. Apalagi di dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa perempuan berhak memiliki sesuatu, sehingga perempuan tidak lagi diwariskan tetapi justru berhak menerima warisan dan bahkan bisa mewariskan hartanya.
Ketiga, ayat tentang kesaksian perempuan separuh dari laki-laki (al-Baqarah/2:282). Kesaksian yang maksud dalam ayat ini hanya pada persoalan transaksi keuangan, bukan yang lain. Asghar berpandangan bahwa ayat itu sebenarnya tidak mereduksi kesaksian perempuan menjadi separuh dari laki-laki. Tetapi pada saat seorang perempuan akan memberikan kesaksian dia harus didampingi oleh seorang perempuan lain.
Keharusan ini mempertimbangakan kenyataan bahwa secara umum perempuan pada saat ayat itu diturunkan kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman soal keuangan. Wajar, karena pada saat itu perempuan memang tidak banyak mengambil bagian dalam bisnis, sehingga mereka tidak mampu memahami perihal transaksi bisnis dan keuangan. Karenanya dua perempuan diharuskan sebagai pengganti satu laki-laki.
Penetapan ini tidak merefleksikan apapun terhadap moral dan intelektual perempuan sehingga menjadi inferior. Dengan demikian, semangat al-Qur’an pada dasarnya adalah penyetaraan, tetapi karena kearifan al-Qur’an, di mana para perempuan pada umumnya saat itu kurang memahami urusan bisnis dan keuangan, sehingga memutuskan agar didampingi oleh perempuan lain. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari akses bisnis dan keuangan saat itu yang masih dikuasai oleh laki-laki.
Keempat, ayat tentang larangan kepemimpinan perempuan dan dibolehkannya suami memukul istri yang sedang nusyuz (an-Nisa’/4:34). Kata kunci yang sering dipahami sebagai larangan adalah kata qawwam, yang biasa diartikan penguasa atau pemimpin. Oleh ulama ortodoks kata itu merupakan legitimasi superioritas laki-laki atas perempuan hingga martabatnya di bawah laki-laki.
Asghar menolak tegas pemahaman tersebut. Menurutnya, superioritas itu hanya sebagai keunggulan dalam memperoleh harta kekayaan dan fungsi membelanjakan harta untuk kebutuhan kaum perempuan. Artinya, superioritas dibentuk oleh fungsi sosial bukan pada jenis kelamin. Di sisi lain, tidak fair jika peran domistik perempuan tidak diperhitungkan sebagai produktivitas ekonomi. Adalah tidak adil kalau nilai moneter tidak diletakkan dalam tugas domestik, sebagaimana kaum laki-laki yang bekerja di luar rumah, maka kaum perempuan pun semestinya mendapat nilai dengan melengkapinya bekerja di dalam rumah.
Adapun tentang memukul istri yang sedang nusyuz, Asghar menyatakan bahwa turunnya ayat ini merupakan respons terhadap kebiasaan orang Arab berupa memukul istrinya yang dianggap membangkang. Ayat ini diturunkan terkait dengan kasus Sa’ad bin Rabi, seorang pemimpin golongan Anshar, yang telah memukul istrinya Habibah bin Zaid yang membangkang terhadap dirinya. Habibah kemudian mengadukan hal itu kepada ayahnya, dan oleh sang ayah, kasus itu diteruskan kepada nabi Muhammad.
Nabi pada saat itu memberi jawaban agar Habibah membalas pukulan suaminya itu. Mendengar keputusan nabi tersebut, kaum lelaki yang berada di Madinah merasa keberatan, dan berusaha menentang saran rasul tersebut. Nabi pada saat itu sadar betul, bahwa penentangan mereka itu didasarkan oleh struktur sosial yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada laki-laki di hadapan kaum hawa.
Dengan demikian, secara kontekstual, sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan ini secara sekaligus. Karenanya ayat ini diturunkan sebagai satu upaya membatasi meluasnya kekerasan, yaitu dengan memberikan peluang kepada laki-laki untuk melakukan pemukulan terhadap perempuan. Asghar menyatakan bahwa ayat ini bukan menganjurkan kaum laki-laki untuk memukul istrinya, tetapi sebaliknya, mencegahnya secara gradual, sebelum kemudian dihapus sama sekali. Wallahu a’lam bi al-shawab.



Biodata & Karya

Asghar Ali Engineer lahir pada 10 Maret 1939 di Rajasthan, India, dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam., seorang pimpinan Dawood Bohra Community, sebuah organisasi keagamaan beraliran Syi’ah Ismailiyah di India.

Pendidikan tinggi Asghar tidak di bidang ilmu agama. Dia seorang sarjana ilmu teknik (B.Sc.Eng) lulusan Universitas Vikram, India, 1962. Selepas dari pendidikan tinggi, dia menggeluti profesi sebagai insinyur sipil dalam waktu yang cukup lama, sebelum kemudian dia tertarik untuk melakukan penelitian tentang berbagai aspek dalam Islam.

Lebih dari 50 judul buku dan artikel yang telah ia dedikasikan untuk Islam. Di antaranya:
1.      Islam and Revolution. Ajanta Publications, India, 1984
2.      Religion and Liberation. Published by Ajanta Publications, India, 1989
3.      Islam and Liberation Theology, Sterling Publishers, Delhi, 1990
4.      Status of women in Islam. Ajanta Publications, India, 1987
5.      The Rights of Women in Islam, Sterling Publishers, Delhi, 1992
6.      The Qur'an Women and Modern Society, Sterling publishers, Delhi, 1999
7.      Islam, Women and Gender Justice, Gyan Publishers, Delhi, 2001

Dedikasinya yang tinggi itu membuatnya memperoleh beberapa penghargaan, seperti:
1.      The Dalmia Award, tahun 1990.
2.      The Communal Harmony Award, tahun 1997.
3.      Right Livelihood Award, tahu 2004


Kamis, 14 November 2013

Nilai Sedekah di Hari Asyura

Kemarin (14/11) merupakan hari kesepuluh bulan Muharram menurut kalender Hijriyah atau yang lebih dikenal dengan sebutan “asyura.” Dalam rentang sejarah manusia, hari itu memiliki keistimewaan yang cukup besar. Tidak heran jika semua penganut agama-agama samawi, termasuk Islam, memasukkannya dalam daftar hari-hari istimewa yang harus diperingati dengan serangkaian ibadah.
Anjuran bentuk ibadah yang utama yang diberikan oleh Nabi kaitannya dengan peringatan hari Asyura adalah berpuasa dan melapangkang nafkah untuk keluarga. Dan saat ini bentuk ibadah itu berkembang hingga dalam bentuk pemberian santunan kepada kaum dhuafa’ terutama anak yatim. Bahkan ada banyak kalangan yang mengharapkan hari itu menjadi “hari anak yatim.”
Terkait dengan perkembangan bentuk ibadah terdapat kontroversi; ada yang menganggapnya sebagai fadla’il al-‘a’mal (mengambil keutamaan dalam beramal), apalagi amalan yang dilakukan termasuk dalam kategori ibadah sosial. Tetapi tidak sedikit pula yang menggolongkannya sebagai bentuk bid’ah yang wajib dijauhi bagi orang menginginkan berislam secara murni.
Mari kita tinggalkan kontroversi itu dan kembali pada keutamaan hari Asyura. Di dalam kitab Irsyad al-‘Ibad Ila Sabilal-Rasyad karya Zainuddin Ibnu Abdul Aziz al-Malibari, kitab yang banyak dikaji terutama di pesantren-pesantren salaf, dituturkan sebuah kisah tentang Athiyah bin Khalaf.
Diceritakan dia adalah seorang penduduk Mesir yang berprofesi sebagai pedagang kurma. Dia termasuk orang yang kaya raya. Dia sempat mendapatkan kekayaan yang melimpah dari profesinya itu.tetpi karena suatu hal dia jatuh miskin. Dia tidak punya apa-apa kecuali pakaian yang melekat di badan untuk menutupi auratnya.
Ketika hari Asyura datang, dia melakukan shalat shubuh di Masjid Amru bin Ash. Setiap hari Asyura masjid itu penuh dengan orang-orang yang ingin memanjatkan doa, termasuk para wanita. Di hari-hari biasa masjid itu dinyatakan tertutup bagi kaum wanita.
Seperti jama’ah yang lain, Athiyah beri’tikaf dan berdoa. Dia mengambil tempat yang terpisah dari kaum wanita. Tetapi tiba-tiba datang kepadanya seorang wanita bersama anak-anak yang masih kecil.
Wanita itu berkata: “Wahai tuan, aku minta kepadamu, demi Allah, semoga tuan bisa meringankan kesulitanku dan rela memberikan sesuatu yang bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhan makan anak-anak ini. Bapak mereka telah meninggal. Dia tidak meninggalkan satu apapun untuk mereka. Aku adalah Syarifah. Aku tidak tahu siapa yang aku tuju.
Aku tidak keluar kecuali hari ini, itupun karena keterpaksaan yang mendorongku untuk mengorbankan diri. Dan itu bukan merupakan kebiasanku.”
Athiyah terharu terhadap keluhan wanitaitu. Dia berkata dalam hatinya: “Aku tidak mempunyai apa-apa. Tidak ada milikku keculai baju ini. Jika aku lepas akan terbukalah tubuhku. Tetapi jika wanita ini aku tolak, alasan apakah yang akan aku kemukakan pada Rasulullah.”
Di tengah kebingungannya, Athiyah berkata kepada wanita itu: “Mari ikut aku ke rumahku. Aku akan memberimu sesuatu.”
Wanita itu pun mengikuti ajakan Athiyah. Sesampai di rumahnya, Athiyah memintanya menunggu di depan pintu,  sementara dia masuk ke rumah untuk melepas bajunya. Dengan mengenakan sarung lusuh dia kembali menemui wanita itu dari balik pintu untuk memberikn baju yang dilepasnya tadi kepada wanita itu.
Wanita itu menerimanya dengan mendoakan Athiyah: “Semoga Allah memberikan pada tuan pakaian-pakaian surga dan tuan tidak akan membutuhkan kepada orang lain selama hidup tuan.”
Athiyah merasa senang dengan doa wanita itu. Dia kemudian menutup pintunya. Dia tidak keluar rumah lagi karena sibuk berdzikir hingga larut malam dan tertidur. Di dalam tidurnya dia bermimpi melihat bidadari, belum pernah dia melihat seorang wanita yang lebih cantik darinya. Tangan wanita itu memegang buah apel yang bau harumnya semerbak ke sekitarnya, seolah mengharumkan seluruh antara langit dan bumi.
Wanita itu membrikan buah apel tersebut kepada Athiyah. Ketika apel itu dibelah, darinya keluar pakaian dari pakian surga yang tidak terbanding dengan pakaian di dunia. Wanita itu meminta izin kepada Athiyah untuk mengenkan pakaian itu pada tubuhnyanya. Sebelum kemudian wanita itu duduk manja di pangkuan Athiyah.
Athiyah lantas bertanya: “Siapakah kamu ini?” “Aku adalah 'Asyura, istrimu di surga,” jawab bidadari itu. “Dengan amal apa hingga aku memperoleh kemuliaan seperti ini?” tanya Athiyah. Bidadari itu menjawab: “Dengan seorang janda miskin, dan anak-anak yatim yang kemarin engkau telah berbuat baik kepada mereka.”
Kemudian Athiyah terbangun, dan dia sangat senang yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, sementara tempat dimana dia berada semerbak dari bau wanginya. Dia kemudian mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat dua rakaat sebagai tanda rasa syukurnya kepada Allah.
Seusai shalat, dia mengangkat pandangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Tuhanku. Apabila mimpi dalam tidurku itu benar dan bidadari dalam mimpiku itu adalah istriku di surga, maka matikanlah aku saat ini juga untuk bertemu dengan-Mu.” Belum usai doa dipanjatkan, Allah menyegerakan ruh Athiyah ke surga.