Abu Hurairah
menuturkan bahwa Nabi pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah pada hari
kiamat nanti akan berfirman, "Wahai bani Adam, Aku sakit, mengapa kalian
tidak menjengukku?" Manusia bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami
menjenguk-Mu padahal Engkau Rabbul 'Alamin?"
Allah menjawab,
"Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku yang sakit, mengapa
kalian tidak menjenguknya? Tahukah kalian, bila kalian menjenguknya kalian akan
dapati Aku di sampingnya!"
"Wahai manusia,
Aku minta makan kepadamu, mengapa kalian tidak memberiku?" Manusia
langsung bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu makan, padahal
Engkau Rabbul 'Alamin?"
Allah menjawab,
"Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku fulan yang minta makan,
mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila kalian berikan makanan
kepadanya, kalian akan mendapati Aku di sampingnya?"
"Wahai manusia, Aku minta minum kepadamu, mengapa kalian tidak mau memberinya?"
"Wahai manusia, Aku minta minum kepadamu, mengapa kalian tidak mau memberinya?"
Manusia bertanya
lagi, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu minum, padahal Engkau Rabbul
'Alamin?" Allah menjawab, "Tidakkah kalian tahu bahwa ada seorang
hamba-Ku yang minta minum, mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila
kalian berikan minuman kepadanya, kalian akan dapati Aku di sampingnya?"
(Muslim).
Hadits ini cukup
relefan dalam rangka menumbuhkan semangan kemanusian untuk membantu para korban
bencana alam beruap banjir, tanah longsor,dll.di beberapa daerah di negeri ini. Kondisi saudara-saudara kita itu saat
ini sangat memprihatinkan. Sebagian besar mereka yang telah tertampung di
barak-barak pengungsian menderita sakit dengan fasilitas pengobatan sangat
terbatas, kelaparan sementara berbagai bantukan makanan dan air bersih masih
jauh dari mencukupi, belum lagi yang mengalami guncangan jiwa, dll.
Mereka semua jelas
membutuhkan sentuhan nurani kita. Bukankah setiap kita ketika sakit ingin
dijenguk meski hanya dengan seulas senyum. Ketika lapar ingin ada yang memberi
makan dan minum meski hanya sesuap. Dan ketika haus ingin ada seseorang yang
menuangkan air meski hanya seteguk.
Memang telah banyak
bantuan kemanusiaan yang telah dan sedang dikirim ke sana, baik dari dalam
maupun luar negeri. Tetapi sudah tentu semuanya masih jauh dari mencupupi, terutama
untuk mengembalikan kehidupan mereka seperti sediakala.
Para korban itu
mayoritas beragama Islam. Sehingga bagi umat Islam, peristiwa ini dapat
dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri seberapa besar kecintaannya
kepada saudaranya sesama muslim diwujudkan. Nabi menyatakan bahwa kecintaan
kita kepada saudara seagama itu paling tidak sama dengan kecintaan kita pada
diri sendiri. Kita pun bisa membayang kalau peristiwa itu menimpa kita.
Di sisi lain, seorang
yang beriman sudah tentu menjadikan Tuhan sebagai orientasi hidupnya. Apa pun
dan di mana pun jalan menuju-Nya akan ditempuh. Masyarakat yang terkena musibah yang sekarang
sedang menderita sakit fisik dan mental serta diperparah dengan kelaparan sudah
tentu Ia berada di samping mereka, seperti yang tersirat dalam hadits di atas.
Artinya, uluran
bantuan yang kita berikan bukan semata-mata berdimensi kemanusiaan, tetapi juga
berdimensi ketuhanan. Inilah salah satu saat yang tepat untuk membuktikan sikap
keberagamaan secara utuh (vertikal dan horizontal). Apalagi Islam sangat jelas
memberikan parameter kesalehan bukan hanya pada praktik ibadah mahdlah tetapi
juga pada ibadah sosial.
Dalam hal ini
perilaku Abu Hurairah yang menuturkan sabda Nabi di atas dapat dijadikan
sebagai teladan. Ketika beliau sedang beritikaf di Masjid Nabawi, tiba-tiba
didapatinya seorang lelaki yang sedang bersedih duduk di sudut masjid. Abu
Hurairah mendekatinya dan bertanya perihal kesedihannya. Begitu mengetahui
persoalannya, Abu Hurairah berkata, "Ayo berdirilah bersamaku, aku akan memenuhi
kebutuhanmu."
Lelaki itu berkata,
"Apakah engkau akan meninggalkan itikafmu di Masjid Rasul yang mulia ini
hanya demi aku?" Abu Hurairah menangis dan berkata, "Aku mendengar Nabi
bersabda, "Berjalannya seorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan
saudaranya hingga terpenuhi, lebih baik baginya daripada itikafnya di masjidku
ini selama sepuluh tahun."
Alangkah indahnya
ungkapan sebuah syair Arab yang menggambarkan kebahagiaan orang yang membantu
saudaranya, "Engkau melihatnya begitu bahagia dengan sesuatu yang
diberikannya kepadamu, seakan-akan engkaulah yang memberikan kepadanya sesuatu
yang kau minta."
Sudah tentu,
perilaku Abu Hurairah ini merupakan satu dari sekian banyak perilaku para salaf
al-salih yang dapan diteladani oleh umat Islam sepanjang jaman.