Jumat, 31 Januari 2014

Membantu Sesama

Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah pada hari kiamat nanti akan berfirman, "Wahai bani Adam, Aku sakit, mengapa kalian tidak menjengukku?" Manusia bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami menjenguk-Mu padahal Engkau Rabbul 'Alamin?"
Allah menjawab, "Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku yang sakit, mengapa kalian tidak menjenguknya? Tahukah kalian, bila kalian menjenguknya kalian akan dapati Aku di sampingnya!"
"Wahai manusia, Aku minta makan kepadamu, mengapa kalian tidak memberiku?" Manusia langsung bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu makan, padahal Engkau Rabbul 'Alamin?"
Allah menjawab, "Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku fulan yang minta makan, mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila kalian berikan makanan kepadanya, kalian akan mendapati Aku di sampingnya?"
"Wahai manusia, Aku minta minum kepadamu, mengapa kalian tidak mau memberinya?"
Manusia bertanya lagi, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu minum, padahal Engkau Rabbul 'Alamin?" Allah menjawab, "Tidakkah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku yang minta minum, mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila kalian berikan minuman kepadanya, kalian akan dapati Aku di sampingnya?" (Muslim).
Hadits ini cukup relefan dalam rangka menumbuhkan semangan kemanusian untuk membantu para korban bencana alam beruap banjir, tanah longsor,dll.di beberapa daerah di negeri ini. Kondisi saudara-saudara kita itu saat ini sangat memprihatinkan. Sebagian besar mereka yang telah tertampung di barak-barak pengungsian menderita sakit dengan fasilitas pengobatan sangat terbatas, kelaparan sementara berbagai bantukan makanan dan air bersih masih jauh dari mencukupi, belum lagi yang mengalami guncangan jiwa, dll.
Mereka semua jelas membutuhkan sentuhan nurani kita. Bukankah setiap kita ketika sakit ingin dijenguk meski hanya dengan seulas senyum. Ketika lapar ingin ada yang memberi makan dan minum meski hanya sesuap. Dan ketika haus ingin ada seseorang yang menuangkan air meski hanya seteguk.
Memang telah banyak bantuan kemanusiaan yang telah dan sedang dikirim ke sana, baik dari dalam maupun luar negeri. Tetapi sudah tentu semuanya masih jauh dari mencupupi, terutama untuk mengembalikan kehidupan mereka seperti sediakala.
Para korban itu mayoritas beragama Islam. Sehingga bagi umat Islam, peristiwa ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri seberapa besar kecintaannya kepada saudaranya sesama muslim diwujudkan. Nabi menyatakan bahwa kecintaan kita kepada saudara seagama itu paling tidak sama dengan kecintaan kita pada diri sendiri. Kita pun bisa membayang kalau peristiwa itu menimpa kita.
Di sisi lain, seorang yang beriman sudah tentu menjadikan Tuhan sebagai orientasi hidupnya. Apa pun dan di mana pun jalan menuju-Nya akan ditempuh. Masyarakat yang terkena musibah yang sekarang sedang menderita sakit fisik dan mental serta diperparah dengan kelaparan sudah tentu Ia berada di samping mereka, seperti yang tersirat dalam hadits di atas.
Artinya, uluran bantuan yang kita berikan bukan semata-mata berdimensi kemanusiaan, tetapi juga berdimensi ketuhanan. Inilah salah satu saat yang tepat untuk membuktikan sikap keberagamaan secara utuh (vertikal dan horizontal). Apalagi Islam sangat jelas memberikan parameter kesalehan bukan hanya pada praktik ibadah mahdlah tetapi juga pada ibadah sosial.
Dalam hal ini perilaku Abu Hurairah yang menuturkan sabda Nabi di atas dapat dijadikan sebagai teladan. Ketika beliau sedang beritikaf di Masjid Nabawi, tiba-tiba didapatinya seorang lelaki yang sedang bersedih duduk di sudut masjid. Abu Hurairah mendekatinya dan bertanya perihal kesedihannya. Begitu mengetahui persoalannya, Abu Hurairah berkata, "Ayo berdirilah bersamaku, aku akan memenuhi kebutuhanmu."
Lelaki itu berkata, "Apakah engkau akan meninggalkan itikafmu di Masjid Rasul yang mulia ini hanya demi aku?" Abu Hurairah menangis dan berkata, "Aku mendengar Nabi bersabda, "Berjalannya seorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan saudaranya hingga terpenuhi, lebih baik baginya daripada itikafnya di masjidku ini selama sepuluh tahun."
Alangkah indahnya ungkapan sebuah syair Arab yang menggambarkan kebahagiaan orang yang membantu saudaranya, "Engkau melihatnya begitu bahagia dengan sesuatu yang diberikannya kepadamu, seakan-akan engkaulah yang memberikan kepadanya sesuatu yang kau minta."
Sudah tentu, perilaku Abu Hurairah ini merupakan satu dari sekian banyak perilaku para salaf al-salih yang dapan diteladani oleh umat Islam sepanjang jaman.

Kamis, 30 Januari 2014

Bencana Alam



Seperti sudah menjadi kebiasaan, tiap musim penghujan ada banyak bencana alam yang terjadi. Ada banjir, tanah longsor, banjir bandang, sapuan angin puyuh, dll. Semua musibah tersebut bukan hanya menelan korban, tetapi juga menyisakan kerusakan infrastruktur dan persoalan sosial kemasyarakatan yang sama-sama membutuhkan penangan sesegera mungkin.
Semua bencana itu merupakan musibah yang memprihatinkan. Ironinya, berbagai bencana yang terjadi belum banyak mengusik kesadaran masyarakat untuk segera melihat lebih jernih sikap mereka selama ini terhadap alam dan lingkungan. Alih-alih menjadi sebuah peringatan, bencana malah mulai marak menjadi komoditi tersendiri bagi kepentingan ekonomi dan politik.
Kenapa semua bencana itu terjadi meski dapat dikaji secara ilmiah, tetapi tidak dapat dilupakan juga bahwa hal itu merupakan peringatan Allah kepada manusia terutama mereka yang lupa diri, lupa asal dan tempat mereka akan kembali. Karenanya, ungkapan yang terucap dari seorang yang beriman pada saat tertimpa musibah adalah inna lillah wa inna ilaihi raji'un (kita semua milik Alllah dan kepada-Nya kita kembali).
Dinyatakan sebagai peringatan sebab setiap bencana tidak lepas dari ulah manusia sendiri. Keistimewaan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya justru membuatnya berlaku semaunya sendiri, termasuk kurang atau tidak mengindahkan ekosistem alam. Negeri yang gemah limpah loh jinawi ini berubah menjadi negeri langganan bencana tidak lain akibah ulah bangsa ini dalam menyikapi alam.
Allah berfirman: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagiaan dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (30: 41);
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu, Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik." (2: 59);
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh tanganmu sendiri." (42: 30)
Dari sini tidak salah jika kemudian ada yang memahami bukan sekedar peringatan, tetapi sudah merupakan azab Allah. Dalam hal ini Allah telah mencontohkan dengan azab yang diberikan kepada Bani Israel di zaman dulu akibat perbuatan-perbuatan mereka yang melampaui batas, seperti dalam firman Allah, antara lain:
"...Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas." (2: 61)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka melampaui batas." (3: 112)
"Barangsiapa yang membelakangi orang-orang yang kafir (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan (sendiri) yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam." (8: 16)
Tetapi bagi sebagian orang, semua musibah dan anugerah pada hakekatnya berkedudukan sama, yaitu sama-sama merupakan ujian dan cobaan atas keislaman, kesungguhan, kesabaran, dan kepasrahan mereka, seperti firman Allah, antara lain:
"Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (2: 155)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan. Mereka digoncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 'Bilakah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.'" (2: 214)
"Apa kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (3: 142)
Lepas dari perbedaan pola penyikapan tersebut, sebagai seorang mukmin sudah sepatutnya kita menerima segala musibah yang menimpa itu sebagai peringatan, agar kita mawas diri dan memperbaiki diri; dan sebagai ujian bagi meningkatkan kesabaran, tawakal dan kedekatan kita kepada Allah.
Di samping itu kita harus merubah sikap kita dalam dalam menyikapi alam. Program penghijauan misalnya, agar jangan hanya menjadi komoditas ekonomi dan politik semata, tetapi benar-benar terlaksana sebagai wujud sikap ramah kita terhadap alam. Wallahu a’lam bi al-shawab.