Kamis, 24 Juli 2014

Puasa, Keimanan dan Ketakwaan



Kewajiban puasa di bulan Ramadlan bagi umat Islam didasarkan pada firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa." (QS:2:183). Terdapat empat kata kunci (key word) untuk memahami lemih jauh firman ini, yaitu iman, puasa umat Islam, puasa umat sebelum Islam, dan taqwa.
Pertama, iman. Allah memberikan kewajiban puasa hanya kepada orang-orang yang beriman. Hal ini jelas menunjukkan adanya kaitan puasa dengan kwalitas keimanan. Segala aktivitas setiap muslim harus dilandasi dengan keimanan sebab tanpanya akan sia-sia di sisi Allah. Aktivitas yang tidak didasari keimanan diibaratkan-Nya seperti fatamorgana, "Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana, di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapakan susutau apapun." (QS:24:39). Di sini nampak bahwa sebuah perbuatan tanpa iman akan menjadi semata bayang-bayang, yang nampak seakan menjanjikan apa yang diharapkan, tetapi pada hakekatnya ia tiada ada artinya di sisi Allah.
Iman juga memberikan suasana psikologis yang harmoni kepada manusia. Dan pada gilirannya suasana ini dapat mendorongnya untuk menerima segala tugas yang diberikan kepadanya dengan lapang dada. Dengan kata lain, keimanan itu dapat mendorong manusia taat pada setiap ketentuan yang diberlakun bagi dan untuknya.
Kedua, puasa umat Islam. Secara syar'i kewajiban puasa adalah dalam bentuk menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dengan disertai niat. Setiap muslim yang menjalankannya dengan keimanan ia berhak mendapatkan balasan dari Allah, seperti difirmankan-Nya dalam sebuah hadits Qudsi, "Semua amalan anak adam milknya, kecuali puasa, ia adalah milik-Ku, dan Akulah yang akan memberikan pahala terhadap puasa tersebut." (HR. Bukhari Muslim).
Balasan ini merupakan penghargaan Allah yang amat tinggi terhadap ketulusan (ikhlas) orang yang berpuasa (sha’im) dalam merealisasikan kepatuhannya terhadap kewajiban yang telah diberikan-Nya. Karenanya Nabi menyatakan, "Barang siapa yang berpuasa (pada bulan Ramdlan) dengan penuh keimanan dan pengharapan atasa ridla Allah, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat." (HR. Bukhari-Muslim). Semua sikap ini dilahirkan oleh sha’im tidak lain merupakan manifestasi keimanan.
Penghapusan dosa ini bukan satu-satunya balasan puasa, meski dapat dikatakan ia merupakan balasan yang sangat tinggi. Allah juga menjadikan puasa sebagai pelindung bagi pelakunya dari api neraka, seperti disabdakan Nabi, "Puasa itu merupakan penghalang dari api neraka." (HR. Bukhari-Muslim). Bahkan Ia juga menyediakan satu pintu khusus di surga bagi mereka, yaitu ar-Rayyan. Tidak ada yang bisa masuk pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa (HR. Bukhari-Muslim). Allah juga akan mengkarunia dua kebagaiaan bagi yang berupasa: Kebahagiaan ketika berbuka puasa, dan kebahagaain ketika bertemu Allah dengan puasanya (HR. Bukhari-Muslim).
Ketiga, puasa umat sebelum Islam. Sebelum Islam lahir Allah memang telah mewajibkan puasa. Maryam, ibunda nabi Isa dapat dijadikan contoh. Ia telah bernadzar untuk berpuasa dengan cara tidak berbicara dengan siapapun (QS. 19:26). Puasa ini jelas berbeda dengan puasa umat Islam. Meski modelnya berbeda-beda tetapi tetap disebut puasa. Hal ini di samping menunjukkan adanya keterkaitan antara Islam yag dibawa Nabi dengan ajaran nabi dan rasul sebelumnya, juga menunjukkan besarnya hakikat yang terkandung dalam ibadah ini.
Dan keempat, taqwa. Puasa merupakan realisasi ketaqwaan, bahkan tujuan buapas itu sendiri adalah meningkatkan kualitas taqwa. Taqwa adalah berarti keimanan yang jujur kepada Allah, sehingga seorang yang bertaqwa (muttaqi) benar-benar mengamalkan ajaran Allah di mana dan kapan saja ia berada. Ia juga bersikap ekstra hati-hati terhadap hal-hal yang dilarang Allah. Ibarat sedang berjalan di atas jalan setapak yang penuh duri. Ia melangkah pelan-pelan supaya selamat dari tusukan duri. Demikian juga takwa, ia adalah sikap hati-hati dalam sekecil apapun langkahnya, takut kalau nanti langkahnya itu melanggar ajaran Allah.
Realisasi taqwa ini dalam puasanya adalah berusaha dengan jujur menjaga puasanya dari hal-hal yang merusaknya, padahal ia bisa membatalkannya dengan tanpa seorang pun tahu. Ia juga menjaganya agar tidak dirusak oleh dorongan hawa nafsunya, bahkan ketika ada orang yang mengejek atau mengajak bertengkar ia akan mengatakan, "Maaf saya sedang puasa." (HR. Bukhari Muslim)
Ia berusaha menjaga hatinya supaya senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala perbuatannya. Artinya segala bentuk perbuatannya merupakan cermin ketaqwaan. Pola sikap seperti ini yang akan menjauhkannya dari hal-hal negatif yang menimpanya. Kalaupun terjadi, itu merupakan ujian bukan musibah. Dan sikap ini pula yang akan mebawa pada kedamaian hidup. Seperti dijanjikan Allah, “Jika seluruh warga negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A'raf 7: 96).

Kamis, 17 Juli 2014

Puasa dan Kesehatan Mental

       Syari’at puasa jelas mengandung manfaat bagi pelakunya. Manfaat ini tidak hanya dalam bentuk balasan yang diterimakan nanti di akhirat. Tetapi ada manfaat yang secara langsung dirasakan, seperti manfaat bagi kesehatan fisik. Nabi menyatakan, “Berpuasalah kalian, kalian akan sehat.” (HR. Abu Na’im). Secara medis hal ini tepat karena berpuasa berarti memberikan jeda istirahat bagi pencernaan hingga tidak mudah aus. Ibarat mesin yang tidak pernah berhenti akan rusak juga.
         Puasa juga bermanfaat bagi kesehatan mental. WHO (organisasi Kesehatan Sedunia) telah membuat delapan kreteria untuk menilai orang dapat dikategorikan sebagai sehat secara mental, yaitu: Pertama, dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyatataan betapapun kenyataan itu buruk. Puasa, sudah tentu yang dilakukan dengan benar dan penuh penghayatan, akan memberi manfaat kepada pelakunya berupa tumbuhnya sikap lapang dada, toleran, dapat beradaptasi dengan segala keadaan, mampu meredam kemarahan hingga dapat terhindar dari konflik, dan yang lebih penting adalah kemampuan memanag keseimbangan antara dimensi rasional, emosional, dan bahkan spiritualnya.
Kedua, dapat merasakan kepuasan dari usaha atau perjuangannya. Nabi menyatakan bahwa “orang yang berpuasa itu memperoleh dua kenikmatan, yaitu saat berbukan dan saat bertemu Tuhannya.” Kenikmatan ini dirasakan oleh orang yang berpuasa, terutama yang pertama yang bisa dibuktikan saat ini. Di samping itu jika ia berusaha dapat menjalankan kewajiban puasa sebulan penuh dengan sebaik mungkin ia dijamin oleh Allah dapat kembali bersih sesuai dengan fitrahnya ketika telah memasuki Idul Fitri. Kepuasan ini memang tidak harus dirayakannya dengan hidup mewah dalam merayakan Idul Fitri, tetapi ia jelas merasakan kebersihan jiwanya, hingga ia pun semakin bersemangat dalam menjalankan beragam aktivitasnya.
Ketiga, merasa lebih paus memberi daripada menerima. Kreteria ini sangat jelas dibuktikan para sha’imin di bulan Ramadlan. Rasa lapar dan dahaga yang dirasakannya dapat menumbuhkan kepekaan sosialnya, hingga mereka tidak enggan bahkan sangat tertarik untuk melibatkan diri dalam turut menyeselaikan beragam kasus sosial yang terjadi di lungkungannya. Mereka merasakan secara langsung rasa lapar dan dahaga yang biasa dialami oleh fakir miskin, lebih jauh mereka juga dapat merasakan penderitaan orang-orang yang tertimpa musibah. Rasa ini yang dapat menumbuhkan keinginannya untuk gemar membantu orang lain.
Keempat, relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan. Puasa dilakukan dengan sikap tulus hanya karena Allah. Ketulusan ini menyiratkan bahwa sepanjang puaza shaim selalu mengingat-Nya, sebab jika tidak berarti ia telah melupakan penjagaan terhadap kerahasiaan puasa. Artinya selama puasa ia selalu dzikir kepada Allah. Sementara dzikir ini dapat menjadikannya memiliki ketenangan batin. Dengan demikian orang yang berpuasa memiliki daya tahan dan daya adaptasi terhadap stres, kecemasan, dan segala bentuk penderitaan karena semuanya telah diserahkan kepada Allah (tawakkal).
Kelima, dapat berinteraksi dengan orang lain, tolong menolong, dan saling memuaskan. Pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadlan disertai berbagai kegiatan ibadah yang lain, yang banyak dilakukan secara berjamaah, seperti buka bersama, shalat tarawih, tadarrus, dll. Artinya terbuka peluang bagi para shaimin untuk berinteraksi dan saling membantu terhadap kesusahan yang dialami orang lain. Bukankah puasa itu sendiri telah melahirkan kepekaan sosial.
Keenam, dapat menerima kegagalan sebagai pelajaran. Puasa itu terkait erat dengan kesabaran. Orang yang berpuasa dilatih untuk bersabar, setidaknya untuk tidak makan, minum, dan berhubungan seksual selama menjalankan puasa. Orang yang sabar tidak akan mudah kecewa, karena ia sangat sadar bahwa segala yang menimpa dirinya merupakan kehendak Yang Kuasa. Berbagai kegagalan dan musibah yang dialaminya dianggap sebagai keberhasilan yang tertunda. Justru ia menjadikan kegagalan itu sebagai pelajaran bagi sikapnya ke depan.
Ketujuh, dapat menyelesaikan permusuhan dengan baik. Puasa, secara syar'i memang hanya dengan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan seksual, tetapi untuk kesempurnaannya harus dibarengi dengan pengendalian diri agar tidak terjerumus pada sikap-sikap yang tergolong madzmumah (tercela) apalagi sesat. Dan ini direalisasikan dengan pengendalian diri hingga dapat berperilaku dalam frime positif. Hal ini seperti dianjurkan Nabi, "Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan ribut-ribut. Jika ada seseorang yang mencaci-maki atau mengajak berkelahi maka hendaklah ia berkata 'sesungguhnya aku sedang berpuasa'." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kedelapan, mempunyai rasa kasih sayang. Kepekaan sosial yang ditumbuhkan oleh puasa dapat diekspresikan dalam bentuk saling mengasihi dan menghormati antar sesama. Karena puasa memang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan antar sesama maka jelas orang yang berpuasa akan menolak kebencian dan permusuhan. Hal ini, paling tidak, kemudian diekspresikan dalam bentuk berhalal-bihalal saat Idul Fitri, di mana mereka dengan penuh kasih sayang memohon dan memberi maaf kepada setiap saudara seiman, bahkan sesama manusia.

Kamis, 03 Juli 2014

Tiga Pilar Ibadah

Hubungan antara manusia dengan Allah sejatinya adalah hubungan antara raja (al-malik) dan hamba (al-’abd). Raja memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja sesuai kehendanya. Sedangkan hamba harus mmemberikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada raja.
Hubungan ini dibuktikan dengan fungsi utama penciptaan manusia, yaitu hanya untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah (QS. 51:56). Istilah ’ibadah, dengan demikian, digunakan untuk menyebut fungsi utama manusia kaitannya dengan hubungannya dengan Allah tersebut.
Pengabdian kepada Allah merupakan pengabdian secara menyeluruh. Mencakup dimensi lahiriyah maupun batiniyah. Tegasnya, seluruh pekerjaan manusia merupakan manifestasi pengabdiaanya (ibadah) kepada Allah, baik pekerjaan dalam bentuk ’ibadah mahdlah (ritual) maupun berkaitan dengan hubungan dengan sesama manusia (mu’amalah).
Terdapat tiga pilar yang harus diperhatikan manusia untuk memaksimalkan fungsi utama penciptaannya tersebut, yaitu rasa hubb (cinta), khauf (takut), dan raja’ (harap). Hanya dengan menyeimbangkan ketiga pilar tersebut manusia akan mampu melakukan ibadah secara sempurna.
Pertama, rasa cinta merupakan pilar paling penting, karena hanya rasa cinta yang mampu menjadi motivasi terbesar bagi manusia untuk melakukan apa saja. Seseorang bisa melakukan suatu pekerjaan yang besar dan tidak rasional sekalupun hanya untuk memikan hati kekasihnya.
Bagi orang mukmin, cinta terbesarnya karus diberikan kepada Allah. Kemudian diberikan kepada Nabi-Nya, dan baru kemudian diberikan kepada yang lain, seperti orang tua, suami/istri, anak, dll. Urutan cinta seperti ini, sebagaimana diungkapkan Nabi, sekaligus merupakan tanda sempurna atau belumnya iman seseorang.
Cinta kepada Allah diwujudkan dalam bentuk cinta kepada Nabi. Dan cinta kepada Nabi dibuktikan dengan menjalani hidup sesuai dengan ajarannya dan meneladani seluruh akhlaknya. Allah berfirman, “Katakanlah (wahai muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3:31).
Kedua, rasa takut akan mendorong manusia untuk berupaya maksimal agar terhindar dari adzab dan murka Allah. Rasa takut inilah yang mampu menjaga konsistensi keimanan dan ibadah manusia. Pun dengan rasa takut ini manusia mampu mengendalikan diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Allah telah membuat aturan-aturan bagi manusia. Setiap aturan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Manusia juga telah diberi perangkat untuk membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Mampukah rasa takutnya menjadi pendorong kuat baginya untuk tunduk dan patuh pada aturan-aturan tersebut. Semua tergantung pada manusia sendiri.
Ketiga, rasa harap. Harapan yang terbesar bagi manusia adalah dapat meraih kebahagiaan dan ketenangan batin baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sudah tentu harapan terhadap kemewahan fisik duniawi bukan menjadi fokus utama. Yang utama adalah harapan terhadap kerelaah (ridla) Allah.
Harapan duniawi, seperti jabatan, harta, popularitas, dan lain-lain, hanya sekedarnya saja. Dikatakan demikian, karena ketertarikan manusia pada dunia merupakan kewajaran. Yang terpenting adalah menyikapi dunia agar memiliki peran besar untuk memperoleh akhirat yang lebih baik. Sikap seperti ini yang oleh Nabi dikatakan ”dunia sebagai cermin akhirat.”
Harapan paling besar bagi manusia adalah memperoleh kasih sayang dan kerelaah Allah. Dia akan mampu memperbesar harapannya ini, bahkan mungkin mampu meraihnya, jika dia mampu memperbesar rasa cinta dan takut kepada Allah.
Idealnya memang ketiga pilar tersebut harus menyertai seluruh aktivitas manusia setiap hari dan setiap saat. Sesuai dengan konsep ibadah atau pengabdian yang mencakup bentuk ritual dan mu’amalah. Meraih yang ideal ini merupakan satu keharusan bagi setiap muslim dan mukmin, sehingga kelak mereka akan mampu menghadap Allah dalam kondisi sebagai manusia sempurna (insan kamil).
Di samping itu, kadar ketiga pilar itu juga harus seimbang. Kedudukan ketiga pilar tersebut tak ubahnya kedudukan seekor burung, dimana rasa takut dan harap sebagai kedua sayapnya dan rasa cinta sebagai kepalanya. Burung tidak akan dapat terbang sempurna jika salah satu sayapnya koyak. Pun apabila kepalanya sakit.
Rasa takut yang berlebihan akan menyebabkan cepat putus asa, sedangkan rasa takut yang rendah akan mudah mengelincirkan pada kemaksiatan. Rasa harap juga demikian, jika berlebihan maka dapat menyebabkan mudah berlaku maksiat dan jika rendah maka akan mudah putus asa. Sedangkan rasa cinta menjadi pendorong utama untuk melakukan setiap pekerjaan.