Jumat, 15 Agustus 2014

Hidup Merdeka



Siapa pun baik sebagai pribadi maupun kelompok menginginkan dapat hidup secara merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad melawan penjajah tidak lain agar bangsa ini dapat hidup merdeka. Bahkan setelah bangsa ini berhasil mengusir para penjajah dari tanah air tercinta ini, bangsa ini memiliki satu komitmen untuk turut serta dalam menghapus segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Pahit getirnya hidup selama masa penjajahan mendorong bangsa ini untuk merebut kembali kebebasannya yang telah lama hilang.
Namun makna kemerdekaan yang hakiki sebenarnya bukanlah sekadar suatu kebebasan dari penjajahan, melainkan kebebasan untuk dapat hidup sesuai dengan fitrahnya, yaitu suatu sifat dasar manusia yang sesuai dengan tujuan penciptannya.
Kalau Tuhan menyatakan bahwa penciptaan manusia (dan jin) itu hanya untuk mengabdi atau beribadah kepada-Nya, seperti difirmankan Allah, "Dan Aku tidak menciptakan manusia dan jin selain agar mereka mengabdi kepada-Ku," (51:56) maka sudah tentu hal inilah yang menjadi orientasi kebebasan fitriah tersebut.
Untuk itu, yang disebut manusia merdeka adalah manusia yang hidup dalam fitrahnya, yang hidup dalam ketentuan dan pedoman penciptanya, dan yang hidup sesuai dengan hak asasinya sebagai manusia. Dikatakan demikian karena hidup merdeka memang merupakan hak asasi bagi setiap orang. Dan hidup bebas untuk melaksanakan keyakinan sesuai dengan fitrah juga merupakan hak dasar manusia yang sepatutnya tidak diganggu gugat.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kemerdekaan identik dengan kebebasan. Namun kebebasan di sini bukan berarti kebebasan yang tanpa batas. Kebabasan yang tanpa batas justru bertentangan dengan fitrah. Sebab kebebasan itu dibatasi oleh kecenderungan fitriah manusia sendiri. Dan karena kecenderungan ini telah mengorientasikan seluruh kehidupan manusia hanya kepada penciptanya, maka sudah tentu manusia harus tunduk pada aturan-aturan yang telah ditentukan oleh sang pencipta.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa hak untuk hidup bebas itu tidak dapat dipahami sebagai hidup sekehendak hati, karena justru dengan bertindak begitu manusia akan semakin terjauhkan dari orientasi hidup yang sebenarnya. Dia tidak akan mampu menjaga keseimbangan hidup karena dia cenderung bertindak dengan menggunakan caranya sendiri, seperti menghalalkan yang haram dan membolehkan yang terlarang (haram).
Di sisi lain, kebebasan yang tanpa batas juga bertentangan dengan hukum alam (sunnat Allah). Setiap individu memiliki kebebasan. Dan jika kebasan itu diungkapkan dengan tanpa batas maka sangat rentan timbulnya benturan antarindividu. Di sinilah signifikansi Allah menentukan norma-norma atau aturan-aturan bagi kehidupan manusia, yaitu untuk menjaga harmoni hidup. Dengan mematuhi peraturan tersebut kehidupan akan berjalan secara damai.
Tidak sedikit orang yang mengartikan kemerdekaan sebagai pencerminan kebebasan berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat tanpa dibatasi sekat-sekat aturan termasuk agama di dalamnya. Agama malah dianggap sebagai candu kebuntuan berpikir dan berkreasi sehingga harus disingkirkan dari arena kehidupan.
Tanpa disadari bahwa pemaknaan kemerdekaan seperti itu juga merupakan salah satu bentuk penjajahan kognitif yang justru hanya akan menjauhkan manusia dari fitrahnya dan dari orientasi hidupnya yang hakiki. Justru pemaknaan seperti itu akan melahirkan pola hidup yang mengesampingkan nila-nilai moralitas.
Sungguh tragis, mengaku hidup di negara merdeka, tetapi terjajah, terpasung dalam sistem kehidupan yang jauh dari kehidupan manusia yang hakiki.
Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk berpikir, berkreasi, berkehendak, dan berbuat dengan catatan bahwa kebebasan akan diartikan sebagai kemerdekaan bertindak apa saja yang nantinya akan bertemu pada suatu titik dogma Ilahiyah yang harus ditaati dan dijadikan pedoman hidup.
Dengan demikian, sungguh sangat tidak pantas bagi orang-orang yang beriman mencampakkan aturan Ilahi. "Dan tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (33: 36).
Dalam merealisasikan dogma ini pada tataran praktis memang terdapat banyak bentuk sesuai dengan hasil ragam bentuk penafsiran. Ini wajar-wajar saja mengingat sikap keberagamaan selain merupakan tradisi yang terwariskan dari Nabi juga merupakan hasil kreasi atau penafsiran (baca: ijtihad). Bukankah kecenderungan fitrah manusia untuk selalu berupaya mencari kebenaran telah mendorong manusia memiliki kreatifitas dalam rangka membidik kehendak sang penciptanya.
Dari sini kemerdekaan di samping mengandung makna kebebasan juga makna kebersamaan yang muncul dari suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan individu. Sebab tanpa adanya kesadaran ini jelas akan muncul sikap-sikap superior pada seorang atau sekelompok dan sebaliknya (inferior) pada yang lain. Kelompok pertama memiliki kecenderungan menjadikan kelompok kedua sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan-kepentingannya. Dan jelas sikap ini sama saja dengan penjajahan.
Tampaknya sikap ini merupakan salah satu agenda reformasi moral yang mendesak untuk diperjuangkan dalam bangsa yang telah menyatakan merdeka sejak 63 tahun yang lalu ini. Wallahu a'lam.

Senin, 11 Agustus 2014

Hanya Lima Menit Sebelum Tidur



Dalam menentukan sikap atau langkah tertentu seseorang kadang mengambilnya melalui satu tahap mekanisme pengambilan keputusan yang disebut evaluasi terlebih dahulu. Karena melalui evaluasi dapat diketahui plus-minus suatu aktifitas yang telah dilakukan, sehingga terbuka pikiran-pikiran alternatif ke depan yang cukup luas. Menimbang signifikansi evaluasi ini tak jarang ia diagendakan untuk dilaksanakan baik secara periodik maupun temporal. Evaluasi periodik biasanya digunakan untuk membahas aktifitas-aktifitas rutin. Sementara evaluasi temporal biasanya untuk persoalan-persoalan insidensial.
Seringkali seseorang menganggap terjadinya satu hal yang menyedihkan atau menyakitkan, seperti terpuruknya usaha yang ditekuni, menderita sakit, rumahnya terbakar, dan lain-lain, sebagai satu musibah yang sekaligus merupakan ujian Tuhan baginya. Seperti tercermin dalam satu ungkapan kepasrahan kepada Tuhan (tawakkal) yang cukup populer di masyarakat: “Tuhan, apa salahku hingga Kau timpakan kepadaku cobaan seberat ini”.
Padahal kalau dilihat dari sudut hukum kausalitas (sebab-akibat) yang menyertai perjalanan sunnatullah, belum dapat dipastikan bahwa kejadian itu merupakan musibah atau ujian. Bisa jadi justru merupakan siksaan Tuhan atas kesalahan (dosa) yang telah diperbuatnya yang dijatuhkan lebih awal, di dunia.
Sebagian orang mungkin tidak mempedulikan “musibah” tersebut sebagai ujian atau siksaan, karena secara esensial sama-sama menyusahkan. Sementara dia yakin tidak ada tempat bergantung selain Tuhan. Tetapi sebenarnya secara substansial keduanya memiliki implikasi yang berbeda. Cobaan akan berimplikasi pada kenaikan kedudukan seseorang di hadapan Tuhan. Sedangkan siksaan berimplikasi pada penghapusan dosa.
Ungkapan kepasrahan seperti itu tidak berlaku bagi seseorang yang sudah terbiasa melakukan evaluasi diri, mengingat dia dapat memastikan (meski tetap dalam batas relatifitas kemanusiaannya) hakikat sesuatu yang sedang menimpa dirinya. Tetapi bagi orang yang tidak terbiasa atau bahkan belum pernah mengevaluasi dirinya, ungkapan tersebut merupakan salah satu bentuk kepasrahannya kepada Tuhan.
Dalam perspektif transendental maupun sosial (hablun min Allah wa hablun min an-nas) kecenderungan pertama akan menimbulkan efek kepasrahan kreatif, karena adanya kesadaran terhadap apa yang sedang terjadi. Secara sosiologis, kesadaran ini akan melahirkan kepekaan sosial yang cukup tinggi. Seperti ungakapan al-Mawardi dalam bukunya Adab ad-Dunya wa ad-Din, bahwa dalam evaluasi diri seseorang tidak akan melepaskan dirinya dari eksistensinya sebagai makhluk sosial. Sehingga secara otomatis dia juga mengevaluasi orang lain. Tetapi tetap dalam kerangka mencari titik positif dalam konteks interaksi sosial. Sebaliknya, yang kedua hanya akan menimbulkan sikap angkuh baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, karena terbersit rasa tidak bersalah sedikit pun. Orang seperti ini tidak akan menyadari bahwa apa yang sedang terjadi pada dirinya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalaupun sadar, dia tetap akan terkalahkan oleh egonya.
Evaluasi diri ini erat kaitannya dengan ungkapan Nabi: “Siapa yang tahu dirinya, dia akan tahu Tuhannya”. Kesadaran ini akan mampu menjauhkan seseorang dari perilaku negatif (dzalim), karena dia memiliki kemampuan untuk meletakkan segala hal baik yang terkait dengan dirinya maupun masyarakat sesuai dengan proporsinya. Dalam konteks sosial dia akan benar-benar mampu menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di masyarakat.
KIAT AL-GHAZALI
Terkait dengan evaluasi diri ini, al-Ghazali memiliki satu kiat yang cukup efektif. Dia menyarankan agar seseorang sebelum melaksanakan aktifitasnya di pagi hari memohon kepada Tuhan agar selalu ditunjukkan pada jalan yang benar dan dilindungi. Dan di malam hari, setelah menyelesaikan seluruh aktifitasnya ia harus mengevaluasinya secara cermat, untuk mengetahui sisi positif maupun negatifnya. Sudah tentu, yang positif harus dikembangkan, sedang yang negatif harus dihapuskan, atau paling tidak dikurangi. Dengan demikian, ia akan selalu menatap hari esok dengan penuh kesadaran.
Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran nurani. Karenanya evaluasi ini harus dilaksanakan dengan hati yang jernih. Dimensi emosional ditekan sedemikian rupa sehingga dapat mengesampingkan kecenderungan negatif dalam diri. Karena evaluasi ini sekaligus merupakan satu bentuk perenungan diri dalam rangka penyadaran terhadap eksistensi kefitrahan manusia. Fitrah yang mengarahkan manusia untuk selalu cenderung pada kebenaran (hanif). Potensi inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kreasi-kreasi yang positif dalam rangka mendekatkan diri pada kebenaran mutlak (Tuhan).
Kiat ini berarti merupakan salah satu tuntutan agar siapa pun selalu bersikap proggrasif (salah satu ciri bagi manusia modern) dalam menatap hari esok, yaitu satu sikap yang mendorong untuk selalu berupaya menemukan hal-hal baru yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan menganggap hal yang telah berlalu hanya sebagai pengalaman sejarah yang berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan hari esok.
Hal ini relefan dengan ungkapan Ali bin Abu Thalib bahwa orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Orang yang merugi adalah yang hari ini sama dengan hari kemarin. Dan orang yang tersesat adalah yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Keberhasilah kelompok pertama tidak bisa dilepaskan dari optimalisasi peran evaluasi diri dalam menentukan sikap atau langkahnya. Untuk itu, menyisakan waktu barang lima menit sebelum tidur untuk digunakan mengeavaluasi diri akan mampu menjauhkan seseorang dari berbuat kesalahan.

Selasa, 05 Agustus 2014

Ihtiar dan Doa



Pada suatu hari Nabi masuk ke masjid, dilihatnya seorang sahabat duduk tepekur berdzikir, terlihat khusyu’ dengan mata berlinang air mata kebimbangan. Setelah didekati, ternyata dia adalah Abi Umamah al-Bahily, salah seorang sahabat yang dikenal tegar dalam memperjuangkan dan membela Islam.
Nabi kemudian menghampirinya, dan bertanya: “Apa gerangan yang menyebabkan kedukaan ini ?”
”Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang terlilit hutang teramat banyak sehingga aku tidak mampu melunasinya.” Keluh Abi Umamah.
Sejenak Nabi tertegun, kemudian bersabda; “Maukah kamu kuajarkan sebuah doa yang bisa membuat hatimu tenteram dan pula dapat menghilangkan kegelisahanmu?”
Abu Umamah mengangguk. Nabi lalu membacakan doanya, “Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazani wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasali wa a’udzu bika minal bukhli wal jubni wa a’udzu bika min ghalabatid daini wa qahrir rijal.”
(Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari rundungan sedih dan duka, aku berlindung kepadaMu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepadaMu dari sifat kikir dan penakut, dan aku berlindung kepadaMu dari beban hutang dan penindasan orang).
Meski tergolong pendek doa yang diajarkan Nabi tersebut, tetapi mampu membangkitkan gairah hidup Abu Umamah yang hampir terperosok dalam jurang keputusasaan. Dia pun bangkit dari duduknya dan menyingsingkan lengan bajunya untuk menapaki makna doa yang telah dia terima dari seorang utusan yang agung.
Dia memahami betul makna yang terkadung di dalam doa tersebut. Hal mana tekadnya yang kuat untuk membuktikan doanya dalam perilaku, telah menjadikannya seorang sahabat yang selalu optimis dalam menghadapi kehidupan dan tidak pernah sekalipun mengeluh apalagi putus asa dengan keadaan yang telah menimpanya. Akhirnya dia tergolong salah seorang yang disebutkan dalam Alqur’an “Yaitu mereka yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami memberi petunjuk kepada mereka dan sesungguhnya Allah bersama orang yang berbuat baik.”
Ahmad Musthafa al-Maraghi di dalam kitab tafsirnya menguraikan kata per kata doa Nabi tersebut. Al-Hamm artinya bingung. Bingung biasanya dapat menimbulkan rasa takut, seperti takut sakit,  tidak lulus tes, kesengsaraan, dll., serta selalu hawatir untuk menghadapi hari esok, sehingga hidupnya terasa berat. Padahal seorang mukmin seharusnya tidak gelisah menghadapi masa depan dan selalu yakin bahwa al-ghadd bi yadillah (masa depan di tangan Allah). Dengan begitu dia akan selalu optimis dengan tetap memaksimalkan ikhtiar.
Al-Hazan artinya susah dan sedih. Menyusahkan dan menyedihkan suatu musibah yang sudah terjadi. Susah dan sedih bukan tidak diperbolehkan. Boleh saja asal tidak terus berkelanjutan, karena jelas akan berpengaruh terhadap suasana hati dan pikiran. Dan pada gilirannya akan berpengaruh pula pada kinerja seseorang.
Biasanya orang yang terus larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, tanpa sadar dia akan terhanyut dalam andai-andaian dalam lamunan hampa. Sebuah sya’ir Arab menyebutkan ”Yang lalu biarlahlah berlalu, masa depan belumlah tahu, yang ada hanyalah sekarang yang sedang kau jalani.”
Al-’Ajz artinya perasaan lemah tidak berdaya. Melihat orang lain maju tidak mampu menjadi pemicu gairah kerja, dan justru menimbulkan rasa rendah diri dan ketidakmampuan. Padahal setiap manusia diberi kelebihan dari yang lainnya.
Al-Kasal artinya tidak punya kemauan atau sifat malas yang tanpa alasan. Rasa malas ini lahir ketika melihat pekerjaan yang dia pandang tidak sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini diperlukan keseimbangan kerja sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, sehingga semangat kerja tetap stabil dan selalu bergairah.
Al-Bukhl berarti pelit atau kikir. Seseorang yang telah meraih apa yang diinginkan dan menjadi lupa terhadap kesengsaraan orang lain, bahkan lupa terhadap jasa orang yang pernah membantunya untuk meraih apa yang diinginkannya.
Al-Jubn adalah sifat rakus dan pengecut akibat rasa takut hilangnya harta atau jabatan yang ada dalam genggamannya. Berat rasanya dia tinggalkan kekayaan yang dia raih. Akibatnya menjadi seorang manusia yang diliputi rasa takut dan muncul sifat sombong dengan hasil usahanya tersebut.
Ghalabatid dain ialah terlilit hutang seperti yang terjadi pada Abu Umamah. Dengan menghindari diri dan berlindung kepada Allah dari sifat al-hamm, al-huzn, al-’ajz, al-kasal, al-bukhl dan al-jubn akan mudah bagi seseorang untuk menyelesaikan semua masalahnya serta bisa melunasi hutang-hutangnya.
Yang terakhir ialah Qahr ar-rijal, yaitu mohon perlindungan dari penindasan manusia disebabkan menurunnya martabat karena berhutang, mengemis dll. Dengan permohonan ini, dia akan menjadi manusia yang terhormat di hadapan Allah dan sesama manusia.
Demikianlah, apabila seseorang dapat menjauhi sifat-sifat di atas dan mengamalkannya baik dalam doa maupun ikhtiar, pastilah dia akan mampu mencapai kebahagiaan yang diharapkan, serta hilanglah rasa tertekan atau stress seperti yang banyak dialami oleh masyarakat modern sekarang ini dan menjadi orang yang selalu optimis menghadapi masa depan.

Senin, 04 Agustus 2014

Dua Wasiat Nabi



Pada satu hari, Fatimah, putri Nabi, mendengar seorang yang berseru mengucapkan salam dari luar pintu. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Fatimah merasa berat untuk mengizinkan seseorang untuk masuk rumahnya, karena saat itu Nabi sedang terserang demam dan tertidur.
“Maaf ya, ayahku sedang demam,” kata Fatimah dari balik pintu yang dibuka sedikit sekedar untuk melihat siapa yang datang bertamu. Lalu ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata. Nabi bertanya pada Fatimah, “Siapa itu, wahai anakku?” “Tidak tahu, ayahku. Sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Saat itu Nabi menatap puterinya itu dengan pandangan yang jauh berbeda dari biasanya. Seolah pandangan terakhir yang hendak dikenang selamanya. “Ketahuilah, wahai putriku. Dia adalah yang menghapuskan kenikmatan sementara dan yang memisahkan pertemuan di dunia.
Dia adalah malaikatul maut,” Nabi menjelaskan.
Penjelasan itu sangat mengejutkan Fatimah, hingga ia tak mampu menahan ledakan tangisnya. Sangat manusiawi. Siapa pun akan sangat sedih jika mendengar kabar perpisahan dengan orang yang dikasihinya, terlebih orang tuanya sendiri.
Malaikat maut kemudian  menghampiri Nabi. Tetapi beliau menanyakan kenapa dia datangsendirian, kenapa malaikat Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian Izrail memanggil Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
Setelah Jibril datang, Nabi bertanya kepadanya dengan suara yang amat lemah, “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?”. Jibril menjawab “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,'
Tetapi jawaban Jibril itu ternyata tidak membuat Nabi merasa lega. Sorot matanya masih menyiratkan perasaan penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?,” tanya Jibril lagi. “Jelaskan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “'Jangan khawatir, wahai Rasulullah ! Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya’,” kata Jibril.
Detik-detik saat Izrail melaksanakan tugas untuk memisahkan roh dari jasad Nabi sudah semakin dekat. Perlahan ruh Nabi ditarik. Nampak seluruh tubuh Nabi bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” sangat perlahan dan samar aduhan Nabi kepada Jibril.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kamu melihatku, hingga kamu palingkan wajahmu, wahai Jibril?”
Tanya Nabi kepada malaikat pengantar wahyu itu. Jibil menjawab, “Siapakah orangnya yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal.”
Sebentar kemudian terdengar Nabi mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Nabi mulai dingin. Kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Ushikum bi al-shalati wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu).”
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan. Para sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Nabi yang mulai kebiruan. “Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).”
Sesaat kemudian Nabi akhir al-zaman telah berpulang ke hadirat Ilahi. Hidup manusia mulia yang memberi sinar kepada seluruh alam telah berakhir.
Begitulah gambaran detik-detik akhir menjelang ajal Nabi Saw. Ada dua wasiat yang disampaikan Nabi kepada Ali menjelang ajalnya, yaitu 1) tentang salat yang disandingkan dengan komitmen membela kaum lemah, dan 2) tentang sikap pihatin yang mendalam terhadap persoalan keumatan dan menjaga konsistensi sikap ini dalam setiap amal usaha yangdilakukan.
Pertama, salat adalah inti ibadah kepada Allah. Ia merupakan amal ibadah yang dihisah terlebih dahulu dan bahkan menjadi barometer penilaian amal seseorang kelak nanti di akhirat.  Karenyang, setiap orang tidak boleh mengesampingkan urusan salat ini dengan alasan apa pun.
Sikap terhadap salat ini juga harus diberikan pada komitmen untuk memperjuangkan kaum lemah.  Artinya tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan komitmen ini dengan alasan apa pun. Persoalan memperjuangkan perbaikan nasih buruh misalnya, perjuangan ini harus terus dikobarkan. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan perjuangan ini sebelum nasib buruh benar-benar telah diperlakukan secara manusiawi dan sejahtera.
Kedua, persoalan keumatan yang selalu muncul tidak boleh dicibir bahkan dijadikan komoditi politik, melainkan harus benar-benar dicarikan solusi yang efektif, sehingga ketenangan dan keamanan umat dari segala bentuk ancaman dapat terjaga.
Inilah sikap yang harus selalu diemban oleh setiap muslim, jika mereka merasa cinta kepada Nabinya. Karena sikap inilah yang nyata terucap dalam wasiat  beliau menjelang ajalnya.