Nabi
pernah bersabda, seperti dituturkan oleh Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya
di dalam tubuh ada segumpal darah. Jika ia baik maka akan seluruh tubuh ikut
baik, pun jika ia rusak maka seluruh tubuh akan ikut rusak. Ketahuilah ia adalah
hati.”
Teks
yang bermakna hati dalam hadis tersebut adalah qalb yang menunjukkan
arti berubah-rubah. Ada sepenggal syair Arab yang amat pepuler yang menunjukkan
qalb dalam arti demikian, yaitu ma summiya al-qalb illa li yatataqallabu
(tidak disebut hati kecuali karena berubah-rubah). Al-Ghazali menggambarkan
perubahan hati melebihi kecepatan didih air dalam kuali.
Saat
Nabi menghadapi isra’ dan mi’raj, ia dibersihkan dulu hatinya oleh Jibril. Kata
al-shadr (dada) dalam teks penggambaran peristiwa itu menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah jantung,bukan liver, karena jantung posisinya di dada.
Dalam
banyak kamus Arab-Indonesia, kata qalb bila berdiri sendiri bararti
hati, jantung atau akal. Untuk makna yang disebut terakhir ini seperti
disampaian oleh Al-Farra’ -seorang pakar bahasa Arab- dalam mengartikan ayat “Bagi
orang yang memiliki qalb.” (QS. Qaf : 37)
Dari
sini tampak adanya dua pemaknaan terhadap kata qalb, yaitu pemaknaan
secara biologis dan psikis. Namun keduanya menunjukkan karakter dan fungsi yang
sama, yaitu karakter mudah berubah dan fungsi penentu.
Di
samping itu, banyak ulama (terutama ulama Syafi’iyah) yang berpandangan bahwa
akal manusia itu berada di dalam qalb bukan otak. Lepas dari silang pendapat
tersebut, yang jelas hadis tersebut, seperti ditegaskan Imam Nawawi, menegaskan
agar manusia berupaya memperbaiki qalb serta menjaganya dari kerusakan.
Alasannya
sangat jelas bahwa hati merupakan motor penggerak utama aktivitas manusia. Jika
orang menghendaki jadi orang baik maka selayaknya ia menjaga hatinya agar ia
bisa bersinar (nurani), tidak sebaliknya menggelapkan (dhulmani).
Karena itu sejatinya perbedaan manusia itu terletak pada perbedaan hatinya.
Terkait
dengan hal ini, tercatat paling tidak ada tiga macam hati manusia. Pertama,
hati yang sehat, yaitu hati
yang selamat, hati yang bertauhid, di mana seseorang tidak akan selamat di hari
akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa hati ini. Allh berfirman, “(Yaitu)
hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak kecuali mereka yang datang
menemui Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari kesyirikan dan
kotoran-kotorannya).” (QS as-Syu’ara: 88-89)
Hati yang
sehat adalah hati yang terbebas dari jeratan hawa nafsu, selamat dari setiap
keinginan yang bertentangan dengan hukum Allah. Pemilik hati ini akan
senantiasa bersikap tenang dan tegar dalam menghadapi setiap permasalahan.
Kedua,
hati yang mati, yaitu hati yang tidak mengenal Tuhannya. Hati ini senantiasa menyelaraskan
jalan dengan hawa nafsu. Ia menutup diri dari petunjuk Tuhan. Sudah tentu
pemiliknya akan tersesat jalan, tidak mendapatkan kedamaian, serta akan
merasakan murka Allah.
Pemilik
hati ini bahkan ada yang sampai menentang Tuhan dengan menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat
23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Dan
ketiga, hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun mengandung
penyakit. Hati ini akan mengikuti unsur kuat yang mempengaruhinya. Pemilik hati
ini akan senantiasa berubah-ubah. terkadang ia berada dalam ketaatan dan
kebaikan, namun terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa. Sikap dan lakunya
akan selalu berubah sesuai dengan arus lingkungannya.
Termasuk
golongan yang manakah kita, tentu tidak ada yang tahu selain Allah dan diri
kita sendiri. Untuk itu, bersegera untuk menilik ke kedalaman hati merupakan
agenda mendesak kita sebelum lebih jauh kita menapaki jalan hidup ini.
Sebagai
bahan renungan, sepatutnya kita mengingat firman Allah dalam surat al-Kahfi
ayat 49, “Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan), lalu kamu akan
melihat orang-orang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya,
dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat
semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis).
Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.”