Terkait dengan
persoalan nikah terdapat satu hadith yang cukup populer karena hampir disitir
oleh setiap muballig dalam ceramahnya pada acara walimatul arus, yaitu ‘Nikah
itu merupakan sunnahku. Siapa saja
yang membenci sunnahku, dia bukan termasuk bagian dari kami.’
Dengan sabda ini Nabi mendorong kaum muslimin untuk
menikah, sebab ia dapat menghindarkan seseorang dari melakukan
penyimpangan-penyimpangan yang diakibatkan oleh organ seks (dosa). ‘Nikah itu
lebih dapat memejamkan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan,’ kata Nabi dalam
hadits yang lain. Artinya dengan menikah seseorang akan lebih dapat
mengendalikan diri dari melakukan perbuatan dosa yang bersumber dari organ seks.
Seorang yang sudah berkeluarga dapat dipastikan
memiliki penyaluran kebutuhan biologisnya. Sebesar apa pun fantasi seksualnya
akan tersalurkan dengan semestinya. Bukankah istri bagi suami adalah bagaikan
sawah ladang, hingga terserah kepadanya mau dekelola sesuai dengan
dikehendaknya. Sebaliknya, bagi orang yang belum nikah, apalagi bagi yang belum
memiliki kesibukan yang cukup menyita waktu, tak jarang terjerumus pada
penyaluran yang tidak semestinya. Padahal, penyaluran yang tidak semestinya
dapat menimbulkan bahaya yang luar biasa besarnya, seperti terjangkit penyakit
kelamin dan lain-lain. Belum lagi dampak sosial yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut.
Salah satu dampak sosial yang sangat besar dari
penyaluran seksual di luar nikah adalah lahirnya anak yang tidak memiliki orang
tua yang sah, yang dalam hukum Islam harus diperlakukan secara khusus, misalnya
jika dia perempuan maka yang bertindak sebagai wali dalam pernikahannya adalah
hakim, meskipun ibunya telah dinikahi lelaki yang menghamilinya. Untuk itu Nabi
mendorong umatnya untuk menikah, yang salah satu tujuannya adalah menjaga
keberlangsungan generasi manusia. Dengan demikian Islam juga tidak menghalalkan
hubungan bebas di luar meskipun dengan dalih penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia seperti yang terjadi di Barat.
Di samping itu, pernyataan Nabi tersebut juga
dapat dipahami sebagai satu kunci untuk menjaga kelanggengan sebuah pernikahan.
Sebab sunnah Nabi bukan hanya pada pelaksanaan akad nikahnya, melaikan mencakup
seluruh perbuatan usaha yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan pernikahan
tersebut. Karenanya, seluruh perbuatan itu dihitung ibadah. Dimensi ibadah ini
akan hilang bersamaan dengan berakhir atau putusnya suatu tali pernikahan.
Ketidaksenangan Tuhan terhadap perceraian salah satunya adalah karena faktor
terputusnya dimensi ibadah tersebut.
Menyadari bahwa nikah merupakan bagian dari ibadah
ini adalah sangat penting, karena setiap pernikahan memang seharusnya didasarkan
hanya semata-mata untuk menjalankan perintah Tuhan. Pernikahan yang hanya
didorong oleh kepentingan material, seperti kecantikan/ketampanan, jabatan, dan
lain-lain sering kali berakibat pada kehancuran rumah tangga yang dibangun. Hal
ini karena hal-hal material atau duniawiah itu bisa berkurang atau hilang.
Ketika hal-hal yang dijadikan orientasi pernikahan
itu berkurang atau hilang secara otomatis akan berpengaruh terhadap gairah
untuk membina rumah tangga. Kalau seseorang menikah karena kekayaan misalnya,
cintanya pun akan berkurang saat pasangan hidupnya menghadapi kesulitan materi
atau jatuh miskin. Demikian juga kalau didasarkan kepada jabatan. Jabatan bisa
hilang dan berakhir. Demikian juga satu pernikahan bisa berakhir kalau hanya
mempertimbangkan kecantikan. Kecantikan seorang wanita tentu saja akan memudar.
Sehingga dapat memunculkan untuk mencari pilihan lain yang lebih cantik.
Berbeda halnya ketika suatu pernikahan dilaksanakan
sebagai satu bentuk ketaatan kepada Tuhan. Pastilah ia akan langgeng karena tidak
ada yang diharap selain ridla-Nya semata. Selama manusia mau, ketaatan kepada Tuhan
tersebut tidak akan pernah sirna. Dan selama itu pula rumah tangga yang
dibangun tidak akan terkoyak, karena dia akan disibukkan oleh pencariannya
terhadap kerelaan Tuhan bagi keluarganya.
Tetapi karena pernikahan itu ibadah, sudah tentu
godaan dan cobaannya akan banyak. Dan hal ini sudah merupakan satu konsekuensi dari
keimanan seorang muslim. Tuhan tentu saja tidak membiarkan manusia semata-mata
mengatakan beriman. Dia pasti akan diuji. Di tengah menjalani ujian ini, pasangan
itu harus menjalani kehidupan dengan sabar dan ikhlas. Bisa jadi mereka ditimpa
kesulitan ekonomi, anak sakit, dan tiada tempat tinggal layak. Namun, karena
semua itu dianggap sebagai cobaan, maka akan dihadapi dengan tenang dan sabar. Dan
yakin bahwa cobaan itu tidak menjadi penghancur bagi sebuah ikatan pernikahannya.
Dan karena pernikahan itu ibadah, maka baik suami maupun
istri akan menjadikan syariat Islam sebagai standar kehidupan keluarganya. Hal
ini sangat penting karena bisa dipastikan sebuah keluarga akan pecah kalau
standar baik dan buruk yang digunakan berbeda. Kalau Tuhan memerintahkan suami
untuk bekerja keras mencari nafkah, maka dia pun menjalankannya dengan ikhlas.
Demikian pula istri. Dalam keluarga yang demikian, setiap terjadi perselisihan akan
dikembalikan kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dalam arti diselesaikan menurut aturan
yang telah digariskan-Nya.