Jumat, 28 Februari 2014

Nikah Itu Ibadah

Terkait dengan persoalan nikah terdapat satu hadith yang cukup populer karena hampir disitir oleh setiap muballig dalam ceramahnya pada acara walimatul arus, yaitu ‘Nikah itu merupakan sunnahku. Siapa saja yang membenci sunnahku, dia bukan termasuk bagian dari kami.’
Dengan sabda ini Nabi mendorong kaum muslimin untuk menikah, sebab ia dapat menghindarkan seseorang dari melakukan penyimpangan-penyimpangan yang diakibatkan oleh organ seks (dosa). ‘Nikah itu lebih dapat memejamkan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan,’ kata Nabi dalam hadits yang lain. Artinya dengan menikah seseorang akan lebih dapat mengendalikan diri dari melakukan perbuatan dosa yang bersumber dari organ seks.
Seorang yang sudah berkeluarga dapat dipastikan memiliki penyaluran kebutuhan biologisnya. Sebesar apa pun fantasi seksualnya akan tersalurkan dengan semestinya. Bukankah istri bagi suami adalah bagaikan sawah ladang, hingga terserah kepadanya mau dekelola sesuai dengan dikehendaknya. Sebaliknya, bagi orang yang belum nikah, apalagi bagi yang belum memiliki kesibukan yang cukup menyita waktu, tak jarang terjerumus pada penyaluran yang tidak semestinya. Padahal, penyaluran yang tidak semestinya dapat menimbulkan bahaya yang luar biasa besarnya, seperti terjangkit penyakit kelamin dan lain-lain. Belum lagi dampak sosial yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Salah satu dampak sosial yang sangat besar dari penyaluran seksual di luar nikah adalah lahirnya anak yang tidak memiliki orang tua yang sah, yang dalam hukum Islam harus diperlakukan secara khusus, misalnya jika dia perempuan maka yang bertindak sebagai wali dalam pernikahannya adalah hakim, meskipun ibunya telah dinikahi lelaki yang menghamilinya. Untuk itu Nabi mendorong umatnya untuk menikah, yang salah satu tujuannya adalah menjaga keberlangsungan generasi manusia. Dengan demikian Islam juga tidak menghalalkan hubungan bebas di luar meskipun dengan dalih penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia seperti yang terjadi di Barat.
Di samping itu, pernyataan Nabi tersebut juga dapat dipahami sebagai satu kunci untuk menjaga kelanggengan sebuah pernikahan. Sebab sunnah Nabi bukan hanya pada pelaksanaan akad nikahnya, melaikan mencakup seluruh perbuatan usaha yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan pernikahan tersebut. Karenanya, seluruh perbuatan itu dihitung ibadah. Dimensi ibadah ini akan hilang bersamaan dengan berakhir atau putusnya suatu tali pernikahan. Ketidaksenangan Tuhan terhadap perceraian salah satunya adalah karena faktor terputusnya dimensi ibadah tersebut.
Menyadari bahwa nikah merupakan bagian dari ibadah ini adalah sangat penting, karena setiap pernikahan memang seharusnya didasarkan hanya semata-mata untuk menjalankan perintah Tuhan. Pernikahan yang hanya didorong oleh kepentingan material, seperti kecantikan/ketampanan, jabatan, dan lain-lain sering kali berakibat pada kehancuran rumah tangga yang dibangun. Hal ini karena hal-hal material atau duniawiah itu bisa berkurang atau hilang.
Ketika hal-hal yang dijadikan orientasi pernikahan itu berkurang atau hilang secara otomatis akan berpengaruh terhadap gairah untuk membina rumah tangga. Kalau seseorang menikah karena kekayaan misalnya, cintanya pun akan berkurang saat pasangan hidupnya menghadapi kesulitan materi atau jatuh miskin. Demikian juga kalau didasarkan kepada jabatan. Jabatan bisa hilang dan berakhir. Demikian juga satu pernikahan bisa berakhir kalau hanya mempertimbangkan kecantikan. Kecantikan seorang wanita tentu saja akan memudar. Sehingga dapat memunculkan untuk mencari pilihan lain yang lebih cantik.
Berbeda halnya ketika suatu pernikahan dilaksanakan sebagai satu bentuk ketaatan kepada Tuhan. Pastilah ia akan langgeng karena tidak ada yang diharap selain ridla-Nya semata. Selama manusia mau, ketaatan kepada Tuhan tersebut tidak akan pernah sirna. Dan selama itu pula rumah tangga yang dibangun tidak akan terkoyak, karena dia akan disibukkan oleh pencariannya terhadap kerelaan Tuhan bagi keluarganya.
Tetapi karena pernikahan itu ibadah, sudah tentu godaan dan cobaannya akan banyak. Dan hal ini sudah merupakan satu konsekuensi dari keimanan seorang muslim. Tuhan tentu saja tidak membiarkan manusia semata-mata mengatakan beriman. Dia pasti akan diuji. Di tengah menjalani ujian ini, pasangan itu harus menjalani kehidupan dengan sabar dan ikhlas. Bisa jadi mereka ditimpa kesulitan ekonomi, anak sakit, dan tiada tempat tinggal layak. Namun, karena semua itu dianggap sebagai cobaan, maka akan dihadapi dengan tenang dan sabar. Dan yakin bahwa cobaan itu tidak menjadi penghancur bagi sebuah ikatan pernikahannya.
Dan karena pernikahan itu ibadah, maka baik suami maupun istri akan menjadikan syariat Islam sebagai standar kehidupan keluarganya. Hal ini sangat penting karena bisa dipastikan sebuah keluarga akan pecah kalau standar baik dan buruk yang digunakan berbeda. Kalau Tuhan memerintahkan suami untuk bekerja keras mencari nafkah, maka dia pun menjalankannya dengan ikhlas. Demikian pula istri. Dalam keluarga yang demikian, setiap terjadi perselisihan akan dikembalikan kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dalam arti diselesaikan menurut aturan yang telah digariskan-Nya.

Makin Bersih dan Nikmat Dengan Berkhitan

Dalam khazanah fikih Islam, khitan didefinisikan sebagai satu perbuatan memotong kulit bagian ujung (kulup) yang menutup bagian depan kemaluan bagi laki-laki, atau sedikit bagian atas alat kelamin bagi perempuan. Khitan, yang oleh sebagian masyarakat diistilahkan ‘sunat’, ini bertujuan untuk menjaga kebersihan fisik dari kotoran. Di samping itu, khitan juga berfungsi agar seseorang dapat menahan kencing sehingga tidak mengurangi kenikmatannya dalam bersenggama.
Bagian depan kelamin yang tertutup kulup itu, dalam pandangan fikih, dianggap sebagai bagian luar yang harus dibersihkan dan disucikan. Membiarkannya dalam keadaan kotor jelas berpengaruh terhadap aktifitas ibadah seperti shalat. Seorang yang hendak menjalankan shalat disyaratkan harus suci dari hadats (kotoran) kecil seperti kentut dan memegang kemaluan, atau hadats besar seperti junub dan dari najasah (hal-hal yang termasuk kategori najis). Apabila ujung kemaluannya tidak disucikan maka shalatnya tidak sah karena masih adanya najis yang melekat di tubuhnya. Mungkin dia dapat mensucikannya tanpa harus berkhitan, tetapi hal itu sangat merepotkan, sehingga sangat disarankan untuk berkhitan.
Untuk itu, di dalam literatur fikih Islam, khitan dimasukkan sebagai bagian dari persoalan thaharah (bersih diri), meskipun tentang hukumnya ada banyak pendapat. Mayoritas ulama menyatakan bahwa khitan itu wajib. Tetapi dalam mazhab Syafi'i, mazhab yang banyak diikuti oleh umat Islam di negeri ini, ditetapkan sebagai sunnah muakkadah (sunat yang dikuatkan) bagi laki-laki, dan sekadar anjuran bagi kaum perempuan. Perdapat ini didasarkan pada sabda Nabi, ’Ada empat hal yang termasuk dalam sunah Nabi, yaitu khitan, memakai wangi-wangian, bersiwak, dan menikah’; ‘Khitan itu disunatkan bagi kaum laki-laki dan dimuliakan bagi kaum wanita.’
Khitan juga sudah dianalisis secara medis. Dan hasilnya menunjukkan bahwa khitan sangat baik dan bahkan dapat menunjang kesehatan badan. Hal ini karena berkhitan itu dapat membersihkan segala kotoran yang menempel di kulit kelamin, sehingga sangat efektif untuk menghindari kuman yang bersarang pada kelamin. Berdasar hasil analisis tersebut, dewasa ini tidak sedikit warga non-muslim di AS dan Eropa yang tertarik untuk melakukan khitan.
Analisis medis itu juga menunjukkan bahwa khitan juga dapat menambah rasa nikmat dalam hubungan suami-istri. Kenyataan ini seperti ditunjukkan oleh pengakuan sebagian umat muslim keturunan Cina di negeri ini bahwa mereka merasakan kenikmatan yang lebih saat berhubungan dengan istrinya dibanding sebelum mereka masuk Islam dan berkhitan.
Tradisi khitan ini sebenarnya tidak hanya bermula pada zaman Nabi Muhammad. Sejak pada zaman Nabi Ibrahim tradisi khitan sudah berlangsung. Kenyataan sejarah ini seperti diuraikan oleh Nabi bahwa ‘Ibrahim kekasih Tuhan, berkhitan setelah berusia 80 tahun. Dia dikhitan dengan menggunakan kapak.’ Ungkapan ini bukan berarti Nabi menyarankan untuk berkhitan pada usia dewasa atau bahkan sudah lanjut usia. Justru dia menganjurkan agar sebaiknya khitan itu dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Imam al-Baihaqi menyebutkan bahwa ‘Nabi mengelenggarakan walimat aqiqah (menyembelih kambing dua untuk anak laki-laki dan satu untuk anak perempuan) untuk cucunya Hasan dan Husain dan mengkhitannya pada hari ketujuh kelahiran dari kelahirannya.’
Di negeri ini pelaksanaan khitan berbeda-beda. Ada yang disesuaikan dengan pelaksanaan Nabi tersebut. Ada juga yang dilaksanakan pada usia anak-anak. Hal ini tidak jadi masalah, asal tradisi berkhitan itu terus dijalankan. Bahkan tradisi ini ada yang dikemas dalam satu paket acara amal, seperti khitanan masal, yang biasanya dilakukan terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Namun tradisi khitan ini masih ada yang mempersoalkan, terutama bagi perempun. Yang dipersoalkan adalah alasan pelaksanaan khitan bagi perempuan itu, yaitu mengurangi gairah seksualnya. Hal ini dianggap telah merenggut hak perempuan untuk mendapatkan kenikmatan dalam berhubungan badan. Alasan tersebut ada benarnya. Tetapi ada banyak doktrin agama yang menegaskan tentang kejahatan yang ditimbulkan oleh naluri seks perempuan, sehingga perempuan harus diperlakukan dan memperlakukan diri sebaik mungkin. Nabi menggambarkan perempuan sebagai tiang penyangga negara. Jika dia baik maka seluruh masyarakat akan merasa aman, tenteram sejahtera. Sebaliknya apabila dia buruk maka ketenteraman dan kesejahteraan itu akan sulit dicapai.
Mereka juga menyatakan bahwa tradisi khitan itu tidak berakar dari Islam tetapi dari tradisi Arab. Dalam hal ini patut dipahami pernyataan jujur dan terbuka Nabi bahwa dia tidak membuat hal-hal baru melainkan menyempurnakan tradisi yang sudah ada dengan memberinya muatan nilai-nilai yang Islami. Bahkan dengan dasar ini Islam selalu dapat mengikuti perkembangan sejarah kemanusiaan (salihun li kulli zaman wa makan). Karena itu Islam tidak hanya mempertimbangkan bentuk suatu tradisi tetapi lebih dari itu yaitu nilai-nilai yang ada di dalam tradisi itu.
Perdebatan itu sudah selayaknya tidak diperpanjang. Biar masyarakat yang menentukan pilihannya. Bagi yang tidak melaksanakannya, asal dia dapat menjaga diri dari apa yang semestinya dijaga melalui khitan, dia diberi kebebasan penuh untuk itu. Sama halnya orang lain juga punya kebebasan untuk mengekspresikan pola keberagamaannya (berkhitan).