Minggu, 05 Juli 2015

Bulan Investasi

         Utsman bin Affan terkenal sebagai seorang sahabat Nabi yang memiliki kedermawanan yang cukup tinggi. Komitmennya yang sangat tinggi terhadap terciptanya suatu kehidupan sosial yang berkeadilan telah berkali-kali dibuktikan dengan menginvestasikan (baca: sadaqah) sebagian hartanya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Kebiasaannya untuk berderma ini juga ditularkan kepada sahabat-sahabat Nabi yang lain. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan ajakannya kepada serombongan pedagang dari Syam untuk meringankan beban derita krisis ekonomi yang dialami oleh umat Islam pada masa pemerintahan khalifah Umar.
        Dikisahkan bahwa rombongan pedagang itu sejumlah seribu unta dengan membawa berbagai macam bahan makanan dan pakaian, yang pada masa sulit seperti itu jelas tidak ternilai harganya. Sesampainya di Madinah, sekelompok dari mereka menghadap Utsman untuk meminta izin agar diperbolehkan menjual barang dagangannya kepada penduduk kota. Ia kemudian mengajukan satu penawarkan, “Berapa kalian memberiku keuntungan?” Mereka menjawab, “Lima persen.” Ia bertanya lagi, “Ada orang yang berani memberiku keuntungan yang lebih besar.” Mereka pun berkata lagi, “Enam persen.”
      “Ada orang yang berani memberiku keuntungan yang lebih besar,” lagi-lagi Utsman mengajukan penawaran. Kemudian mereka terus menaikkan harga sampai akhirnya mencapai sepuluh persen. Utsman kemudian berkata kepada mereka, “Masih ada yang memberiku keuntungan lebih banyak.”  Mereka berkata, “Kami tidak pernah mengenal ada pedangan yang berani memberi keuntungan lebih banyak dari sepuluh persen. Kami adalah para pedagang Syam, siapa yang berani memberimu keuntungan lebih besar?”
         Utsman pun menjawab, “Aku tahu orang yang memberiku tujuh ratus bahkan lebih dari itu sebagai ganti dari satu dirham. Aku tahu Allah berfirman, ‘Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menimbulkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Ia kehendaki.’ Saksikanlah bahwa aku menjual barang-barang itu kepada Allah sebagai sedekah kepada kaum muslimin.”
        Merenungkan kembali kisah ini tampaknya memiliki relevansi yang cukup signifikan dalam konteks Ramadhan saat ini. Tepatnya sebagai suatu upaya meratakan jalan bagi peningkatkan taraf sosial ekonomi umat dan bangsa setelah didera krisis yang berkepanjangan. Memang sebagian besar bangsa ini melalui Ramadlan kali ini dengan tertatih-tatih, karena kompleksitas persoalan yang mengakibatkan terpuruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama lapisan bawah, belum nampak ditemukan pola pemecahan yang efektif sehingga belum ada indikasi yang mampu menunjukkan membaiknya kondisi ekonomi mereka.
       Untuk itu, diharapkan Ramadlan kali ini dapat dimanfaatkan sebagai satu moment terutama oleh golongan aghniya’ (kaya) untuk bersedia melakukan ‘transaksi dengan Tuhan’ dengan menginvestasikan sebagian modalnya dalam kegiatan-kegiatan yang mampu mendorong perbaikan taraf ekonomi masyarakat.
        Investasi tersebut merupakan suatu usaha yang pasti untung, bahkan keuntungannya akan berlipat ganda dibanding dengan investasi selain di bulan ini. Tuhan sendiri telah memberikan jaminan bahwa siapa saja yang mau melakukan hal ini ia akan mendapatkan kelipatan keuntungan mencapai tujuh ratus bahkan bisa lebih.
        Namun begitu, diharapkan investasi ini tidak dalam bentuk barang instan, yang hanya dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi suatu bentuk investasi yang lebih menekankan pada aspek pemberdayaan, sehingga mampu memberikan implikasi dalam jangka panjang. Dalam term keagamaan investasi ini tidak hanya dalam bentuk sedekah biasa melainkan dalam bentuk sedekah jariyah.
       Sudah tentu kesediaan berinvestasi ini didorong oleh suatu kesadaran terhadap rasa kemanusiaan. Dalam hal ini puasa telah menyediakan potensi untuk itu, yakni puasa sebagai satu media menyucian jiwa sehingga dalam konteks sosial orang yang berpuasa dapat memiliki hati nurani yang peka terhadap kondisi sekelilingnya, terutama kondisi keterpurukan sosial ekonomi golongan mustadh’afin (lemah, miskin).
       Seperti sering disinggung oleh para muballig dalam ceramah Ramadlannya bahwa rasa lapar saat puasa itu pasti dialami oleh siapa saja yang menjalankanya, tidak memandang ia dari golongan mustadh’afin atau aghniya’. Dan bagi golongan yang disebut terakhir inilah diharapkan muncul suatu kesadaran bahwa yang sedang dialaminya itu (rasa lapar) hampir dialami setiap hari oleh golongan mustadh’afin. Di sinilah titik awal lahirnya suatu kesadaran untuk melakukan usaha-usaha dalam rangka pengetasan kemiskinan melalui investasi tersebut.
         Barangkali tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa puasa golongan aghniya’ tidak akan sempurna jika tidak disertai dengan kamauan untuk berinvestasi ini, sebab hanya dengan begitu puasanya akan lebih bermakna. Tetapi bagi golongan mustadh’afin pun sebenarnya tidak boleh berkecil hati, karena ia tetap dapat melakukan investasi, yaitu dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahmid (al-hamdulillah), tahlil (lailaha illillah), dan lain-lain.