Utsman
bin Affan terkenal sebagai seorang sahabat Nabi yang memiliki kedermawanan yang
cukup tinggi. Komitmennya yang sangat tinggi terhadap terciptanya suatu
kehidupan sosial yang berkeadilan telah berkali-kali dibuktikan dengan
menginvestasikan (baca: sadaqah) sebagian hartanya untuk kemaslahatan dan
kesejahteraan umat. Kebiasaannya untuk berderma ini juga ditularkan kepada
sahabat-sahabat Nabi yang lain. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan
ajakannya kepada serombongan pedagang dari Syam untuk meringankan beban derita
krisis ekonomi yang dialami oleh umat Islam pada masa pemerintahan khalifah
Umar.
Dikisahkan
bahwa rombongan pedagang itu sejumlah seribu unta dengan membawa berbagai macam
bahan makanan dan pakaian, yang pada masa sulit seperti itu jelas tidak
ternilai harganya. Sesampainya di Madinah, sekelompok dari mereka menghadap
Utsman untuk meminta izin agar diperbolehkan menjual barang dagangannya kepada
penduduk kota. Ia kemudian mengajukan satu penawarkan, “Berapa kalian memberiku
keuntungan?” Mereka menjawab, “Lima persen.” Ia bertanya lagi, “Ada orang yang
berani memberiku keuntungan yang lebih besar.” Mereka pun berkata lagi, “Enam
persen.”
“Ada
orang yang berani memberiku keuntungan yang lebih besar,” lagi-lagi Utsman
mengajukan penawaran. Kemudian mereka terus menaikkan harga sampai akhirnya
mencapai sepuluh persen. Utsman kemudian berkata kepada mereka, “Masih ada yang
memberiku keuntungan lebih banyak.”
Mereka berkata, “Kami tidak pernah mengenal ada pedangan yang berani
memberi keuntungan lebih banyak dari sepuluh persen. Kami adalah para pedagang
Syam, siapa yang berani memberimu keuntungan lebih besar?”
Utsman
pun menjawab, “Aku tahu orang yang memberiku tujuh ratus bahkan lebih dari itu
sebagai ganti dari satu dirham. Aku tahu Allah berfirman, ‘Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menimbulkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Ia
kehendaki.’ Saksikanlah bahwa aku menjual barang-barang itu kepada Allah
sebagai sedekah kepada kaum muslimin.”
Merenungkan
kembali kisah ini tampaknya memiliki relevansi yang cukup signifikan dalam
konteks Ramadhan saat ini. Tepatnya sebagai suatu upaya meratakan jalan bagi
peningkatkan taraf sosial ekonomi umat dan bangsa setelah didera krisis yang
berkepanjangan. Memang sebagian besar bangsa ini melalui Ramadlan kali ini
dengan tertatih-tatih, karena kompleksitas persoalan yang mengakibatkan terpuruknya
kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama lapisan bawah, belum nampak
ditemukan pola pemecahan yang efektif sehingga belum ada indikasi yang mampu
menunjukkan membaiknya kondisi ekonomi mereka.
Untuk
itu, diharapkan Ramadlan kali ini dapat dimanfaatkan sebagai satu moment
terutama oleh golongan aghniya’ (kaya) untuk bersedia melakukan ‘transaksi
dengan Tuhan’ dengan menginvestasikan sebagian modalnya dalam kegiatan-kegiatan
yang mampu mendorong perbaikan taraf ekonomi masyarakat.
Investasi
tersebut merupakan suatu usaha yang pasti untung, bahkan keuntungannya akan
berlipat ganda dibanding dengan investasi selain di bulan ini. Tuhan sendiri
telah memberikan jaminan bahwa siapa saja yang mau melakukan hal ini ia akan
mendapatkan kelipatan keuntungan mencapai tujuh ratus bahkan bisa lebih.
Namun
begitu, diharapkan investasi ini tidak dalam bentuk barang instan, yang hanya
dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi suatu bentuk
investasi yang lebih menekankan pada aspek pemberdayaan, sehingga mampu
memberikan implikasi dalam jangka panjang. Dalam term keagamaan investasi ini
tidak hanya dalam bentuk sedekah biasa melainkan dalam bentuk sedekah jariyah.
Sudah
tentu kesediaan berinvestasi ini didorong oleh suatu kesadaran terhadap rasa
kemanusiaan. Dalam hal ini puasa telah menyediakan potensi untuk itu, yakni
puasa sebagai satu media menyucian jiwa sehingga dalam konteks sosial orang
yang berpuasa dapat memiliki hati nurani yang peka terhadap kondisi
sekelilingnya, terutama kondisi keterpurukan sosial ekonomi golongan
mustadh’afin (lemah, miskin).
Seperti
sering disinggung oleh para muballig dalam ceramah Ramadlannya bahwa rasa lapar
saat puasa itu pasti dialami oleh siapa saja yang menjalankanya, tidak
memandang ia dari golongan mustadh’afin atau aghniya’. Dan bagi golongan yang
disebut terakhir inilah diharapkan muncul suatu kesadaran bahwa yang sedang
dialaminya itu (rasa lapar) hampir dialami setiap hari oleh golongan
mustadh’afin. Di sinilah titik awal lahirnya suatu kesadaran untuk melakukan
usaha-usaha dalam rangka pengetasan kemiskinan melalui investasi tersebut.
Barangkali tidak terlalu berlebihan jika dikatakan
bahwa puasa golongan aghniya’ tidak akan sempurna jika tidak disertai dengan
kamauan untuk berinvestasi ini, sebab hanya dengan begitu puasanya akan lebih
bermakna. Tetapi bagi golongan mustadh’afin pun sebenarnya tidak boleh berkecil
hati, karena ia tetap dapat melakukan investasi, yaitu dengan memperbanyak
bacaan tasbih (subhanallah), tahmid (al-hamdulillah), tahlil (lailaha
illillah), dan lain-lain.