Qatadah bin Nu’man pernah menuturkan sebuah kisah
tentang sikap khianat yang dilakukan oleh orang munafik. Di antara bangsa Arab
terdapat satu keluarga yang dikenal dengan sebutan Banu Ubairiq, yaitu
Mubasyair, Basyar, dan Basyir. Lelaki yang disebut terakhir ini dikenal sebagai
seorang munafik yang pernah melontarkan cacian kepada sahabat-sahabat Nabi.
Caciannya ini dikemas dalam bentuk syair. Namun pada saat membacaan syairnya
ini ia berusaha “melempar batu sembunyi tangan,” tepatnya dengan menyatakan
syair itu sebagai gubahan orang lain meski sebenarnya ia sendiri yang
menggubahnya.
Pada suatu hari, paman Qatadah, Rifa’ah bin Zaid
membeli terigu beberapa karung, dan menyimpannya di gudang senjata. Namun pada
suatu malam, gudang itu dibobol oleh pencuri, dan menguras habis seluruh barang
yang ada di dalamnya. Kejadian ini diketahui oleh Rifa'ah baru pada ke esokan
harinya. Rifa’ah kemudian menceritakan semuanya ke Qatadah. Tidak lama kemudian
keduanya sepakat untuk melakukan menyidikan. Lalu mereka berjalan menyisir
kampung-kampung untuk mencari tahu siapa sebenarnya pelaku pencurian di
gudangnya.
Beberapa saat kemudian keduanya mendapatkan
informasi dari seorang warga bahwa ia tadi malam melihat Banu Ubairiq sedang
menyalakan api dan memasak tetapi ia tidak tahu persis apa yang sedang dimasak
oleh mereka. Keduanya masih belum menanggapi serius informasi ini, karena
menurutnya sangat mungkin informasi ini tidak benar. Kondisi ekonomi Banu
Ubairiq yang tergolong miskin sejak masa Jahiliyah sampai pada masa Islam ini,
bisa jadi hanya dijadikan kambing hitam setiap kejadian pencurian, meski
sebenarnya mereka tidak melakukannya. Untuk itu, keduanya tidak langsung
mempercayainya, dan masih tetap terus mencari informasi yang lain.
Namun, informasi dari seorang warga itu ternyata
lebih dulu menyebar di masyarakat, sebelum keduanya mendapatkan kepastian siapa
sebenarnya pencurinya. Bahkan isu itu telah sampai ke telinga Banu Ubairiq,
hingga mereka terpancing untuk memberikan pembelaan. Dan tampaknya mereka
cerdik juga. Mereka tidak hanya membantah isu itu, tetapi disertai dengan
tuduhan kepada orang lain, yaitu Labib bin Sahl, salah seorang bangsawan yang
dikenal sangat dermawan pada saat itu. “Demi Allah, kami tidak melihat selain
Labib bin Sahl,” kata mereka.
Labib sendiri terpancing kemarahannya begitu
mendengar tuduhan Banu Ubairiq tersebut. Dan sambil menghunuskan pedang ia
melontarkan tantangannya kepada Banu Ubairiq, “Saya mencuri! Demi Allah, pedang
ini yang akan menyelesaikan perkara kalian sampai ketahuan siapa sebenarnya
pencirinya.”
Tantangan Labib membuat Banu Ubairiq keder juga.
Mereka akhirnya menyatakan, “Jangan beranggapan kami menuduhmu, karena memang
bukan kamu pencurinya.”
Sementara itu, Qatadah dan Rifa’ah terus melakukan
pelacakan sampai akhirnya mereka menemukan bahwa pencurinya tidak lain adalah seorang
dari Banu Ubairiq, yaitu Basyir. Rifa’ah kemudian menyuruh Qatadah untuk
menghadap Nabi guna melaporkan kejadian ini. Sesampainya di hadapan Nabi,
Qatadah menuturkan secara detail kejadian yang menimpa pamannya. Ia pun meminta
keputusan Nabi. Ia juga menambahkan bahwa pamannya tidak meminta semua barangnya
yang telah dicuri untuk dikembalikan, tetapi yang diminta hanya senjatanya
saja.
Nabi berjanji untuk menyelesaikannya. Namun sebelum
ia mulai melangkah, bahkan Qatadah masih belum beranjak dari tempat duduknya,
Banu Ubairiq telah berusaha memotong langkahnya dengan mendatangi rumah Asir
bin Urwah untuk merundingkan perkara mereka. Mereka kemudian berhasil
mengumpulkan beberapa orang warga untuk melapor kepada Nabi, bahwa Qatadah
telah sembarangan menuduh Banu Ubairiq mencuri dengan tanpa bukti. Nabi pun
langsung mengkonfirmasikan laporan mereka kepada Qatadah. Dan tanpa bisa
menjawab, Qatadah langsung kembali ke pamannya, dan menceritakan semua yang
terjadi. “Allah tempat memohon pertolongan,” komentar Rifa’ah singkat.
Pada saat itu Nabi mendapatkan perintah dari Allah
untuk menegakkan hukum di antara manusia dengan Kitab al-Qur'an yang memang
mengandung kebenaran, dan larangan untuk menjadi pembela bagi orang-orang yang
berkhianat. Perintah Allah ini kemudian dilaksanakan oleh Nabi dengan
mengembalikan senjata milik Rifa'ah, –karena pada pertemuan antara Banu Ubairiq dan Qatadah
di hadapan Nabi itu sebenarnya telah berhasil mendapatkan pengakuan dari Banu
Ubairiq bahwa pelakunya adalah salah seorang dari mereka– meskipun akhirnya
Rifa’ah menolaknya dan memberikannya kepada Banu Ubariq. Sikap ini ditunjukkan
oleh Rifa’ah sebagi bukti kepatuhannya pada hukum yang telah ditentukan oleh
Allah melalui Nabi-Nya. Tetapi sikap Basyir justru sebaliknya, ia justru
menggabungkan diri dengan orang-orang musyrik dan menumpang di rumah Sulafah
binti Sa’d.
Terkait dengan hal ini Nabi juga mendapatkan
penjelasan dari Allah bahwa siapa saja yang menentang putusan Nabi setelah ia
mengetahui dengan jelas petunjuk (Tuhan) dan tidak mengikuti jalan orang-orang
mukmin, maka ia akan dijadikan pemimpin dari apa yang mereka kehendaki dan
jelas akan tersesat jalan.