Kamis, 04 Oktober 2012

Makna Al-Birr


Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 44 ini memang dalam konteks memberi peringatan kepada ahlil kitab yang gemar menganjurkan orang untuk berbuat taat dan takwa, tetapi mereka sendiri menyalahinya.
“Mengapa kamu suruh orang lain melakukan al-birr (kebajikan) sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Namun ayat ini juga dapat berlaku umum. Artinya Allah memperingatkan kepada setiap orang yang mengajak orang lain untuk berlaku bijak agar tidak melupakan dirinya sendiri dari kebajikan yang diajakkannya.
Apa yang dianjurkan oleh ahli kitab itu merupakan kebajikan (al-birr). Namun berubah menjadi keburukan yang menimpa diri mereka sendiri dengan berbagai konsekuensinya, manakala mereka hanya berhenti pada ucapan dan ajakan. Berbeda misalnya jika mereka tidak banyak bicara dan justru memberikan keteladanan sesuai dengan kebaikan dalam ucapan mereka.
Sikap yang seperti ditunjukkan oleh alhi kitab itu tampaknya saat ini cukup banyak. Bahkan yang juah lebih parah juga banyak. Ada orang yang gemar memberi nasehat kepada orang lain, bahkan memiliki jamaah atau pengikut yang berjumlah ribuan, namun dia malah memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Ada pula yang suka mengobarkan semangat perjuangan untuk perbaikan hidup bersama, namun justru dia malah mencari kekayaan dengan program perjuangannya tersebut. Dll.
Perilaku seperti ini persis dengan apa yang pernah digambarkan Nabi: ’Kelak di hari kiamat akan dihadapkan seorang dan segera dilempar ke neraka, maka keluar ususnya, maka ia terputar di dalam neraka sebagaimana berputarnya himar di penggilingan, maka dikerumuni orang-orang di neraka dan bertanya, ’Ya Fulan mengapa Anda? Tidakkah Anda selalu menganjurkan kami supaya berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar? Jawabnya, ’Dahulu aku menganjurkan kamu supaya berbuat baik sedang aku tidak mengerjakannya, dan melarang kalian dari kemungkaran, tetapi aku melakukannya’(HR.Bukhari).
Ajakan dan anjuran yang dimaksud bukan hanya dalam persolan agama saja, tetapi mencakup juga segi-segi kehidupan sosial secara keseluruhan. Tepatnya, pada hakekatnya tidak ada pemilahan persoalan agama dan non agama. Sebab agama itu mencakup seluruh dimensi kehidupan, termasuk hal-hal gaib. Adanya pembagian agama dan non agama hanya dalam konteks ilmu, terutama sejak al-Ghazali membuat klasifikasi ilmu.
Karenanya Nabi menegaskan bahwa al-birr atau kebajikan itu, sebagaimana riwayat dari Nawas bin Sam’an, bahwa “Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR. Muslim)
Wabishah bin Ma’bad juga menuturkan: Aku datang kepada Nabi, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.”
Begitulah Nabi menjelaskan tentang kebajikan, yaitu khusn al-huluq (budi pekerti yang baik) yang tercermin dari kebaikan hati. Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa suatu yang nampak baik, tetapi tidak didorong oleh maksud yang baik bukan termasuk kebajikan, tetapi malah tergolong dosa.
Begitulah tampaknya kenyataan yang terjadi pada ahli kitab sebagaimana telah disinggung di atas. Mereka tidak mendasari perbuatannya dengan ketulusan hati, tetapi lebih didorong oleh kepentingan duniawi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nabi dalam mendakwahkan Islam. Ketulsan hati Nabi telah berbuah merebaknya Islam di seluruh belahan dunia ini.
Perilaku plus hati itulah sesungguhnya makna al-birr, karena keduanya merupakan inti budi pekerti atau akhlak. Orang yang akhlaknya baik jelas hatinya bersih. Orang yang berhati bersih tentu akan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Orang yang dekat Tuhan sudah tentu dia akan selalu berusaha berbuat dan bersikap baik dengan semua makhluk, terutama dengan sesama manusia.
Penjelasan ini sekaligus menunjukkan cakupan al-birr, yaitu terkait dengan Allah dan al-birr terkait dengan sesama. Al-Birr terkait dengan Allah adalah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Sedang yang terkait dengan sesama adalah husnul khuluq yaitu banyak berderma dan tidak mengganggu kepada sesama.
Tepatnya seperti penegasan Allah dalam surat al-Baqarah: 177 bahwa al-birr merupakan sikap baik yang mewujud dalam keimanan dan komitmen sosial, seperti dalam bentuk menyantuni anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dll.
Akhirnya, semoga teologi al-birr ini menjadi motivasi dasar bagi setiap anak bangsa, terutama yang consern pada pembuatan peraturan dan kebijakan untuk masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar