Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 44 ini memang dalam konteks
memberi peringatan kepada ahlil kitab yang gemar menganjurkan orang untuk berbuat
taat dan takwa, tetapi mereka sendiri menyalahinya.
“Mengapa kamu suruh orang lain melakukan al-birr
(kebajikan) sedang kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu
membaca Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Namun ayat ini juga dapat berlaku umum. Artinya
Allah memperingatkan kepada setiap orang yang mengajak orang lain untuk berlaku
bijak agar tidak melupakan dirinya sendiri dari kebajikan yang diajakkannya.
Apa yang dianjurkan oleh ahli kitab itu
merupakan kebajikan (al-birr). Namun berubah menjadi keburukan yang menimpa
diri mereka sendiri dengan berbagai konsekuensinya, manakala mereka hanya
berhenti pada ucapan dan ajakan. Berbeda misalnya jika mereka tidak banyak
bicara dan justru memberikan keteladanan sesuai dengan kebaikan dalam ucapan
mereka.
Sikap yang seperti ditunjukkan oleh alhi
kitab itu tampaknya saat ini cukup banyak. Bahkan yang juah lebih parah juga
banyak. Ada
orang yang gemar memberi nasehat kepada orang lain, bahkan memiliki jamaah atau
pengikut yang berjumlah ribuan, namun dia malah memanfaatkannya demi
kepentingan pribadi. Ada pula yang suka mengobarkan semangat perjuangan untuk
perbaikan hidup bersama, namun justru dia malah mencari kekayaan dengan program
perjuangannya tersebut. Dll.
Perilaku seperti ini persis dengan apa yang
pernah digambarkan Nabi: ’Kelak di hari kiamat akan dihadapkan seorang dan segera
dilempar ke neraka, maka keluar ususnya, maka ia terputar di dalam neraka
sebagaimana berputarnya himar di penggilingan, maka dikerumuni orang-orang di
neraka dan bertanya, ’Ya Fulan mengapa Anda? Tidakkah Anda selalu menganjurkan
kami supaya berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar? Jawabnya, ’Dahulu
aku menganjurkan kamu supaya berbuat baik sedang aku tidak mengerjakannya, dan
melarang kalian dari kemungkaran, tetapi aku melakukannya’(HR.Bukhari).
Ajakan dan anjuran yang dimaksud bukan hanya
dalam persolan agama saja, tetapi mencakup juga segi-segi kehidupan sosial
secara keseluruhan. Tepatnya, pada hakekatnya tidak ada pemilahan persoalan
agama dan non agama. Sebab agama itu mencakup seluruh dimensi kehidupan,
termasuk hal-hal gaib. Adanya pembagian agama dan non agama hanya dalam konteks
ilmu, terutama sejak al-Ghazali membuat klasifikasi ilmu.
Karenanya Nabi menegaskan bahwa al-birr atau
kebajikan itu, sebagaimana riwayat dari Nawas bin Sam’an, bahwa “Kebajikan itu
adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang
menggelisahkan perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.”
(HR. Muslim)
Wabishah bin Ma’bad juga menuturkan: Aku
datang kepada Nabi, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya
tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada
hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan
dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati,
meskipun orang-orang terus membenarkanmu.”
Begitulah Nabi menjelaskan tentang kebajikan,
yaitu khusn al-huluq (budi pekerti
yang baik) yang tercermin dari kebaikan hati. Penjelasan ini memberikan
pengertian bahwa suatu yang nampak baik, tetapi tidak didorong oleh maksud yang
baik bukan termasuk kebajikan, tetapi malah tergolong dosa.
Begitulah tampaknya kenyataan yang terjadi
pada ahli kitab sebagaimana telah disinggung di atas. Mereka tidak mendasari
perbuatannya dengan ketulusan hati, tetapi lebih didorong oleh kepentingan
duniawi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Nabi dalam mendakwahkan
Islam. Ketulsan hati Nabi telah berbuah merebaknya Islam di seluruh belahan
dunia ini.
Perilaku plus hati itulah sesungguhnya makna
al-birr, karena keduanya merupakan inti budi pekerti atau akhlak. Orang yang
akhlaknya baik jelas hatinya bersih. Orang yang berhati bersih tentu akan
selalu merasa dekat dengan Tuhan. Orang yang dekat Tuhan sudah tentu dia akan
selalu berusaha berbuat dan bersikap baik dengan semua makhluk, terutama dengan
sesama manusia.
Penjelasan ini sekaligus menunjukkan cakupan
al-birr, yaitu terkait dengan Allah dan al-birr terkait dengan sesama. Al-Birr
terkait dengan Allah adalah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan
menjauhi larangan-Nya. Sedang yang terkait dengan sesama adalah husnul khuluq
yaitu banyak berderma dan tidak mengganggu kepada sesama.
Tepatnya seperti penegasan Allah dalam surat
al-Baqarah: 177 bahwa al-birr merupakan sikap baik yang mewujud dalam keimanan
dan komitmen sosial, seperti dalam bentuk menyantuni anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta, dll.
Akhirnya, semoga teologi al-birr ini menjadi
motivasi dasar bagi setiap anak bangsa, terutama yang consern pada pembuatan peraturan
dan kebijakan untuk masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar