Pendahuluan
Betapapun
pengetahuan merupakan masalah yang selalu relevan dikaji, bahkan ia mempunyai
sejarah yang panjang sepanjang kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah banyak
mencatat tentang bagaimana upaya manusia untuk mencari pengetahuan sejati untuk
sampai pada kebenaran—dalam konteks nilai pengetahuan. Al-ghazali, untuk tidak
menyebut semua, menulis sebuah otobiografi tentang masalah ini, Al-Munqidz Min
Al-Dhalal. Tentu saja bukan hanya al-Ghazali yang gelisah akan nilai
pengetahuan. Dalam setiap zaman dan waktu selalu saja ada manusia yang memertanyakan
nilai pengetahuan.
Dalam dunia
pengetahuan terdapat berbagai aliran pengetahuan, seperti rasionalisme,
empirisisme, dan intuisisme. Rasionalisme mengandaikan bahwa kemampuan manusia
mengetahui realitas hanya dengan fakultas rasio belaka. Berbeda dengan
rasionalisme, empirisisme mengandaikan bahwa manusia hanya mampu mengetahui
realitas berdasarkan kesan indriawinya. Berbeda dengan keduanya, intuisisme
menganggap hanya hatilah yang mampu menangkap realitas.
Empirisisme
membatasi objek kajiannya hanya pada bidang fisik, sedangkan rasionalisme
menitikberatkan kajiannya pada bidang fisik maupun nonfisik. Lain hal dengan
intuisisme, ia hanya mampu menangkap realitas yang bisa dihayati atau dijadikan
pengalaman diri, experential. Perbedaan tersebut merupakan implikasi dari
sumber-sumber pengetahuan itu sendiri yang dianggap valid dalam menangkap
realitas (konkret dan abstrak) dan objek (objek-objektif dan objek-subjektif).
Tulisan berikut menitikberatkan pada persoalan tersebut, sumber-sumber
pengetahuan, terutama dalam tradisi ilmu keislaman.
Epistemologi Islam
Membicarakan
sumber-sumber pengetahuan berarti menyoal epistemologi. Epistemologi merupakan
cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan, khususnya empat pokok
persoalan pengetahuan seperti keabsahan (nilai), struktur, batas, dan sumber
(Adian, 2002;17). Epistemologi sebuah bidang ilmu yang membahas pengetahuan
manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya (Yazdi, 2003;83).
Sederhananya epistemologi adalah teori pengetahuan. Ia membahas bagaimana
pengetahuan itu bisa dicapai oleh manusia? Di manakah batas-batas pengetahuan
itu? Apakah manusia dalam pengetahuannya menangkap realitas, tak terbatas?
Apakah pengetahuan yang diperoleh manusia bersifat pasti? Atau berupa
kemungkinan? Kalau pengetahuan yang ditangkap manusia adalah bersifat
kemungkinan, sampai di manakah batas kemungkinan tersebut?
Sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mengkaji pengetahuan manusia, kita harus memahami terlebih
dahulu tentang pengetahuan itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan
(ma’rifah)? “Ma’rifah dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi
lazimnya ia berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan
informasi. Adakalanya ia digunakan dalam arti pencerapan khusus (idrak juz’i
atau particular perception), dan adakalanya digunakan dalam arti tindak
pengingatan ulang (tadzakkur atau recognition). Kadang-kadang ia
juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian
dan keyakinan (Yazdi, ibid;82).”
Perlu
dikemukakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu konsep swanyata atau paling
jelas. Dengan demikian pengetahuan tidak perlu didefinisikan, bahkan sebagian
mengatakan memang tidak bisa didefinisikan. Bukanlah hal yang keliru untuk
tidak mendefinisikan pengetahuan, sebab definisi bertujuan untuk menjelaskan
sesuatu yang belum jelas. Kalau memang hendak memaksa untuk menjelaskan
pengetahuan— haruslah dipahami bahwa hal itu hanya bertujuan untuk memberikan
gambaran atau contoh atas pengetahuan itu sendiri— adalah pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya.
Kalau
epistemologi dipahami sebagai teori pengetahuan, yang jadi pertanyaan kita
adalah kenapa harus ada kata sifat dalam epistemologi, seperti epistemologi
Islam? Epistemologi Barat? Epistemologi Hindu? Epistemologi Timur?
Konsekuensinya kita berasumsi bahwa pengetahuan tidak bersifat universal,
melainkan partikular, hingga harus ada pembedaan sifat antara satu epistemologi
dengan epsitemologi lainnya. Atau kata sifat yang mengikut pada epistemologi
bukan bermakna pada tataran hal tersebut, melainkan hanya terletak pada sumber
pengetahuan itu sendiri? Karenanya mendudukkan makna dari kata sifat itu
sendiri dirasa sangat perlu.
Epistemologi
Islam di sini dimaksud sebagai epistemologi alternatif terhadap epistemologi
Barat, yang mempunyai objek pengetahuan berbeda. Dalam epistemologi Barat,
dalam hal ini sains positivistik, objek pengetahuan hanya dibatasi pada objek
yang bisa dicerap oleh indra atau bersifat fisik. Sains dipahami bukan sebagai
pengetahuan sistematis belaka, ia juga harus berasal dari observasi, kajian,
dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau
prinsip dari apa yang dikaji. Dengan mensyaratkan observasi, sains harus
bersifat empiris (Kartanegara, 2003;2-3).
Karenanya,
objek-objek metafisika atau nonfisik tidaklah dianggap sebagai objek
pengetahuan. Kalaupun objek tersebut mau dianggap sebagai objek pengetahuan, toh
manusia takkan mampu mengetahuinya, sebab tuhan tidak bisa dicerap oleh
indriawi. Pada sisi lain objek tersebut tidak bisa diverivikasi secara
korespondensi. Dengan demikian tuhan disingkirkan dari ranah pengetahuan.
Disingkirkan di sini bisa dipahami dua macam. Pertama, tuhan tidak ada;
karena tidak bisa dicerap oleh fakultas indriawi atau tidak mampu diverivikasi.
Kedua, tuhan itu ada; akan tetapi pengetahuan atasnya tidak mungkin bisa
diperoleh oleh manusia. Tentu saja pemahaman bahwa objek nonfisik tidak bisa
diketahui menjadi masalah dalam Islam. Bagaimana kaum muslim bisa beriman
kepada Allah, kalau Allah itu sendiri tidak bisa diketahui? Agaknya inilah yang
dirasa sangat perlu untuk membubuhi kata sifat dalam epistemologi.
Kaum Muslim
tentu tidak bisa menerima pandangan epistemologi seperti ini. Salah satu bukti
keislaman seseorang adalah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alllah. Dengan
begitu, seorang Muslim tidak hanya mengakui bahwa Allah itu ada, melainkan ia
juga bersaksi bahwa Dia adalah tuhannya (mengetahui-Nya). Tuhan sebagai wujud
nonmateri yang dianggap sebagai objek pengetahuan oleh kaum Muslim juga
mengakibatkan bahwa dalam epistemologi Islam, objek pengetahuan tidak hanya
dibatasi pada bidang fisik, melainkan juga nonfisik.
Dalam al-Qur’an
disinggung dua bidang pengetahuan, yaitu yang tampak dan yang gaib. Mungkin
karena hal tersebut para filosof Islam membedakan dua jenis pengetahuan: 1) ‘ilm
yang mengungkap ‘alam syahadah; dan 2) ma’rifah yang mendedahkan ‘alam
al-ghaib atau alam yang tersembunyi (metafisika). Berbeda dengan
epistemologi Barat, terutama sains positivistik, yang hanya mengakui objek
fisik sebagai objek pengetahuan. Dengan demikian, objek pengetahuan
epistemologi Islam lebih luas dan menyeluruh. Semua wujud merupakan objek
pengetahuan, entah itu alam syahadah atau alam gaib.. Betapapun, Barat atau
Islam di sini dipahami bukan dalam tataran geografis, melainkan sumber
pengetahuan.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok
pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan
fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang
diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan?
Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan. Apa saja
sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber
pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan
M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai
sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan
ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb,
fuad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami
pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi —yang
merupakan cabang filsafat.
Ada juga yang
menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan
daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder. Setidaknya ada tiga sumber
pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fuad).
Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab
suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan
teks, yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang
atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan
(Suteja, 2006). Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk
menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun
struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang
diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap
pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas
indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan.
1. Indriawi
Fakultas
indriawi merupakan daya yang penting dalam pengetahuan manusia. Sebegitu
pentingnya, ia dianggap atau diyakini sebagai satu-satunya tolak ukur
pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme. Dalam
epistemologi Islam, fakultas indriawi terdiri dari dua bentuk; 1) pancaindra
lahir; dan 2) pancaindra batin.
Pancaindra Lahir
Adalah fakultas yang terdiri dari lima dimensi yaitu: 1) pendengaran (audio);
2) penglihatan (visual); 3) perasa; 4) pencium; dan 5) peraba. Dengan daya
pendengaran (telinga), manusia dapat menangkap dimensi suara dari setiap objek
fisik. Musik sebagai entitas yang keberadaannya tidak bisa ditunjuk atau tidak
mempunyai referensi dalam alam luaran, dikenal melalui dimensi suara, bukan
dengan penglihatan. Penglihatan (mata), melalui dimensi ini manusia menangkap
berbagai bentuk, keberadaan, dan sifat-sifat atau atribut-atribut objek fisik. Perasa
(lidah), melalui daya ini manusia mampu mengenali rasa dari setiap objek,
seperti asam, manis, pahit, asin, dll. Pencium (hidung), melalui daya ini
manusia mampu membedakan antara aroma yang harum dengan yang tidak harum.
Begitu juga dengan daya peraba (kulit), manusia mampu mengenali dingin, panas,
lunak, keras, halus, kasar, sejuk, dll. Melalui indriawi kita mengenal lima
dimensi objek.
Pertanyaan kita
adalah apakah fakultas indriawi mampu menangkap objek dengan sempurna atau
sebagaimana adanya? Apakah daya penglihatan telah memberikan pengetahuan yang
sebenarnya? Apakah bintang yang tampak kecil ketika dilihat dengan mata
telanjang, telah benar-benar mewakili ukuran bintang itu sebenarnya? Apakah
kayu yang dimasukkan ke dalam air benar-benar bengkok? Apakah dentuman ledakan
yang sampai ke telinga, benar-benar terjadi saat itu, dalam artian ketika suara
yang sampai ke telinga berbarengan dengan peristiwa dentuman ledakkan? Ketika
orang sedang sakit, flu misalnya, terkadang kemampuan lidahnya atau hidungnya
tidak mampu merasakan dengan sempurna. Begitu juga dengan kulit, ketika
menggengam batu es dalam waktu yang lama, batu es tersebut bisa berubah menjadi
panas. Padahal, sifat es adalah dingin.
Dengan demikian,
walaupun fakultas indriawi banyak memberikan manfaat, bukan berarti ia tidak
mempunyai kelemahan. Dan yang terpenting, indriawi hanya mampu menangkap objek
fisik.
Pancaindra Batin
Adalah kecakapan-kecakapan mental yang cukup efektif dalam membantu fungsi
esensial akal. Yang pertama, indriawi bersama (al-hiss al-musytarak).
Indriawi ini berfungsi untuk menggabungkan data-data indriawi lahir secara
utuh. Pengetahuan yang didapatkan dari mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit
bersifat parsial. Untuk menggabungkan pengetahuan itu dibutuhkan indriawi
bersama ini. Kedua, khayal atau daya imajinasi retentif. Pengetahuan
yang digabungkan oleh indriawi bersama tidak berarti akan lestari di dalam
benak. Karenanya ia membutuhkan daya lain untuk melestarikan atau merekamnya.
Inilah fungsi daya khayal atau retentive imaginative faculty.
Ketiga, wahm
atau daya estimasi. Pancaindra mampu menangkap benda-benda yang cukup rumit,
tetapi tidak mampu menangkap “arti-arti” yang dikandung oleh benda. Daya
estimasi inilah yang menangkapnya, misalnya, apakah sebuah benda itu bermanfaat
atau tidak bermanfaat, aman atau berbahaya, sehingga dengan kemampuan ini
manusia mampu mengambil keputusan. Ketika manusia telah mengetahui bahwa
kandungan benda tersebut tidak bermanfaat atau berbahaya, ia akan menghindarinya.
Sebaliknya, bila kandungan benda tersebut diketahui bermanfaat dan aman,
misalnya makanan yang mengandung vitamin, ia akan memakannya untuk kesehatan.
Keempat,
imajinasi (mutakhayal atau compositive imaginative faculty).
Sebagaimana indriawi bersama (al-hiss al-musytarak) mampu menangkap
sebuah objek secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap bentuk (shurah)
secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan indra penglihatan dapat
dilihat melalui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya bisa melihat satu
bentuk dalam sebuah benda, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan
bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera
yang dikehendaki (Kartanegara, 2003;23).
Terakhir,
indriawi pengingat atau memori (al-hafizhah). Daya ini mempunyai
keserupaan dengan daya khayal berfungsi menyimpan pengetahuan indriawi bersama.
Quwwah al-hafizhah berfungsi merekam pengetahuan yang didapatkan dari
daya imajinasi atau bentuk-bentuk imajiner. Daya ini tidak hanya mampu merekam
bentuk-bentuk fisik, melainkan juga bentuk-bentuk abstrak.
2. Akal
Selain indriawi,
akal juga merupakan salah satu sumber pengetahuan. Sama dengan indriawi, segera
kita bertanya: Apakah akal mampu mengetahui realitas sebagaimana adanya? Objek
yang dicerap oleh akal apakah objek-objektif atau objek-subjektif? Apakah akal
juga mempunyai keterbatasan seperti sama halnya dengan indriawi?
Dalam tradisi
filsafat akal dibagi menjadi dua macam, akal praktis dan teoritis. Akal yang
dibahas ini kali adalah akal teoritis. Melalui penglihatan kita mengetahui
bahwa bulan itu berbentuk pipih, tapi fakultas akal menyempurnakannya, sehingga
diketahui bahwa bulan itu tidak pipih. Penglihatan hanya mampu melihat objek
sesuai profil yang tampak kepadanya. Berbeda dengan akal, ia mampu melihat
seluruh profil objek, walaupun profil objek yang terlihat oleh mata hanya satu
profil. Sebab akal mampu mengabstraksikan sesuatu, karenanya akal dapat melihat
seluruh profil dari suatu objek.
Contoh lain, di
balik tembok yang terlihat di hadapan saya terdapat sebuah dispenser. Ketika
saya melihat tembok tersebut mata saya tidak bisa menangkap keberadaan
dispenser, sebab terhalangi oleh tembok. Akan tetapi akal saya bisa mengetahui
bahwa ada dispenser di balik tembok. Dengan begitu, akal bersifat melengkapi
pengetahuan yang diperoleh oleh daya indriawi lahir.
Di sisi lain,
objek akal tidaklah bersifat kendriya (sensible), melainkan kawruhan (intelligible).
Tembok yang ditangkap oleh akal, bukanlah tembok yang fisik tersebut (objek-objektif),
melainkan tembok abstrak (objek-subjektif). Tidak bisa dibayangkan bahwa akal
mengetahui tembok sebagai tembok yang bersifat objek-objektif. Tembok itu harus
hadir dalam akal, bayangkan tembok ada di dalam kepala kita. Ketika kita
mengetahui konsep api, kenyataan bahwa kita tidak merasakan panasnya api
menandakan bahwa objek akal bukanlah objek-objektif. Selain itu, akal juga
mempunyai kemampuan untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang
dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal dapat mengetahui konsep universal dari
sebuah objek yang diamatinya lewat indriawi yang bersifat abstrak dan tidak
berhubungan data-data partikular (Kartanegara, ibid;25).
Dalam memeroleh
pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan (tazjiah)
dan penguraian (tahlil) serta adakalanya memerlukan berbagai macam
bentuk pemilahan dan penguraian. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas
rasio. Berbagai pemilahan dan penyusunan rasional (tarkib ‘aqli) itu,
adalah meletakkan berbagai perkara pada katagorinya (maqulah)
masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan (tazjiah)
(Muththahari, 2001;53). Di antara aktifitas rasio manusia yang amat luar biasa
adalah proses tajrid (melepas) (Muththahari, ibid;55). Karenanya,
meskipun indriawi mampu mengetahui dan realitas, terlepas dari kelemahannya, ia
tidak mampu mengabstraksikan sesuatu, sehingga ia membutuhkan akal untuk
menyempurnakannya. Tentu saja harus disebut bahwa salah satu yang utama dari
daya akal ialah kemampuan untuk bertanya secara kritis.
Walaupun tulisan
ini hanya membahas gambaran fakultas akal secara umum, rasanya perlu di sini
sedikit menyinggung pembagian tingakatan akal dalam tradisi filsafat Islam.
Para filosof Muslim membagi tingkatan akal teoritis menjadi tiga bagian (sistem
al-Farabi) atau empat bagian (sistem Ibn Sina). Pertama, akal potensial.
Menurut Ibn Sina akal potensial adalah kemampuan reseptivitas (quwwah
isti’dadiyyah) ke arah hal-hal intelligible. Sedangkan menurut
al-Farabi akal potensial adalah kemampuan awal akal yang sama-sama dimiliki
oleh semua manusia. Kedua, akal habitual adalah kemampuan, menurut Ibn
Sina, akal yang telah dilatih berpikiran abstrak. Ketiga, akal aktual
adalah kemampuan berpikir abstrak atau kemampuan mencerap abstraksi, sehingga
memungkinkan sang penahu berpikir untuk memeroleh sejumlah pamahaman dan sadar
akan pengetahuan sesuatu. Akal aktual menurut al-Farabi adalah kemampuan
menangkap arti lepas dari materi. Sedangkan menurut Ibn Sina, ketika
menafsirkan surat al-Nur, mengatakan bahwa akal aktual adalah, “...kemampuan
lain yang diperoleh oleh akal ketika entitas-entitas intelligible primer muncul
di dalamnya. Munculnya entitas-entitas intelligible primer ini merupakan
landasan yang di atasnya entitas-entitas intelligible sekunder bisa didapatkan.
Proses pemerolehan ini dimunculkan entah dengan kontemplasi, yang disebut pohon
zaitun, jika pikiran tidak tajam, atau dengan dugaan yang disebut bahan bakar
minyak dari pohon zaitun, jika pikiran benar-benar cerdik.”
Keempat,
akal pencapaian (‘aql al-mustafad) adalah kesanggupan akal manusia untuk
berpikir abstrak dan sarana yang mampu menerima limpahan dari akal aktif atau
kemampuan akal yang telah mampu melepaskan diri dari materi dan sepenuhnya
bersifat formal (bentuk). Menurut al-Farabi, akal pencapaian adalah kemampuan
menangkap makna dan bentuk murni yang berada di luar alam manusia. Akal
pencapaian merupakan puncak kemampuan intelek manusia, sehingga menurut Ibn
Sina “...tanpa perlu penyelidikan, ia bisa mencerap objek-objek intelligible
yang sebelumnya telah diperoleh dan yang sekarang terlupakan seolah-olah
tepersepsi, manakala pikiran menginginkannya.”
3. Hati (Intuisi)
Indriawi,
betapapun, masih banyak terdapat kelemahan dalam mencerap realitas. Sedang akal
bisa dianggap sebagai salah satu sumber yang cukup kuat. Dengan akal kita dapat
mencerap konsep-konsep atau entitas abstrak. Akan tetapi akal masih bersifat
terbatas. Misalkan akal tidak mampu mengerti kenapa orang yang sedang kasmaran
akan sangat berbeda melihat realitas. Dimaksud berbeda melihat realitas ketika
orang yang sedang jatuh cinta adalah, ketika sebuah tempat yang sering
dikunjunginya, katakanlah kampus, akan menjadi berbeda maknanya ketika salah
satu teman mahasiswanya menjadi dambaaan hatinya. Akal jelas tidak bisa
memahami gejala ini, sebab salah satu sifat akal adalah meruang-ruang (spatilize).
Jadi, akal melihat realitas, dalam hal ini kampus, suasana kampus tetaplah
suasana kampus; tidak ada yang berbeda dari suasana tersebut untuk orang yang
sedang kasmaran atau tidak kasmaran. Dengan demikian akal membutuhkan sumber
pengetahuan lain, yaitu hati atau intuisi yang bentuk tertingginya adalah wahyu
(Kartanegara, ibid;26), untuk memahami realitas.
Berbeda dengan
akal yang meruang-ruang, hati bersifat penghayatan (experential) dalam
mencerap realitas. Akal sering tidak mampu memahami menyangkut sisi kehidupan emosional
manusia. Akal juga tidak mampu membedakan bahwa waktu dan ruang pada titik
tertentu atau karena satu hal bisa berbeda-beda maknanya. Hati mampu memahami
hal-hal experential seperti ini. Hati juga mempunyai kemampuan mengenal
objeknya secara langsung, bukan dengan konsep, seperti akal. Untuk mengetahui
indahnya jatuh cinta tidak akan pernah tercapai bila lewat konsep-konsep,
melainkan dengan mengalaminya secara langsung; jatuh cinta.
Kesimpulan
Sumber-sumber
pengetahuan merupakan salah satu bahasan kajian epsitemologi. Oleh karenanya,
untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai sumber-sumber pengetahuan,
tidak bisa dilepaskan dari pembahasan epistemologi. Walaupun sumber-sumber
pengetahuan tidak hanya akal, indriawi, dan hati, melainkan sejarah dan alam
serta wahyu, pemahaman atas ketiga hal tersebut yang menjadi bahasan sumber
pengetahuan.
Dengan fakultas
apa kita memahami alam, sejarah, dan wahyu? Fakultas indriawi hanya mampu
mencerap objek-objek fisik, sehingga objek-objek nonfisik tertutup untuk
diketahui. Pada sisi lain, fakultas indriawi terdapat, betapapun fakultas
tersebut berguna dalam kehidupan, banyak kelemahan. Sedangkan fakultas akal,
walaupun tidak membatasi kajiannya dalam bidang fisik, melainkan mampu mencerap
entitas-entitas nonfisik —bahkan pada tingkat akal perolehan, akal benar sama
sekali terlepas dari materi dan sepenuhnya formal (bentuk)— ia tetap terbatas
dalam menghadapi sisi kehidupan emosional manusia.
Di sinilah letak
pentingnya hati, untuk mengisi kekosongan kemampuan akal tersebut. Tentu saja,
menggunakan sumber-sumber pengetahuan tersebut pada dunianya masing-masing
merupakan langkah yang tepat.
Ketika kita
mengetahui kemampuan fakultas indriawi begitu lemah, bukan berarti kita harus
menafikan kemampuannya dalam kehidupan. Begitu juga dengan fakultas akal,
walaupun bersifat terbatas, bukan berarti harus dipandang remeh. Betapapun hati
bersifat langsung dalam menangkap realitas bukan berarti kemampuan fakultas
hati mengungguli fakultas yang lain. Kita harus menempatkan fakultas
pengetahuan tersebut pada tempatnya masing-masing. Indriawi hanya mampu
menangkap objek-objek pengetahuan bersifat kendriya (sensible). Akal hanya
mampu menangkap objek-objek pengetahuan berisifat kawruhan (intelligible). Hati
mampu menangkap objek-objek yang bersifat experential. Memadukan semua sumber
pengetahuan mengandaikan kemampuan menangkap realitas dari berbagai bidang dan
dimensi. Dengan demikian pengetahuan yang didapatkan dengan memadukan semua
sumber pengetahuan tersebut bersifat menyeluruh. Paradigma holistik, demikian
orang bijak meyebutnya. []