Minggu, 22 Januari 2012

Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an

Pendahuluan
Dalam ranah historis, manusia telah mengenal peradaban sejak kurang lebih 60 abad yang lalu di lembah Sawad (Mesopotamia). Manusia mulai menemukan sistem pertanian sebagai perkembangan dari cara hidup yang hanya bergantung pada hasil berburu, di samping penemuan mereka di bidang penjinakan binatang. Sudah tentu tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama, sehingga masing-masing individu memilih untuk melakukan upaya sesuai dengan kemampuannya, yang pada akhirnya pilihan itu mengakumulasi sejumlah orang yang memiliki kecenderungan yang sama. Hal inilah yang kemudian melahirkan stratifikasi sosial yang oleh bangsa Arya diadopsi menjadi sistem kasta.
Kondisi demikian kemudian melahirkan persoalan pembagian kerja (baca: keadilan). Sehingga dapat diungkapkan bahwa persoalan keadilan merupakan persoalan awal kemanusian. Secara struktural persoalan-persoalan yang muncul diserahkan kepada kelompok literia, yang pada masa Sumeria-Babilonia, mereka dipercaya memiliki kemampuan “meneropong langit” untuk mencari wisdom, sehingga mereka mampu mengidentifikasi terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, yang selanjutnya mereka berusaha untuk melakukan rekonstrusi sosial.[1] Dalam term keagamaan, kaum literari biasa disebut nabi atau rasul. Sedangkan wisdom disebut risalah. Nabi memperoleh wisdom hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan rasul lebih difokuskan untuk disampaikan kepada orang lain. Baik kaum literari, nabi, atau rasul, sama-sama memiliki wawasan kemanusiaan yang tinggi dan murni. Perbedaan yang ada hanya pada tataran fungsi dan wewenangnya, sesuai dengan konteks ruang dan waktu (ajaran).
Nabi Muhammad, juga memiliki kapasitas yang sama, meskipun secara kualitas (mungkin) jauh lebih tinggi. Wawasan kemanusiaan Nabi terkandung di dalam al-Qur’an, sehingga di kalangan umat Islam terdapat suatu ungkapan yang cukup populer, yaitu “akhlak Nabi adalah al-Qur’an”. Dapat dipahami bahwa tradisi kemanusiaan yang dibangun (sunnah) oleh Nabi merupakan prototype al-Qur’an, sehingga cukup lagis jika keduanya wajib untuk diimani. Salah satu tradisi itu  adalah penegakan nilai keadilan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, bahkan menjadikannya sebagai missi kemanusiaan (humanistik) Islam yang tertinggi. Tradisi itu dibangun di atas dasar nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam al-Qur’an. Untuk itu, makalah ini akan menganalisis konsep keadilan dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i. 

Makna Keadilan 
Terdapat beragam istilah atau term yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan makna keadilan. Istilah itu tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Di antaranya kata al-‘adl yang dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 35 kali. Lafad al-qisth terulang sebanyak 24 kali. Lafad al-wazn terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad al-wasth sebanyak 5 kali.[2] Semua istilah tersebut bertemu dalam suatu ide umum kaitannya dengan sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur. 
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang diserap dari bahasa Arab “‘adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan itu sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan; a) tidak berat sebelah atau tidak memihak; b) berpihak kepada kebenaran; dan c) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang.[3] Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”. 
Dalam al-Qur’am keadilan diungkapkan antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-wazn, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. 
Qisth arti asalnya adalah “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak. Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula ketika al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth ini yang digunakan, seperti dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 135. 
Wazn berarti timbangan. Oleh karena itu, kata mizan yang merupakan kata jadian dari al-wazn menunjukkan arti “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena penggunaan bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu”.

Perintah Menegakkan Keadilan
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh al-Qur’an amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan juga keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat” (Q.S. al-An’am [6]: 152). “Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kehadiran para Rasul ditegaskan al-Qur’an bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan” (Q.S. al-Hadid [57]: 25). 
Al-Qur’an memandang kepemimpinan sebagai “perjanjian Ilahi” yang melahirkan tanggungjawab untuk menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.  Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku “ Allah berfirman, “Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim” (Q.S. al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat tersebut bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: “Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan)” (Q.S. al-Rahman [55]: 7). 
Walhasil, dalam al-Qur’an dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari perspektif tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. Beberapa ayat yang telah disebut itu sekaligus dapat menunjukkan betapa kuatnya aspirasi keadilan dalam Islam.

Esensi Keadilan
Ketiga kata -qisth, ‘adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya digunakan oleh al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil: “Katakanlah, Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)” (Q.S. al-A’raf [7]: 29). “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan)” (Q.S. al-Nahl [16]: 90). 
Ketika al-Qur’an menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakan hanya al-qisth (Q.S. Ali ‘Imran [31: 18). Sedang kata ‘adl tidak sekali pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh al-Qur’an; pelakunya pun demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.[4] 
Pertama, keadilan dalam arti keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu kesatuan yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saman-sama menuju satu tujuan tertentu. Untuk itu, dibutuhkan syarat-syarat tertentu agar masing-masing bagian mempunyai ukuran yang tepat kaitannya dengan kesatuan itu. Selama syarat tertentu itu terpenuhi oleh setiap bagian mereka akan mampu menapaki proses menuju apa yang diinginkan. Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan). Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. Al-Qur’an menyatakan bahwa, (Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. 
Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian, bukan lawan kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi. 
Kedua, keadilan dalam arti persamaan dan tidak adanya segala bentuk diskriminasi. Yang dimaksud persamaan di sini adalah bukan perlakuan yang mutlak sama antara setiap orang dengan tanpa melihat pada perbedaan kemampuan, tugas dan fungsinya, tetapi merupakan suatu perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang memiliki hak yang sama. Dengan demikian persamaan ini lebih menekankan pada kepemilikan hak. 
Dalam Q.S. surat al-Nisa’ (4): 58 dinyatakan bahwa, “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil.” Kata “adil” dalam ayat ini -bila diartikan “sama”- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman. 
Ketiga, keadilan dalam pengertian memberikan “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya” Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman”, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial. 
Keempat, keadilan yang dinisbatkan kepada Tuhan  Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.” Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak berlaku untuk Allah, karena Dia memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah. sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Q.S. Ali ‘Imram [3]: 18). 
Sementara Hamzah Yakub[5] membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. 
Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan. Misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Allah berfirman dalam al-Qur’an: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Q.S. al-Maidah [5] : 8). 
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.

Simpulan
Dalam mengungkapkan nilai keadilan al-Qur’an menggunakan kata ungkap al-‘adl, al-qisth dan al-wazn. Nilai keadilan itu sendiri dipahami sebagai suatu penegakan terhadap prinsip keseimbangan, persamaan, penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi, dan menjaga eksistensi, yang semuanya dapat ditepkan baik secara personal untuk diri sendiri maupun dalam sistem kemasyarakatan.


Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim
Bagi, Muhamad Fu`ad Abdul. Mu`jam Mufahras li Alfad al- Qur`an.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.
Muththahhari, Murtadha. al-“adl al-Ilahi.Qum: Mathba’ah al-Hayyam, 1981.
Nurjaeni, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran: sebuah telaah al-adaabi wal ijtimaa`i WWW.duriyat.ir.id/artikel/html.
Purwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Balai Pustaka, 1986.


[1] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 177-178.
[2] Lihat, Muhamad Fu`ad Abdul Bagi,  Mu`jam  Mufahras li Alfad al- Qur`an.
[3] WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Yagyakarta: Balai Pustaka, 1986), 57.
[4] Dalam hal ini hanya akan diambil dari padangan Murtadha Muththahhari dalam al-“adl al-Ilahi (Qum: Mathba’ah al-Hayyam, 1981), 66-71
[5]Nurjaeni, Konsep Keadilan Dalam Al-Quran: sebuah telaah al-adaabi wal ijtimaa`i (WWW.duriyat.ir.id/artikel/html).

1 komentar:

  1. terima kasih, tulisan ini sangat bermanfaat... numpang co-pas... :)

    BalasHapus