Anak merupakan
jantung hati bagi kedua orang tuanya. Di samping itu dia juga merupakan amanat
dari Tuhan dengan fitrah yang dibawanya sejak lahir, yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapanNya kelak. Nabi menegaskan, “Seorang bapak
adalah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap keutuhan fitrah anaknya.” Tuhan
juga mengingatkan agar dia selalu menjaga diri dan keluarganya agar kelak tidak
terjerumus ke dalam api neraka, sebagaimana difirmankanNya, “Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim:
6)
Pondasi normatif
ini mendasari ungkapan al-Ghazali bahwa “Anak adalah amanat, dan hatinya yang
suci merupakan mutiara. Jika dia dididik dan dibiasakan untuk melakukan hal-hal
yang baik, maka dia pasti akan tumbuh berkembang menjadi seorang anak yang salih.
Sebaliknya, apabila dia dibiasakan melakukan hal-hal yang tidak baik atau
dibiarkan seperti binatang, dia akan sengsara dan akan hancur. Untuk itu, peliharalah
anakmu dengan mengajar dan mendidiknya tentang budi pekerti yang luhur dan
akhlak yang mulia.”
Kewajiban orang
tua untuk mengerahkan seluruh perhatiannya pada perkembangan anak-anaknya tidak
lain mempertimbangkan besarnya pengaruh yang diberikan kepada mereka. Kalau perkembangan
anak itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, maka lingkungan yang paling dekat
adalah keluarga. Baik atau buruknya satu keluarga jelas akan berpengaruh besasr
terhadap pembentukan kepribadian anak.
Anak yang
kurang mendapat perhatian dari orang tuanya akan terancam untuk menjadi korban
lingkungan lain yang membentuknya di luar kontrol keluarganya. Hal ini dapat
dianologikan dengan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di lahan yang subur dengan
pemeliharaan yang cukup jelas akan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang ditanam
di tanah yang tandus dan gersang. Dengan demikian, mungkinkah seorang anak akan
tumbuh dan berkembang dengan baik dan sempurna bila disusui oleh seorang ibu
yang kurang gizi?
Dikisahkan ada
seorang bapak bersama anaknya datang ke hadapan Umar bin Khattab, dengan maksud
ingin mengadukan tentang kenakalan anaknya tersebut. Sebelum memberikan tanggapan
terhadap pengaduan itu, Umar terlebih dulu memperjelas duduk persoalan yang
sebenarnya. Dia bertanya kepada anak itu, “Mengapa kamu berani sekali kepada orang
tuamu?”
“Ya Amirul
Mukminin, apakah seorang bapak memiliki kewajiban terhadap anaknya?” Anak itu
balik bertanya. Umar menjawab, “Ya, dia harus mencari istri yang salihah yang
kelak akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, dia harus memberikan kepada
mereka nama yang baik, dan mengajarinya Alqur’an.”
Lalu anak itu
menjawab, “Ya Amirul Mukinin, kalau begitu orang tuaku tidak melaksanakan
kewajibannya terhadapku. Ibuku adalah seorang zinjiyah milik orang Majusi,
namaku Kecoa, dan aku tidak bisa membaca Alqur’an.”
Mendengar jawaban
anak itu Umar berkata kepada orang tuanya, “Sebenarnya yang membuatnya nakal dan
sering menyakiti hatimu adalah kamu sendiri.”
Umar kemudian
menegaskan bahwa menjaga agama, keimanan, dan akhlak seorang anak merupakan
persoalan yang mendasar, yang harus diperhatikan secara utuh oleh setiap orang
tua. Sebab dari pribadi yang baik akan terbentuk suatu keluarga yang baik, dan
keluaga yang baik akan membentuk suatu masyarakat yang baik, dan dari
masyarakat yang baik akan terbentuk suatu bangsa dan negara yang baik.
Kaitannya
dengan pendidikan anak, terdapat satu fokus pembinaan yang semestinya harus
diterapkan pada setiap institusi pendidikan, khususnya di lingkungan keluarga,
yaitu ‘akhlakul karimah’ (perilaku terpuji). Hal ini berlaku bagi semua aspek,
sesuai dengan cakupan konsep akhlakul karimah yang meliputi perilaku dengan
sesama manusia, sesama makhluk, maupun terkait dengan dimensi transendental.
Penanaman
nilai akhlakul karimah sejak dini sama halnya dengan memberikan pegangan hidup
bagi perkembangan anak selanjutnya. Dan yang lebih penting lagi, dia tidak akan
memiliki potensi untuk menciptakan satu kerusakan di muka bumi ini, karena
telah tertanam dalam dirinya bahwa hidup ini harus sesuai dengan garis yang
benar, dan perilaku jahat berarti
merupakan tindakan melampaui batas yang hanya mengakibatkan kerugian.
Perhatian
kepada anak tidak bisa hanya difokuskan, misalnya, pada kebersihan atau kesehatannya
saja, mengingat kebersihan dan kesehatan tidak akan memberikan makna yang besar
kalau tidak disertai agama yang lurus dan akhlak yang mulia. Artinya, perhatian
pada dimensi fisik anak memang penting, tetapi ia tidak cukup memiliki nilai
guna jika tidak dibarengi dengan penguatan dimensi psikisnya.
Untuk itu, pendidikan
anak yang berbasis akhlakul karimah menjadi suatu keharusan. Karena ia akan
memberi pengaruh besar terhadap kesucian dan kejernihan hati nurani. Hati
merupakan sumber motivasi yang menggerakkan manusia dalam segala aktivitasnya.
Apabila hatinya baik, maka seluruh aktivitas yang dilakukannya akan menjadi
baik. Dan sebaliknya, apabila hatinya rusak dan penuh penyakit, maka aktivitas
yang dilakukan oleh anggota tubuh yang lain juga akan rusak.
Salah satu
cara penanaman akhlakul karimah pada anak yang sangat efektif adalah dengan
keteladanan. Sikap-sikap baik yang dipertontonkan orang tua di hadapan anaknya
akan dapat melekat kuat dalam memori anak. Berbeda 180 derajat dengan orang tua
yang mengajari anaknya akhlakul karimah tetapi dia sendiri suka berbohong di
depan anaknya, dll.
Melalui metode keteladanan ini orang tua sekaligus
tertuntut untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi anaknya, sebagaimana
telah disinggung. Bagi orang tua yang belum merasa menjadi orang yang baik
terutama bagi anaknya, maka patut diingat bahwa anak dapat menjadi malaikat
Tuhan yang membukakan pintu hidayah baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar