Rabu, 24 April 2013

Pendidikan Akhlakul Karimah

Anak merupakan jantung hati bagi kedua orang tuanya. Di samping itu dia juga merupakan amanat dari Tuhan dengan fitrah yang dibawanya sejak lahir, yang harus dipertanggungjawabkan di hadapanNya kelak. Nabi menegaskan, “Seorang bapak adalah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap keutuhan fitrah anaknya.” Tuhan juga mengingatkan agar dia selalu menjaga diri dan keluarganya agar kelak tidak terjerumus ke dalam api neraka, sebagaimana difirmankanNya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Pondasi normatif ini mendasari ungkapan al-Ghazali bahwa “Anak adalah amanat, dan hatinya yang suci merupakan mutiara. Jika dia dididik dan dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang baik, maka dia pasti akan tumbuh berkembang menjadi seorang anak yang salih. Sebaliknya, apabila dia dibiasakan melakukan hal-hal yang tidak baik atau dibiarkan seperti binatang, dia akan sengsara dan akan hancur. Untuk itu, peliharalah anakmu dengan mengajar dan mendidiknya tentang budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia.”
Kewajiban orang tua untuk mengerahkan seluruh perhatiannya pada perkembangan anak-anaknya tidak lain mempertimbangkan besarnya pengaruh yang diberikan kepada mereka. Kalau perkembangan anak itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, maka lingkungan yang paling dekat adalah keluarga. Baik atau buruknya satu keluarga jelas akan berpengaruh besasr terhadap pembentukan kepribadian anak.
Anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya akan terancam untuk menjadi korban lingkungan lain yang membentuknya di luar kontrol keluarganya. Hal ini dapat dianologikan dengan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di lahan yang subur dengan pemeliharaan yang cukup jelas akan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di tanah yang tandus dan gersang. Dengan demikian, mungkinkah seorang anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan sempurna bila disusui oleh seorang ibu yang kurang gizi?
Dikisahkan ada seorang bapak bersama anaknya datang ke hadapan Umar bin Khattab, dengan maksud ingin mengadukan tentang kenakalan anaknya tersebut. Sebelum memberikan tanggapan terhadap pengaduan itu, Umar terlebih dulu memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Dia bertanya kepada anak itu, “Mengapa kamu berani sekali kepada orang tuamu?”
“Ya Amirul Mukminin, apakah seorang bapak memiliki kewajiban terhadap anaknya?” Anak itu balik bertanya. Umar menjawab, “Ya, dia harus mencari istri yang salihah yang kelak akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, dia harus memberikan kepada mereka nama yang baik, dan mengajarinya Alqur’an.”
Lalu anak itu menjawab, “Ya Amirul Mukinin, kalau begitu orang tuaku tidak melaksanakan kewajibannya terhadapku. Ibuku adalah seorang zinjiyah milik orang Majusi, namaku Kecoa, dan aku tidak bisa membaca Alqur’an.”
Mendengar jawaban anak itu Umar berkata kepada orang tuanya, “Sebenarnya yang membuatnya nakal dan sering menyakiti hatimu adalah kamu sendiri.”
Umar kemudian menegaskan bahwa menjaga agama, keimanan, dan akhlak seorang anak merupakan persoalan yang mendasar, yang harus diperhatikan secara utuh oleh setiap orang tua. Sebab dari pribadi yang baik akan terbentuk suatu keluarga yang baik, dan keluaga yang baik akan membentuk suatu masyarakat yang baik, dan dari masyarakat yang baik akan terbentuk suatu bangsa dan negara yang baik.
Kaitannya dengan pendidikan anak, terdapat satu fokus pembinaan yang semestinya harus diterapkan pada setiap institusi pendidikan, khususnya di lingkungan keluarga, yaitu ‘akhlakul karimah’ (perilaku terpuji). Hal ini berlaku bagi semua aspek, sesuai dengan cakupan konsep akhlakul karimah yang meliputi perilaku dengan sesama manusia, sesama makhluk, maupun terkait dengan dimensi transendental.
Penanaman nilai akhlakul karimah sejak dini sama halnya dengan memberikan pegangan hidup bagi perkembangan anak selanjutnya. Dan yang lebih penting lagi, dia tidak akan memiliki potensi untuk menciptakan satu kerusakan di muka bumi ini, karena telah tertanam dalam dirinya bahwa hidup ini harus sesuai dengan garis yang benar, dan  perilaku jahat berarti merupakan tindakan melampaui batas yang hanya mengakibatkan kerugian.
Perhatian kepada anak tidak bisa hanya difokuskan, misalnya, pada kebersihan atau kesehatannya saja, mengingat kebersihan dan kesehatan tidak akan memberikan makna yang besar kalau tidak disertai agama yang lurus dan akhlak yang mulia. Artinya, perhatian pada dimensi fisik anak memang penting, tetapi ia tidak cukup memiliki nilai guna jika tidak dibarengi dengan penguatan dimensi psikisnya.
Untuk itu, pendidikan anak yang berbasis akhlakul karimah menjadi suatu keharusan. Karena ia akan memberi pengaruh besar terhadap kesucian dan kejernihan hati nurani. Hati merupakan sumber motivasi yang menggerakkan manusia dalam segala aktivitasnya. Apabila hatinya baik, maka seluruh aktivitas yang dilakukannya akan menjadi baik. Dan sebaliknya, apabila hatinya rusak dan penuh penyakit, maka aktivitas yang dilakukan oleh anggota tubuh yang lain juga akan rusak.
Salah satu cara penanaman akhlakul karimah pada anak yang sangat efektif adalah dengan keteladanan. Sikap-sikap baik yang dipertontonkan orang tua di hadapan anaknya akan dapat melekat kuat dalam memori anak. Berbeda 180 derajat dengan orang tua yang mengajari anaknya akhlakul karimah tetapi dia sendiri suka berbohong di depan anaknya, dll. 
Melalui metode keteladanan ini orang tua sekaligus tertuntut untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi anaknya, sebagaimana telah disinggung. Bagi orang tua yang belum merasa menjadi orang yang baik terutama bagi anaknya, maka patut diingat bahwa anak dapat menjadi malaikat Tuhan yang membukakan pintu hidayah baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar