Rabu, 26 September 2012

Tafsir Sufi


Pendahuluan
Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai pegangan hidup (way of life), sumber  ilmu pengetahuan, dan merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah kenabian dan keumatan. Untuk yang disebutkan terakhir ini telah dibuktikan dalam sejarah kenabian Muhammad saw, bahwa al-Qur'an terbukti mampu menjawab hampir seluruh tantangan risalah yang diembannya. Dalam segi kebahasaan saja al-Qur'an terbukti mampu menundukkan bangsa Arab yang terkenal sangat piawai dalam menyusun sya’ir, bahkan mampu meluluhkan kekerasan hati orang kafir, seperti yang tergambar dalam peristiwa masuk Islamnya Umar Ibn al-Khattab.
Sebagai sumber segala ilmu pengetahuan, al-Qur'an telah banyak digali oleh para ilmuwan dari berbagai macam disiplin ilmu, termasuk oleh para mutasawwifun dan ahli sufi. Mereka telah banyak melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an terutama untuk merumuskan pandangan-pandangannya. Tafsir Sufi, yang akan dibahas lebih lanjut, adalah salah satu bukti produk mereka.
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi  hanya pada beberapa masalah sebagai berikut.
  1.  Tafsir Sufi sebagai salah satu bentuk khazanah ilmu tafsir.
  2.  Kontraversi seputar Tafsir Sufi.
Pengertian Tafsir Sufi dan Kitab-kitab Tafsir Sufi Dengan Penyusunnya
Sufi atau tasawwuf  secara etimologi berasal dari kata صوف, yang berarti bulu. Kaum sufi (pada abad pertama hijriyah) berbeda dengan orang kebanyakan dari segi pakaian kebanggaan yang dikenakannya. Mereka lebih suka mengenakan pakaian dari bulu domba, sebagai simbol upaya mereka dalam menjauhkan diri dari kesenangan duniawi. Atau berasal dari kata صفاء, yang berarti bersih. Menunjukkan suatu pengertian bahwa seorang murid, orang yang melakukan perjalanan sufi, baik secara lahiriah maupun batiniah bersih dari hal-hal yang bertentangan dengan Tuhannya. Dan atau diambil dari kata صفّة, yang berarti teras (emperan), dengan mengadopsi sebutan tersebut dari sifat para sahabat Nabi saw. yang tergolong fakir (أهل الصفة), [1] yang menetap di teras masjid untuk mempelajari agama.
Tasawwuf dalam pengertian seperti ini sebenarnya telah muncul sejak masa awal Islam (sadr al-Islam). Pada saat itu hampir mayoritas sahabat Nabi saw. mengambil sikap menjaga jarak atau bahkan menjauhkan diri dari seluruh kesenangan-kesenangan duniawi, dan memilih jalan zuhud dan mujahadah (bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah kepada Allah). Mereka beribadah di malam hari, dan puasa pada siang harinya. Bahkan dalam proses pendidikan diri (al-tahdhib) sebagian dari mereka ada yang sampai mengganjal perutnya dengan batu.
Kata sufi menjadi suatu istilah yang baku baru pada abad ke-II hijriah. Orang yang pertama kali disebut “sufi” adalah Abu Hashim al-Sufi (w. 150 H)[2]. Sedangkan sufi atau tasawwuf dalam arti terminologis, menurut Ibn Khaldun, adalah beribadah kepada Allah secara kontinu, mempergunakan seluruh waktu untuknya, berpaling dari dunia dengan seluruh keindahannya, zuhud terhadap semua kecenderungan manusia, seperti kesenangan, harta, dan pangkat, dan menyendiri (al-khalwah) dari manusia lain untuk beribadah[3]. Lebih tegas Ibrahim Basyuni mengatakan bahwa tasawwuf adalah kesadaran fitriyah yang mendorong diri untuk secara bersungguh-sungguh melakukan munajat sampai ia merasakan persambungan (al-wusul) dengan Dhat yang Mutlak[4].
Dengan demikian sufi atau tasawwuf bisa didefinisikan sebagai aktifitas munajat dalam hati, yang menjadi suatu kesucian bagi orang yang hendak menyucikan dirinya, dan menjadi suatu kebersihan bagi orang yang hendak membersihkan dirinya dari kotoran. Dalam munajat ini seseorang telah memasuki dimensi “kedalaman” yang tidak dapat ditembus apabila hatinya masih kotor, sehingga ia harus membersihkan terlebih dahulu dari syahwat dan kesenangan jasmaniyah. Dari sisi dapat dipahami bahwa didalam tasawwuf itu terkandung unsur pikiran, perbuatan jasmani, pelajaran, dan laku spiritual.[5]
Kemunculan sufi atau tasawwuf pada masa pertama hanya dalam bentuk perbuatan (‘amaliyah). Dan baru pada abad ke-II tersebut ia mulai menjadi suatu wacana (dicource) aktual di kalangan umat Islam, sesuai dengan perkembangan wacana filsafat, kalam (teologi) dan fiqh. Bahkan ketiga disiplin ilmu tersebut juga turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan sufi. Munculnya warna yang dominan dalam suatu konstruksi pemikiran sufi membuktikan adanya kontribusi tersebut, seperti warna filosifis dalam pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi, warna teologis dan fiqhiyah dalam pemikiran al-Ghazali, dan lain sebagainya. Meski demikian, perbedaan warna tersebut tetap mengacu kepada sumber yang sama, yaitu al-Qur'an dan al-Hadith. Perbedaan yang ada lebih disebabkan oleh perbedaan metodologi dan sudut pandang yang diterapkan. Dan metode-metode yang digunakan oleh kaum sufi dalam menggali sumber yang pertama (al-Qur'an) itulah yang menjadi pokok kajian Tafsir Sufi.
Dalam perkembangan selanjutnya, sufi ini terbagi dua, yaitu al-nazari  (teoritis) dan al-‘amali  (praktis)[6]. Yang dimaksud dengan al-nazari adalah sufi yang didasarkan pada studi dan analisis. Sedangkan yang dimaksud dengan al-‘amali adalah sufi yang didasarkan pada aktifitas ibadah kepada Allah, seperti dengan cara hidup sengsara, zuhud dan fana’[7].
Pada tataran teoritis, perjalanan spiritual (al-suluk) kaum sufi memang berbeda-beda, meskipun semuanya didasarkan atas dalil-dalil naqli, terutama al-Qur'an. Hal itu lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara pandang mereka terhadap al-Qur'an.  Namun sebenarnya  perbedaan tersebut masih dapat ditarik benang merahnya. Kaum sufi, secara keseluruhan, sependapat bahwa al-Qur'an itu mempunyai dua dimensi, zahir dan batin[8]. Dibawah setiap huruf-huruf yang ada terkandung banyak pemahaman yang disediakan bagi seseorang yang mampu membedahnya[9]. Menurut al-Zamakhshari dan Ibn al-Jawzi, apabila yang dimaksud zahir adalah lafaz (bahasa), sedangkan batin adalah makna lafaz tersebut, maka batin itulah yang dijadikan pedoman oleh kaum sufi dalam memahami al-Qur'an, bukan berpedoman pada kaidah bahasa atau makna yang disimbolkan oleh bahasa tersebut (al-madlul)[10].
Dari sini Tafsir Sufi dapat didefinisikan sebagai  tafsir al-Qur'an yang dihasilkan oleh kaum sufi. Dan karena sufi pada perkembangan selajutnya mempunyai banyak kecenderungan, maka tafsirnya juga sangat berfariasi, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Adapun diantara kitab-kitab Tafsir Sufi yang ada adalah.
  1.  Tafsir al-Qur’an al-’Adhim, karangan Abu Muhammad Sahl al-Tusturi.
  2.  Haqaiq al-Tafsir, karangan Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami.
  3.  ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan Abu Muhammad al-Shirazi.
  4.  al-Ta’wil al-Najmiyah, karangan Najm al-Din dan ‘Ala’ al-Daulah al-Samnani[11].
dan beberapa kitab yang lain, seperti kitab tafsir yang dinisbatkan kepada Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yaitu kitab al-Futuhat al-Makiyah dan al-Fusus[12].
Pembagian Tafsir Sufi Berkaitan Dengan Panafsiran Al-Qur’an
Amir ‘Abd al-’Aziz[13] memahami bahwa kaum sufi menilai tafsir mempunyai  dua cara: Pertama, cara yang diterapkan oleh kaum rusumiyah (skripturalisme), yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan hanya berpedoman pada teks yang tertulis. Dan secara praksis tanpa mencurahkan mata hati  (al-basirah); dan  kedua, cara yang digunakan oleh kaum sufi, yaitu menggali kedalaman   al-Qur’an untuk mengungkap kandungan maknanya. 
Kaum sufi lebih menitikberatkan penafsirannya pada pengungkapan makna terdalam yang dikandung al-Qur'an, dan itu, menurutnya, hanya bisa ditembus dengan mata hati[14]. Dalam hal ini diantara kaum sufi sendiri  mempunyai metode atau teori yang berbeda-beda. Al-Dhahabi[15] mencatat ada dua teori besar (grend teory) yang mereka lahirkan, yang sekaligus digunakan untuk membagi Tafsir Sufi, yaitu al-Tafsir al-Sufi al-Nazari dan al-Tafsir al-Faidi aw al-Ishari. Dan keduanya ternyata sangat komparatif dengan dua kecenderungan yang ada di kalangan sufi, teoritis dan praktis, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Menurut al-Dhahabi, yang dimaksud dengan al-Tafsir al-Sufi al-Nazari adalah tafsir yang didasarkan atas pandangan-pandangan ilmiah dan filsafat. Seorang sufi menafsirkan al-Qur’an dengan menyesuaikan penafsirannya dengan pandangan-pandangan pribadinya. Sudah tentu hal ini tidak mudah, mengingat al-Qur’an itu diturunkan tidak untuk menjustifikasi suatu pandangan tertentu, tetapi yang diupayakan adalah mencari pemahaman al-Qur’an yang bisa dipakai sebagai dasar atau pegangan bagi pandangannya. Metode ini diterapkan oleh Muhyiddin Ibn ‘Arabi[16]. Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah dalam surat Maryam ayat 47 berkenaan dengan Idris a.s. ورفعناه مكانا عليا, ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makan ‘ulya adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu matahari, yang merupakan tempat Idris. Sedangkan tentang kedudukan seperti dalam surat Muhammad ayat 35 وأنتم الأعلون والله معكم , itu hanya dimiliki oleh Muhammad.
Adapun yang dimaksud dengan al-Tafsir al-Faidi aw al-Ishari adalah menafsirkan atau menakwilkan al-Qur’an sesuai dengan pemahaman yang ditunjukan oleh isyarat samarnya (al-isharat al-khafiyah), yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang telah melakukan perjalanan spiritual (salik) saja. Dalam metode ini, menurut Subhi Salih[17], seperti komentarnya tentang al-Alusi dan kitab tafsirnya, Ruh al-Ma’ani, mufassir sama sekali tidak menafsirkan teks zahir (zahr al-ayah), tetapi memberikan isyarat pada sebagian makna yang samar dengan berpegangan pada isyarat teks atau ayat tersebut. 
Perbedaan antara kedua metode ini bisa dilihat sebagai berikut.
  1.  Dalam menafsirkan al-Qur’an, kelompok yang pertama terlebih dahulu membuat rumusan pandangan-pandangannya, kemudian mereka mencari ayat yang bisa memperkuat pandangannya tersebut. Sedang kelompok yang kedua berpegangan pada riyadah ruhiyah yang dilakukan, sehingga mereka sampai kepada tingkat terbukanya isyarat Tuhan yang tersirat dalam ungkapan al-Qur’an.
  2.  Kelompok  pertama  menganggap  tidak  adanya  suatu  pemahaman selain apa yang telah
mereka pahami. Sedangkan kelompok kedua masih menganggap banyak pemahaman-pemahaman lain yang terkandung, yaitu makna zahir[18].
Kedudukan Tafsir Sufi dan Penilaian Para Ulama Terhadap Tafsir Sufi
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Tafsir Sufi itu merupakan hasil interpretasi kaum sufi terhadap al-Qur’an sesuai dengan kecenderungan pribadinya. Dan juga faktor pemikiran kontemplatif tampaknya lebih dominan daripada faktor analisis empirik. Melihat fakta ini, Subhi Salih menggolongkan tafsir ini pada bagian al-tafsir bi al-ra’yi, seperti al-tafsir al-mu’tazili dan al-tafsir al-batini, tetapi pada bagian tafsir yang tercela (al-mazmum), karena penafsirnya hanya bertujuan untuk menguatkan kecenderungan, perasaan, dan penemuan pribadinya sendiri[19]. Hal ini sama saja dengan merendahkan derajat al-Qur'an kebawah kehendak manusia.
Para ulama berbeda pendapat dalam menilaian Tafsir Sufi ini, meski perbedaan yang ada masih bisa ditarik pada satu kesimpulan, yaitu ia dapat diterima sebagai tafsir apabila memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Menurut Sayyid Jibril, dari dua metode Tafsir Sufi yang dijelaskan diatas, hanya metode yang kedua yang bisa diterima, mengingat yang pertama cenderung merendahkan derajat al-Qur’an dibawah pikiran penafsirnya, karena yang dilakukan adalah memberikan pemahaman terhadap al-Qur’an sesuai dengan pikirannya sendiri[20]. Hal senada juga disampaikan oleh Manna al-Qattan, bahwa mufassir yang pertama itu telah tenggelam pada penakwilan batiniyah, berbeda dengan yang kedua, itupun dengan catatan apabila tafsirannya terdapat kesesuaian (dan tidak bertentangan) dengan teks zahir[21].
Subhi Salih mengungkap masalah ini lebih jelas, yaitu dengan membagi tafsir ini menjadi tiga: Tafsir Sufi, tafsir ishari, dan tafsir batini. Dan sebenarnya tafsir yang tidak dapat diterima itu adalah hanya tafsir batini, sebab sangat jauh dari teks ayat[22]. Meskipun sebenarnya perbedaan antara Tafsir Sufi dengan tafsir batini itu sudah sangat jelas, tepatnya dalam konteks zahir. Kaum sufi tidak menolak zahir sama sekali, sedangkan kaum batini bersikap sebaliknya, mereka sama sekali menolak zahir,  karena menurut mereka shari’ itu hanya menghendaki yang batin[23].
Al-Zamakhshari dalam al-Burhan, seperti yang dikutip oleh al-Zarqani, berbeda dengan berbagai penilaian diatas. Ia sama sekali menolak Tafsir Sufi, sebab, menurutnya, perkataan seorang sufi tetang tafsir al-Qur’an itu sebenarnya bukan tafsir, tetapi hanya arti-arti atau penemuan-penemuan yang didapatkannya saat membaca al-Qur’an[24]. Pendapat ini diperkuat oleh al-Suyuti, dimana ia menilai  perkataan seorang sufi yang terkait dengan ayat al-Qur'an itu bukan tafsir. Ia juga mengutip pendapat Ibn al-Salah dalam kitab Fatawi, bahwa apa yang ditulis oleh al-Sulami dalam kitab Haqaiq al-Tafsir itu apabila diyakini sebagai sebuah tafsir maka yang bersangkutan telah terjerumus kedalam kekafiran[25]. 
Sikap moderat antar dua pendapan yang ekstrim ini diberikan oleh Al-Dhahabi dengan mengemukakan beberapa syarat untuk bisa diterimanya Tafsir Sufi (ishari), yaitu sebagai berikut.
  1.  Tidak menafikan makna lahir (pengertian tektual) dari ayat al-Qur’an.
  2.  Penafsiran itu diperkuat oleh dalil shar’ yang lain.
  3.  Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil shar’ atau rasio.
  4.  Penafsirnya tidak mengakui bahwa penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat [26]. Al-Zarqani menambah satu syarat lagi, yaitu.
  5.  Penafsirnya    tidak    lemah.    Seperti    menafsirkan    kata  لمع   danالمحسنين     dalam   ayat إِنَّ اللهَ لَمَعَ اْلمُحْسِنِيْنَ  bahwa kataلَمَعَ  sebagai fi’il madi dan المُحْسِنِيْنَ sebagai maf’ulnya[27], yang berarti “Sesungguhnya Allah itu memberi isyarat (petunjuk) kepada orang-orang yang baik.”
Penutup
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.
  1.  Tafsir Sufi dengan berbagai ragam bentuknya adalah bagian dari tafsir bi al-ra’yi. Namun melihat pada dominasi unsur kontemplasi yang ada didalamnya, akal intuitif lebih banyak berperan dalam menghasilkan al-ra’y daripada rasio.
  2.  Hampir mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa dari model Tafsir Sufi yang ada, hanya tafsir ishari yang bisa diterima, itupun harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Sebagai penutup, penulis beristighfar kepada Allah, karena hanya Dialah kebenaran yang absolut.

BIBLIOGRAFI

al-‘Aridl, Ali Hasan. Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. terj. Ahmad Akrom. Cet II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
 al-’Ak, Khalid Abd al-Rahman. Usul al-Tafsir wa Qawaiduh. Bairut: Dar al-Nafa’is, 1986.
 al-’Aziz, Amir ‘Abd. Dirasat fi ‘Ulum al-Tafsir. Bairut: Muassasah ar-Risalah Dar al-Firqan, 1983.
 Basyuni, Ibrahim. Nash’at al-Tasawwuf al-Islami. Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr, t.t.
 al-Dhahabi, Muhammad Huseyn. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Vol. 3, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1962.
 Jibril, Muhammad al-Sayyid. Madkhal ila Manahij al- Mufassirin. Kairo: al-Risalah, 1987.
 Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. Bairut: Dar al-Qalam, 1981.
 al-Qattan, Manna Khalil. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Manshurat al-‘Asru al-Hadith, 1973.
 al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Vol. II. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
 Subhi Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Bairut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, tt.
 al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adhim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.


[1]Muhammad Huseyn Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, Vol III, 1962), 337
[2]Ibid, 338
[3]Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Bairut: Dar al-Qalam, 1981),467
[4]Ibrahim Basyuni, Nash’at al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr, t.t), 28
[5]Al-Dhahabi, al-Tafsir, 338
[6]Al-Dhahabi, al-Tafsir, 339. Istilah “teoritis” dan “praktis” diambil dari terjemah Ahmad Akrom terhadap buku Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Ali Hasan al-‘Aridl. Cet II, Jakarta: PT Raja Grafindo Prsada, 1994.
[7]Ibid, 338
[8]Stetemen ini awal mulanya diungkapkan oleh golongan Shi’ah Isma’iliyah saat meletakkan dasar-dasar menafsirkan al-Qur’an, yang didasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh al-Alusi bahwa ia berkata: روي عن الحسن قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لكل آية ظهر وبطن ولكل حرف حد ولكل حد مطلع Lihat Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al- Mufassirin (Kairo: al-Risalah, 1987), 150
[9]Khalid Abd al-Rahman al-’Ak, Usul al-Tafsir wa Qawaiduh (Bairut: Dar al-Nafa’is, 1986), 211
[10]Jibril, Madkhal ila, 210
[11]Al-Dhahabi, al-Tafsir, 380-393
[12]Ibid, 340
[13]Amir ‘Abd al-’Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Tafsir (Bairut: Mu’assasah al-Risalah Dar al-Furqan, 1983), 167
[14]Ibid
[15]Al-Dhahabi, al-Tafsir, 339-352
[16]Manna Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Manshurat al-‘Asru al-Hadith, 1973), 356
[17]Subhi Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Bairut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, ), 296
[18]Al-Dhahabi, al-Tafsir,  377; Idem Jibril, Madkhal ila, 212-213
[19]Salih, Mabahith fi, 294
[20]Jibril, Madkhal ila, 213
[21]al-Qattan, Mabahith fi, 356-357
[22]Salih, Mabahith fi, 297
[23]Muhammad ‘Abd al-‘Adhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. II (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), 79
[24]Ibid, 78
[25]Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an Vol. II (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), 184
[26]Al-Dhahabi, al-Tafsir, 377
[27]al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi, 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar