Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali (1058-1111), yang
lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali, sudah sangat populer di kalangan umat
Islam dan para ahli Islam. Ia adalah salah sorang pemikir muslim yang
kontraversial, terutama terkait dengan kejumudan dan kemunduran umat Islam pada
abad pertengahan. Tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa ia merupakan
penyebab kemunduran umat Islam tersebut, khususnya di bidang sains dan
filsafat. Namun, banyak pula kalangan yang tidak meragukan kontribusinya
terhadap khazanah intelektual Islam.
Kalangan orientalis selalu mengatakan
bahwa kegiatan intelektual umat Islam telah mati. Kematian itu disebabkan oleh,
pertama, issu tentang tertutupnya pintu ijtihad; kedua, serangan al-Ghazali
terhadap filsafat; dan ketiga, meninggalnya simbol rasionalisme Islam, Ibn
Rushd.[1]
Khusus sebab yang kedua, kritik yang
dilontarkan oleh al-Ghazali terhadap beberapa filusuf, yang menurutnya tidak
bersumber pada ajaran Islam, dianggap telah mematikan kreatifitas intelektual
umat Islam. Apalagi pada sisi yang lain, semangat puritanisme al-Ghazali yang
diwujudkan dengan pikiran rekonsiliasi ideologi ilmiahnya,[2]
juga dianggap telah memadamkan api dialektika intlektual umat. Kedua hal inilah
yang dijadikan sebagai faktor utama tuduhan kaum orientalis terhadap al-Ghazali
tekait dengan kemandegan intelektual umat Islam. Namun, benarkah al-Ghazali
telah mengisi sisi gelap sejarah umat Islam ini, atau hal ini hanya merupakan
“kambing hitam” sejarah saja?
“Perang” Ideologi Ilmiah dan Upaya Rekonsiliasi al-Ghazali
Umat Islam, sebagai sebuah
komunitas, pasti bersinggungan dengan komunitas lain, baik langsung maupun
tidak langsung. Pertemuan antarindividu akan membentuk suatu sistem yang secara
konvensional disebut kebudayaan. Dan pertemuan antarsatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain pada wilayah yang lebih luas akan membentuk sebuah
peradaban. Peradaban Islam juga terbentuk dari proses yang semacam ini. Ia
terbentuk dari interaksi antarbudaya, baik internal maupun eksternal Islam.[3]
Watak kosmopolitanisme kebudayaan Islam,[4]
memberikan peluang untuk bersikap terbuka terhadap sistem kebudayaan manapun.
Pertama, interaksi internal umat Islam
pasca wafatnya Nabi ditandai dengan munculnya konflik politik yang membesar
pada masa Uthman b. Affan, yang disusul kemudian oleh lahirnya konflik ideologi
ilmiah. Terjadinya al-fitnah al-kubra, terbunuhnya Uthman, melahirkan issu
keagamaan tentang nasib atau hukum bagi orang yang telah melakukan dosa besar.
Bagi bani ‘Umayah, orang tersebut masih tetap dianggap sebagai seorang muslim
yang beriman, meski ia seorang yang fasiq. Berbeda dengan kaum Khawarij, mereka
menganggap bahwa orang tersebut telah kafir.
Issu ini kemudian berkembang menjadi
issu tentang perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), yang kemudian melahirkan
perdebatan antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah. Kelompok Jabariyah
memandang bahwa manusia itu tidak berdaya di hadapan “taqdir” Tuhan.
Sebaliknya, kelompok Qadariyah memahami bahwa manusia itu “mampu” memilih dan
menentukan sendiri perbuatannya.
Kedua, interaksi eksternal umat Islam
ditandai dengan masuknya unsur-unsur luar, khususnya kebudayaan Perso-Semitik
dan Hellenisme-Romawi dalam dinamika peradaban Islam. Unsur-unsur Perso-Semitik
bisa dilihat, misalnya, pada pola pengelolahan sistem kepemerintahan pada
khilafah Abbasiyah, dan warna metaforis dan alegoris (al-ta’wil al-majazi)
dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama (meski kecenderungan ini juga merupakan
pengaruh filsafat Yunani, khususnya unsur-unsur Neo-Platonisme). Sedangkan
unsur-unsur Hellenisme-Romawi, jika dikaitkan dengan polemik ideologi ilmiah
diatas, telah turut memperbesar kedua aliran tersebut (Qadariyah dan
Jabariyah). Bahkan usaha untuk menengahi kedua aliran besar ini, yang dilakukan
oleh Abu al-Hasan al-‘Ash’ari dengan konsep al-kasb-nya, dan Abu Mansur
al-Maturidi, juga menggunakan argumen-argumen Hellenisme, khususnya
Aristoteles,[5]
yang kemudian melahirkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pengaruh Hellenisme ini semakin kuat
ketika tumbuh gairah di kalangan umat Islam untuk menterjemahkan karya-karya
asing. Semangat penterjemahan yang dikobarkan oleh Khalid b. Yazid (salah
seorang khalifah ‘Umayah), dan mencapai puncaknya pada masa Harun al-Rashid dan
anaknya al-Ma’mun (Abbasiyah) ini telah mampu membuka wawasan intlektualisme
umat Islam.
Namun akhirnya pengaruh
Hellenisme ini banyak meresahkan ulama (ahli zahir, eksoterik, fiqh) karena
dianggap akan mereduksi otentisitas ajaran Islam, karena interpretasi
metaforis, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi dan Ibn Sina, telah berani
melakukan ‘i’tibar, meninggalkan makna dhahir dan beralih pada makna batin.
Apalagi pemikiran yang demikian telah melahirkan aliran baru, yaitu aliran
Batiniyah, yang mencapai puncak perkembangannya pada masa Shi’ah Sab’iyah
(Isma’iliyah).
Aliran yang disebut terakhir ini pada
masa al-Ghazali menjadi semakin serius dan bertambah besar ketika al-Hasan b.
al-Sabah al-Isma’ili telah berhasil mengupayakan legitimasi bagi aliran ini
kepada Nizar b. al-Mustansir bi Allah.[6]
Sampai al-Ghazali sendiri telah tertarik untuk menulis sebuah buku untuk
menolak aliran ini, Fadaih al-Batiniyah,[7]
untuk khalifah al-Mustazhir bi Allah, yang, menurut Mustafa Jawad, merupakan
salah satu motif kepindahannya dari al-Madrasah al-Nizamiyah, Baghdad, ke Sham,
Damaskus,[8]
kalau tidak karena “paksaan” Nizam al-Mulk.[9]
Disamping pertentangan
ideologis-teologis diatas, kemenangan umat Islam di bidang militer dan politik
melahirkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang bersifat empiris dan
institusional. Hal ini kemudian memunculkan para pemikir yang lebih
mengedepankan dimensi legal formal (eksoterik, fiqh) ajaran Islam, seperti
Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali. Munculnya berbagai pemikiran eksoterik ini
juga melahirkan sebuah dialektika tersendiri. Apalagi masing-masing aliran
(al-madhhab) saling berusaha untuk mencari legalitas dari pemerintah yang
berkuasa.
Polemik madzhab ini pada masa
al-Ghazali, antara lain, bisa dilihat pada upaya bani Saljuk melalui tangan
wazir mereka, ‘Amid al-Mulk Mansur b. Muhammad al-Kandari, dalam memperkuat
madzhab Hanafi dan menentang madzhab ‘Ash’ari dan Shafi’i. Mereka bukan hanya
menghina madzhab ini, tapi juga melarangnya untuk masuk dalam pendidikan, dan
mengucilkannya dari pertemuan umum. Disamping itu mereka juga menyerang
orang-orang Mu’tazilah yang menganggap dirinya telah mengikuti madzhab Hanafi.
Sampai-sampai Abu al-Faraj al-Juzi mengatakan bahwa ‘Amid al-Mulk itu adalah
orang yang sangat fanatisme terhadap madzhab Hanafi.[10]
Gerakan ini yang kemudian mendorong Qiwam al-Din Nizam al-Mulk untuk mendirikan
al-Madrasah al-Nizamiyah sebagai tempat pengajaran paham ‘Ash’ariyah dan
Shafi’iyah, yang sekaligus sebagai penolong kedua paham tersebut.[11]
Namun kecenderungan eksoterik kaum
fuqaha’ ini juga telah melahirkan polemik lain. Kaum esoteris, sufi, menganggap
bahwa upaya kaum fuqaha’ itu hanya akan menyempitkan orientasi ajaran Islam
saja. Mereka kemudian memberikan reaksi dengan lontaran pemikiran-pikiran
esoteriknya. Tapi karena esoterismenya, kaum sufi ini, secara politis kurang
mendapat legalitas dari pemerintah yang berkuasa, sehingga mereka lebih banyak
berperan sebagai oposisi, meski mereka pernah menang gemilang dan mendirikan
Dinasti Shafawiyah di Iran.[12]
Perkembangan Islam pada masa al-Ghazali
memang telah mengalami percabangan yang masing-masing pihak saling mengklaim
sebagai Islam yang autentik, kalau tidak menuduh kepada pihak lainnya sebagai
bukan Islam.[13]
Kongklusinya, pada masa al-Ghazali
(abad ke-XI) dialektika intlektual umat Islam sudah sedemikian komplek. Dan hal
ini oleh Muhammad Sadiq ‘Urjun, justru dinilai telah memberikan corak
tersendiri bagi peradaban Islam. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kajian-kajian
keislaman pada masa itu tidak lagi hanya mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadith,
tetapi juga pada khazanah intelektual seluruh manusia, sehingga peradaban yang
ada tidak bisa lagi diklaim sebagai milik orang Timur, Barat, Islam, atau yang
lain saja. Akan tetapi lebih merupakan peradaban manusia.[14]
Dinamika peradaban umat Islam yang
fragmentaristik seperti yang tergambarkan diatas, di mata al-Ghazali masih
terdapat celah untuk dicarikan jalan kompromi, sehingga konflik ideologi ilmiah
itu tidak terus berkepanjangan. Jalan rekonsiliasi yang ditempuh oleh
al-Ghazali inilah yang oleh Nurcholish Madjid[15]
dipahami sebagi sikap solidaritas al-Ghazali terhadap umat Islam. Pemikiran
rekonsiliasif al-Ghazali ini dikumpulkan dalam Ihya’ al-‘Ulum al-Din, dimana
secara konprehensif ia menyatukan orientasi eksoterik yang diwakili oleh ahli
fiqh dan orientasi esoterik yang diwakili oleh kaum sufi.
Pada sisi yang lain, al-Ghazali juga
berusaha memurnikan filsafat yang dianggapnya telah menyimpang dari sumber
ajaran agama. Sebenarnya sasaran utama al-Ghazali, seperti penegasan Abd
al-Mun’im Majid, adalah kaum Shi’ah, dimana mereka dianggap sudah terlalu jauh
memasukkan filsafat dalam wilayah agama, sementara ia sendiri meyakini suatu
pemahaman agama itu harus berdasarkan pada sunnah.[16]
Dalam hal ini al-Ghazali berusaha mempertahankan dasar-dasar normatif dalam
memahami agama (kashf), sekaligus ia menawarkan upaya antisipasi agar seseorang
dapat terhindar dari kesesatan dan bid’ah.
Al-Ghazali memulai usahanya ini dengan
membeberkan pokok-pokok pikiran filsafat dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Ia
lebih dulu menjelaskan hal-hal yang menjadi bidikan bantahannya.[17]
Dan disusul kemudian dengan Tahafut al-Falasifah, sebagai medium serangan itu
sendiri. Melihat pada upaya pemurnian itulah, Sayyid Husain Nasr,
mengkategorikan buku ini sebagai sebuah karya dalam ilmu kalam.[18]
Dan juga melihat pada motif itulah kemudian al-Ghazali diberi gelar Hujjah
al-Islam.[19]
Kontraversi terhadap al-Ghazali
Penyeleseian yang diberikan oleh
al-Ghazali ini, meski tidak sempurna tapi komprehensif. Dan juga konsep al-kasb
(equisision) ilmu kalam al-‘Ash’ari sebagai penengah paham Jabariyah dan
Qodariyah yang didukungnya telah berhasil menimbulkan equilibrium sosial yang
tiada taranya, sehingga kegiatan intlektual umat Islam pasca al-Ghazali tidak
lagi semarak seperti sebelumnya.[20]
Akan tetapi hal ini bukan satu-satunya
sebab kevakuman umat, mengingat kekalahan umat Islam atas bangsa Mongol dan
pindahnya sentra-sentra kegiatan ilmiah dari dunia Islam ke Eropa,[21]
telah menimbulakan sikap traumatik yang berkepanjangan, yang konon sampai saat
ini umat Islam belum mampu sepenuhnya bangkit dari kevakuman tersebut.
Pikiran al-Ghazali tentang rekonsiliasi
ideologi ilmiah, dan bantahannya terhadap beberapa pemikiran filsafat yang
dianggapnya tidak bersumber pada ajaran Islam, terutama pemikiran Ibn Sina dan
al-Farabi, disinyalir telah hampir mematikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat di kalangan umat (rasionalisme Islam), yang disusul kemudian dengan
merebaknya kejumudan umat.
Al-Ghazali mendasarkan upaya
rekonsiliasi ideologi ilmiahnya pada pembagiannya terhadap ilmu. Ia membagi
ilmu menjadi dua: ilmu fard ‘ayn dan fard kifayah. Termasuk ilmu yang masuk
dalam kategori fard ‘ayn adalah ilmu keagamaan, seperti ilmu kalam, fiqh,
tasawuf dan lain-lain. Adapun yang masuk dalam kategori fard kifayah adalah
ilmu keduniawian, seperti ilmu kedokteran, fisika, astronomi, biologi dan
lain-lain.[22]
Kedua kategori ini yang selanjutnya dijadikannya sebagai basis etis bagi ilmu.[23]
Pembagian ilmu secara demarkatif ini
disinyalir bisa mengalihkan pusat perhatian umat Islam pada ilmu-ilmu agama
demi keselamatannya di akhirat, “mengabaikan” ilmu-ilmu keduniawian. Tidak
heran kemudian apabila al-Ghazali sering diasosiasikan dengan sikap-sikap
pasif. Apalagi jika hal ini ditambah dengan pengkafirannya terhadap para
filusuf, pada satu sisi, dan pengajarannya tentang konsep‘uzlah-nya,[24]
pada sisi lain, maka sikap pasif umat Islam juga akan semakin akut.
Namun, sebenarnya tuduhan tersebut
masih dapat ditinjau ulang, melihat pada satu sisi, motifasi al-Ghazali dalam
merumuskan bantahan-bantahannya, sebenarnya tidak bermaksud untuk “membunuh”
filsafat, akan tetapi ia hanya tidak ingin kalau seorang filusuf muslim
menjadikan filsafat Yunani sebagai sumber bagi pemikiran Islam, sebab secara
azasi jelas terdapat perbedaan dengan Islam, seperti tentang alam dan wujud.
Filsafat Yunani tidak didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan
risalah-risalaNya, hanya didasarkan pada kepercayaan pada semacam penitisan ruh
(tanasukh al-arwah) yang bisa ditemui pada agama-agama klasik di Timur.
Sementara orang muslim jelas telah beriman kepada Tuhan dan risalah-risalahNya
tersebut. Oleh karena itu al-Ghazali ingin meletakkan filsafat secara
proporsional, sehingga seseorang dapat terhindar dari tipuan-tipuan filsafat.
Al-Ghazali tidak menhendaki filsafat Yunani (apa adanya) itu dijadikan sebagai
sumber pemikiran Islam, seperti apa yang telah dilakukan oleh al-Farabi
dan Ibn Sina. Filsafat itu hanya sekedar alat, bukan sumber utama.[25]
Dan pada sisi yang lain, al-Ghazali
juga masih memakai pemikiran-pemikiran filsafat, meskipun dari
“musuh-musuhnya”. Seperti pemikiran tentang kejiwaan, ia tetap memakai
pikiran-pikiran al-Farabi dan Ibn Sina, sebagaimana ia juga tetap memakai
logika Aristoteles.[26]
Bahkan ia telah menyatakan bahwa karya al-Farabi dan Ibn Sina merupakan karya
filosof yang terbaik.[27]
Hal ini relevan dengan pernyataan Abd
al-Halim Mahmud bahwa pada hakekatnya polemik yang terjadi saat itu hanya
berkisar pada dasar logika (sumber) suatu pemikiran, bukan pemikiran itu
sendiri.[28]
Seperti tentang tiga masalah yang dipakai dasar al-Ghazali untuk mengkafirkan
para filusuf, yaitu qadimnya alam, Allah tidak mengetahui juz’iyah, dan
kebangkitan ruhani saja nanti di akhirat.[29]
Bagi al-Ghazali, ketiga hal ini merupakan masalah-maslah metafisik, yang tidak
akan mampu ditembus dengan akal,[30]
sebab akal itu tidak akan bisa sampai pada hakekat. Wujud Allah itu tidak akan
mampu ditembus oleh ilmu dan bahkan filsafat metafisika pun.[31]
Adapun tentang konsep ‘uzlah,
al-Ghazali hanya menawarkan upaya antisipasi, agar umat Islam tidak terkecoh
oleh kehidupan duniawi, sehingga mereka tidak terseret dalam praktek-praktek
kezaliman. Relevan dengan sebuah filsafat Jawa “eling lan waspada”.[32]
Bukankah Cyril Glasse dalam The Concise
Encyclopedia of Islam telah menggambarkan bahwa al-Ghazali telah mampu membawa
suatu zaman yang mengakhiri masa pertikaian dan sekaligus mengawali sebuah
zaman baru,[33]
sehingga sepeninggalnya doktrindoktrin Islam telah terlepas dari berbagai
lilitan pemikiran duniawi, dan mampu mengembangkan ekspresinya secara penuh?[34]
Al-Ghazali itu ibarat lensa cembung yang menangkap berbagai sinar cahaya, lalu
menyatukannya kembali. Sungguh ia telah mengantarkan umat Islam pada tahapan
sejarahnya yang kedua,[35]
dimana mereka telah mampu mencapai langkah-langkah kesatuan dan kerukunan. Dan
secara kebetulan muncul di kalangan mereka untuk menyusun dan mengendalikan
kegiatan intlektual agar menjadikannya sebagai respon terhadap perlunya sebuah
peradaban yang agamis.[36]
Dengan demikian, apakah tuduan tersebut
bukan hanya merupakan “kambing hitam” sejarah umat Islam ketika terjadi suatu
koinsidensi berupa berpindahnya ilmu pengetahuan Islam ke Barat setelah
kekalahan umat Islam dari bangsa Mongol, yang kemudian kurang lebih empat abad
berikutnya (abad ke-XVI) Barat mengalami kebangkitan kembali (renaissance)?
[1] Suharsono dalam
kata pengantarnya terhadap bukunya Seyyed Hossein Nasr, Intlektual Islam:
Teologi, Filsafat, dan Gnosis, terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), vi
[2] Meminjam Istilah
Abdul Munir Mulkan dalam Paradigma Intlektualisme Muslim: Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 16
[3] Hal ini seperti
penilaian Ahmad Amin tentang pembentukan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah.
Menurutnya kebudayaan Abbasiyah itu terbentuk dari akulturasi tujuh kebudayaan
besar, yaitu kebudayaan Persia, India, Yunani, Arab, Nasrani, Yahudi dan Islam.
Lihat Ahmad Amin, Duha al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, t.t.),
163
[4] Tentang
Kosmopelitanisme Kebudayaan Islam ini bisa dilihat, misalnya, Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 441-445
[5] Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), 3
[6] Mustafa Jawad,
“’Asr al-Imam al-Ghazali” dalam ‘Abu Hamid al-Ghazali fi al-dhikri al-Mi’wiyah
al-Tasi’ah li Miladih, (Mahrajan al-Ghazali fi Dimisq: al-Majlis al-‘A’la li
Ri’ayah al-funun wa al-Adab wa al-‘Ulum al-Ijtima’iyah, 1961), 499
[7] ‘Abd al-Karim
‘Uthman, Ma’alim al-Thaqafah al-Islamiyah (Bairut: Mu’assasah al-Risalah,
1992), 377
[8] Jawad, “’Asr
al-Imam, 501
[9] Jalal Muhammad
‘Abd al-Hamid Musa, Nash’at al-Ash’ariyah wa Tatawwuriha (Bairut: Dar al-Kitab
al-Lubnani, 1975), 417
[10] Jawad, “’Asr
al-Imam, 496
[11] Ibid, 497
[12] Madjid, Kaki
Langit, 5
[13] Cyril Glasse,
“al-Ghazali” dalam The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper,
1989), 138
[14] Muhammad Sadiq
‘Urjun, “Miftah shakhshiyah al-Ghazali: Hal Shukka Hujjah al-Islam” dalam ‘Abu
Hamid, 831-832
[15] Madjid,
Kaki Langit, 86
[16] ‘Abd al-Mun’im
Majid, Tarikh al-Hadarah al-Islamiyah fi al-’Usur al-Wusta (Kairo: Maktabah
al-Injilu al-Misriyah, 1978), 220
[17] Muhammad Lutfi
Jam’ah, Tarikh Falasifah al-Islam fi al-Mashriq wa al-Maghrib (Bairut:
Al-Maktabah al-Ilmiyah, tt), 69
[18] Osman Bakar,
Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung:
Mizan, 1997), 184
[19] Madjid, Kaki
Langit, 86
[20] Ibid, 6
[21] Ibid.
[22] Lihat Al-Ghazali,
Ihya’ al-‘Ulum al-Din, vol. 1 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), 13-28
[23] Bakar, Hierarki,
235
[24] Madjid, Kaki
Langit, 88-89
[25] ‘Uthman, Ma’alim
al-Thaqafah, 379
[26] Sudarsono,
Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 73
[27] Bakar, Hierarki,
284
[28] Abd
al-Halim Mahmud, Al-Munqid min al-Dalal li Hujjat al-Islam al-Ghazali (Kairo:
Dar al-Nasr li al-Tiba’ah, 1968), 63
[29] Sulaiman Dunya,
Mi’yar al-’Ilm li al-Imam al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr, t.t), 11
[30] Mahmud,
Al-Munqid, 62
[31] Ibid, 64
[32] Madjid, Kaki
Langit, 89
[33] Glasse,
“al-Ghazali”, 138
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar