Senin, 12 Desember 2011

Rekonsiliasi Ideologi Ilmiah ala Al-Ghazali

           Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali (1058-1111), yang lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali, sudah sangat populer di kalangan umat Islam dan para ahli Islam. Ia adalah salah sorang pemikir muslim yang kontraversial, terutama terkait dengan kejumudan dan kemunduran umat Islam pada abad pertengahan. Tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa ia merupakan penyebab kemunduran umat Islam tersebut, khususnya di bidang sains dan filsafat. Namun, banyak pula kalangan yang tidak meragukan kontribusinya terhadap khazanah intelektual Islam.
Kalangan orientalis selalu mengatakan bahwa kegiatan intelektual umat Islam telah mati. Kematian itu disebabkan oleh, pertama, issu tentang tertutupnya pintu ijtihad; kedua, serangan al-Ghazali terhadap filsafat; dan ketiga, meninggalnya simbol rasionalisme Islam, Ibn Rushd.[1]
Khusus sebab yang kedua, kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali terhadap beberapa filusuf, yang menurutnya tidak bersumber pada ajaran Islam, dianggap telah mematikan kreatifitas intelektual umat Islam. Apalagi pada sisi yang lain, semangat puritanisme al-Ghazali yang diwujudkan dengan pikiran rekonsiliasi ideologi ilmiahnya,[2] juga dianggap telah memadamkan api dialektika intlektual umat. Kedua hal inilah yang dijadikan sebagai faktor utama tuduhan kaum orientalis terhadap al-Ghazali tekait dengan kemandegan intelektual umat Islam. Namun, benarkah al-Ghazali telah mengisi sisi gelap sejarah umat Islam ini, atau hal ini hanya merupakan “kambing hitam” sejarah saja? 

“Perang” Ideologi Ilmiah dan Upaya Rekonsiliasi al-Ghazali
Umat  Islam, sebagai sebuah komunitas, pasti bersinggungan dengan komunitas lain, baik langsung maupun tidak langsung. Pertemuan antarindividu akan membentuk suatu sistem yang secara konvensional disebut kebudayaan. Dan pertemuan antarsatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain pada wilayah yang lebih luas akan membentuk sebuah peradaban. Peradaban Islam juga terbentuk dari proses yang semacam ini. Ia terbentuk dari interaksi antarbudaya, baik internal maupun eksternal Islam.[3] Watak kosmopolitanisme kebudayaan Islam,[4] memberikan peluang untuk bersikap terbuka terhadap sistem kebudayaan manapun.
Pertama, interaksi internal umat Islam pasca wafatnya Nabi ditandai dengan munculnya konflik politik yang membesar pada masa Uthman b. Affan, yang disusul kemudian oleh lahirnya konflik ideologi ilmiah. Terjadinya al-fitnah al-kubra, terbunuhnya Uthman, melahirkan issu keagamaan tentang nasib atau hukum bagi orang yang telah melakukan dosa besar. Bagi bani ‘Umayah, orang tersebut masih tetap dianggap sebagai seorang muslim yang beriman, meski ia seorang yang fasiq. Berbeda dengan kaum Khawarij, mereka menganggap bahwa orang tersebut telah kafir.
Issu ini kemudian berkembang menjadi issu tentang perbuatan manusia (af’al al-‘ibad), yang kemudian melahirkan perdebatan antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah. Kelompok Jabariyah memandang bahwa manusia itu tidak berdaya di hadapan “taqdir” Tuhan. Sebaliknya, kelompok Qadariyah memahami bahwa manusia itu “mampu” memilih dan menentukan sendiri perbuatannya.
Kedua, interaksi eksternal umat Islam ditandai dengan masuknya unsur-unsur luar, khususnya kebudayaan Perso-Semitik dan Hellenisme-Romawi dalam dinamika peradaban Islam. Unsur-unsur Perso-Semitik bisa dilihat, misalnya, pada pola pengelolahan sistem kepemerintahan pada khilafah Abbasiyah, dan warna metaforis dan alegoris (al-ta’wil al-majazi) dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama (meski kecenderungan ini juga merupakan pengaruh filsafat Yunani, khususnya unsur-unsur Neo-Platonisme). Sedangkan unsur-unsur Hellenisme-Romawi, jika dikaitkan dengan polemik ideologi ilmiah diatas, telah turut memperbesar kedua aliran tersebut (Qadariyah dan Jabariyah). Bahkan usaha untuk menengahi kedua aliran besar ini, yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-‘Ash’ari dengan konsep al-kasb-nya, dan Abu Mansur al-Maturidi, juga menggunakan argumen-argumen Hellenisme, khususnya Aristoteles,[5] yang kemudian melahirkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Pengaruh Hellenisme ini semakin kuat ketika tumbuh gairah di kalangan umat Islam untuk menterjemahkan karya-karya asing. Semangat penterjemahan yang dikobarkan oleh Khalid b. Yazid (salah seorang khalifah ‘Umayah), dan mencapai puncaknya pada masa Harun al-Rashid dan anaknya al-Ma’mun (Abbasiyah) ini telah mampu membuka wawasan intlektualisme umat Islam.
 Namun akhirnya pengaruh Hellenisme ini banyak meresahkan ulama (ahli zahir, eksoterik, fiqh) karena dianggap akan mereduksi otentisitas ajaran Islam, karena interpretasi metaforis, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi dan Ibn Sina, telah berani melakukan ‘i’tibar, meninggalkan makna dhahir dan beralih pada makna batin. Apalagi pemikiran yang demikian telah melahirkan aliran baru, yaitu aliran Batiniyah, yang mencapai puncak perkembangannya pada masa Shi’ah Sab’iyah (Isma’iliyah).
Aliran yang disebut terakhir ini pada masa al-Ghazali menjadi semakin serius dan bertambah besar ketika al-Hasan b. al-Sabah al-Isma’ili telah berhasil mengupayakan legitimasi bagi aliran ini kepada Nizar b. al-Mustansir bi Allah.[6] Sampai al-Ghazali sendiri telah tertarik untuk menulis sebuah buku untuk menolak aliran ini, Fadaih al-Batiniyah,[7] untuk khalifah al-Mustazhir bi Allah, yang, menurut Mustafa Jawad, merupakan salah satu motif kepindahannya dari al-Madrasah al-Nizamiyah, Baghdad, ke Sham, Damaskus,[8] kalau tidak karena “paksaan” Nizam al-Mulk.[9]
Disamping pertentangan ideologis-teologis diatas, kemenangan umat Islam di bidang militer dan politik melahirkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang bersifat empiris dan institusional. Hal ini kemudian memunculkan para pemikir yang lebih mengedepankan dimensi legal formal (eksoterik, fiqh) ajaran Islam, seperti Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali. Munculnya berbagai pemikiran eksoterik ini juga melahirkan sebuah dialektika tersendiri. Apalagi masing-masing aliran (al-madhhab) saling berusaha untuk mencari legalitas dari pemerintah yang berkuasa.
Polemik madzhab ini pada masa al-Ghazali, antara lain, bisa dilihat pada upaya bani Saljuk melalui tangan wazir mereka, ‘Amid al-Mulk Mansur b. Muhammad al-Kandari, dalam memperkuat madzhab Hanafi dan menentang madzhab ‘Ash’ari dan Shafi’i. Mereka bukan hanya menghina madzhab ini, tapi juga melarangnya untuk masuk dalam pendidikan, dan mengucilkannya dari pertemuan umum. Disamping itu mereka juga menyerang orang-orang Mu’tazilah yang menganggap dirinya telah mengikuti madzhab Hanafi. Sampai-sampai Abu al-Faraj al-Juzi mengatakan bahwa ‘Amid al-Mulk itu adalah orang yang sangat fanatisme terhadap madzhab Hanafi.[10] Gerakan ini yang kemudian mendorong Qiwam al-Din Nizam al-Mulk untuk mendirikan al-Madrasah al-Nizamiyah sebagai tempat pengajaran paham ‘Ash’ariyah dan Shafi’iyah, yang sekaligus sebagai penolong kedua paham tersebut.[11]
Namun kecenderungan eksoterik kaum fuqaha’ ini juga telah melahirkan polemik lain. Kaum esoteris, sufi, menganggap bahwa upaya kaum fuqaha’ itu hanya akan menyempitkan orientasi ajaran Islam saja. Mereka kemudian memberikan reaksi dengan lontaran pemikiran-pikiran esoteriknya. Tapi karena esoterismenya, kaum sufi ini, secara politis kurang mendapat legalitas dari pemerintah yang berkuasa, sehingga mereka lebih banyak berperan sebagai oposisi, meski mereka pernah menang gemilang dan mendirikan Dinasti Shafawiyah di Iran.[12]
Perkembangan Islam pada masa al-Ghazali memang telah mengalami percabangan yang masing-masing pihak saling mengklaim sebagai Islam yang autentik, kalau tidak menuduh kepada pihak lainnya sebagai bukan Islam.[13]
Kongklusinya, pada masa al-Ghazali (abad ke-XI) dialektika intlektual umat Islam sudah sedemikian komplek. Dan hal ini oleh Muhammad Sadiq ‘Urjun, justru dinilai telah memberikan corak tersendiri bagi peradaban Islam. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kajian-kajian keislaman pada masa itu tidak lagi hanya mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadith, tetapi juga pada khazanah intelektual seluruh manusia, sehingga peradaban yang ada tidak bisa lagi diklaim sebagai milik orang Timur, Barat, Islam, atau yang lain saja. Akan tetapi lebih merupakan peradaban manusia.[14]
Dinamika peradaban umat Islam yang fragmentaristik seperti yang tergambarkan diatas, di mata al-Ghazali masih terdapat celah untuk dicarikan jalan kompromi, sehingga konflik ideologi ilmiah itu tidak terus berkepanjangan. Jalan rekonsiliasi yang ditempuh oleh al-Ghazali inilah yang oleh Nurcholish Madjid[15] dipahami sebagi sikap solidaritas al-Ghazali terhadap umat Islam. Pemikiran rekonsiliasif al-Ghazali ini dikumpulkan dalam Ihya’ al-‘Ulum al-Din, dimana secara konprehensif ia menyatukan orientasi eksoterik yang diwakili oleh ahli fiqh dan orientasi esoterik yang diwakili oleh kaum sufi.
Pada sisi yang lain, al-Ghazali juga berusaha memurnikan filsafat yang dianggapnya telah menyimpang dari sumber ajaran agama. Sebenarnya sasaran utama al-Ghazali, seperti penegasan Abd al-Mun’im Majid, adalah kaum Shi’ah, dimana mereka dianggap sudah terlalu jauh memasukkan filsafat dalam wilayah agama, sementara ia sendiri meyakini suatu pemahaman agama itu harus berdasarkan pada sunnah.[16] Dalam hal ini al-Ghazali berusaha mempertahankan dasar-dasar normatif dalam memahami agama (kashf), sekaligus ia menawarkan upaya antisipasi agar seseorang dapat terhindar dari kesesatan dan bid’ah.
Al-Ghazali memulai usahanya ini dengan membeberkan pokok-pokok pikiran filsafat dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Ia lebih dulu menjelaskan hal-hal yang menjadi bidikan bantahannya.[17] Dan disusul kemudian dengan Tahafut al-Falasifah, sebagai medium serangan itu sendiri. Melihat pada upaya pemurnian itulah, Sayyid Husain Nasr, mengkategorikan buku ini sebagai sebuah karya dalam ilmu kalam.[18] Dan juga melihat pada motif itulah kemudian al-Ghazali diberi gelar Hujjah al-Islam.[19]

Kontraversi terhadap al-Ghazali
Penyeleseian yang diberikan oleh al-Ghazali ini, meski tidak sempurna tapi komprehensif. Dan juga konsep al-kasb (equisision) ilmu kalam al-‘Ash’ari sebagai penengah paham Jabariyah dan Qodariyah yang didukungnya telah berhasil menimbulkan equilibrium sosial yang tiada taranya, sehingga kegiatan intlektual umat Islam pasca al-Ghazali tidak lagi semarak seperti sebelumnya.[20]
Akan tetapi hal ini bukan satu-satunya sebab kevakuman umat, mengingat kekalahan umat Islam atas bangsa Mongol dan pindahnya sentra-sentra kegiatan ilmiah dari dunia Islam ke Eropa,[21] telah menimbulakan sikap traumatik yang berkepanjangan, yang konon sampai saat ini umat Islam belum mampu sepenuhnya bangkit dari kevakuman tersebut.
Pikiran al-Ghazali tentang rekonsiliasi ideologi ilmiah, dan bantahannya terhadap beberapa pemikiran filsafat yang dianggapnya tidak bersumber pada ajaran Islam, terutama pemikiran Ibn Sina dan al-Farabi, disinyalir telah hampir mematikan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di kalangan umat (rasionalisme Islam), yang disusul kemudian dengan merebaknya kejumudan umat.
Al-Ghazali mendasarkan upaya rekonsiliasi ideologi ilmiahnya pada pembagiannya terhadap ilmu. Ia membagi ilmu menjadi dua: ilmu fard ‘ayn dan fard kifayah. Termasuk ilmu yang masuk dalam kategori fard ‘ayn adalah ilmu keagamaan, seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan lain-lain. Adapun yang masuk dalam kategori fard kifayah adalah ilmu keduniawian, seperti ilmu kedokteran, fisika, astronomi, biologi dan lain-lain.[22] Kedua kategori ini yang selanjutnya dijadikannya sebagai basis etis bagi ilmu.[23]
Pembagian ilmu secara demarkatif ini disinyalir bisa mengalihkan pusat perhatian umat Islam pada ilmu-ilmu agama demi keselamatannya di akhirat, “mengabaikan” ilmu-ilmu keduniawian. Tidak heran kemudian apabila al-Ghazali sering diasosiasikan dengan sikap-sikap pasif. Apalagi jika hal ini ditambah dengan pengkafirannya terhadap para filusuf, pada satu sisi, dan pengajarannya tentang konsep‘uzlah-nya,[24] pada sisi lain, maka sikap pasif umat Islam juga akan semakin akut.
Namun, sebenarnya tuduhan tersebut masih dapat ditinjau ulang, melihat pada satu sisi, motifasi al-Ghazali dalam merumuskan bantahan-bantahannya, sebenarnya tidak bermaksud untuk “membunuh” filsafat, akan tetapi ia hanya tidak ingin kalau seorang filusuf muslim menjadikan filsafat Yunani sebagai sumber bagi pemikiran Islam, sebab secara azasi jelas terdapat perbedaan dengan Islam, seperti tentang alam dan wujud. Filsafat Yunani tidak didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan risalah-risalaNya, hanya didasarkan pada kepercayaan pada semacam penitisan ruh (tanasukh al-arwah) yang bisa ditemui pada agama-agama klasik di Timur. Sementara orang muslim jelas telah beriman kepada Tuhan dan risalah-risalahNya tersebut. Oleh karena itu al-Ghazali ingin meletakkan filsafat secara proporsional, sehingga seseorang dapat terhindar dari tipuan-tipuan filsafat. Al-Ghazali tidak menhendaki filsafat Yunani (apa adanya) itu dijadikan sebagai sumber pemikiran Islam, seperti apa yang  telah dilakukan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Filsafat itu hanya sekedar alat, bukan sumber utama.[25]
Dan pada sisi yang lain, al-Ghazali juga masih memakai pemikiran-pemikiran filsafat, meskipun dari “musuh-musuhnya”. Seperti pemikiran tentang kejiwaan, ia tetap memakai pikiran-pikiran al-Farabi dan Ibn Sina, sebagaimana ia juga tetap memakai logika Aristoteles.[26] Bahkan ia telah menyatakan bahwa karya al-Farabi dan Ibn Sina merupakan karya filosof yang terbaik.[27]
Hal ini relevan dengan pernyataan Abd al-Halim Mahmud bahwa pada hakekatnya polemik yang terjadi saat itu hanya berkisar pada dasar logika (sumber) suatu pemikiran, bukan pemikiran itu sendiri.[28] Seperti tentang tiga masalah yang dipakai dasar al-Ghazali untuk mengkafirkan para filusuf, yaitu qadimnya alam, Allah tidak mengetahui juz’iyah, dan kebangkitan ruhani saja nanti di akhirat.[29] Bagi al-Ghazali, ketiga hal ini merupakan masalah-maslah metafisik, yang tidak akan mampu ditembus dengan akal,[30] sebab akal itu tidak akan bisa sampai pada hakekat. Wujud Allah itu tidak akan mampu ditembus oleh ilmu dan bahkan filsafat metafisika pun.[31]
Adapun tentang konsep ‘uzlah, al-Ghazali hanya menawarkan upaya antisipasi, agar umat Islam tidak terkecoh oleh kehidupan duniawi, sehingga mereka tidak terseret dalam praktek-praktek kezaliman. Relevan dengan sebuah filsafat Jawa “eling lan waspada”.[32]
Bukankah Cyril Glasse dalam The Concise Encyclopedia of Islam telah menggambarkan bahwa al-Ghazali telah mampu membawa suatu zaman yang mengakhiri masa pertikaian dan sekaligus mengawali sebuah zaman baru,[33] sehingga sepeninggalnya doktrindoktrin Islam telah terlepas dari berbagai lilitan pemikiran duniawi, dan mampu mengembangkan ekspresinya secara penuh?[34] Al-Ghazali itu ibarat lensa cembung yang menangkap berbagai sinar cahaya, lalu menyatukannya kembali. Sungguh ia telah mengantarkan umat Islam pada tahapan sejarahnya yang kedua,[35] dimana mereka telah mampu mencapai langkah-langkah kesatuan dan kerukunan. Dan secara kebetulan muncul di kalangan mereka untuk menyusun dan mengendalikan kegiatan intlektual agar menjadikannya sebagai respon terhadap perlunya sebuah peradaban yang agamis.[36]
Dengan demikian, apakah tuduan tersebut bukan hanya merupakan “kambing hitam” sejarah umat Islam ketika terjadi suatu koinsidensi berupa berpindahnya ilmu pengetahuan Islam ke Barat setelah kekalahan umat Islam dari bangsa Mongol, yang kemudian kurang lebih empat abad berikutnya (abad ke-XVI) Barat mengalami kebangkitan kembali (renaissance)?



[1] Suharsono dalam kata pengantarnya terhadap bukunya Seyyed Hossein Nasr, Intlektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis,  terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), vi
[2] Meminjam Istilah Abdul Munir Mulkan dalam Paradigma Intlektualisme Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), 16
[3] Hal ini seperti penilaian Ahmad Amin tentang pembentukan kebudayaan Islam pada masa Abbasiyah. Menurutnya kebudayaan Abbasiyah itu terbentuk dari akulturasi tujuh kebudayaan besar, yaitu kebudayaan Persia, India, Yunani, Arab, Nasrani, Yahudi dan Islam. Lihat Ahmad Amin, Duha al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, t.t.), 163
[4] Tentang Kosmopelitanisme Kebudayaan Islam ini bisa dilihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 441-445
[5] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1997), 3
[6] Mustafa Jawad, “’Asr al-Imam al-Ghazali” dalam ‘Abu Hamid al-Ghazali fi al-dhikri al-Mi’wiyah al-Tasi’ah li Miladih, (Mahrajan al-Ghazali fi Dimisq: al-Majlis al-‘A’la li Ri’ayah al-funun wa al-Adab wa al-‘Ulum al-Ijtima’iyah, 1961), 499
[7] ‘Abd al-Karim ‘Uthman, Ma’alim al-Thaqafah al-Islamiyah (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1992), 377
[8] Jawad, “’Asr al-Imam, 501
[9] Jalal Muhammad ‘Abd al-Hamid Musa, Nash’at al-Ash’ariyah wa Tatawwuriha (Bairut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1975), 417
[10] Jawad, “’Asr al-Imam, 496
[11] Ibid, 497
[12] Madjid, Kaki Langit, 5
[13] Cyril Glasse, “al-Ghazali” dalam The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper, 1989), 138
[14] Muhammad Sadiq ‘Urjun, “Miftah shakhshiyah al-Ghazali: Hal Shukka Hujjah al-Islam” dalam ‘Abu Hamid, 831-832
[15] Madjid, Kaki Langit, 86
[16] ‘Abd al-Mun’im Majid, Tarikh al-Hadarah al-Islamiyah fi al-’Usur al-Wusta (Kairo: Maktabah al-Injilu al-Misriyah, 1978), 220
[17] Muhammad Lutfi Jam’ah, Tarikh Falasifah al-Islam fi al-Mashriq wa al-Maghrib (Bairut: Al-Maktabah al-Ilmiyah, tt), 69
[18] Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), 184
[19] Madjid, Kaki Langit, 86
[20] Ibid, 6
[21] Ibid.
[22] Lihat Al-Ghazali, Ihya’ al-‘Ulum al-Din, vol. 1 (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), 13-28
[23] Bakar, Hierarki, 235
[24] Madjid, Kaki Langit, 88-89
[25] ‘Uthman, Ma’alim al-Thaqafah, 379
[26] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 73
[27] Bakar, Hierarki, 284
[28] Abd al-Halim Mahmud, Al-Munqid min al-Dalal li Hujjat al-Islam al-Ghazali (Kairo: Dar al-Nasr li al-Tiba’ah, 1968), 63
[29] Sulaiman Dunya, Mi’yar al-’Ilm li al-Imam al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif bi Misr, t.t), 11
[30] Mahmud, Al-Munqid, 62
[31] Ibid, 64
[32] Madjid, Kaki Langit, 89
[33] Glasse, “al-Ghazali”, 138
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar