Senin, 04 Agustus 2014

Dua Wasiat Nabi



Pada satu hari, Fatimah, putri Nabi, mendengar seorang yang berseru mengucapkan salam dari luar pintu. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Fatimah merasa berat untuk mengizinkan seseorang untuk masuk rumahnya, karena saat itu Nabi sedang terserang demam dan tertidur.
“Maaf ya, ayahku sedang demam,” kata Fatimah dari balik pintu yang dibuka sedikit sekedar untuk melihat siapa yang datang bertamu. Lalu ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata. Nabi bertanya pada Fatimah, “Siapa itu, wahai anakku?” “Tidak tahu, ayahku. Sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Saat itu Nabi menatap puterinya itu dengan pandangan yang jauh berbeda dari biasanya. Seolah pandangan terakhir yang hendak dikenang selamanya. “Ketahuilah, wahai putriku. Dia adalah yang menghapuskan kenikmatan sementara dan yang memisahkan pertemuan di dunia.
Dia adalah malaikatul maut,” Nabi menjelaskan.
Penjelasan itu sangat mengejutkan Fatimah, hingga ia tak mampu menahan ledakan tangisnya. Sangat manusiawi. Siapa pun akan sangat sedih jika mendengar kabar perpisahan dengan orang yang dikasihinya, terlebih orang tuanya sendiri.
Malaikat maut kemudian  menghampiri Nabi. Tetapi beliau menanyakan kenapa dia datangsendirian, kenapa malaikat Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian Izrail memanggil Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
Setelah Jibril datang, Nabi bertanya kepadanya dengan suara yang amat lemah, “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?”. Jibril menjawab “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,'
Tetapi jawaban Jibril itu ternyata tidak membuat Nabi merasa lega. Sorot matanya masih menyiratkan perasaan penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?,” tanya Jibril lagi. “Jelaskan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “'Jangan khawatir, wahai Rasulullah ! Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya’,” kata Jibril.
Detik-detik saat Izrail melaksanakan tugas untuk memisahkan roh dari jasad Nabi sudah semakin dekat. Perlahan ruh Nabi ditarik. Nampak seluruh tubuh Nabi bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” sangat perlahan dan samar aduhan Nabi kepada Jibril.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kamu melihatku, hingga kamu palingkan wajahmu, wahai Jibril?”
Tanya Nabi kepada malaikat pengantar wahyu itu. Jibil menjawab, “Siapakah orangnya yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal.”
Sebentar kemudian terdengar Nabi mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Nabi mulai dingin. Kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Ushikum bi al-shalati wa ma malakat aimanukum (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu).”
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan. Para sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Nabi yang mulai kebiruan. “Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).”
Sesaat kemudian Nabi akhir al-zaman telah berpulang ke hadirat Ilahi. Hidup manusia mulia yang memberi sinar kepada seluruh alam telah berakhir.
Begitulah gambaran detik-detik akhir menjelang ajal Nabi Saw. Ada dua wasiat yang disampaikan Nabi kepada Ali menjelang ajalnya, yaitu 1) tentang salat yang disandingkan dengan komitmen membela kaum lemah, dan 2) tentang sikap pihatin yang mendalam terhadap persoalan keumatan dan menjaga konsistensi sikap ini dalam setiap amal usaha yangdilakukan.
Pertama, salat adalah inti ibadah kepada Allah. Ia merupakan amal ibadah yang dihisah terlebih dahulu dan bahkan menjadi barometer penilaian amal seseorang kelak nanti di akhirat.  Karenyang, setiap orang tidak boleh mengesampingkan urusan salat ini dengan alasan apa pun.
Sikap terhadap salat ini juga harus diberikan pada komitmen untuk memperjuangkan kaum lemah.  Artinya tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan komitmen ini dengan alasan apa pun. Persoalan memperjuangkan perbaikan nasih buruh misalnya, perjuangan ini harus terus dikobarkan. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan perjuangan ini sebelum nasib buruh benar-benar telah diperlakukan secara manusiawi dan sejahtera.
Kedua, persoalan keumatan yang selalu muncul tidak boleh dicibir bahkan dijadikan komoditi politik, melainkan harus benar-benar dicarikan solusi yang efektif, sehingga ketenangan dan keamanan umat dari segala bentuk ancaman dapat terjaga.
Inilah sikap yang harus selalu diemban oleh setiap muslim, jika mereka merasa cinta kepada Nabinya. Karena sikap inilah yang nyata terucap dalam wasiat  beliau menjelang ajalnya.  

4 komentar: