Sabtu, 10 Desember 2011

Abu Nuwwas dan Puisi Mabuk Anggur


Abu Nuwwas, yang mempunyai nama asli Hasan bin Hani’, adalah salah sseorang tokoh pembaru dalam sastra Arab[1] pada masanya, Abbasiyah. Meski ia berdarah Persia, tetapi kemahiran dan kedalaman pemahamannya di bidang bahasa dan sastra Arab telah menjadikan bahasa Arab seolah-olah sebagai bahasanya sendiri (al-lughat al-’umm). Islam dikenal sebagai seorang penyair yang produktif. Must}afa> al-Shakkah membutikan produktifitas kepenyairan Abu Nuwwas dalam sebuah analisisnya, sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa dalam kurun waktu empat puluh tahun hampir tak ada hari pun yang dilewati Abu Nuwwas tanpa menggubah puisi.[2]
Termasuk hal yang menarik dalam dunia kepenyairan Abu Nuwwas adalah sisi proses kreatifnya. Ia sama sekali tidak menyentuh dunia rekaan atau fiksi, sehingga seluruh puisinya –secara mimetik– merupakan ungkapan pengalaman-pengalaman empirik pribadinya. Puisi-puisi mabuk anggurnya (al-shi’r al-khamari>) juga digubah dengan metode yang sama. Mula-mula ia minum anggur, kemudian ia menuturkan berbagai gejolak psikologis yang dialaminya sebelum, saat, dan sesudahnya dengan ungkapan yang amat jelas dan indah. Berdasar pada hal ini, ‘Umar Faru>kh melihat terbukanya kemungkinan menganalisis kepribadian Abu Nuwwas dalam puisi-puisinya, karena Faru>kh yakin bahwa puisi-puisinya benar-benar dapat mencerminkan kepribadiannya.[3]
Watak kepenyairan Abu Nuwwas sebenarnya telah tumbuh sejak ia masih usia kanak-kanak. Sejak dini ia sudah mulai suka menghafal puisi-puisi Arab klasik, dimana kemudian ia menjumpai beragam metafora puisi. Pengalaman ini mendorongnya untuk mencoba menggubah puisi sendiri, sampai kemudian bakat kepenyairannya benar-benar tumbuh dan berkembang. Akan tetapi proses kepenyairannya (bahkan seruruh proses belajarnya) sempat terbengkelai ketika keluarganya tertimpa suatu musibah, yaitu ayahnya meninggal, dan disusul dengan keterpukulan ibunya yang berakibat pada perubahan gaya hidupnya.[4] Padahal pada saat itu ia belum lengkap berusia enam tahun, dimana sifat kekanak-kanakannya masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Abu Nuwwas mulai menggubah puisi-puisi mabuk anggur sejak pertemuannya dengan seorang penyair yang pemabuk (al-ma>jin) dari Kufah, Walibah bin al-Habbab al-Asadi. Kekaguman Abu Nuwwas kepada Walibah mendorongnya untuk mengikuti jejak kepenyairannya. Sehingga ketika Walibah mengajaknya untuk pindah ke Kufah, dimana kemudian ia benar-benar masuk pada lingkungan para pemabuk (al-mujja>n), ia tidak bisa menolaknya. Apalagi hal itu didukung oleh kondisi ekonomi keluarga yang paspasan.
Kufah benar-benar telah merubah gaya hidupnya. Sampai pada suatu saat dengan sangat berani ia menghina kehidupan bangsa Arab:[5] 
Jangan ambil kesenangan dari bangsa Arab
Disana tak ada kehidupan. Mereka serba kekurangan
Tinggalkan air susu yang diminum orang-orang
Hidup rendah baginya sudah cukup mengagumkan
Tak lebih baik dari dari orang-orang suci yang mengitari cawan
Hidup bukan di tenda. Bukan pula pada perahan susu.

Psikologi Sastra
Manusia sebagai fenomena senantiasa menjadi bahan perbincangan yang aktual sepanjang sejarah. Manusia selalu menjadi misteri besar yang tidak terpecahkan. “Manusia adalah makhluk misterius”, kata Alexis Carrel. Meski tidak sedikit para ahli yang telah mencoba melakukan pembedahan terhadap misteri tersebut, namun bagai memasuki sebuah “sumur tanpa dasar”, misteri itu semakin kelihatan besarnya.
Sastra, yang merupakan hasil rekayasa manusia dalam usahanya untuk mengungkap misteri keberadaannya, mempunyai fungsi memperjelas, memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupannya. Sehingga manusia mampu menemukan suatu kehidupan yang sejahtera. Penjelasan ini menyiratkan adanya kausalitas relasi antara sastra dan kehidupan. Di satu sisi, sastra menjadikan kehidupan sebagai inspirasi dalam penciptaannya, dan di sisi lain, sastra memberikan alternatif nilai bagi kehidupan. Dan oleh karena sastra itu merupakan hasil dari kerja jiwa, maka di dalamnya senantiasa memuat tokoh yang berjiwa.
Sementara itu, psikologi yang merupakan ilmu yang menfokuskan kajiannya pada tingkah laku dan aktifitas manusia,[6] yang merupakan manifestasi kejiwaannya, sangat memungkinkan untuk digunakan mendekati karya sastra (karena bersastra merupakan bagian dari aktifitas manusia). Di dalam bersastra manusia senantiasa mengikutkan dirinya sebagai “pelaku-pelaku” yang berjiwa. Sehingga jiwa yang ada dalam karya sastra mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan jiwa sastrawannya.[7] Terkait dengan hal ini, Tommy F. Awuy[8] menegaskan bahwa puisi (sastra) mengandung makna pribadional, karena setiap penyair memiliki pikiran dan ungkapan tentang realitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Roekhan[9] bahwa sastra itu merupakan hasil kreatifitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang dilahirkan dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi
Pendekatan psikologi dalam kajian sastra itu, secara embrional, sebenarnya telah muncul sejak masa Yunani. Ia tumbuh dari sebuah anggapan bangsa Yunani tentang sosok sastrawan; bahwa ia memiliki pengetahuan dan kepribadian yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat umum. Kejeniusan sastrawan dianggap diakibatkan oleh semacam “kegilaan”  (madness)  dari  tingkat  neurosis  sampai  psikosis.  Ia  dianggap “kesurupan” (possessed). Namun kajian ini semakin mengkristal menjadi sebuah metodologi yang mandiri baru saat sarjana-sarjana Barat mulai berkenalan dengan artikel-artikelnya Sigmund Freud, terutama pada dua bukunya: The Interpretation of Dreams dan Tree Contributions to a Theory of sex. Menurutnya,[10] seniman (sastrawan) asal mulanya adalah seorang yang lari dari kenyataan ketika untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi keinginan untuk memuaskan instingnya. Kemudian ia membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Tetapi ia dapat menemukan jalan untuk keluar dari dunia fantasinya ini dan kembali ke kenyataan. Dan dengan bakatnya yang istimewa, ia dapat membentuk fantasinya menjadi sebuah realitas baru, dan orang menerimanya sebagai bentuk perenungan hidup yang bernilai.
Adapun objek sastra yang dapat dianalisa dengan pendekatan teori ini (psikologi sastra), menurut R. Wellek dan A. Warren,[11] ada empat, yaitu psikologi pengarang, proses kreatif pengarang, hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan  pengaruh sastra terhadap pembacanya.
Pertama, psikologi pengarang. Dalam proses penulisan karyanya, setiap pengarang selalu melibatkan emosinya (kegelisahan, penderitaan kegembiraan dll.) baik sebagai tema karya maupun sebagai motivasi. Sastrawan berbeda dengan ilmuwan, filosof atau penulis lainnya, karena ia tak sekedar mencatat pergulatan emosinya, namun juga mengolah suatu pola arketip atau suatu pola kepribadian yang berkembang saat itu.
Kedua, proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.
Dalam kajian proses kreatif ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu struktur mental seorang sastrawan (impresi) dan susunan karya sastra yang dihasilkan (ekspresi). Keduanya merupakan hal yang berbeda, dan tidak dapat disatukan. Sastrawan sering membicarakan proses kreatifnya, dan lebih suka menyinggung prosedur teknis yang dilakukan dengan sadar daripada melakukan pembicaraan “bakat alam”, atau pengalaman yang menjadi bahan karya, dan atau karyanya sebagai cerminan dari pribadi mereka. Cukup jelas alasan seniman-seniman yang sadar untuk menyatakan bahwa karya mereka bersifat tidak personal.
Ketiga, hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dalam  karya sastra, hukum-hukum atau teori-teori psikologi seringkali digunakan untuk melihat apakah tokoh, situasi atau plot dalam karya tersebut “benar” secara psikologis. Terkadang ada teori psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar, namun keberhasilan pengarang memasukkan psikologi ke dalam tokoh dan hubungan antartokoh tidaklah mutlak perlu dipertanyakan. Justru yang perlu dipertanyakan adalah ketika seorang pengarang berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai ”kebenaran psikologis” apakah “kebenaran” itu bersifat artistik. Sebab karya sastra bukanlah studi psikologi atau eksposisi dari teori psikologi, yang ditonjolkan di dalamnya bukanlah motivasi psikologi yang realistis, melainkan peristiwa-peristiwa yang tak lebih dari sekedar dramatisasi sifat atau pikiran sang tokoh. Banyak karya sastra besar yang menyimpang dari standar teori psikologi sezaman atau sesudahnya, bahkan menyajikan sesuatu yang terkadang tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis. Pada kasus-kasus tertentu, pemikiran psikologi menambah nilai artistik karena mampu menunjang koherensi dan kompleksitas karya. Tetapi pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan (teori) psikologi. Sebuah pengetahuan (teori) psikologi yang sadar dan sistematis mengenai pikiran manusia tidak penting untuk seni dan tidak bernilai seni.
Keempat, pengaruh sastra terhadap pembacanya. Pokok kajian dalam hal ini adalah seberapa jauh pengaruh sebuah karya sastra pada perilaku atau pembentukan psikologi pembaca.
Dari keempat model kajian yang ada dalam psikologi sastra di atas, model pertama dan kedua tampaknya lebih cocok untuk dipakai dasar epistimologis dalam mengkaji puisi mabuk anggurnya Abu Nuwwas, karena kajian demikian ini tampaknya terdapat kemiripan dengan studi psikologi seni. 

Sosok Abu Nuwwas Dalam Puisi Mabuk Anggurnya
“Hakekat hidup adalah lompatan dari satu problematika ke problematika yang lain”. Memang, setelah seseorang berhasil melalui suatu ‘tantangan’, dapat dipastikan masih terdapat sekian ‘tantangan’ lain di depannya. Tegar dan tidakkah ia dalam mengahadinya sangat tergantung pada kecenderungan yang dipilihannya. Dan dari sinilah tercermik kepribadiannya.
         Kehidupan Abu Nuwwas juga tidak lepas dari fenomena ini. Berbagai problematika yang menimpa keluarganya, telah menghilangkan kasih sayang yang didambakannya, sehingga ia cenderung menjadi seorang bocah pemurung, minder, dan berperilaku menyimpang. Tanda-tanda abnormalitasnya ditunjukkan pada kesukaannya kepada sejenis (amrad: homoseksual) dan kecanduannya pada alkohol.
Memang ia telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk bersenang-senang, minum-minum dan “kumpul” bersama amrad (lelaki tampan yang tak perkumis). Ia memandang bahwa hidup ini hanya sekedar kesempatan yang terus berlalu, maka harus dinikmati dengan berbagai macam kesenangan: 
Pagi-pagi, kurobek dinding hingga tak kutemukan tabir
Orang-orang mendatangiku. Aku tak sibuk mencari alasan
Kulihat malam bagai jalan masaku.
Bagai waktu,  cepat kulewati kesenanganku
Dunia bagiku hanya cawan anggur dan anak kijang
Yang selalu membuat bingung pikiran. 
Baginya hidup hanya mabuk-mabukan:
 Tak ada kehidupan kecuali cawan anggur yang kuminum
Kadang di sore hari kadang di pagi hari

Hidup hanya mabuk-mabukan
Lamanya sempitkan masa.

Tak kulihat kesenangan dan kesuksesan
Sampai kulihat cawan anggur
Ya, pedang anak muda adalah mabuk
Sebab ia terbukti mampu membabat tuntas kesedihan.
“Kegilaan” Abu Nuwwas pada anggur bukan sekedar mengagungkannya, tapi bahkan ia telah sampai pada batas mengkultusan. Muhammad al-Nuwaihi[12] menegaskan bahwa kecintaan Abu Nuwwas pada anggur telah sampai pada batas penyembahan dan pengkultusan, seperti yang tertuang dalam puisinya berikut: 
Kupuja anggur dengan segala keagungannya
Sebutlah ia dengan nama-nama yang indah.
Andai ada seorang sebelumku yang menyembah anggur
Tentu aku akan menyembahnya.
          Meskipun ketergantungan Abu Nuwwas pada anggur sudah sedemikian rupa, tetapi ia tetap teguh memegang imannya, cuma ia tidak menjalankan ajaran-ajarannya saja. Ia juga tidak terbawa arus kafir zindiq yang melanda umat Islam pada saat itu.
Aku tak pernah menangis
Tapi ketika Nabi mensabdakan haramnya minum anggur
Aku menangis tersedu-sedu.

Adakah kau tak melihatku telah membolehkan kesenangan
untukku dan agamaku. Dan aku selalu lakukan maksiat
seakan aku tak akan kembali ke akhirat dan tak takut pada siksaan.




[1] Hanna> al-Fakhu>ri>. Ta>ri>kh al-Ada>b al-‘Arabi> (al-Bulisiah: tt), 398.
[2] Must}afa> al-Shakkah, Al-Shi’r wa al-Shu’ara> (Bairut: Dalam>r al-Mala>yi>n, 1980), 280.
[3] ‘Umar Faru>kh, Ta>ri>kh al-Ada>b al-‘Arabi> al-‘A’s}u>r al-‘Abba>siyah (Bairut: Dalam>r al-Mala>yi>n, tt),  160-161.
[4] Sepeninggal sumaninya, Julain, ibu Abu Nuwwas, cenderung suka berkumpul di kalangan kaum lelaki, sampai akhirnya ia menikah lagi, dan disibukkan oleh suami barunya.
[5] ‘Umar Faru>kh, Ta>ri>kh al-Ada>b, 159.
[6] Made Sukada, Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, Masalah Analisa Struktur Fiksi (Bandung: Angkasa, 1987), 133.
[7] Darmanto Jatman, Sastra, Masyarakat, Psikologi (Bandung: Alumni, 1985), 214.
[8] Tommy F. Awuy, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan (Yogyakarta: CV. Jantera Wacana Publika, 1995), 69.
[9] Roekhan, Kajian Tekstual Psikologi Sastra: Persoalan Teori dan Terapan, dalam Aminuddin ed. Sekitar Masalah Sastra (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990), 91.
[10] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, diterjemahankan oleh Melani Budianta  (Jakarta: Gramedia, 1990), 92.
[11] Ibid.
[12] Muh}ammad al-Nuwayhi>. Nafsiyyat Abi> Nuwwas (Bairut: Dalam>r al-Fikr, tt), 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar