Abu Nuwwas, yang mempunyai nama asli Hasan bin Hani’, adalah salah
sseorang tokoh pembaru dalam sastra Arab[1]
pada masanya, Abbasiyah. Meski ia berdarah Persia , tetapi kemahiran dan kedalaman
pemahamannya di bidang bahasa dan sastra Arab telah menjadikan bahasa Arab
seolah-olah sebagai bahasanya sendiri (al-lughat
al-’umm). Islam dikenal sebagai seorang penyair yang produktif. Must}afa> al-Shakkah membutikan produktifitas kepenyairan Abu Nuwwas dalam
sebuah analisisnya, sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa dalam kurun
waktu empat puluh tahun hampir tak ada hari pun yang dilewati Abu Nuwwas tanpa
menggubah puisi.[2]
Termasuk hal yang menarik dalam dunia kepenyairan Abu Nuwwas adalah
sisi proses kreatifnya. Ia sama sekali tidak menyentuh dunia rekaan atau fiksi,
sehingga seluruh puisinya –secara mimetik– merupakan ungkapan
pengalaman-pengalaman empirik pribadinya. Puisi-puisi mabuk anggurnya (al-shi’r al-khamari>) juga digubah dengan metode yang sama. Mula-mula ia minum anggur,
kemudian ia menuturkan berbagai gejolak psikologis yang dialaminya sebelum,
saat, dan sesudahnya dengan ungkapan yang amat jelas dan indah. Berdasar pada
hal ini, ‘Umar Faru>kh melihat terbukanya kemungkinan menganalisis
kepribadian Abu Nuwwas dalam puisi-puisinya, karena Faru>kh yakin bahwa
puisi-puisinya benar-benar dapat mencerminkan kepribadiannya.[3]
Watak kepenyairan Abu Nuwwas sebenarnya telah tumbuh sejak ia masih
usia kanak-kanak. Sejak dini ia sudah mulai suka menghafal puisi-puisi Arab
klasik, dimana kemudian ia menjumpai beragam metafora puisi. Pengalaman
ini mendorongnya untuk mencoba menggubah puisi sendiri, sampai kemudian bakat
kepenyairannya benar-benar tumbuh dan berkembang. Akan tetapi proses kepenyairannya
(bahkan seruruh proses belajarnya) sempat terbengkelai ketika keluarganya
tertimpa suatu musibah, yaitu ayahnya meninggal, dan disusul dengan
keterpukulan ibunya yang berakibat pada perubahan gaya hidupnya.[4]
Padahal pada saat itu ia belum lengkap berusia enam tahun, dimana sifat
kekanak-kanakannya masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Abu Nuwwas mulai menggubah puisi-puisi mabuk anggur sejak
pertemuannya dengan seorang penyair yang pemabuk (al-ma>jin) dari Kufah, Walibah bin al-Habbab al-Asadi. Kekaguman Abu Nuwwas
kepada Walibah mendorongnya untuk mengikuti jejak kepenyairannya. Sehingga
ketika Walibah mengajaknya untuk pindah ke Kufah, dimana kemudian ia
benar-benar masuk pada lingkungan para pemabuk (al-mujja>n), ia tidak bisa menolaknya. Apalagi
hal itu didukung oleh kondisi ekonomi keluarga yang paspasan.
Kufah benar-benar telah merubah gaya hidupnya. Sampai pada suatu
saat dengan sangat berani ia menghina kehidupan bangsa Arab:[5]
Jangan ambil kesenangan dari bangsa Arab
Jangan ambil kesenangan dari bangsa Arab
Disana tak ada kehidupan.
Mereka serba kekurangan
Tinggalkan air susu yang
diminum orang-orang
Hidup rendah baginya sudah
cukup mengagumkan
Tak lebih baik dari dari
orang-orang suci yang mengitari cawan
Hidup bukan di tenda. Bukan
pula pada perahan susu.
Psikologi Sastra
Manusia sebagai fenomena senantiasa menjadi bahan perbincangan yang
aktual sepanjang sejarah. Manusia selalu menjadi misteri besar yang tidak
terpecahkan. “Manusia adalah makhluk misterius”, kata Alexis Carrel. Meski
tidak sedikit para ahli yang telah mencoba melakukan pembedahan terhadap
misteri tersebut, namun bagai memasuki sebuah “sumur tanpa dasar”, misteri itu
semakin kelihatan besarnya.
Sastra, yang merupakan hasil rekayasa manusia dalam usahanya untuk
mengungkap misteri keberadaannya, mempunyai fungsi memperjelas, memperdalam,
dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupannya. Sehingga manusia
mampu menemukan suatu kehidupan yang sejahtera. Penjelasan ini menyiratkan
adanya kausalitas relasi antara sastra dan kehidupan. Di satu sisi, sastra
menjadikan kehidupan sebagai inspirasi dalam penciptaannya, dan di sisi lain,
sastra memberikan alternatif nilai bagi kehidupan. Dan oleh karena sastra itu
merupakan hasil dari kerja jiwa, maka di dalamnya senantiasa memuat tokoh yang
berjiwa.
Sementara itu, psikologi yang merupakan ilmu yang menfokuskan
kajiannya pada tingkah laku dan aktifitas manusia,[6]
yang merupakan manifestasi kejiwaannya, sangat memungkinkan untuk digunakan
mendekati karya sastra (karena bersastra merupakan bagian dari aktifitas
manusia). Di dalam bersastra manusia senantiasa mengikutkan dirinya sebagai
“pelaku-pelaku” yang berjiwa. Sehingga jiwa yang ada dalam karya sastra
mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan jiwa sastrawannya.[7]
Terkait dengan hal ini, Tommy F. Awuy[8]
menegaskan bahwa puisi (sastra) mengandung makna pribadional, karena setiap
penyair memiliki pikiran dan ungkapan tentang realitas. Hal serupa juga
disampaikan oleh Roekhan[9]
bahwa sastra itu merupakan hasil kreatifitas pengarang yang menggunakan media bahasa,
yang dilahirkan dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada
dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam
melalui proses berimajinasi
Pendekatan psikologi dalam kajian sastra itu, secara embrional,
sebenarnya telah muncul sejak masa Yunani. Ia tumbuh dari sebuah anggapan
bangsa Yunani tentang sosok sastrawan; bahwa ia memiliki pengetahuan dan
kepribadian yang sangat jauh berbeda dengan masyarakat umum. Kejeniusan
sastrawan dianggap diakibatkan oleh semacam “kegilaan” (madness) dari
tingkat neurosis sampai
psikosis. Ia dianggap “kesurupan” (possessed). Namun kajian ini semakin mengkristal menjadi sebuah
metodologi yang mandiri baru saat sarjana-sarjana Barat mulai berkenalan dengan
artikel-artikelnya Sigmund Freud, terutama pada dua bukunya: The Interpretation of Dreams dan Tree Contributions to a Theory of sex.
Menurutnya,[10]
seniman (sastrawan) asal mulanya adalah seorang yang lari dari kenyataan ketika
untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi keinginan untuk memuaskan
instingnya. Kemudian ia membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa
dalam khayalan. Tetapi ia dapat menemukan jalan untuk keluar dari dunia
fantasinya ini dan kembali ke kenyataan. Dan dengan bakatnya yang istimewa, ia
dapat membentuk fantasinya menjadi sebuah realitas baru, dan orang menerimanya
sebagai bentuk perenungan hidup yang bernilai.
Adapun objek sastra yang dapat dianalisa dengan pendekatan teori ini
(psikologi sastra), menurut R. Wellek dan A. Warren,[11]
ada empat, yaitu psikologi pengarang, proses kreatif pengarang, hukum-hukum
psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan pengaruh sastra terhadap pembacanya.
Pertama, psikologi pengarang. Dalam proses penulisan karyanya, setiap
pengarang selalu melibatkan emosinya (kegelisahan, penderitaan kegembiraan
dll.) baik sebagai tema karya maupun sebagai motivasi. Sastrawan berbeda dengan
ilmuwan, filosof atau penulis lainnya, karena ia tak sekedar mencatat
pergulatan emosinya, namun juga mengolah suatu pola arketip atau suatu pola
kepribadian yang berkembang saat itu.
Kedua, proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah
sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang
dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan
tahapan yang paling kreatif.
Dalam kajian proses kreatif ini ada dua hal yang harus diperhatikan,
yaitu struktur mental seorang sastrawan (impresi) dan susunan karya sastra yang
dihasilkan (ekspresi). Keduanya merupakan hal yang berbeda, dan tidak dapat
disatukan. Sastrawan sering membicarakan proses kreatifnya, dan lebih suka
menyinggung prosedur teknis yang dilakukan dengan sadar daripada melakukan
pembicaraan “bakat alam”, atau pengalaman yang menjadi bahan karya, dan atau
karyanya sebagai cerminan dari pribadi mereka. Cukup jelas alasan
seniman-seniman yang sadar untuk menyatakan bahwa karya mereka bersifat tidak
personal.
Ketiga, hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Dalam karya sastra, hukum-hukum atau
teori-teori psikologi seringkali digunakan untuk melihat apakah tokoh, situasi
atau plot dalam karya tersebut “benar” secara psikologis. Terkadang ada teori
psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar, namun
keberhasilan pengarang memasukkan psikologi ke dalam tokoh dan hubungan
antartokoh tidaklah mutlak perlu dipertanyakan. Justru yang perlu dipertanyakan
adalah ketika seorang pengarang berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai
”kebenaran psikologis” apakah “kebenaran” itu bersifat artistik. Sebab karya
sastra bukanlah studi psikologi atau eksposisi dari teori psikologi, yang
ditonjolkan di dalamnya bukanlah motivasi psikologi yang realistis, melainkan
peristiwa-peristiwa yang tak lebih dari sekedar dramatisasi sifat atau pikiran
sang tokoh. Banyak karya sastra besar yang menyimpang dari standar teori
psikologi sezaman atau sesudahnya, bahkan menyajikan sesuatu yang terkadang
tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis. Pada kasus-kasus tertentu,
pemikiran psikologi menambah nilai artistik karena mampu menunjang koherensi
dan kompleksitas karya. Tetapi pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak
hanya dicapai melalui pengetahuan (teori) psikologi. Sebuah pengetahuan (teori)
psikologi yang sadar dan sistematis mengenai pikiran manusia tidak penting
untuk seni dan tidak bernilai seni.
Keempat, pengaruh sastra terhadap pembacanya. Pokok kajian dalam hal ini
adalah seberapa jauh pengaruh sebuah karya sastra pada perilaku atau
pembentukan psikologi pembaca.
Dari keempat model kajian yang ada dalam psikologi sastra di atas,
model pertama dan kedua tampaknya lebih cocok untuk dipakai dasar epistimologis
dalam mengkaji puisi mabuk anggurnya Abu Nuwwas, karena kajian demikian ini
tampaknya terdapat kemiripan dengan studi psikologi seni.
Sosok Abu Nuwwas Dalam Puisi Mabuk Anggurnya
Sosok Abu Nuwwas Dalam Puisi Mabuk Anggurnya
“Hakekat hidup adalah lompatan dari satu problematika ke
problematika yang lain”. Memang, setelah seseorang berhasil melalui suatu
‘tantangan’, dapat dipastikan masih terdapat sekian ‘tantangan’ lain di
depannya. Tegar dan tidakkah ia dalam mengahadinya sangat tergantung pada
kecenderungan yang dipilihannya. Dan dari sinilah tercermik kepribadiannya.
Kehidupan Abu Nuwwas juga tidak
lepas dari fenomena ini. Berbagai problematika yang menimpa keluarganya, telah
menghilangkan kasih sayang yang didambakannya, sehingga ia cenderung menjadi
seorang bocah pemurung, minder, dan berperilaku menyimpang. Tanda-tanda
abnormalitasnya ditunjukkan pada kesukaannya kepada sejenis (amrad: homoseksual) dan kecanduannya
pada alkohol.
Memang ia telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk
bersenang-senang, minum-minum dan “kumpul” bersama amrad (lelaki tampan yang tak perkumis). Ia memandang bahwa hidup
ini hanya sekedar kesempatan yang terus berlalu, maka harus dinikmati dengan
berbagai macam kesenangan:
Pagi-pagi, kurobek dinding hingga tak kutemukan tabir
Pagi-pagi, kurobek dinding hingga tak kutemukan tabir
Orang-orang mendatangiku.
Aku tak sibuk mencari alasan
Kulihat malam bagai jalan
masaku.
Bagai waktu, cepat kulewati kesenanganku
Dunia bagiku hanya cawan
anggur dan anak kijang
Yang selalu membuat bingung
pikiran.
Baginya hidup hanya mabuk-mabukan:
Tak ada kehidupan kecuali cawan anggur yang
kuminum
Kadang di sore hari kadang
di pagi hari
Hidup hanya mabuk-mabukan
Lamanya sempitkan masa.
Tak kulihat kesenangan dan
kesuksesan
Sampai kulihat cawan anggur
Ya, pedang anak muda adalah
mabuk
Sebab ia terbukti mampu
membabat tuntas kesedihan.
“Kegilaan” Abu Nuwwas pada anggur bukan sekedar mengagungkannya,
tapi bahkan ia telah sampai pada batas mengkultusan. Muhammad al-Nuwaihi[12]
menegaskan bahwa kecintaan Abu Nuwwas pada anggur telah sampai pada batas
penyembahan dan pengkultusan, seperti yang tertuang dalam puisinya berikut:
Kupuja anggur dengan segala keagungannya
Kupuja anggur dengan segala keagungannya
Sebutlah ia dengan
nama-nama yang indah.
Andai ada seorang sebelumku
yang menyembah anggur
Tentu aku akan
menyembahnya.
Meskipun
ketergantungan Abu Nuwwas pada anggur sudah sedemikian rupa, tetapi ia tetap
teguh memegang imannya, cuma ia tidak menjalankan ajaran-ajarannya saja. Ia
juga tidak terbawa arus kafir zindiq yang melanda umat Islam pada saat itu.
Aku tak pernah menangis
Tapi ketika Nabi
mensabdakan haramnya minum anggur
Aku menangis tersedu-sedu.
Adakah kau tak melihatku
telah membolehkan kesenangan
untukku dan agamaku. Dan
aku selalu lakukan maksiat
seakan aku tak akan kembali
ke akhirat dan tak takut pada siksaan.
[1] Hanna> al-Fakhu>ri>. Ta>ri>kh
al-Ada>b
al-‘Arabi>
(al-Bulisiah: tt), 398.
[2] Must}afa> al-Shakkah, Al-Shi’r wa
al-Shu’ara>’ (Bairut: Dalam>r al-Mala>yi>n, 1980), 280.
[3] ‘Umar Faru>kh, Ta>ri>kh
al-Ada>b
al-‘Arabi>
al-‘A’s}u>r al-‘Abba>siyah (Bairut: Dalam>r al-Mala>yi>n, tt), 160-161.
[4] Sepeninggal sumaninya, Julain, ibu Abu Nuwwas, cenderung suka
berkumpul di kalangan kaum lelaki, sampai akhirnya ia menikah lagi, dan
disibukkan oleh suami barunya.
[5] ‘Umar Faru>kh, Ta>ri>kh
al-Ada>b, 159.
[6] Made Sukada, Pembinaan Kritik
Sastra Indonesia, Masalah Analisa Struktur Fiksi (Bandung: Angkasa, 1987),
133.
[7] Darmanto Jatman, Sastra,
Masyarakat, Psikologi (Bandung: Alumni, 1985), 214.
[8] Tommy F. Awuy, Wacana Tragedi
dan Dekonstruksi Kebudayaan (Yogyakarta: CV. Jantera Wacana Publika, 1995),
69.
[9] Roekhan, Kajian Tekstual
Psikologi Sastra: Persoalan Teori dan Terapan, dalam Aminuddin ed. Sekitar Masalah Sastra (Malang: Yayasan
Asah Asih Asuh, 1990), 91.
[10] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori
Kesusastraan, diterjemahankan oleh Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1990), 92.
[11] Ibid.
[12] Muh}ammad al-Nuwayhi>. Nafsiyyat Abi> Nuwwas (Bairut: Dalam>r al-Fikr, tt), 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar