Nabi pernah menjelaskan tentang keutamaan
bekerja dan hinanya perilaku meminta-minta sebagaiman diriwayatkan Imam
Tirmidzi dan Abu Dawud. Nabi bersabda, “Sesungguhnya mencari kayu
bakar dan lalu menjualnya adalah lebih baik daripada meminta-minta yang berarti
meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat kelak.”
Imam Anas bin Malik (penulis kitab al-muwaththa’)
menuturkan sebuah kisah yang menjadi latar belakang (asbabul wurud)
disabdakannya hadis ini. Pada suatu saat ada seorang lelaki dari kalangan
Anshar mendatangi Nabi untuk meminta-minta. Nabi lalu bertanya pada lelaki itu,
“Apakah di rumahmu ada sesuatu?”
“Ya, ada hils (alas duduk) dan
bejana untuk minum.” Jawab lelaki itu.
“Bawalah ke sini benda-benda itu,” Suruh
Nabi kemudian kepada lelaki Anshar itu.
Sesaat kemudian lelaki itu datang dengan
membawa hils dan bejana. Nabi lalu menawarkan benda-benda tersebut
kepada para sahabat barangkali ada yang berminat untuk membelinya. Barang itu
kemudian laku seharga dua dirham.
Nabi lalu berkata kepada lelaki itu,
“Satu dirham gunakan untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu, dan
yang satu dirham sisanya gunakan untuk membeli kapak. Setelah itu datang
kembali kepadaku dengan membawa kapak yang telah kamu beli.”
Lelaki itu segera melaksanakan perintah
Nabi. Dan setelah ia kembali menghadap Nabi dengan membawa sebuah kapak, Nabi
kemudian mengikatkan kapak tersebut pada sepotong kayu sebagai pegangan,
sebelum kemudian beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah.
Aku tidak ingin melihatmu selama 15 hari”.
Dalam jangka waktu yang telah ditetapkan,
lelaki itu datang lagi dengan membawa sepuluh dirham. Uang itu ia belikan
pakaian dan makanan. Nabi lalu berkata, “Ini lebih baik daripada pergi
meminta-minta yang berarti meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat
kelak.”
Paling tidak ada tiga pelajaran yang
dapat dimabil dari hadis serta asbabul wurud-nya tersebut. Pertama,
sikap terhadap kerja. Orang tidak bekerja atau menganggur bisa jadi ia tidak
memiliki pekerjaan. Atau ada yang sudah memiliki pekerjaan tetapi ia gampang
bosan terhadap pekerjaannya. Tetapi ada juga orang yang memang tidak mau
bekerja meski sebenarnya banyak yang bisa dikerjakan. Dan parahnya, kadang ia justru lebih suka meminta-minta. Malah
meminta-minta ini dijadikan pekerjaannya baik secara langsung atas nama pribadi
atau mengatasnamakan suatu institusi sosial.
Terhadap orang-orang seperti ini Islam
memberikan nasehat bahwa kerja itu harus dipandang sebagai ungkapan aktualisasi
diri. Dengan demikian kerja tergolong sebagai jihat yang harus
dilakukan. Inilah cara Islam dalam membentuk etos kerja, yaitu harus dmulai
dengan pembentukan cara pandang (paradigma) terhadap kerja itu sendiri.
Kedua, merubah cara pandang. Nabi dengan sangat brilian telah
mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap kerja. Tatkala lelaki Anshar
tersebut meminta-minta padanya, beliau tidak langsung memberi, juga tidak
langsung memberinya nasihat.
Tetapi Nabi lebih memilih untuk berusaha
memberdayakan potensi yang dimiliki orang tersebut dan mengajaknya untuk
berperan aktif dalam menyelesaikan persoalannya berupa ketidakmampuan untuk
bekerja dengan semestinya. Setelah Nabi memberikan tenggang waktu dan
kesempatan pada lelaki tersebut untuk berusaha, barulah ia memberikan wejangan
tentang hinanya meminta-minta dan bagaimana caranya seorang muslim bekerja.
Ketiga, Islam tidak memadang rendah suatu pekerjaan, walau hanya
sekadar menjadi pencari kayu bakar. Islam hanya memandang hina pekerjaan yang
dilakukan dengan cara salah, merendahkan diri seperti mengemis, ataupun yang
merugikan orang lain.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah
bersabda: “Jika seseorang di antara kamu sekalian mau mengambil dan membawa
seikat kayu bakar di punggungnya dan lalu menjualnya (untuk memperoleh
penghasilan), itu akan lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain.”
(Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar