Kamis, 07 Juni 2012

Hinanya Meminta-minta

Nabi pernah menjelaskan tentang keutamaan bekerja dan hinanya perilaku meminta-minta sebagaiman diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Dawud. Nabi bersabda,  “Sesungguhnya mencari kayu bakar dan lalu menjualnya adalah lebih baik daripada meminta-minta yang berarti meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat kelak.”
Imam Anas bin Malik (penulis kitab al-muwaththa’) menuturkan sebuah kisah yang menjadi latar belakang (asbabul wurud) disabdakannya hadis ini. Pada suatu saat ada seorang lelaki dari kalangan Anshar mendatangi Nabi untuk meminta-minta. Nabi lalu bertanya pada lelaki itu, “Apakah di rumahmu ada sesuatu?”
“Ya, ada hils (alas duduk) dan bejana untuk minum.” Jawab lelaki itu.
“Bawalah ke sini benda-benda itu,” Suruh Nabi kemudian kepada lelaki Anshar itu.
Sesaat kemudian lelaki itu datang dengan membawa hils dan bejana. Nabi lalu menawarkan benda-benda tersebut kepada para sahabat barangkali ada yang berminat untuk membelinya. Barang itu kemudian laku seharga dua dirham.
Nabi lalu berkata kepada lelaki itu, “Satu dirham gunakan untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu, dan yang satu dirham sisanya gunakan untuk membeli kapak. Setelah itu datang kembali kepadaku dengan membawa kapak yang telah kamu beli.”
Lelaki itu segera melaksanakan perintah Nabi. Dan setelah ia kembali menghadap Nabi dengan membawa sebuah kapak, Nabi kemudian mengikatkan kapak tersebut pada sepotong kayu sebagai pegangan, sebelum kemudian beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Aku tidak ingin melihatmu selama 15 hari”.
Dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, lelaki itu datang lagi dengan membawa sepuluh dirham. Uang itu ia belikan pakaian dan makanan. Nabi lalu berkata, “Ini lebih baik daripada pergi meminta-minta yang berarti meletakkan satu noktah hitam di wajahmu pada hari kiamat kelak.”
Paling tidak ada tiga pelajaran yang dapat dimabil dari hadis serta asbabul wurud-nya tersebut. Pertama, sikap terhadap kerja. Orang tidak bekerja atau menganggur bisa jadi ia tidak memiliki pekerjaan. Atau ada yang sudah memiliki pekerjaan tetapi ia gampang bosan terhadap pekerjaannya. Tetapi ada juga orang yang memang tidak mau bekerja meski sebenarnya banyak yang bisa dikerjakan. Dan parahnya, kadang ia justru lebih suka meminta-minta. Malah meminta-minta ini dijadikan pekerjaannya baik secara langsung atas nama pribadi atau mengatasnamakan suatu institusi sosial.
Terhadap orang-orang seperti ini Islam memberikan nasehat bahwa kerja itu harus dipandang sebagai ungkapan aktualisasi diri. Dengan demikian kerja tergolong sebagai jihat yang harus dilakukan. Inilah cara Islam dalam membentuk etos kerja, yaitu harus dmulai dengan pembentukan cara pandang (paradigma) terhadap kerja itu sendiri.
Kedua, merubah cara pandang. Nabi dengan sangat brilian telah mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap kerja. Tatkala lelaki Anshar tersebut meminta-minta padanya, beliau tidak langsung memberi, juga tidak langsung memberinya nasihat.
Tetapi Nabi lebih memilih untuk berusaha memberdayakan potensi yang dimiliki orang tersebut dan mengajaknya untuk berperan aktif dalam menyelesaikan persoalannya berupa ketidakmampuan untuk bekerja dengan semestinya. Setelah Nabi  memberikan tenggang waktu dan kesempatan pada lelaki tersebut untuk berusaha, barulah ia memberikan wejangan tentang hinanya meminta-minta dan bagaimana caranya seorang muslim bekerja.
Ketiga, Islam tidak memadang rendah suatu pekerjaan, walau hanya sekadar menjadi pencari kayu bakar. Islam hanya memandang hina pekerjaan yang dilakukan dengan cara salah, merendahkan diri seperti mengemis, ataupun yang merugikan orang lain.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda: “Jika seseorang di antara kamu sekalian mau mengambil dan membawa seikat kayu bakar di punggungnya dan lalu menjualnya (untuk memperoleh penghasilan), itu akan lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain.” (Bukhari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar