Dalam kitab
kumpulan hadisnya yang cukup terkenal, “Riyadl al-Shalihin,” Imam An-Nawawi,
menuturkan sebuah hadis yang berisi kisah tentang upaya taubatnya seorang
pembunuh 100 nyawa. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dari sanad Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan.
Dikisahkan, di
Israel, ribuan tahun sebelum Masehi, ada seorang pria yang tegap perkasa,
berwajah seram, dan selalu membawa senjata ke mana pun dia pergi. Baginya
membunuh orang tak ubahnya membunuh tikus. Sudah 99 nyawa melayang di
tangannya. Perilakunya tak ubahnya bagai seorang spikopat.
Pria itu memang
hidup di lingkungan yang jauh dari norma agama. Alih-alih pernah beribadah
hari-harinya malah berselimut kejahatan. Selama hidupnya dia sama sekali tidak
pernah melakukan kebaikan. Sampai pada suatu saat kesadaran nuraninya
tersentuh. Dia menyesal telah menghabiskan usianya dengan membunuh puluhan jiwa
tak berdosa. Dia ingin bertaubat.
Namun di saat
yang sama dia juga bimbang apakah mungkin dosanya yang sangat besar itu bisa
terampuni. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana caranya dia bisa
mengganti 99 nyawa yang telah dihabisinya. Dia hanya bisa meratapi betapa
sangat buruk perilakunya selama ini.
Dia ingin
memohon ampun Allah dengan mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi Musa. Tetapi
dia tidak tahu harus mulai dari mana, karena tidak sama sekali tidak pernah mau
mendengarkan pengajaran agama yang dibawa Nabi Musa. Itu pun dia tetap pesimis
kalau taubatnya akan diterima.
Akhirnya, dia
memutuskan untuk mencari seorang ahli agama yang dapat menuntunnya bertaubat.
Dia pergi ke kota
dan berseru, “Siapakah orang yang paling alim di muka bumi ini, apakah dia
salah satu di antara kalian?”
Suaranya yang
menggelegar memancing perhatian warga. Dari mereka akhirnya dia memperoleh
informasi tentang keberadaan seorang ahli agama nomor satu di seluruh negeri Israel, seorang
rahib Yahudi yang dikenal sebagai orang yang paling taat beribadah. Sama sekali
dia tidak pernah melewatkan waktunya untuk beribadah.
Sang pembunuh
itu akhirnya pergi ke kediaman seorang rahib seperti yang diinformasikan warga
tersebut. Sesampainya di hadapan sang rahib, dia semakin yakin sebab dari
wajahnya saja telah menyiratkan kalau dia adalah seorang rahib yang sangat
rajin beribadah. Setelah bercengkrama sejenak, dia mulai menuturkan maksud
kedatangannya. Dengan jujur dia mengakui perbuatannya di hadapan sang rahib
kalau dia telah merenggut 99 nyawa. Dia sangat menyesal terhadap semua itu dan
dia ingin sang rahim menuntunnya untuk bertaubat.
Penuturan jujur
sang pembunuh itu membuat sang rahib sangat terkejut dan murka. Dia pun
menyatakan dengan tegas kalau Allah tidak akan mungkin bersedia menerima
taubatnya. Pernyataan sang rahib ini pun memancing kemarahannya. Dia pun
kemudian menghabisi rahib itu hingga menggenapkan angka korbannya menjadi 100.
Setelah
ditelisik ternyata sang rahib itu hanya rajin beribadah dan kolot dalam
beragama. Dia tidak mampu menghayati ilmu agama, apalagi pengamalan ilmu agama
yang aplikatif ketika dihadapkan pada berbagai problem di masyarakat, termasuk
problem memfasilitasi seorang penjahat yang ingin memperbaiki diri dengan
bertaubat.
Pada esok
harinya, sang pembunuh itu kembali ke tengah kota dan menyeru dengan teriakan yang sama.
Cuma kali ini dia menginginkan informasi tentang keberadaan seorang yang
benar-benar paling alim di seluruh belahan dunia.
Kali ini ada
seorang warga yang menunjukkan rumah seorang rahib yang rajin beribadah dan
juga ahli ilmu agama. Berbeda dengan rahib sebelumnya, rahim yang kedua ini
dikenal sangat mumpuni pemahaman dan penghayatannya terhadap agama dengan
suluruh dimensi syariatnya.
Sang pembunuh
pun berangkat menuju rumah rahib ahli ilmu itu. Ketika dia telah bertemu
dengan sang rahib dia mengutarakan dengan jujur sebagaimana yang dilakukan
kepada rahib sebelumnya. Pun ditambah dengan peristiwa yang menimpa sang rahib pertama.
Sang rahib kedua
ini pun sangat terkejut mendengar pengakuan sang pembunuh tersebut, namun dia
masih memberi penilaian tersendiri terhadap niat baik sang pembunuh. “Tentu
saja, siapakah yang mampu menghalangimu untuk bertaubat.” Sang rahib
berupaya memberikan penjelasan terhadap pertanyaan sang pembunuh sembari
menepuk-nepuk pundaknya.
Penjelasan sang
rahib membuat wajah sangar sang pembunuh berubah 180 derajat. Raut mukanya
tampak bersinar, kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya tersenyum meski tampak
aneh karena selama ini bibirnya tidak pernah digunakan untuk menyungging
senyuman. Dia sangat senang karena harapannya untuk menjadi orang baik mulai
menemukan jalan.
Selanjutnya sang
rahib memberinya petunjuk agar dia meninggalkan negerinya yang bergelimang
kejahatan dan pergi ke negeri orang-orang saleh. Di sana dia bisa menghabiskan sisa usianya untuk
beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.
“Pergilah ke
negeri rantau. Di sana
terdapat orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah. Sembahlah Allah
bersama mereka dan janganlah kembali ke negerimu yang dulu karena negeri
tersebut adalah negeri yang buruk,” nasihat sang rahib kepadanya.
Tanpa menunda
waktu sang pembunuh itu segera menjalankan nasihat sang rahib itu. Dia
bergegas melakukan hijrah menuju negeri baru. Perjalanan panjang harus
ditempuhnya. Sama sekali dia tidak mengeluh sepanjang perjalanan, sebab
tekadnya untuk bertaubat sudah mendarah daging.
Tetapi tampaknya
takdir Allah menghendaki lain. Sang pembunuh itu meninggal di tengah perjalanan
hijrahnya. Belum sempat dia melakukan kebaikan. Satu-satunya kebaikan adalah
niatnya untuk bertaubat yang telah mulai dijalaninya.
Kematian sang
pembunuh itu rupanya menimbulkan polemik penghuni langit. Setelah malaikat
Izrail mencabut nyawanya, giliran malaikat pembawa ruh dilanda
perselisihan. Malaikat rahmat dan malaikat azab sama-sama merasa
berkewajiban membawa ruh itu ke alam baka.
“Dia telah
bertaubat, meninggal dalam keadaan taubat dan menyerahkan sepenuh jiwa hatinya
kepada Allah,” kata malaikat rahmat berargumentasi. Namun, malaikat azab punya
pendapat lain. “Dia bertaubat, tapi belum sedikit pun melakukan amalan
kebajikan,” ujarnya.
Cukup lama kedua
malaikat itu beradu pendapat, hingga Allah mengutus satu malaikat untuk
menengahi mereka. “Ukurlah jarak orang ini dengan dua negeri, negeri buruk
asalnya dan negeri baik yang menjadi tujuannya. Mana jarak terdekat dengan
negeri itu, maka tentukan apakah dia termasuk orang yang dirahmati atau
diazab,” tutur malaikat penengah tersebut.
Malaikat rahmat
dan malaikat azab akhirnya menjalankan usulan malaikat penengah tersebut.
Mereka mengukur jarak dua negeri dengan lokasi kematian sang pembunuh. Dan
tenyata lokasi meninggalnya sang pembunuh itu tepat di tengah-tengah jarak
antara kedua negeri, namun jasadnya dalam posisi membusungkan dadanya ke arah
negeri tujuan.
Kedua malaikat
itu akhirnya sepakat kalau dia dianggap lebih mendekati negeri baik. Selanjutnya
malaikat rahma membawa ruhnya menuju surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar