Dalam khazanah
fikih Islam, khitan didefinisikan sebagai satu perbuatan memotong kulit bagian
ujung (kulup) yang menutup bagian depan kemaluan bagi laki-laki, atau sedikit bagian
atas alat kelamin bagi perempuan. Khitan, yang oleh sebagian masyarakat
diistilahkan ‘sunat’, ini bertujuan untuk menjaga kebersihan fisik dari
kotoran. Di samping itu, khitan juga berfungsi agar seseorang dapat menahan
kencing sehingga tidak mengurangi kenikmatannya dalam bersenggama.
Bagian depan
kelamin yang tertutup kulup itu, dalam pandangan fikih, dianggap sebagai bagian
luar yang harus dibersihkan dan disucikan. Membiarkannya dalam keadaan kotor
jelas berpengaruh terhadap aktifitas ibadah seperti shalat. Seorang yang hendak
menjalankan shalat disyaratkan harus suci dari hadats (kotoran) kecil seperti
kentut dan memegang kemaluan, atau hadats besar seperti junub dan dari najasah
(hal-hal yang termasuk kategori najis). Apabila ujung kemaluannya tidak
disucikan maka shalatnya tidak sah karena masih adanya najis yang melekat di
tubuhnya. Mungkin dia dapat mensucikannya tanpa harus berkhitan, tetapi hal itu
sangat merepotkan, sehingga sangat disarankan untuk berkhitan.
Untuk itu, di
dalam literatur fikih Islam, khitan dimasukkan sebagai bagian dari persoalan
thaharah (bersih diri), meskipun tentang hukumnya ada banyak pendapat. Mayoritas
ulama menyatakan bahwa khitan itu wajib. Tetapi dalam mazhab Syafi'i, mazhab
yang banyak diikuti oleh umat Islam di negeri ini, ditetapkan sebagai sunnah
muakkadah (sunat yang dikuatkan) bagi laki-laki, dan sekadar anjuran bagi
kaum perempuan. Perdapat ini didasarkan pada sabda Nabi, ’Ada empat hal yang
termasuk dalam sunah Nabi, yaitu khitan, memakai wangi-wangian, bersiwak, dan
menikah’; ‘Khitan itu disunatkan bagi kaum laki-laki dan dimuliakan bagi kaum
wanita.’
Khitan juga
sudah dianalisis secara medis. Dan hasilnya menunjukkan bahwa khitan sangat
baik dan bahkan dapat menunjang kesehatan badan. Hal ini karena berkhitan itu dapat
membersihkan segala kotoran yang menempel di kulit kelamin, sehingga sangat efektif
untuk menghindari kuman yang bersarang pada kelamin. Berdasar hasil analisis
tersebut, dewasa ini tidak sedikit warga non-muslim di AS dan Eropa yang
tertarik untuk melakukan khitan.
Analisis medis
itu juga menunjukkan bahwa khitan juga dapat menambah rasa nikmat dalam
hubungan suami-istri. Kenyataan ini seperti ditunjukkan oleh pengakuan sebagian
umat muslim keturunan Cina di negeri ini bahwa mereka merasakan kenikmatan yang
lebih saat berhubungan dengan istrinya dibanding sebelum mereka masuk Islam dan
berkhitan.
Tradisi khitan
ini sebenarnya tidak hanya bermula pada zaman Nabi Muhammad. Sejak pada zaman Nabi
Ibrahim tradisi khitan sudah berlangsung. Kenyataan sejarah ini seperti
diuraikan oleh Nabi bahwa ‘Ibrahim kekasih Tuhan, berkhitan setelah berusia 80
tahun. Dia dikhitan dengan menggunakan kapak.’ Ungkapan ini bukan berarti Nabi
menyarankan untuk berkhitan pada usia dewasa atau bahkan sudah lanjut usia.
Justru dia menganjurkan agar sebaiknya khitan itu dilaksanakan pada hari
ketujuh setelah kelahiran. Imam al-Baihaqi menyebutkan bahwa ‘Nabi mengelenggarakan
walimat aqiqah (menyembelih kambing dua untuk anak laki-laki dan satu untuk
anak perempuan) untuk cucunya Hasan dan Husain dan mengkhitannya pada hari
ketujuh kelahiran dari kelahirannya.’
Di negeri ini
pelaksanaan khitan berbeda-beda. Ada yang disesuaikan dengan pelaksanaan Nabi
tersebut. Ada juga yang dilaksanakan pada usia anak-anak. Hal ini tidak jadi
masalah, asal tradisi berkhitan itu terus dijalankan. Bahkan tradisi ini ada
yang dikemas dalam satu paket acara amal, seperti khitanan masal, yang biasanya
dilakukan terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Namun tradisi
khitan ini masih ada yang mempersoalkan, terutama bagi perempun. Yang
dipersoalkan adalah alasan pelaksanaan khitan bagi perempuan itu, yaitu
mengurangi gairah seksualnya. Hal ini dianggap telah merenggut hak perempuan
untuk mendapatkan kenikmatan dalam berhubungan badan. Alasan tersebut ada
benarnya. Tetapi ada banyak doktrin agama yang menegaskan tentang kejahatan
yang ditimbulkan oleh naluri seks perempuan, sehingga perempuan harus
diperlakukan dan memperlakukan diri sebaik mungkin. Nabi menggambarkan
perempuan sebagai tiang penyangga negara. Jika dia baik maka seluruh masyarakat
akan merasa aman, tenteram sejahtera. Sebaliknya apabila dia buruk maka
ketenteraman dan kesejahteraan itu akan sulit dicapai.
Mereka juga
menyatakan bahwa tradisi khitan itu tidak berakar dari Islam tetapi dari
tradisi Arab. Dalam hal ini patut dipahami pernyataan jujur dan terbuka Nabi
bahwa dia tidak membuat hal-hal baru melainkan menyempurnakan tradisi yang
sudah ada dengan memberinya muatan nilai-nilai yang Islami. Bahkan dengan dasar
ini Islam selalu dapat mengikuti perkembangan sejarah kemanusiaan (salihun li
kulli zaman wa makan). Karena itu Islam tidak hanya mempertimbangkan bentuk
suatu tradisi tetapi lebih dari itu yaitu nilai-nilai yang ada di dalam tradisi
itu.
Perdebatan itu
sudah selayaknya tidak diperpanjang. Biar masyarakat yang menentukan
pilihannya. Bagi yang tidak melaksanakannya, asal dia dapat menjaga diri dari apa
yang semestinya dijaga melalui khitan, dia diberi kebebasan penuh untuk itu.
Sama halnya orang lain juga punya kebebasan untuk mengekspresikan pola
keberagamaannya (berkhitan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar