Tidak
semua umat Islam di semua negara menggunakan lebel haji seusai berhaji. Hanya
mereka yang berada di negara-negara yang secara geografis jauh dari pusat Islam
(Makkah) yang menggunakannya, seperti Indonesia dan Malaysia. Penggunaan lebel
haji ini di samping menunjukkan adanya penghargaan yang sangat tinggi terhadap
haji, juga mempertimbangkan adanya keterkaitan semangat berhaji orang “Jawa”
(Asia Tenggara) dengan budaya tradisionalnya.
Bagi
orang Indonesia, berhaji bukan sekedar menunaikan rukun Islam yang kelima,
tetapi terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi pendorong kuat, seperti
faktor spirituaal, ilmu dan politik. Faktor-faktor ini yang mendongkrak
semangat mereka untuk berhaji meski dengan resiko biaya yang sangat besar.
Martin
van Bruinessen -seorang konsultan bidang metodologi penelitian sosial di LIPI-
mencatat jumlah jamaah haji Indonesia berkisar antara 10% s/d 20% pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke20. Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20,
jumlahnya mencapai sekitar 40%. Besarnya angka ini tidak lain karena tingginya
penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji.
Semangat
orang Nusantara, terutama Jawa, untuk berhaji memang sangat tinggi. Masih
menurut Bruinessen, hal ini tidak terlepas dari kosmologi Jawa dimana pusat
kosmis (titik temu antara dunia fana dan alam supranatural) memainkan peranan
sentral. Setelah masuknya Islam ke Jawa, Ka’bah dan kota Makkah yang merupakan
pusat Islam menjadi pusat kosmis yang harus diziarahi.
Orang
yang telah melakukan olah spiritual di pusat kosmis itu dianggap memiliki
keistimewaan yang luar biasa. Lebel haji, dengan demikian, memiliki legitimasi
sosial dan politik yang sangat besar. Persaingan antara raja Banten dan Mataram
pada tahun 1630-an tentang pengiriman utusan ke Makkah untuk, antara lain,
mendapatkan gelar 'sultan' dari Syarif Besar (khadim al-haramain)
membuktikan hal ini.
Keyakinan
tradisional ini juga masih berkembang sampai saat ini. Meski tidak sekuat dulu
karena modernisasi transportasi dan komunikasi telah menggeser padangan masyarakat
Jawa terhadap Makkah dan Ka’bah. Tetapi hingga saat ini masih banyak orang yang
berupaya menambah lebel haji/hajjah (berhaji) pada namanya untuk menguatkan
legitimasinya.
Untuk
yang disebut terakhir ini jelas merupakan simplifikasi haji. Sebab berhaji
bukan sekedar suatu upaya meningkatkan status sosial. Berhaji juga bukan
sekedar pelaksanaan ritual lahiriah formal, melainkan sebuah momen revolusi
lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Berhaji harus
dibarengi dengan upaya penyingkapan terhadap makna substasi yang terkandung di
dalam ritual haji.
Aktualisasi
makna substasi haji dalam wujud sikap dan tingkah laku sehari-hari pasca haji
merupakan isyarat kemabruran haji seseorang. Dengan kata lain, orang yang sudah
berhaji harus menjadi manusia yang tampil beda dibanding sebelumnya.
Dalam
konteks sosial mereka harus mengambil peran sebagai pioner dalam penegakan
nilai moral di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena ritual haji memang
tidak hanya membentuk seseorang menjadi saleh dengan pengalaman spiritual yang
beraneka ragam, tetapi dapat menumbuhkembangkan komitmen sosial yang tinggi
dalam rangka menegakkan nilai moral di tengah-tengah masyarakat.
Setiap
orang yang berangkat haji mengharapkan mendapat predikat haji mabrur. Janji
balasan surga bagi haji babrur menjadi incaran mereka. Secara literal mabrur
berarti menjadi baik. Orang yang telah melaksanakan ibadah haji seharusnya
memiliki kepribadian dan moralitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Siapa
pun yang mampu menjalaninya akan dapat hidup bahagia bagaikan di surga.
Dari
sini jelas bahwa parameter kemabruran tidak dinilai pada saat pelaksaan ibadah
haji tetapi saat menapaki jengkal demi jengkal perjalanan panjang kehidupan
pasca haji. Kemabruran ditentukan seberapa besar komitmen orang-orang yang
telah berhaji (hujjaj) dalam mengimplementasikan makna substansi yang
terkandung di dalam ritual haji, seperti berihram, tawaf, sa’i, wuquf di
Arafah, melempar jumrah dan lain-lain.
Pengalaman
spiritual para haji tidak berhenti sebagai khazanah individu, tetapi memiliki
efek sosiologis dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang surgawi. Dengan
demikian, para haji berperan sebagai pioner penegakan nilai-nilai moral yang
menjadi prasyarat bagi terciptanya kehidupan sosial yang surgawi tersebut.
Para
haji menjadi pioner pola hidup sederhana, tidak serakah, bersikap santun, dan
menegakkan hukum secara adil, sebagaimana tercermin dari pakaian ihram yang
mereka kenakan saat berhaji. Kain putih yang tak berjahit yang digunakan menutup
aurat selama berhaji itu meruapakan pelambang pembebasan diri dari mentalitas
keduniawiaan dan pembersihan diri dari nafsu yang mendorongnya untuk bersikap
sombong dan berlaku sewenang-wenang.
Tawaf,
mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ritual ini melambangkan kesediaan para
haji untuk keluar dari lingkaran manusia dan masuk ke dalam lingkaran Tuhan.
Para haji hendaknya memperkuat watak religius masyarakat dengan menjadikan
Tuhan sebagai orientasi segala perbuatannya.
Para
haji juga tertuntut untuk mempelopori pentingnya berperilaku positif dan
bermafaat baik bagi diri sendiri mapun orang lain. Hal ini merupakan makna
ritual sa’i yang merupakan salah satu rukun haji.
Rukun
terpenting haji adalah wukuf di padang Arafah. Ritual ini merupakan ekspresi kesadaran
tentang kecilnya eksistensi manusia di tengah keluasan dan kebesaran ciptaan
Tuhan. Kesadaran ini dapat menekan manusia untuk bersikap angkuh dan
merendahkan orang lain. Kesadaran ini harus dikembangkan oleh para hujjaj di
tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak akan ada praktik hegemoni orang yang
berada di level atas terhadap bawahannya.
Para
haji juga harus menjadi pelopor suatu upaya maksimal membunuh potensi-potensi
buruk yang ada di dalam dirinya, sekaligus membentengi diri dari godaan eksternal.
Hal ini sebagaimana yang tercermin dari ritual melontar jumrah yang
melambangkan putus hubungan dengan penggoda (setan).
Akhirnya,
kita berharap semoga para haji tahun 2011 ini dapat mengambil peran kepeloporan
ini. Sebab dengan begitu fungsi sosiologis haji mereka benar-benar dapat
dibuktikan, dan kemabruran haji mereka juga tidak diragukan lagi. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar