Senin, 31 Oktober 2011

Parameter Kemabruran Para Penyandang Haji

Tidak semua umat Islam di semua negara menggunakan lebel haji seusai berhaji. Hanya mereka yang berada di negara-negara yang secara geografis jauh dari pusat Islam (Makkah) yang menggunakannya, seperti Indonesia dan Malaysia. Penggunaan lebel haji ini di samping menunjukkan adanya penghargaan yang sangat tinggi terhadap haji, juga mempertimbangkan adanya keterkaitan semangat berhaji orang “Jawa” (Asia Tenggara) dengan budaya tradisionalnya.
Bagi orang Indonesia, berhaji bukan sekedar menunaikan rukun Islam yang kelima, tetapi terdapat faktor-faktor tertentu yang menjadi pendorong kuat, seperti faktor spirituaal, ilmu dan politik. Faktor-faktor ini yang mendongkrak semangat mereka untuk berhaji meski dengan resiko biaya yang sangat besar.
Martin van Bruinessen -seorang konsultan bidang metodologi penelitian sosial di LIPI- mencatat jumlah jamaah haji Indonesia berkisar antara 10% s/d 20% pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. Malah, pada dasawarsa kedua abad ke-20, jumlahnya mencapai sekitar 40%. Besarnya angka ini tidak lain karena tingginya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji.
Semangat orang Nusantara, terutama Jawa, untuk berhaji memang sangat tinggi. Masih menurut Bruinessen, hal ini tidak terlepas dari kosmologi Jawa dimana pusat kosmis (titik temu antara dunia fana dan alam supranatural) memainkan peranan sentral. Setelah masuknya Islam ke Jawa, Ka’bah dan kota Makkah yang merupakan pusat Islam menjadi pusat kosmis yang harus diziarahi.
Orang yang telah melakukan olah spiritual di pusat kosmis itu dianggap memiliki keistimewaan yang luar biasa. Lebel haji, dengan demikian, memiliki legitimasi sosial dan politik yang sangat besar. Persaingan antara raja Banten dan Mataram pada tahun 1630-an tentang pengiriman utusan ke Makkah untuk, antara lain, mendapatkan gelar 'sultan' dari Syarif Besar (khadim al-haramain) membuktikan hal ini.
Keyakinan tradisional ini juga masih berkembang sampai saat ini. Meski tidak sekuat dulu karena modernisasi transportasi dan komunikasi telah menggeser padangan masyarakat Jawa terhadap Makkah dan Ka’bah. Tetapi hingga saat ini masih banyak orang yang berupaya menambah lebel haji/hajjah (berhaji) pada namanya untuk menguatkan legitimasinya.
Untuk yang disebut terakhir ini jelas merupakan simplifikasi haji. Sebab berhaji bukan sekedar suatu upaya meningkatkan status sosial. Berhaji juga bukan sekedar pelaksanaan ritual lahiriah formal, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Berhaji harus dibarengi dengan upaya penyingkapan terhadap makna substasi yang terkandung di dalam ritual haji.
Aktualisasi makna substasi haji dalam wujud sikap dan tingkah laku sehari-hari pasca haji merupakan isyarat kemabruran haji seseorang. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji harus menjadi manusia yang tampil beda dibanding sebelumnya.
Dalam konteks sosial mereka harus mengambil peran sebagai pioner dalam penegakan nilai moral di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena ritual haji memang tidak hanya membentuk seseorang menjadi saleh dengan pengalaman spiritual yang beraneka ragam, tetapi dapat menumbuhkembangkan komitmen sosial yang tinggi dalam rangka menegakkan nilai moral di tengah-tengah masyarakat.
Setiap orang yang berangkat haji mengharapkan mendapat predikat haji mabrur. Janji balasan surga bagi haji babrur menjadi incaran mereka. Secara literal mabrur berarti menjadi baik. Orang yang telah melaksanakan ibadah haji seharusnya memiliki kepribadian dan moralitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Siapa pun yang mampu menjalaninya akan dapat hidup bahagia bagaikan di surga.
Dari sini jelas bahwa parameter kemabruran tidak dinilai pada saat pelaksaan ibadah haji tetapi saat menapaki jengkal demi jengkal perjalanan panjang kehidupan pasca haji. Kemabruran ditentukan seberapa besar komitmen orang-orang yang telah berhaji (hujjaj) dalam mengimplementasikan makna substansi yang terkandung di dalam ritual haji, seperti berihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, melempar jumrah dan lain-lain.
Pengalaman spiritual para haji tidak berhenti sebagai khazanah individu, tetapi memiliki efek sosiologis dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang surgawi. Dengan demikian, para haji berperan sebagai pioner penegakan nilai-nilai moral yang menjadi prasyarat bagi terciptanya kehidupan sosial yang surgawi tersebut.
Para haji menjadi pioner pola hidup sederhana, tidak serakah, bersikap santun, dan menegakkan hukum secara adil, sebagaimana tercermin dari pakaian ihram yang mereka kenakan saat berhaji. Kain putih yang tak berjahit yang digunakan menutup aurat selama berhaji itu meruapakan pelambang pembebasan diri dari mentalitas keduniawiaan dan pembersihan diri dari nafsu yang mendorongnya untuk bersikap sombong dan berlaku sewenang-wenang.
Tawaf, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ritual ini melambangkan kesediaan para haji untuk keluar dari lingkaran manusia dan masuk ke dalam lingkaran Tuhan. Para haji hendaknya memperkuat watak religius masyarakat dengan menjadikan Tuhan sebagai orientasi segala perbuatannya.
Para haji juga tertuntut untuk mempelopori pentingnya berperilaku positif dan bermafaat baik bagi diri sendiri mapun orang lain. Hal ini merupakan makna ritual sa’i yang merupakan salah satu rukun haji.
Rukun terpenting haji adalah wukuf di padang Arafah. Ritual ini merupakan ekspresi kesadaran tentang kecilnya eksistensi manusia di tengah keluasan dan kebesaran ciptaan Tuhan. Kesadaran ini dapat menekan manusia untuk bersikap angkuh dan merendahkan orang lain. Kesadaran ini harus dikembangkan oleh para hujjaj di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak akan ada praktik hegemoni orang yang berada di level atas terhadap bawahannya.
Para haji juga harus menjadi pelopor suatu upaya maksimal membunuh potensi-potensi buruk yang ada di dalam dirinya, sekaligus membentengi diri dari godaan eksternal. Hal ini sebagaimana yang tercermin dari ritual melontar jumrah yang melambangkan putus hubungan dengan penggoda (setan).
Akhirnya, kita berharap semoga para haji tahun 2011 ini dapat mengambil peran kepeloporan ini. Sebab dengan begitu fungsi sosiologis haji mereka benar-benar dapat dibuktikan, dan kemabruran haji mereka juga tidak diragukan lagi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar