Setiap tanggal 10
Dzulhijjah umat Islam memperingati Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Bentuk
peringatannya, selain dengan membaca takbir, tahmid dan tahlil, menggelar
shalat Id, juga dengan melakukan penyembelihan hewan kurban yang dilanjutkan
dengan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin. Untuk yang disebut
terakhir ini memiliki akar tradisi (sunat) pada peristiwa yang dialami oleh
Ibrahim, tepatnya saat ia diperintahkan Allah untuk menyembelih putra
kesayangannya, Ismail, sebagai wujud kepatuhannya kepada Allah.
Sangat tidak logis
jika Allah yang Pengasih menyuruh nabi-Nya untuk berbuat kejam seperti itu;
membunuh anak sendiri dengan cara menyembelih. Tapi begitulah salah satu bentuk
ujian yang diberikan Allah kepada orang yang dikasihi-Nya. Jelas ada hikmah
syar’iayah bagi keberlangsungan hidup manusia sepanjang masa. Ibrahim yang
sangat patuh melaksanakan perintah itu. Allah kemudian mengganti jasad Ismail,
yang hamper tergores lehernya oleh pedang Ibrahim, dengan seekor domba. Untuk
mengenang peristiwa itu Nabi Muhammad kemudian mensunatkan menyembelih hewan
kurban pada tanggal 10 – 13 Dzulhijjah sebagai salah satu simbol pendekatan diri
kepada Allah.
Perintah Nabi ini
ditujukan kepada setiap individu muslim. Setelah ia melakukan penyembelihan Nabi
memerintahkan untuk membagikan dagingnya yang masih mentah kepada kaum fakir
miskin. Perintah ini berbeda dengan perintah membagikan daging hewan aqiqah,
yaitu dalam kondisi sudah dimasak dengan rasa sedap. Lepas dari soal daging
mentah atau sudah dimasak, yang jelas perintah individual itu telah merembet
pada ranah sosial.
Dari sini ada dua
hal yang patut dicatat, yaitu simbolisme dalam agama dan pelestarian sunat. Setiap
agama memiliki simbol yang memiliki nilai sakral. Di satu sisi simbol berfungsi
sebagai petanda pesan moral yang harus dijaga dan dilestarikan oleh pemeluk
agama, sementara nilai sakral di dalamnya, seperti kata Emile Durkheim, akan
mampu membangkitkan perasaan kagum dan sekaligus memiliki kekuatan memaksa
dalam mengatur tingkah laku pemeluk agama serta kekuatan untuk mengukuhkan
nilai-nilai moral yang harus dipegang teguh.
Dalam pemahaman ini
simbol penyembelihan hewan kurban mengandung pesan moral bagi setiap muslim
untuk bersedia melakukan kerja-kerja pengorbanan dalam ranah sosial yang hanya
bertujuan mencari ridla Allah. Pesan ini yang seharusnya dikukuhkan oleh setiap
muslim untuk turut mewujudkan kehidupan yang adil dan berkemanusiaan (humanis).
Dengan demikian,
sejatinya ibadah kurban yang bersifat individual itu tidak hanya berhenti
sebagai upaya memperkaya horison pengalaman beragama secara individual dalam
rangkan self cleaning, tetapi harus berlanjut implementasinya pada
dataran empiris-sosial, tepatnya peningkatkan kualitas penghayatan individu
terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan, sebelum kemudian dilanjutkan
dengan kesediaan untuk mengambil peran dalam kerja-kerja kemanusiaan.
Dalam
konteks transformasi sosial pesan moral yang terkandung di dalam simbol kurban itu
sangat mungkin akan mengalami reinterpretasi untuk meneguhkan pesan moral itu pada
tataran empiri-sosial. Reinterpretasi, yang oleh Roland Barthes disebut
deformasi karena cenderung menundukkan agama di bawah kriteria, hukum dan
konsensus di antara manusia (manusia cukup memiliki otoritas untuk menentukan yang
“benar dan salah” menurut persepsinya) ini sangat sah seiring dengan proses
dialektika pesan profetik agama dengan kecerdasan manusia, perubahan ruang,
pergeseran waktu, serta kenyataan manusia yang heterogen dari segi geografis
maupun etnis.
Sampai di sini
acapkali terjadi benturan antara tuntutan untuk memberikan makna rasional dan
kontekstual pesan moral agama dengan semangat untuk melestarikan sunat yang
telah diletakkan oleh Nabi. Secara rasional realisasi ibadah kurban bisa saja
tidak dalam bentuk penyembelihan hewan kurban. Kalau perintah kurban dalam
konteks masa Nabi dengan hewan ternak itu cukup wajar mengingat secara umum penumpukan
harta pada saat itu adalah dengan dirupakan ternak. Tetapi bagi masyarakat
modern yang cenderung melakukan penumpukan harta dengan cara menyimpannya dalam
bentuk uang dan deposito tidak bisakah berkurban dalam bentuk uang senilai
harga hewan ternak yang sudah memenuhi syarat. Bukankah berkurban dengan cara
demikian akan lebih efektif jika dikaitkan dengan program pengentasan
kemiskinan dan penanganan korban bencana alam misalnya.
Pemahaman seperti
ini sangat mungkin menilik pada esensi ibadah kurban yang bukan sekedar pada penyembelihan
hewan dan pembagian dagingnya kepada fakir-miskin, melainkan lebih pada kesediaan
berkorban untuk turut meringankan, kalau tidak menghilangkan, beban derita yang
dialami oleh kaum khuafa’. Apalagi secara tegas Tuhan telah menyatakan bahwa
sampai kepada-Nya bukan daging atau darah hewan kurban melainkan ketaqwaan (QS.
al-Hajj: 37).
Tetapi sebenarnya
pemahaman seperti ini dalam kontek “formalisme agama” (menjaga tradisi dan
identitas formal agama) cukup mengkhawatirkan. Agama apapun membutuhkan
identitas formal yang menjadi sumber legitimasi bagi pemeluknya. Dalam hal ini
penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu bentuk ekspresi identitas
formal tersebut. Jika kemudian realitanya dapat bergeser pada bentuk perayaan
atau pesta karena tradisi penyembelihan itu sudah menjadi budaya sehingga
kadang makna substansinya terkalahkan oleh semangat untuk membuat perayaannya
lebih meriah, maka gejala ini cukup wajar karena ekspresi identitas formal itu
bisa dalam bentuk yang istimewa. Memang orang kadang memiliki keinginan yang
menggebu-gebu dalam memperingati suatu tradisi keagamaan, bahkan kadang sampai
pada batas tidak wajar, apalagi dibarengi dengan satu semangat untuk membedakan
tradisi itu dengan bentuk-bentuk tradisi yang tidak memiliki unsur-unsur
transcendental dan eskatologis.
Tegasnya,
reinterpretasi yang mengarah pada implementasi ibadah kurban tidak harus dengan
menggeser sunat yang telah diletakkan oleh Nabi, meski tetap harus dijaga
urgensi pesan kurban sebagai legitimasi untuk mewujudkan obsesi-obsesi sosial
yang humanis. Dengan begitu eternalisasi kontinuitas tradisi kurban tetap
terjaga sampai kapanpun. Adapun adanya kenyataan fenomena bergesernya ritual
kurban pada sekedar bentuk budaya diiringi dengan tenggelamnya nila-nilai substansialnya
adalah merupakan suatu kewajaran meski kecenderungan ini tetap menjadi agenda terutama
bagi pemuka agama untuk selalu memberikan pencerahan. Bukankan setiap pemeluk
agama membutuhkan legitimasi keterkaitan organik dengan masa lalunya.
Dengan demikian,
reinterpretasi terhadap nilai substasi identitas formal agama seperti
peringatan Idul Kurban tidak harus mengarah pada perubahan wujud sekaligus
bentuk ekspresinya. Biarlah ekspresi simbol kurban bagi uamt Islam tetap dalam
bentuk penyembelihan hewan kurban dan membagikan dagingnya yang masih mentah
kepada fakir miskin (dhuafa’), tetapi pesan substansinya diharapkan mampu
menjadi perata jalan (paving a way) untuk terwujudnya transformasi
sosial ke arah penegakan keadilan sosial. Setiap orang yang telah berkurban
tidak hanya berhenti seusai menyerahkan hewan kurban kepada panitia penyalur
daging kurban, tetapi ia benar-benar telah berani berkurban dengan mengorbankan
ego, kepentingan, harta benda, perhatiannya, dll demi solidaritas sosial.
Pesan Allah dalam
surat al-Ma’un telah menegaskan pola pemahaman ini. Dalam surat itu Allah
menegaskan tentang model orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang menjalankan
shalat tetapi ia menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan
orang miskin. Penegasan Allah ini tidak bisa hanya dipahami dengan motode mafhum
mukhalafah (mengambil makna kebalikan); orang tidak menghardik anak yatim
dan berjuang untuk memberi makan orang miskin dan tidak usah shalat. Tetapi
harus dimbil secara utuh (kafah); shalat dan memperhatikan anak yatim
dan fakir miskin.
Artinya, wujud
ekspresi formal keagamaan tetap dijalankan dengan tetap disertai suatu komitmen
untuk menegakkan keadilan sosial, karena ini, menurut Nurcholis Madji, merupakan
wujud yang paling nyata bentuk keberagamaan, yaitu lewat perilaku sosial dan
keluhuran budi. Alih-alih ibadah kurban harus berdampak sosial dan menumbuhkan
keberagamaan sejati pada orang yang melaksanakan, karena kurban yang benar
memang akan dapat menumbuhkan sikap dan nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar