Indonesia
yang dikenal sebagai bangsa religius telah berhasil menentukan bentuk sekuler
(demokrasi) sebagai sistem bernegara, dan memposisikan agama hanya sebagai
salah satu landasan filosofis (moral-etik) bagi setiap upaya-upaya
penyelenggaraan negara. Prestasi gemilang ini tidak dapat dilupakan begitu saja
karena untuk meraihnya bangsa ini harus melewati masa-masa kritis dalam
perdebatan ideologis yang menaruhkan integrasi bangsa. Pilihan terhadap
demokrasi memang sangat tepat mengingat dalam bangsa yang pluralis ini
demokrasi akan mampu mengakomodasi beragam kecenderungan yang ada, karena ia
menjamin kepada setiap individu maupun kelompok untuk dapat dengan bebas menentukan
pilihan sekaligus untuk melakukan kreasi-kreasi pengembangan diri demi
menyokong kepentingannya.
Keputusan tersebut menyiratkan bahwa negara dan agama merupakan dua
wilayah yang berbeda, dan tidak memiliki hubungan apa-apa kecuali sebatas
sebagai basic moral. Negara merupakan bentuk sekuler, sementara agama merupakan
perpaduan antara dimensi esoterik dan eksoterik. Setiap upaya pengkaitan
politik dengan agama atau sebaliknya berarti merupakan bentuk distorsi
kesejarahan. Tetapi sampai saat ini fenomena ‘politisasi agama’ masih tetap
menyeruak seiring dengan menajamnya konflik politik (kekuasaan).
Pilihan pada bentuk sekuler tersebut, dalam perspektif strukturalisme,
sudah menyiratkan bahwa politik itu sama selaki tidak memiliki hubungan dengan
kesadaran spiritual, karena perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya
lebih sebagai ungkapan struktural. Artinya dia (subjek) hanyalah sebagai pemain
papa (a poor player) dari struktur yang mengungkungnya; entitas individu
dengan kedirian subjektifnya tidak diakui atau diabaikan (Cahoone,1996).
Sampai di sini
muncul pertanyaan, bagaimanakah perspektif strukturalisme memahami peranan
teks-teks keagamaan dalam membentuk suatu pandangan dunia (weltanschoung)
bagi pemeluknya? Dalam perspektif ini teks dapat dilihat sebagai satu produk
dunia kehidupan seseorang atau kelompok sehingga kedirian subjek dengan dept-conciousnessnya
patut dipertanyakan. Artinya seseorang tetap berada dalam kungkungan struktur
karena pilihannya untuk mengadopsi pandangan tertentu yang digali dari teks
tertentu sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Lalu, apakah
seseorang tidak mungkin keluar dari kungkungan struktural? Pertanyaan ini
kembali mengingatkan perbedaan mendasar antara eksistensialisme dengan
strukturalisme Prancis dalam memahami realitas individu atau masyarakat, di
mana perbedaan itu juga menimbulkan persoalan apakah ‘gagasan’ tidak dapat
membimbing perilaku?
Pertanyaan tersebut
dapat dijawab dengan melihat pada kenyataan adanya rentang yang jauh antara
dunia ide dengan realitas. Terdapat kendala realitas bagi penerjemahan ide
secara utuh sehingga entitas ide selalu mengalami perubahan-perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian (Habermas1996). Lantas apakah ini juga dapat diartikan
berakhirnya ideologi? Jika ideologi dipahami sebagai sebuah pandangan dunia
yang ketat dan tertutup, dengan tingkat pereduksian realitas sehingga
melahirkan pandangan polaristik-dikotomistik maka jawabannya adalah benar,
sebab tidak ada realitas atau dunia semacam ini. Eksistensi ideologi hanya
terdapat pada level ‘anggitan’.
Dalam konteks dunia
‘anggitan’ inilah teks memainkan peranan signifikan. Hal ini dimungkinkan
karena adanya kesepadanan antara pola berpikir ideologis dengan teks. Tegasnya
jika teks –terutama teks-teks keagamaan– dibaca secara tekstual dan tidak
melihat realitas di luar teks itu sendiri maka pemahaman yang muncul adalah
dogmatis-ideologis. Suatu pemahaman yang melihat teks sebagai realitas itu
sendiri.
Tanpa ingin
terlibat jauh dalam perdebatan antara strukturalisme dan eksistensialisme,
dapat disebutkan bahwa teks dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan
pandangan dunia seseorang atau kelompok, dan melalui sosialisasi
(indoktrinasi), pandangan dunia ini dapat membimbing perilakunya.
Teks Sebagai Pembentuk Identitas
Teks-teks keagamaan
yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu selalu memuat pesan-pesan tentang
menegaskan Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh yang meliputi aspek moral
dan norma bagi kehidupan individual, masyarakat, dan bahkan penyelenggaraan
negara. Model pemahaman keislaman yang dihadirkan dalam teks-teks tersebut
sangat kental karakter pembacaan tekstualnya. Sebagai produk sejarah teks-teks
itu haruslah dibiarkan sebagaimana adanya. Tetapi untuk menghadirkannya dalam
konteks kekinian tentu membutuhkan kontekstualisasi-kontekstualisasi. Jika
tidak, misalnya dengan tetap mempertahankan karakter tekstualnya, maka yang
muncul adalah suatu model pemahaman dogmatis-formalistik. Karena teks-teks
tersebut ditempatkan sebagai resemblance realitas yang diangankan.
Pembacaan seperti ini dimungkinkan dengan memandang bahasa kitab suci
(teks-teks keagamaan) sebagai bahasa demotik (Fryee, 1962), sehingga dapat
dipahami secara deskriptif-realistik. Tegasnya teks adalah realitas itu
sendiri.
Model pembacaan
seperti ini akan memposisikan teks-teks keagamaan tersebut sebagai blue
print realitas yang diangankan. Setiap pandangan yang berbeda dari bunyi
lahir teks dinilai sebagai penyelewengan agama. Sesungguhnya model pembacaan
tekstual semacam ini telah berlangsung berabad-abad di dunia Islam. Pernyataan
ini tidak mengingkari adanya model pembacaan lain, seperti yang dihadirkan para
sufi. Tetapi model pembacaan tekstual dengan penekanan pada eksoterisme agama
terbukti lebih mendominasi wacana umat Islam.
Hal yang disebut
terakhir inilah yang pada gilirannya dapat menjadikan aktivisme politik sebagai
pilihan keberagamaan. Hal ini didasarkan kepada kesadaran bahwa risalah
Islam merupakan seperangkat tata-nilai dan perundang-undangan bagi pembentukan
suatu tatanan sosial yang utuh, seperti yang telah teraktualisasikan dalam
kehidupan Nabi dan generasi pertama umat Islam di Madinah, dan yang telah
‘dibekukan’ melalui teks-teks keagamaan klasik yang kemudian disakralkan, dan
diangkat melampaui realitas kesejarahannya. Akhirnya ia menjelma menjadi sebuah
dogma yang tidak dapat dicari realitasnya dalam lingkup ruang dan waktu
kesejarahan, tetapi harus
diambil dari teks-teks keagamaan secara apa adanya. Singkatnya, masa
lalu harus hadir di masa kini. Itulah ‘anggitan’ utama teks-teks yang menjadi
referensi bagi perilaku politik umat Islam.
Dari kenyataan ini
dapat dikatakan bahwa ‘politisasi agama’ tetap mengikuti episteme zaman
klasik. Padahal dalam pandangan klasikisme seperti ini terdapat karakter
romantisme yang sangat kuat, yang berkonsekuensi pada pola pandang terhadap
masa lalu sebagai yang lebih baik. Naifnya nalar klasik tersebut belum mampu
melampaui nalar dogmatiknya (Arkoun, 1992). Pola berpikir dogmatik-ideologis
inilah yang selalu mengandaikan realitas di luar wacananya sebagai suatu
realitas kegelapan yang harus diubah atau bahkan dihapuskan. Sikap mental
semacam ini tentu saja melahirkan eksklusifitas yang menyulitkan bagi
terjadinya suatu dialog rasional, sehingga sangat tidak menguntungkan bagi
wacana demokrasi, dimana setiap wacana berhak untuk dianut, tetapi dalam
praksis sosial perlu dilakukan konsensus berdasar common sense dan
kesetaraan hak sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
Dalam kondisi seperti ini, seperti yang
terjadi sekarang, sikap dogmatis-ideologis ini terbukti telah mempertajam
potensi konflik baik secara vertikal maupun horisontal. Pernyataan ini
didasarkan kepada kenyataan di negeri ini
bahwa politik identitas –etnik, ras, agama, dan mungkin kelas– masih
mendominasi kesadaran kolektif masyarakat. Dan yang mengerikan bangsa ini belum
memiliki mekanisme konflik kecuali dalam bentuk berdarah-darah.
Kiranya yang patut disadari adalah suatu
kenyataan bahwa setiap zaman pasti memiliki epitemenya sendiri, suatu
cara baca tertentu terhadap realitas. Untuk dapat membaca realitas secara baru
ini memang membutuhkan keberanian untuk menempatkan teks-teks keagamaan di
bawah koridor ilmiah. Tetapi di sini perlu ditekankan pula cara baca para sufi
(pembacaan esoteris) yang menempatkan spiritualitas kehidupan keagamaan sebagai
dasar utama sebelum seseorang terjun ke dalam aktivisme politik ataupun yang
lain, karena pembacaan esoteris ini selalu menekankan pada pencarian esensi dan
tidak mau terjebak dalam formalisme dan verbalisme keberagamaan, sehingga ia
akan mendorong terbentuknya sikap mental yang lapang, toleran, dan inklusif.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar