Senin, 30 Januari 2012

Hidup itu Ujian


Konon, seperti disebutkan dalam qissat israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil), Nabi Ibrahim mengajak istri keduanya, Hajar bersama putra tunggalnya, Ismail, keluar dari rumah untuk menapaki suatu perjalanan adalah karena sikap cemburu Sarah, istri tua Ibrahim yang mandul.
Sangat mungkin kisah tentang sikap Sarah ini tidak benar karena ia dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik dan mulia. Apalagi yang menyarankan, sekaligus memilihkan istri kedua bagi Ibrahim adalah ia sendiri.
Kalaupun mereka berdua terlibat konflik keluarga tidak mungkin Allah melimpahkan berkat kepadanya, seperti tercatat dalam surat Hud ayat 73, "Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Lepas dari soal ini, perjalanan Ibrahim bersama Hajar dan Ismail adalah berdasar pad kepatuhannya kepada perintah Allah. Mungkin ia sudah diberi tahu Allah tentang maksud dan tujuan perjalanannya, tetapi ia tidak dibolehkan membocorkan kepada siapapun, termasuk kepada istri-istrinya. Atau sebenarnya ia juga sama sekali belum mendapatkan penjelasan apa-apa dari Allah. Hanya perintah saja. Sehingga ia memilih diam saat kedua istrinya mempertanyakan.
Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar ketika Ibrahim memerintahkan Hajar untuk membawa anaknya, Ismail, untuk mengikutinya dalam suatu perjalanan. "Kemana kita pergi, hai Ibrahim?" Mungkin kali pertama Hajar yang bertanya kepadanya, mungkin juga Sarah yang bertanya. Tetapi Ibrahim hanya terdiam. Kedua wanita itu pun akhirnya ikut terdiam.
Saat itu Ismail masih berusia belia. Hajar membawanya dan menidurkannya di atas tanah, tepatnya tempat yang sekarang dikenal dengan nama sumur zamzam. Saat itu tempat itu sangat tandus dan belum terdapat sumur yang memancar dari bawah kakinya. Tidak ada setetes air pun. Hanya hamparan padang pasir dan lautan fatamorgana.
Di tempat itu, Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail. "Wahai Ibrahim ke mana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering ini?" "Wahai Ibrahim, di mana engkau akan pergi dan membiarkan kami? Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi?" Hajar mengulang-ulang pertanyaannya itu. Ibrahim tetap diam dan tidak menjawab.
Dapat dibayangkan betapa berat perasaan Ibrahim kala itu. Ia yang amat mencintai keluarganya harus meninggalkannya dalam kondisi yang memperhatinkan seperti itu. Tetapi ia juga sangat cinta kepada Allah. Tidak mungkin ia membantah perintah-Nya. Pun perintah yang sekilas tampak tidak rasional.
Untuk itu, ia pun berdoa kepada Allah, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan anak-anakku di lembah yang tiada bertanam-tanaman, disisi rumah Engkau yang suci. Ya Tuhan kami, supaya mereka mendirikan shalat. Sebab itu hendaklah Engkau jadikan hati manusia rindu kepada mereka dan beri rezekilah mereka dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. 14:37).
Tidak berselang lama, saat Ismail beranjak tumbuh menjadi anak yang pintar dan lucu, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya, seperti yang dikisahkan dalam surat al-saffat ayat 102,
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Begitulah Allah menguji orang yang dicintai dan dikasihi-Nya. Jika yang bersangkutan mau bersabar dan bersyukur, sebagaimana yang dicontohkan Ibrahim dan keluarganya, sudah tentu akan mendapatkan anugerah dan keberkatan yang tidak terkira dari-Nya.
Ahmad Albar, rocker senior bangsa ini, pernah menyebut dalam sebuah bait lagunya, “dunia ini panggung sandiwara.” Sudah tentu, di balik permainan sandiwara ini terdapat teks skenario yang telah ditulis oleh Allah dalam berkas qadla’ dan qadr. Hanya Ia sendiri yang mengetahui-Nya, termasuk pesan-pesan rahasia yang ingin disampaikan melalui pementasan sandiwara ini.
Kalau saja Ibrahim tidak sabar dan bersyukur atas ujian untuk meninggalkan Harar dan Ismail di gurun tandus Makkah, sudah tentu tidak akan ada zam-zam, Ka’bah, dan tradisi haji. Tidak akan ada simbol-simbol pemersatu umat. Juga tidak akan ada simbol kemenangan.
Demikian juga, kalau saja Ibrahim dan Ismail tidak sabar dan bersyukur untuk menjalani ujian penyembelihan, sudah tentu tidak akan ada simbol-simbol pengorbanan, kepatuhan, dan ketulusan.
Hidup ini adalah ujian. Ujian Allah bagi makhluk-Nya. Sudah tentu akan ada yang lulus dan yang gagal. Bagi yang ingin lulus dengan predikat cumlaud sudah tentu harus bersungguh-sungguh serius dalam menghadapi dan menjalaninya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar