Konon, seperti disebutkan dalam qissat israiliyat
(kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil), Nabi Ibrahim mengajak istri
keduanya, Hajar bersama putra tunggalnya, Ismail, keluar dari rumah untuk
menapaki suatu perjalanan adalah karena sikap cemburu Sarah, istri tua Ibrahim
yang mandul.
Sangat mungkin kisah tentang sikap Sarah ini
tidak benar karena ia dikenal memiliki kepribadian yang sangat baik dan mulia.
Apalagi yang menyarankan, sekaligus memilihkan istri kedua bagi Ibrahim adalah
ia sendiri.
Kalaupun mereka berdua terlibat konflik
keluarga tidak mungkin Allah melimpahkan berkat kepadanya, seperti tercatat
dalam surat Hud ayat 73, "Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan
atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Lepas dari soal ini, perjalanan Ibrahim
bersama Hajar dan Ismail adalah berdasar pad kepatuhannya kepada perintah
Allah. Mungkin ia sudah diberi tahu Allah tentang maksud dan tujuan
perjalanannya, tetapi ia tidak dibolehkan membocorkan kepada siapapun, termasuk
kepada istri-istrinya. Atau sebenarnya ia juga sama sekali belum mendapatkan
penjelasan apa-apa dari Allah. Hanya perintah saja. Sehingga ia memilih diam
saat kedua istrinya mempertanyakan.
Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar
ketika Ibrahim memerintahkan Hajar untuk membawa anaknya, Ismail, untuk mengikutinya
dalam suatu perjalanan. "Kemana kita pergi, hai Ibrahim?" Mungkin kali
pertama Hajar yang bertanya kepadanya, mungkin juga Sarah yang bertanya. Tetapi
Ibrahim hanya terdiam. Kedua wanita itu pun akhirnya ikut terdiam.
Saat itu Ismail masih berusia belia. Hajar membawanya
dan menidurkannya di atas tanah, tepatnya tempat yang sekarang dikenal dengan
nama sumur zamzam. Saat itu tempat itu sangat tandus dan belum terdapat sumur
yang memancar dari bawah kakinya. Tidak ada setetes air pun. Hanya hamparan
padang pasir dan lautan fatamorgana.
Di tempat itu, Ibrahim meninggalkan Hajar dan
Ismail. "Wahai Ibrahim ke mana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di
lembah yang kering ini?" "Wahai Ibrahim, di mana engkau akan pergi
dan membiarkan kami? Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi?" Hajar mengulang-ulang
pertanyaannya itu. Ibrahim tetap diam dan tidak menjawab.
Dapat dibayangkan betapa berat perasaan
Ibrahim kala itu. Ia yang amat mencintai keluarganya harus meninggalkannya
dalam kondisi yang memperhatinkan seperti itu. Tetapi ia juga sangat cinta
kepada Allah. Tidak mungkin ia membantah perintah-Nya. Pun perintah yang
sekilas tampak tidak rasional.
Untuk itu, ia pun berdoa kepada Allah, “Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan anak-anakku di lembah yang tiada
bertanam-tanaman, disisi rumah Engkau yang suci. Ya Tuhan kami, supaya mereka
mendirikan shalat. Sebab itu hendaklah Engkau jadikan hati manusia rindu kepada
mereka dan beri rezekilah mereka dengan buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (QS. 14:37).
Tidak berselang lama, saat Ismail beranjak
tumbuh menjadi anak yang pintar dan lucu, Ibrahim diperintahkan untuk
menyembelihnya, seperti yang dikisahkan dalam surat al-saffat ayat 102,
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Begitulah Allah menguji orang yang dicintai
dan dikasihi-Nya. Jika yang bersangkutan mau bersabar dan bersyukur,
sebagaimana yang dicontohkan Ibrahim dan keluarganya, sudah tentu akan
mendapatkan anugerah dan keberkatan yang tidak terkira dari-Nya.
Ahmad Albar, rocker senior bangsa ini, pernah
menyebut dalam sebuah bait lagunya, “dunia ini panggung sandiwara.” Sudah
tentu, di balik permainan sandiwara ini terdapat teks skenario yang telah
ditulis oleh Allah dalam berkas qadla’ dan qadr. Hanya Ia sendiri yang
mengetahui-Nya, termasuk pesan-pesan rahasia yang ingin disampaikan melalui
pementasan sandiwara ini.
Kalau saja Ibrahim tidak sabar dan bersyukur
atas ujian untuk meninggalkan Harar dan Ismail di gurun tandus Makkah, sudah
tentu tidak akan ada zam-zam, Ka’bah, dan tradisi haji. Tidak akan ada
simbol-simbol pemersatu umat. Juga tidak akan ada simbol kemenangan.
Demikian juga, kalau saja Ibrahim dan Ismail
tidak sabar dan bersyukur untuk menjalani ujian penyembelihan, sudah tentu
tidak akan ada simbol-simbol pengorbanan, kepatuhan, dan ketulusan.
Hidup ini adalah ujian. Ujian Allah bagi
makhluk-Nya. Sudah tentu akan ada yang lulus dan yang gagal. Bagi yang ingin lulus
dengan predikat cumlaud sudah tentu harus bersungguh-sungguh serius dalam
menghadapi dan menjalaninya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar