Senin, 02 April 2012

Budaya Meniru

         Pada masa pendudukan Belanda di tanah air ini, tidak sedikit ulama pribumi yang menfatwakan haramnya memakai celana dan dasi, dengan dalih hal itu menyerupai pola berpakaian para penjajah. Dasar nashnya adalah sabda Nabi bahwa siapa saja yang menyerupai suatu kaum ia termasuk dari mereka.
    Fatwa ini barang kali antara lain dimaksudkan sebagai salah satu upaya menumbuhkembangkan semangat patriotisme di kalangan masyarakat melalui penolakan bentuk-bentuk tradisi bangsa penjajah. Dengan begitu bangsa ini tidak mudah terpengaruh oleh bentuk-bentuk ‘kemewahan’ yang ditawarkan oleh mereka.
       Pada masa Nabi pelarangan semacam ini juga pernah dikeluarkan, seperti pelarangan untuk menyemir rambut dan lain-lain. Tetapi  di sisi lain Nabi tidak memungkiri akan terjadinya peniruan-peniruan, seperti tercermin dalam pernyataannya bahwa “sesungguhnya kalian pasti meniru tradisi dan gaya hidup umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, dan kalian akan terus mengikuti mereka walau pun harus memasuki lubang biawak.”
Ibnu Hajar al-Asqalani memahami hadits ini dengan mempersandingkannya dengan fakta sejarah, yaitu peniruan umat Islam terhadap bangsa Romawi dan Persi dalam masalah hukum dan politik, dan terhadap umat Yahudi dan Nasrani dalam masalah  keyakinan, cara pandang, pemikiran, gaya hidup, perilaku, dan moral. Fakta ini ditemukannya pada pertanyaan para sahabat lebih lanjut kaitannya dengan pernyataan Nabi tadi, yaitu tentang pembenaran Nabi ketika mereka menanyakan keempat budaya yang ditiru itu.
Adapun peniruan yang digambarkan Nabi sampai harus memasuki lubang biawak, menurutnya, merupakan satu kiasan yang menunjukkan bahwa kesukaan meniru itu sampai pada batas tidak lagi membedakan antara yang boleh ditiru dan yang tidak, yang bertentangan dengan keyakinan agama dan melanggar moral etik dan yang tidak.
Dengan demikian, Islam sebenarnya tidak memungkiri adanya budaya meniru di kalangan umat. Dan sah-sah saja dilakukan asal tidak melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at. Karena tindakan melampaui batas sama saja dengan melakukan penyimpangan terhadap syari’at.
Budaya meniru ini dapat dikaitkan dengan anjuran Nabi tentang menuntut ilmu. Ia pernah menganjurkan kepada umatnya agar mencari ilmu meski sampai berada di tempat yang jauh. Ia menyebutnya ‘meski di negeri Cina.’ Padahal pada saat itu Cina belum tersentuh oleh dakwah Islam. Salah satu logika yang dapat diambil dari anjuran Nabi ini demikian: Seorang yang tengah menuntut ilmu negeri Cina sudah tentu ia akan bersentuhan dengan budaya asing dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang asing pula baginya. Dan persentuhan ini jelas akan berimplikasi pada perubahan prilakunya.
Tetapi anjuran ini jika dikaitkan dengan anjurannya tentang 'berpegang teguh pada iman Islam,' maka dapat dipahami bahwa tidak semua yang datang dari orang lain (dalam konteks pernyataan Nabi tersebut adalah budaya dan ilmu Cina) diambil secara mentah-mentah, melainkan harus disaring dengan syari’at Islam. Sudah tentu hanya yang terdapat kesesuaian dengan syari’at Islam yang boleh dikembangkan.
Di era modern ini semangat itu dibuktikan dengan banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu di negara-negara non-muslim, yang salah satu wujud konkritnya adalah berkembangnya wacana keislaman dengan berbagai ragam bentuknya, baik kaitannya dengan pola keberagamaan maupun pola berbangsa dan bernegara. Berkembangnya sistem negara demokrasi di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim tidak lain merupakan hasil dari budaya meniru ini. Di samping itu, di kalangan umat sendiri juga telah berkembang suatu pola keberagamaan yang inklusif (terbuka).
Namun, dalam konteks percampuran (akulturasi) budaya secara global, sudah tentu budaya meniru ini memiliki dimensi positif dan negatif, di mana hal serupa juga telah disinggung oleh Nabi. Dan sudah tentu hanya yang positif yang seharusnya diambil. Untuk itu, suatu upaya untuk mendampingi masyarakat agar tidak terlalu jauh terjerumus dalam pengambilan aspek negatif harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Tugas ini merupakan kewajiban seruruh komponen bangsa, terutama kalangan pemimpin. Untuk itu, salah satu tugas utama mereka adalah menciptakan kemandirian bangsa di mata dunia, sehingga bangsa ini tidak mudah terombang ambing oleh derasnya penetrasi budaya yang sengaja dilancarkan untuk menghancurkan moralitas bangsa ini.
Pergeseran suatu bentuk budaya bahkan pada tataran tata nilai mungkin tidak dapat dihindari sebagai suatu apaya memperbaiki kondisi bangsa, tetapi hal ini jangan sampai mencerabutnya dari akar budaya sendiri yang memang harus dipertahankan.
Dari segi tontonan yang disuguhkan kepada masyarakat melalui media televisi misalnya, sudah tentu diharapkan adanya produk-produk lokal yang berkualitas yang mampu bersaing di pentas internasional, sehingga dapat menggeser image yang ada sekarang, yaitu ‘asal luar negeri’.
Dalam riwayat lain Nabi ditanya tentang kapan keadaan seperti ini terjadi. Ia menjawab, ''Ketika orang baik-baik tidak lagi bersikap tegas dalam menolak kemungkaran, ketika orang jahat dengan bebas melakukan kejahatannya, ketika kekuasaan dipegang oleh orang lemah, dan ketika banyak orang yang bergaya seperti  ulama tetapi perbuatannya menjijikan.'' 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar