Pada masa
pendudukan Belanda di tanah air ini, tidak sedikit ulama pribumi yang
menfatwakan haramnya memakai celana dan dasi, dengan dalih hal itu menyerupai
pola berpakaian para penjajah. Dasar nashnya adalah sabda Nabi bahwa siapa saja
yang menyerupai suatu kaum ia termasuk dari mereka.
Fatwa ini barang
kali antara lain dimaksudkan sebagai salah satu upaya menumbuhkembangkan
semangat patriotisme di kalangan masyarakat melalui penolakan bentuk-bentuk
tradisi bangsa penjajah. Dengan begitu bangsa ini tidak mudah terpengaruh oleh
bentuk-bentuk ‘kemewahan’ yang ditawarkan oleh mereka.
Pada masa Nabi
pelarangan semacam ini juga pernah dikeluarkan, seperti pelarangan untuk
menyemir rambut dan lain-lain. Tetapi di
sisi lain Nabi tidak memungkiri akan terjadinya peniruan-peniruan, seperti
tercermin dalam pernyataannya bahwa “sesungguhnya kalian pasti meniru tradisi
dan gaya hidup umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, dan kalian akan terus mengikuti mereka walau pun harus memasuki lubang
biawak.”
Ibnu Hajar al-Asqalani memahami hadits ini dengan
mempersandingkannya dengan fakta sejarah, yaitu peniruan umat Islam terhadap bangsa
Romawi dan Persi dalam masalah hukum dan politik, dan terhadap umat Yahudi dan
Nasrani dalam masalah keyakinan, cara
pandang, pemikiran, gaya hidup, perilaku, dan moral. Fakta ini ditemukannya pada
pertanyaan para sahabat lebih lanjut kaitannya dengan pernyataan Nabi tadi,
yaitu tentang pembenaran Nabi ketika mereka menanyakan keempat budaya yang
ditiru itu.
Adapun peniruan yang digambarkan Nabi sampai harus
memasuki lubang biawak, menurutnya, merupakan satu kiasan yang menunjukkan
bahwa kesukaan meniru itu sampai pada batas tidak lagi membedakan antara yang
boleh ditiru dan yang tidak, yang bertentangan dengan keyakinan agama dan
melanggar moral etik dan yang tidak.
Dengan demikian, Islam sebenarnya tidak memungkiri
adanya budaya meniru di kalangan umat. Dan sah-sah saja dilakukan asal tidak
melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at. Karena tindakan
melampaui batas sama saja dengan melakukan penyimpangan terhadap syari’at.
Budaya meniru ini dapat dikaitkan dengan anjuran
Nabi tentang menuntut ilmu. Ia pernah menganjurkan kepada umatnya agar mencari
ilmu meski sampai berada di tempat yang jauh. Ia menyebutnya ‘meski di negeri
Cina.’ Padahal pada saat itu Cina belum tersentuh oleh dakwah Islam. Salah satu
logika yang dapat diambil dari anjuran Nabi ini demikian: Seorang yang tengah
menuntut ilmu negeri Cina sudah tentu ia akan bersentuhan dengan budaya asing
dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang asing pula baginya. Dan persentuhan ini
jelas akan berimplikasi pada perubahan prilakunya.
Tetapi anjuran ini jika dikaitkan dengan
anjurannya tentang 'berpegang teguh pada iman Islam,' maka dapat dipahami bahwa
tidak semua yang datang dari orang lain (dalam konteks pernyataan Nabi tersebut
adalah budaya dan ilmu Cina) diambil secara mentah-mentah, melainkan harus disaring
dengan syari’at Islam. Sudah tentu hanya yang terdapat kesesuaian dengan
syari’at Islam yang boleh dikembangkan.
Di era modern ini semangat itu dibuktikan dengan
banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu di negara-negara non-muslim, yang
salah satu wujud konkritnya adalah berkembangnya wacana keislaman dengan
berbagai ragam bentuknya, baik kaitannya dengan pola keberagamaan maupun pola
berbangsa dan bernegara. Berkembangnya sistem negara demokrasi di negara-negara
yang berpenduduk mayoritas muslim tidak lain merupakan hasil dari budaya meniru
ini. Di samping itu, di kalangan umat sendiri juga telah berkembang suatu pola
keberagamaan yang inklusif (terbuka).
Namun, dalam konteks percampuran (akulturasi)
budaya secara global, sudah tentu budaya meniru ini memiliki dimensi positif
dan negatif, di mana hal serupa juga telah disinggung oleh Nabi. Dan sudah
tentu hanya yang positif yang seharusnya diambil. Untuk itu, suatu upaya untuk
mendampingi masyarakat agar tidak terlalu jauh terjerumus dalam pengambilan
aspek negatif harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
Tugas ini merupakan kewajiban seruruh komponen
bangsa, terutama kalangan pemimpin. Untuk itu, salah satu tugas utama mereka
adalah menciptakan kemandirian bangsa di mata dunia, sehingga bangsa ini tidak
mudah terombang ambing oleh derasnya penetrasi budaya yang sengaja dilancarkan
untuk menghancurkan moralitas bangsa ini.
Pergeseran suatu bentuk budaya bahkan pada tataran
tata nilai mungkin tidak dapat dihindari sebagai suatu apaya memperbaiki
kondisi bangsa, tetapi hal ini jangan sampai mencerabutnya dari akar budaya
sendiri yang memang harus dipertahankan.
Dari segi tontonan yang disuguhkan kepada
masyarakat melalui media televisi misalnya, sudah tentu diharapkan adanya
produk-produk lokal yang berkualitas yang mampu bersaing di pentas
internasional, sehingga dapat menggeser image yang ada sekarang, yaitu ‘asal
luar negeri’.
Dalam riwayat lain Nabi ditanya tentang kapan
keadaan seperti ini terjadi. Ia menjawab, ''Ketika orang baik-baik tidak lagi
bersikap tegas dalam menolak kemungkaran, ketika orang jahat dengan bebas
melakukan kejahatannya, ketika kekuasaan dipegang oleh orang lemah, dan ketika
banyak orang yang bergaya seperti ulama
tetapi perbuatannya menjijikan.''
Tidak ada komentar:
Posting Komentar