Ibnul Qoyyim al-Jauzi mengumpamakan hati orang yang melakukan dosa seperti
hati yang berada di antara dua sayap burung. Hati yang diliputi rasa takut.
Takut jatuh dari ketinggian, takut tergelincir, dan takut bencana akibat dosa.
Dia menegaskan, “Ketaatan kepada Allah merupakan benteng yang agung. Siapa
saja yang memasukinya akan merasa aman dan siapa saja yang keluar darinya akan
diliputi rasa takut. Sedangkan dosa akan menimbulkan rasa kesepian dan
kegelisahan yang luar biasa.”
Begitulah suasana hati seorang mukmin. Dia akan merasa sedih, gunda,
gelisah, dan diliputi rasa takut jika dia telah terlanjur melakukan perbuatan
dosa. Perasaan inilah yang merupakan benih rasa penyesalan yang mendalam hingga
tidak enggan untuk segera bertaubat. Di sinilah relefansi sabda Nabi, ”Ikutilah
keburukan dengan kebaikan (agar dapat) menghapusnya.”
Orang yang merasa tenang-tenang saja dengan gundukan dosa berarti hatinya telah
tertutup dan berarti pula kekokohan imannya telah terusik. Orang seperti ini
akan enggan bertaubat karena masih merasa kesalahan yang dilakukan masih belum
membutuhkan pertaubatan.
Terkait dengan hal ini, Nabi membuat perumpamaan yang lebih tegas, ”Perumpamaan
orang beriman yang berbuat dosa adalah seperti orang yang duduk di bawah
gunung, dia takut ditimpa gunung tersebut. Sementara orang kafir yang berbuat
dosa seperti orang yang menepis lalat lewat di depan hidungnya.”
Sangat jelas perumpamaan perumpamaan yang dibuat Nabi tersebut. Orang kafir
menganggap dosa seperti meminum air putih di saat dahaga. Dosa menjadi
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan disalurkan. Dosa amat kecil di matanya,
seperti orang yang menepis lalat yang lewat di depan hidungnya.
Keadaannya jauh berbeda dengan orang beriman yang tergelincir dalam dosa,
cahaya iman dihatinya tidak rela bercampur dengan kegelapan dosa. Dosa yang
telah dilakukannya seakan menjulang seperti gunung yang akan jatuh menimbunnya.
Dosa itu telah menimbulkan kegelisahan yang luar biasa dan rasa takut.
Begitulah seharusnya perasaan hati orang yang beriman, dia akan merasa
gelisah dan takut jika dia sampai terlanjur melakukan perbuatan dosa, sedih
karena imannya tidak menjadi benteng yang kokoh baginya untuk melindunginya
dari godaan dosa.
Saat ini, mungkin agak langka menemukan orang yang demikian. Di zaman, yang
menurut Nabi sudah berusia renta, ini telah ditandai dengan semakin terkikisnya
keimanan dan keislaman sebagai pembentuk perilaku bagi pemeluknya sendiri. Tidak
heran jika disebutkan balau iman dan Islam hanya tinggal nama sebab pengikutnya
tidak lagi mencerminkan sebagai mukmin dan muslim.
Indikasi yang sangat nampak adalah sajian berita kriminal baik di media
cetak maupun elektronik. Setiap hari para wartawan kriminal tidak susah
menemukan kasus-kasus kriminal yang dijadikan berita. Bahkan media yang secara
khusus mengekspos hasus-kasus kriminal tidak pernah kehabisan sumber berita.
Pelaku tindak kriminal yang diberitakan adalah orang yang beriman.
Sementara mereka seolah menganggap perbuatannya hanya berdimensi duniawi yang
tidak memiliki implikasi apa pun bagi kehidupannya kelak sesudah mati. Rasa
bersalah yang ditampakkan hanya kamuflase di hadapan para penegak hukum. Mereka
tidak menganggapnya sebagai sebuah gunung yang akan menindih dan menimbunnya
sebagaimana telah digambarkan Nabi.
Itu baru orang yang telah tertangkap basah atau terbukti melakukan tindakan
kriminal. Belum lagi mereka yang masih diduga melakuan perbuatan tercela dan
asusila. Sebagai seorang yang beriman seharusnya mereka menjadikan dugaan itu
sebagai momentum untuk menelisik keimannya.
Misalnya, kalau memang mereka benar-benar melakukan perbuatan yang
didugakan, segera mereka mengakui tanpa takut kehilangan popularitas, kejayaan,
kekayaan, dll. Tindakan ini justru akan menimbulkan simpati masyarakat
sekaligus menjadi pembelajaran keimanan yang
amat berharga.
Tetapi jika sikap menutup-nutupi kesalahan dengan sedikit konsprirasi pencitraan
bersih diri di hadapan publik yang diambil, maka status keimanannya sudah
sangat jelas sebagaimana gambaran Nabi di atas. Lebih parah lagi, mereka telah
tergolong kelompok orang yang menjual agama dengan dunia, sekelompok orang yang
telah tegas diancam Allah sebagaimana
ditegaskan di dalam Alquran.
Untuk itu, sebagai orang yang beriman, sudah selayaknya kita menelisik keimanan
di dada kita dengan mengevaluasi sikap kita terhadap perbuatan dosa yang kerap
kita lakukan. Penelisikan terhadap keimanan ini juga harus disertai dengan
mengevaluasi seberapa besar ketaatan kita kepada Allah telah mampu membentuk
perilaku kita sehingga dapat membentengi diri kita dari perbuatan dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar