Kamis, 29 Maret 2012

Menelisik Iman

Ibnul Qoyyim al-Jauzi mengumpamakan hati orang yang melakukan dosa seperti hati yang berada di antara dua sayap burung. Hati yang diliputi rasa takut. Takut jatuh dari ketinggian, takut tergelincir, dan takut bencana akibat dosa.
Dia menegaskan, “Ketaatan kepada Allah merupakan benteng yang agung. Siapa saja yang memasukinya akan merasa aman dan siapa saja yang keluar darinya akan diliputi rasa takut. Sedangkan dosa akan menimbulkan rasa kesepian dan kegelisahan yang luar biasa.”
Begitulah suasana hati seorang mukmin. Dia akan merasa sedih, gunda, gelisah, dan diliputi rasa takut jika dia telah terlanjur melakukan perbuatan dosa. Perasaan inilah yang merupakan benih rasa penyesalan yang mendalam hingga tidak enggan untuk segera bertaubat. Di sinilah relefansi sabda Nabi, ”Ikutilah keburukan dengan kebaikan (agar dapat) menghapusnya.”
Orang yang merasa tenang-tenang saja dengan gundukan dosa berarti hatinya telah tertutup dan berarti pula kekokohan imannya telah terusik. Orang seperti ini akan enggan bertaubat karena masih merasa kesalahan yang dilakukan masih belum membutuhkan pertaubatan.
Terkait dengan hal ini, Nabi membuat perumpamaan yang lebih tegas, ”Perumpamaan orang beriman yang berbuat dosa adalah seperti orang yang duduk di bawah gunung, dia takut ditimpa gunung tersebut. Sementara orang kafir yang berbuat dosa seperti orang yang menepis lalat lewat di depan hidungnya.”
Sangat jelas perumpamaan perumpamaan yang dibuat Nabi tersebut. Orang kafir menganggap dosa seperti meminum air putih di saat dahaga. Dosa menjadi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan disalurkan. Dosa amat kecil di matanya, seperti orang yang menepis lalat yang lewat di depan hidungnya.
Keadaannya jauh berbeda dengan orang beriman yang tergelincir dalam dosa, cahaya iman dihatinya tidak rela bercampur dengan kegelapan dosa. Dosa yang telah dilakukannya seakan menjulang seperti gunung yang akan jatuh menimbunnya. Dosa itu telah menimbulkan kegelisahan yang luar biasa dan rasa takut.
Begitulah seharusnya perasaan hati orang yang beriman, dia akan merasa gelisah dan takut jika dia sampai terlanjur melakukan perbuatan dosa, sedih karena imannya tidak menjadi benteng yang kokoh baginya untuk melindunginya dari godaan dosa.
Saat ini, mungkin agak langka menemukan orang yang demikian. Di zaman, yang menurut Nabi sudah berusia renta, ini telah ditandai dengan semakin terkikisnya keimanan dan keislaman sebagai pembentuk perilaku bagi pemeluknya sendiri. Tidak heran jika disebutkan balau iman dan Islam hanya tinggal nama sebab pengikutnya tidak lagi mencerminkan sebagai mukmin dan muslim.
Indikasi yang sangat nampak adalah sajian berita kriminal baik di media cetak maupun elektronik. Setiap hari para wartawan kriminal tidak susah menemukan kasus-kasus kriminal yang dijadikan berita. Bahkan media yang secara khusus mengekspos hasus-kasus kriminal tidak pernah kehabisan sumber berita.
Pelaku tindak kriminal yang diberitakan adalah orang yang beriman. Sementara mereka seolah menganggap perbuatannya hanya berdimensi duniawi yang tidak memiliki implikasi apa pun bagi kehidupannya kelak sesudah mati. Rasa bersalah yang ditampakkan hanya kamuflase di hadapan para penegak hukum. Mereka tidak menganggapnya sebagai sebuah gunung yang akan menindih dan menimbunnya sebagaimana telah digambarkan Nabi.
Itu baru orang yang telah tertangkap basah atau terbukti melakukan tindakan kriminal. Belum lagi mereka yang masih diduga melakuan perbuatan tercela dan asusila. Sebagai seorang yang beriman seharusnya mereka menjadikan dugaan itu sebagai momentum untuk menelisik keimannya.
Misalnya, kalau memang mereka benar-benar melakukan perbuatan yang didugakan, segera mereka mengakui tanpa takut kehilangan popularitas, kejayaan, kekayaan, dll. Tindakan ini justru akan menimbulkan simpati masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran keimanan yang  amat berharga.
Tetapi jika sikap menutup-nutupi kesalahan dengan sedikit konsprirasi pencitraan bersih diri di hadapan publik yang diambil, maka status keimanannya sudah sangat jelas sebagaimana gambaran Nabi di atas. Lebih parah lagi, mereka telah tergolong kelompok orang yang menjual agama dengan dunia, sekelompok orang yang telah tegas diancam  Allah sebagaimana ditegaskan di dalam Alquran.
Untuk itu, sebagai orang yang beriman, sudah selayaknya kita menelisik keimanan di dada kita dengan mengevaluasi sikap kita terhadap perbuatan dosa yang kerap kita lakukan. Penelisikan terhadap keimanan ini juga harus disertai dengan mengevaluasi seberapa besar ketaatan kita kepada Allah telah mampu membentuk perilaku kita sehingga dapat membentengi diri kita dari perbuatan dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar