Kamis, 03 Mei 2012

Energi Hati

Di salah satu sudut pasar kota Madinah terdapat seorang pengemis Yahudi buta. Setiap kali ada orang yang mendekatinya dia selalu berkata, ”Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Jika kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”
Pada setiap pagi ada seorang lelaki yang mendatanginya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun lelaki itu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Pengemis itu juga selalu berpesan agar lelaki itu tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Pekerjaan rutin itu terus dilakukan lelaki itu hingga dia dipanggil menghadap Tuhannya, meninggal dunia. Sepeninggalnya tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis Yahudi buta itu.
Pada suatu hari Abu Bakar berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah. Dia bertanya kepada Aisyah, ”Anakku adakah sunah kekasihku yang belum aku kerjakan?” ”Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunah, hampir tidak ada satu sunah Nabi pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunah saja.” Jawab Aisyah. ”Apakah Itu?” tanya Abu Bakar. ”Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah dengan suara yang agak tinggi, ”siapakah kamu!” Abu Bakar menjawab, ”Aku orang yang biasa mendatangimu. Maaf agak lama aku tidak mendatangimu.”
”Bukan! kamu bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis itu. ”Bila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan dengan mulutnya, setelah itu dia berikan padaku dengan mulutnya sendiri.” Pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ”Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Rasulullah.”
Pengemis itu tercenganga mendengar cerita Abu Bakar. Dia pun menangis dan berkata, ”benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi dia tidak pernah sekali pun memarahiku. Dia malah mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, dia begitu mulia....” Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar.
Begitulah salah satu teladan Nabi tentang energi hati. Kekuatan hatinya telah membuatnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menebarkan kebaikan kepada orang lain, termasuk orang-orang secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang dan memusuhinya.
Semua itu dilakukan Nabi bukan semata-mata karena terpaksa. Maksudnya, bukan berarti sebenarnya Nabi enggan melalukan pekerjaan rutin itu, tetapi karena dia memiliki tujuan untuk menampakkan perilakunya baiknya kepada orang lain sehingga semua orang akan mengikutinya. Tegasnya pekerjaan itu menjadi salah satu bentuk strategi dakwahnya.
Bukan demikian halnya, Nabi melakukan pekerjaan itu dengan tulus. Tidak ada sedikit pun pamrih agar dia dianggap orang baik. Semata-mata karena kebaikan hati Nabi yang mendorongnya untuk selalu memberikan perhatian kepada orang lemah, serta selalu berusaha untuk menjadi orang yang memiliki manfaat bagi orang lain.
Tuhan mencipta akal dan hati bagi manusia dengan fungsi masing-masing yang spesifik. Bagi orang yang beragama seharusnya menjadikan hati sebagai fokus utama perhatiannya, bukan akal, sebab ia dekat dengan roh yang suci, dan menjadi penggerak utama bagi manusia.
Tetapi kebanyakan orang justru lebih mengutamakan akal daripada hati. Akal dianggap merupakan alat utama bagi manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Pandangan mereka mendapat justifikasi dari ilmu logika (mantiq) yang memposisikan akal sebagai pembeda manusia dengan makhluk yang lain.
Pandangan umum ini biarlah seperti adanya. Tetapi bagi orang yang beragama tentu tetap harus menomerduakan akal setelah hati. Sebab baik atau buruk manusia sangat tergantung pada hatinya, sebagaimana penegasan Nabi bahwa  ”Di dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah, jika ia baik maka sekujur tubuh akan baik, tetapi jika ia buruk maka sekujur tubuh akan buruk. Ingat segumpal darah itu adalah hati.”
Sampai di sini jelas bahwa kekuatan energi hati akan mampu menandingi dan mengalahkan kekuatan akal. Terkait dengan karakter buruk manusia misalnya, sangat susah untuk merubahkanya dengan hanya menggunakan pendekatan akal. Tetapi jika hatinya dapat ditata maka dengan sendirinya potensi karakter buruk itu tidak mendapat bagian untuk digunakan.
Belum lagi efek munafik yang ditimbulkan oleh akal. Contoh yang amat jelas dapat disaksikan pada tayangan yang mempertontonkan ungkapan bawah sadar seseorang yang terhipnotis di televisi. Ungkapan bawah sadar yang jujur itu berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ungkapannya di saat dia sadar. Hal ini terjadi tidak lain karena faktor akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar